Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MAKALAH PENEMUAN HUKUM

TENTANG PUTUSAN HAKIM

DISUSUN OLEH :

Kyka Reki Dwiyana


(006802542021)
MH2

DOSEN PENGAJAR MATA KULIAH :


Prof. Dr. H. Sufirman Rahman, SH.,MH.

MAGISTER ILMU HUKUM


PASCASARJANA UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2022
BAB I
PENDAHULUAN

• Latar Belakang Masalah


Dalam kehidupan sehari-hari begitu banyak hubungan hukum tercipta, tanpa
di sadari manusia telah melakukan kegiatan yang menimbulkan hak dan kewajiban.
Konsekuensi dari hal tersebut adalah banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum yang
memungkinkan timbulnya beragam konflik di dalam masyarakat yang mana tentu
diharapkan suatu penyelesaian. Hal ini merupakan tantangan bagi sarjana hukum di
bidang hukum untuk mencari hukum yang dapat menyelesaiankan setiap konflik.
Seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas
atau fungsi utama yaitu senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum
yang konkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam
masyarakat, dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang
berlaku, cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri.
Hal ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan perundang-
undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua kejadian
yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat untuk mengatur hal-
hal tertentu secara umum saja.
Selanjutnya bahwa seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan
penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada,
dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu
dijalankan sebab adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh
perkembangan perkembangan didalam masyarakat.
Penemuan hukum merupakan pembentukan hukum oleh hakim atau aparat
hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada
peristiwa hukum konkrit, juga merupakan proses konkretisasi atau individualis
peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa
konkrit (das sein) tertentu, jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah
bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkit.
Tanggungjawab dalam penemuan hukum ini di wajibkan untuk tidak menolak
setiap perkara yang datang kepadanya, apalagi dengan dalih hukumnya tidak ada atau
kurang jelas. Didalam pasal 10 ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menentukan “bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Jadi pada dasarnya hakim darus menyelesaiakn setiap perkara yang datang kepadanya
(di pengadilan) walaupun tidak ada atau kurang jelasnya aturan hukum tersebut.
Kejelasan suatu undang-undang sangatlah penting dan oleh karena itu setiap
undang-undang selalu dilengkapi dengan penjelasan. Akan tetapi sekalipun nama dan
maksudnya sebagi penjelasan, namun seringkali terjadi, penjelasan tersebut tidak juga
memberi kejelasan. Karena hanya dinyatakan cukup jelas, padahal teks undang-
undangnya tidak jelas dan masih memerlukan penjelasan.
Dalam kasus seperti ini hukumnya harus dicari, diketemukan bukan diciptakan
walau tidak tertutup kemungkinan bahwa hakim dalam menemukan hukum tanpa
disadari, tanpa disengaja menciptakan hukum, tetapi hakim dilarang untuk
menciptakan peraturan yang mengikat secara umum.
. Pada Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman juga dijelaskan bahwa “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”.Menurut Paul Scholten di dalam perilaku manusia terdapat hukumnya.
Jadi hukum itu tidak semata-mata terdapat di dalam peraturan perundang-undangan
saja. “Penggalian” inilah yang pada dasarnya dimaksud dengan penemuan hukum
(rechtsvinding, law making) dan bukan penciptaan hukum.
Keadaan seperti ini sangat berpengaruh terhadap rasa kenyamanan masyarakat
terhadap hukum. Masyarakat membutuhkan kepastian hukum dalam setiap
tindakannya, apalagi Indonesia termasuk kedalam Mix Legal System yang mana
memberlakukan banyak sistem hukum. Artinya dengan banyak nyasistem hukum
yang berlaku di Indonesia maka akan memudahkan bagi hakim untuk menggali
hukum dari sistem-sistem hukum tersebut, untuk itu seorang hakim harus
menjabarkan terlebih dahulu peristiwa hukum kongkret dan kemudian menggali
hukum di tengah masyarakat yang berlaku dan dapat diterapkan sehingga rasa
keadilan masyarakat yang bersangkutan dapat dipenuhi.
Dengan keberagaman sistem hukum keanekaragaman budaya di Indonesia
tidak jarang terjadi adanya ketidak selarasan aturan-aturan hukum, hal ini terjadi
karena pada setiap daerah memiliki budaya dan hukum adatnya tersendiri sehingga
tidak mungkin meng-generalisir semua aturan hukum adat tersebut. Dapat kita lihat
pada saat RUU Pornografi dan Pornoaksi di bahas, timbul berbagai permasalahan
mengenai definisi dan batasan dari pornografi dan pornoaksi itu sendiri. Perbedaan
budaya di setiap daerah menjadi latar belakang permasalahan tersebut. Akibatnya
RUU itu pun di ubah dengan sangat ekstrim yaitu dengan menghilangkan unsur porno
aksi dalam RUU tersebut dan kemudian menjadi Undang-undang No.44 Tahun 2008
tentang Pornografi.
Dapam penerapan UU pornografi ini perlu juga Hakim menggali kaidah-
kaidah hukum dalam masyarakat supaya penerapanya dapat lebih tepat sasaran.
Misalnya di daerah Sumatera Barat yang merupakan masyarakat adat Minangkabau
yang terkenal dengan ungkapan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandikitabullah”.
Ungkapan tersebut bermakna bahwa masyarakat Minangkabau dalam memahami dan
memaknai eksistensinya sebagai mahluk Allah. Untuk itu perlu kiranya hakim
memahami nilai-nilai budaya yang ada di dalam setiap masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk membuat suatu tulisan
yang akan menggambarkan tentang Proses Penemuan Hukum Oleh Hakim dengan
metode interprestasi sosiologis.

• Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan tersebut maka penulis merumuskan permasalahan
yang akan dibahas dan menjadi batasan bagi penulis dalam penulisan ini. Pada
penulisan ini penulis ingin membahas tentang Proses Penemuan Hukum Oleh Hakim.
BAB II
PEMBAHASAN

• Sistem Penemuan Hukum Oleh Hakim


Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama.
Dalam setiap kelompok masyarakat tersebut terdapat parameter-parameter tertentu dalam
memutuskan yang benar dan yang salah. Negara tidak dapat mengenegalisasi setiap
kelompok masyarakat di Indonesia hanya karena dilandasi anggapan bahwa negara dapat
mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan apajasa terhadap
kelompok masyarakat tersebut. Negara perlu menyesuaikan aturan hukum yang ada
dengan kondisi dan budaya masyarakat Indonesia. Bahasa perundang-undangan tidak
dapat mengikuti dinamika perkembangan masyarakat, keberagaman suku bangsa yang
memiliki tradisi dan budaya yang berbeda tidak mungkin disatukan dalam suatu aturan
hukum yang baku, namun suatu aturan hukum hukum harus disesuaikan dengan keadaan
masyarakat tersebut.
Uraian di atas menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali aturan hukum yang
hidup di dalam masyarakat. Misalnya saja dalam UU Pornografi pada pasal 1 angka (1)
disebutkan bahwa Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,
gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang
memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.dalam kasus seperti ini hakim dalam memutus perkara harus terlebih dahulu
menentukan apakan definisi pornografi di daerah dimana putusanya akan dijatuhkan.
Perbedaan budaya di berbagai daerah membentuk suatu pandangan yang berbeda
mengenai pornografi tersebut untuk itu hakim perlu menafsirkan aturan perundang-
undangan yang ada dengan kondisi sosial dan budaya adat setempat. Interprestasi
sosiologis terhadap Undang – undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan
artinya peraturan perUndang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial
yang baru. Ketentuan Undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi disesuaikan dengan
keadaan sekarang untuk memecahkan/menyelesaikan sengketa dalam kehidupan
masyarakat. Peraturan yang lama dibuat aktual. Penafsiran seperti ini yang harus dimiliki
lebih banyak pada hakim-hakim di Indonesia mengingat negara Indonesia yang pluralistik
dan kompleks. Peraturan per Undang-undangan dalam tatanan Hukum Nasional harus
diterjemahkan oleh para hakim sesuai kondisi sosial suatu daerah.
Philip Heck, berpendapat bahwa tanpa pengetahuan tentang kepentingan sosial,
moral, ekonomi kultural dan kepentingan lainnya, dalam peristiwa tertentu atau yang
berhubungan dengan peraturan tertentu, pelaksanaan atau penerapan hukum yang tepat
dan berarti tidak mungkin. Sistem penafsiran juga dapat dilakukan oleh hakim dalam
rangka penemuan hukum. Penafsiran sosiologis sangat cocok dengan permasalahan,
didalam sistem penafsiran sosiologis bunyi undang-undang tidak dirubah, hanya lebih
memfokuskan terhadap perubahan masyarakat dengan memperhatikan maksud dan tujuan
dari undang-undang tersebut.
Pada kasus pornografi di Minangkabau, hakim perlu melihat kondisi masyarakat
yang dekat dengan tradisi-tradisi islam seperti ungkapan “Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandikitabullah”, maka untuk memutus perkara tersebut hakim dapat menafsirkan
kata-kata pornografi seperti pandangan orang-orang minangkabau, apabila hal ini tidak
dilakuakan maka rasa keadilan masyarakat minangkabau tidak akan terpenuhi dan tujuan
hukum tidak akan tercapai.

Proses Penemuan Hukum Oleh Hakim Dengan Metode Interprestasi Sosiologis

• Metode Penafsiran Hukum


• Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal)
Suatu cara penafsiran Undang-undang menurut arti kata-kata (istilah) yang terdapat
pada Undang-undang. Hukum wajib menilai arti kata yang lazim dipakai dalam
bahasa seharihari yang umum., Misalnya Peraturan per Undang-undangan yang
melarang orang menghentikan “Kenderaannya” pada suatu tempat. Kata kenderaan
bisa ditafsirkan beragam, apakah roda dua, roda empat atau kenderaan bermesin,
bagaimana dengan sepeda dan lain-lain. Jadi harus diperjelas dengan kenderaan yang
mana yang dimaksudkan.
• Metode Interprestasi secara historis 
Merupakan suatu metode penafsirkan Undang-undang dengan cara melihat sejarah
terjadinya suatu Undang-undang. Penafsiran historis ini ada 2 yaitu yang pertama
penafsiran menurut sejarah hukum (Rechts historische interpretatie) adalah suatu cara
penafsiran dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala
sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya.Penafsiran menurut sejarah
penetapan suatu undang-undang (Wethistoirsche interpretatie) yaitu penafsiran
Undang-undang dengan menyelidiki perkembangan suatu undang-undang
sejak  dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi dilegislatif, maksud ditetapkannya
atau penjelasan dari pembentuk Undang-undang pada waktu pembentukannya.

• Metode interpretasi secara sistemati


Merupakan suatu metode penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan
apasal yang lain dalam suatu per Undang-undangan yang bersangkutan, atau dengan
Undang-undang lain, serta membaca penjelasan Undang-undang tersebut sehingga
kita memahami maksudnya, misalnya dalam pasal 1330 KUHPerdata menyatakan
“Tidak cakap membuat persetujuan/perjanjian antara lain orang-orang yang belum
dewasa”. Timbul pertanyaan : “Apakah yang dimaksud dengan orang-orang yang
belum dewasa”. Untuk hal tersebut harus dikaitkan pada pasal 330 KUHPerdata yang
mengatur batasan orang yang belum dewasa yaitu belum berumur 21 tahun.
• Metode Interpretasi secara Teleologis Sosiologis 
Merupakan suatu metode penafsiran yang mana makna Undang – undang ditetapkan
berdasarkan tujuan kemasyarakatan artinya peraturan perUndang-undangan
disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan Undang-undang
yang sudah tidak sesuai lagi disesuaikan dengan keadaan sekarang untuk
memecahkan/menyelesaikan sengketa dalam kehidupan masyarakat. Peraturan yang
lama dibuat aktual. Penafsiran seperti ini yang harus dimiliki lebih banyak pada
hakim-hakim di Indonesia mengingat negara Indonesia yang pluralistik dan kompleks.
Peraturan per Undang-undangan dalam tatanan Hukum Nasional harus diterjemahkan
oleh para hakim sesuai kondisi sosial suatu daerah.
• Metode Intepretasi secara Authentik (Resmi) 
Merupakan suatu metode penafsiran yang resmi yang diberikan oleh pembuat
Undang-undang tentang arti kata-kata yang digunakan dalam Undang-undang
tersebut. Contoh : Dalam Titel IX Buku I KUHP memberi penjelasan secara resmi
(authentik) tentang arti beberapa kata/sebutan didalam KUHP. Seperti dalam Pasal 97
KUHP yang dimaksud “sehari” adalah masa yang lamanya 24 jam, “sebulan” adalah
masa yang lamanya 30 hari, tetapi tafsiran dalam Titel IX Buku I KUHP ini tidak
semestinya berlaku juga untuk kata-kata yang dipergunakan oleh peraturan pidana
diluar KUHP artinya Hakim tidak hanya bertindak sebagai corong hukum saja
melainkan harus aktif mencari dan menemukan hukum itu sendiri dan
menmsosialisasikannya kepada masyarakat.
• Metode interpretasi secara ekstentif 
Merupakan metode penafsiran dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat
dalam Undang-undang sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan kedalamnya.
Contoh : Bahwa Jurisprudensi di Nederland “Menyambung” atau “menyadap” aliran
listrik dapat dikenakan pasal 362 KUHP artinya Jurisprudensi memperluas pengertian
unsur barang (benda), dalam pasal 362 KUHP.
• Metode Interpretasi Restriktif
Merupakan metode penafsiran yang membatasi/mempersempit maksud suatu pasal
dalam Undang-undang seperti : Putusan Hoge Road Belanda tentang kasus Per Kereta
Api “Linden baum” bahwa kerugian yang dimaksud pasal 1365 KUHPerdata juga
termasuk kerugian immateril yaitu pejalan kaki harus bersikap hati-hati sehingga
pejalan kaki juga harus menanggung tuntutan ganti rugi separuhnya (orang yang
dirugikan juga ada kesalahannya)
• Metode interpretasi Analogi
Merupakan suatu metode penafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi
kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan azas hukumnya sehingga
suatu peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk kedalamnya dianggap sesuai dengan
bunyi peraturan tersebut.
• Metode interpretasi argumentus a contrario
Merupakan metode penafsiran yang memberikan perlawanan pengertian antara
peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam Undang-
undang. Berdasarkan perlawanan ini ditarik suatu kesimpulan bahwa perkara yang
dihadapi tidak termasuk kedalam pasal tersebut melainkan diluar peraturan per
undang-undangan.

Scolten mengatakan bahwa tidak hakekatnya pada perbedaan antara menjalankan


Undang-undang secara analogi dan menerapkan Undang-undang secara argumentum
a contrario hanya hasil dari ke 2 menjalankan Undangundang tersebut berbeda-beda,
analogi membawa hasil yang positip sedangkan menjalankan Undang-undang secara
Argumentus a contrario membawa hasilyang negatif.
Contoh : Dalam pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang perempuan tidak
dibenarkan menikah lagi sebelum lewat suatu jangka waktu tertentu yaitu 300 hari
sejak perceraian dengan suaminya. Berdasar Argumentus a contrario (kebalikannya)
maka ketentuan tersebut tidak berlaku bagi lelaki/pria.
Menurut Azas hukum Perdata (Eropa) seorang perempuan harus menunggu sampai
waktu 300 hari lewat sedangkan menurut Hukum Islam dikenal masa iddah yaitu 100
hari atau 4 x masa suci karena dikhawatirkan dalam tenggang waktu tersebut masih
terdapat benih dari suami terdahulu. Apabila ia menikah sebelum lewat masa iddah
menimbulkan ketidak jelasan status anak yang dilahirkan dari suami berikutnya.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah penulis kemukakan diatas, ada beberapa yang dapat di tarik
sebagai kesimpulan akhir dari makalah ini, yaitu :
• Bahwa dalam proses penemuan hukum, hakim harus memperhatikan kondisi sosial
dan budaya masyarakat setempat.
• Interprestasi sosiologis dilakukan dalam rangka menafsirkan aturan hukum agar
sesuai dengan keadaan sosial dan budaya masyarakat sekitar.

B. Saran
• Hakim dalam membuat keputusan haruslah memperhatikan kepentingan umum
dengan melihat budaya dan adat istiadat masyarakat setempat
• Dalam menafsirkan ketentuan aturan perundang-undangan hendaknya hakim tidak
mengabaikan tujuan aturan tersebut di bentuk oleh pembentuk undang-undang
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

• BUKU
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori peradilan, Prenada Media Group, Jakarta,
2012, hlm 499.

Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2006

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001

Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1993

Syahrani, Riduan, Seluk – Beluk dan Asas – asas Hukum Perdata, alumni, Bandung,
2000.

Zainudin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006

• Website
Detiknews, “inilah isi RUU Pornografi dan Pornoaksi”, 16 September 2008, Dalam
Wikipedia.com, di akses 3 November 2012.
www.jarwo.wordpress.com/Algemene Bepalingen Van Wetgeving, pasal 21.
www.logikahukum.com, diakses 5 November 2012
www.hukumonline.com, diakses 5 November 2012

Anda mungkin juga menyukai