Anda di halaman 1dari 17

Hukum Adat Delik dan Peradilan Adat

Prodi Hukum Tata Negara,Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel surabaya Jl.Ahmad Yani No.117,Jemur Wonosari, Kec.Wonocolo,Surabaya, Jawa
Timur 60237

Achmad Rizal Romdoni1, Devi Yuni Artika2, Fikri Aldi Syafa’at3

05040422053@student.uinsby.ac.id, 05040422072@student.uinsby.ac.id,
05040422078@student.uinsby.ac.id

Abstract
Customary law of delict involves norms governing actions that breach customary practices.
Delict adat possesses distinct characteristics within customary law, encompassing various
types of adat violations. Resolution of adat disputes through traditional mechanisms is crucial.
Customary justice systems play a central role in handling cases of delict adat. A comparison
with the Penal Code system highlights differences in approaches and values in addressing
violations, reflecting the cultural and legal diversity in Indonesia

Keywords: customary law offenses, nature of customary law, various customary law
offenses,

Abstrak
Hukum adat delik melibatkan norma-norma yang mengatur tindakan melanggar adat. Delik
adat memiliki sifat-sifat khusus dalam hukum adat, dengan variasi jenis yang mencakup
pelanggaran adat tertentu. Penyelesaian perselisihan adat melalui mekanisme tradisional
menjadi aspek penting. Sistem peradilan adat memegang peran sentral dalam menangani kasus
delik adat. Perbandingan dengan sistem KUH Pidana menyoroti perbedaan pendekatan dan
nilai dalam penanganan pelanggaran, mencerminkan keragaman budaya dan hukum di
Indonesia.

Kata kunci : hukum adat delik, sifat hukum adat, macam delik adat
Pendahuluan

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sosial, suatu masyarakat khususnya masyarakat Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari hukum, sebagaimana adagium yang sering kita dengar yakni Ibi Ius Ibi Societas
(dimana ada masyarakat disitu terdapat hukum) oleh karenanya Indonesia menjadi suatu negara
yang berdasarkan hukum (rechts staat). Dalam sistem hukum Indonesia, dikenal tiga sistem
hukum yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya, yakni hukum
adat, hukum Islam, dan hukum barat.

Dalam hukum adat tersebut ada hukum yang mengatur masalah harta benda dan
kekeluargaan dan terdapat juga hukum dellik adat yang dapat juga disebut sebgai Hukum
pidana adat, atau hukum pelanggaran adat.Hukum delik adat adalah aturanaturan hukum adat
yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan
masyarakat, sehingga perlu diselesaikan agar keseimbangan masayarakat tidak terganggu.
Adat bangsa Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika” ini tidak mati, melainkan selalu
berkembang, senantiasa bergerak serta berdasarkan keharusan selalu dalam keadaan evolusi
mengikuti proses dan perkembangan peradaban bangsanya.

Ketika dilihat dari kearifan masyarakat adat Indonesia yang bercorak religios magis,
secara konkrit terkristalisasi dalam produk hukum masyarakat lokal, yang dalam ancangan
antropologi hukum disebut hukum kebiasaan (customary), hukum rakyat (folk law), hukum
penduduk asli (indigenous law), hukum tidak tertulis (unwritten law), atau hukum tidak resmi
(unofficial law), atau dalam konteks Indonesia disebut hukum adat (adat law/adatrecht). Ada
semacam kesepakatan hukum yang disepakati oleh masyarakat adat tertentu secara kontinyu,
dari generasi ke generasi, tentang suatu yang dilarang atau suatu yang diperbolehkan. Suatu
yang dilarang inilah apabila dilanggar akan mendapat sanksi untuk mewujudkan keadilan, baik
keadilan bagi si pelanggar, keadilan bagi seseorang yang dilanggar, termasuk mewujudkan
keadilan masyarakat adat seutuhnya. Rasa ingin mewujudkan keadilan ini yang oleh para pakar
hukum pidana adat dikatakan sebagai pemulihan keseimbangan yang telah terganggu, sehingga
kemudian adat dapat menjadi sumber hukum pidana nasional.

Sumber hukum sebenarnya adalah kesadaran masyarakat tentang apa yang dirasakan
adil dalam mengatur hidup kemasyarakatan yang tertib dan damai. Jadi, sumber hukum
tersebut harus mengalirkan aturan-aturan (norma-norma) hidup yang adil dan sesuai dengan
perasaan dan kesadaran hukum (nilai-nilai) masyarakat, yang dapat menciptakan suasana
damai dan teratur karena selalu memperhatikan kepentingan masyarakat. Oleh karenanya,
pembaharuan hukum pidana di sini haruslah dilakukan secara menyeluruh dan sistematis
dengan memperhatikan nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat. Jadi, ukuran untuk
mengkriminalisasi suatu perbuatan bergantung pada nilai-nilai dan pandangan kolektif yang
terdapat di masyarakat mengenai apa yang benar, baik, bermanfaat atau sebaliknya. “Das
rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke” yang berati hukum itu tidak dibuat,
tetapi berada dan berkembang dengan jiwa bangsa seperti pendapatnya Von Savigny.

Dengan demikian yang diuraikan dalam hukum adat delik adalah tentang peristiwa dan
perbuatan yang merupakan delik adat dan bagaimana cara menyelesaikan sehingga
keseimbangan masyarakat tidak lagi merasa terganggu.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Adat Delik?
2. Apa sifat Hukum Adat Delik dan ada berapa macam Delik Adat?
3. Bagaimana cara menyelesaikan perselisihan Adat?
4. Apa yang dimaksud dengan Peradilan Adat
5. Bagaimana perbandingan dengan sistem KUH Pidana?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui definisi Hukum Adat Delik
2. Untuk mengetahui sifat dan macam-macam Delik Adat
3. Untuk mengetahui cara penyelesaian Adat
4. Untuk mengetahui definisi dari Peradilan Adat
5. Untuk mengetahui Perbandingan Hukum Delik Adat dengan sistem KUH Pidana
Pembahasan

1. Pengertian Delik Adat

Konsep pidana merupakan teori yang selalu berkembang sesuai tempat dan waktu.
Sehingga setiap komunitas atau masyarakat adat mempunyai persepsi sendiri mengenai delik
atau hukum pidana. Beberapa ahli berpendapat mengenai hukum adat antara lain:

a) Ter Haar berpendapat bahwa yang dimaksud delik atau pelanggaran adalah adanya
perbuatan sepihak yang oleh pihak lain dengan tegas atau secara diam-diam dinyatakan
sebagai perbuatan yang mengganggu keseimbangan.1
Dari pernyataan Ter Haar tersebut, Hilman Hadi Kusuma berpendapat bahwa
hukum pidana adat adalah hukum yang menunjukkan peristiwa dan perbuatan yang
harus diselesaikan (dihukum) karena peristiwa dan perbuatan itu telah mengganggu
keseimbangan masyarakat.2
b) Soepomo, menjabarkan lebih rinci bahwa antara perbuatan yang dapat dipidana dan
perbuatan yang hanya mempunyai akibat di wilayah perdata tidak ada perbedaan
struktur.3 Artinya, antara hukum pidana dan hukum perdata yang perbedaan
strukturnya dibedakan wilayahnya dalam hukum positif, dalam hukum pidana adat
tidak membedakan struktur itu. Apakah itu masuk dalam wilayah pidana atau
perdata, selama mengganggu keseimbangan masyarakat, maka ia dikategorikan
sebagai delik atau tindak pidana.
c) Sementera Van Vollenhoven, berpendapat bahwa hukum pidana adat adalah
perbuatan yang tidak boleh dilakukan, meskipun dalam kenyataannya peristiwa atau
perbuatan itu hanya merupakan perbuatan sumbang yang kecil saja.4
d) I Made Madyana, mengatakan bahwa hukum pidana adat adalah hukum yang hidup
(living law), diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus-menerus, dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut
dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap
mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat. Karenanya, bagi si pelanggar
diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh masyarakat dengan
musyawarah bersama pemimpin atau pengurus adat.5

1
Ter Har Bzn Beginselen en stelsel van het adatrecht, JB. Wolters Groningen, Djakarta,1950, hal. 219
2
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Penerbit Alumni, Bandung, 1989, hal. 8
3
Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, penerbitan Universitas, 1967, hal. 98
4
Topo Santoso, Pluralisme Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT Ersesco, 1990. hal 228.
5
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT Eresco, Bandung, 1993, hal. 3
e) Hilman Hadi kusuma, menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum yang hidup
(living law) dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat
dihapus dengan perundang-undangan. Andaikata diadakan juga undang-undang
yang menghapuskannya, akan percuma juga. Malahan, hukum pidana perundang-
undangan akan kehilangan sumber kekayaannya oleh karena hukum pidana adat itu
lebih erat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi dari pada perundang-
undangan.6

Dasar dari apa yang telah diterangkan konteks di atas dapat disebutkan bahwa hukum
pidana adat adalah perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup
dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan ketentraman dan keseimbangan
masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan
tersebut terjadi reaksi-reaksi adat sebagai bentuk wujud mengembalikan ketentraman magis
yang terganggu dengan maksud sebagai bentuk meniadakan atau menetralisir suatu keadaan
sial akibat suatu pelanggaran adat.

2. Sifat Hukum Delik Adat

Keberadaan hukum adat di Indonesia berjalan seiring dengan masih hidupnya masyarakat
adat ataupun masyarakat yang masih mematuhi hukum adat tersebut di dalam kehidupan
bermasyarakatnya. Eksistensi hukum adat sendiri di Indonesia masih tetap dihargai serta diakui
oleh negara melalui berbagai ketentuan yang ada. Contoh yang dapat dilihat dari UUD NRI
1945 dalam Pasal 18 B ayat (2). Contoh lainnya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia pada Pasal 6 ayat (1). Hukum adat sendiri tidak
dapat dilepaspisahkan dengan hukum pidana adat. Dimana keberadaan hukum pidana adat ada
sebagai alat dalam masyarakat untuk menangani perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai
perbuatan-perbuatan yang melanggar maupun yang diamggap sebagai sebuah kejahatan dalam
masyarakat tersebut

Hilman Hadikusumah mengatakan bahwa hukum pidana adat mempunyai beberapa sifat, yaitu:

1. Menyeluruh dan menyatukan ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana adat bersifat


menyeluruh dan menyatukan karena latar belakang yang menjiwai bersifat kosmis, dimana
yang satu dianggap bertautan atau dipertautkan dengan yang lain maka yang satu tidak dapat
dipisahkan dengan yang lain.7

6
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, CV Rajawali, Jakarta, 1961, hal. 307
7
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat (Bandung: Alumni, 1984), hal 22.
2. Ketentuan yang terbuka manusia tidak akan mampu meramalkan masa datang, maka ketentuan
hukum adat tidak bersifat pasti. Sifat dan ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa
atau perbuatan yang mungkin terjadi. Yang penting dijadikan ukuran menurut hukum adat
adalah rasa keadilan menurut kesadaran hukum masyarakat sesuai dengan perkembangan
keadaan, waktu dan tempat. Memang hukum ketentuan adat itu didasarkan pada tradisi yang
menurut hukum adat berlaku, tetapi dalam cara penyelesaiannya akan selalu terbuka dan selalu
dapat menerima segala sesuatu yang baru, oleh karenanya akan selalu tumbuh ketentuan-
ketentuan yang baru.
3. Membeda-bedakan permasalahan apabila terjadi pelanggaran maka yang dilihat bukan semata-
mata perbuatan dan akibatnya, tetapi juga dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa
pelakunya. Dengna alam pikiran demikian itu, maka dalam cara mencari penyelesaian dan
melakukan tindakan hukum terhadap sesuatu peristiwa menjadi berbeda-beda.
4. Peradilan dengan permintaan untuk melakukan peradilan dalam memeriksa dan menyelesaikan
perkara pelanggaran sebagian besar didasarkan pada adanya permintaan atau pengaduan,
adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil. Oleh
karena pemerintahan adat tidak mengkhususkan adanya jabatan kepolisian, kejaksaan dan
kehakiman. Walaupun di lingkungan masyarakat adat ada tugas penjaga keamanan, fungsi dan
perantaraannya tidak sama dengan jabatan penegak hukum dalam sistem kehakiman yang
terpisah pisah.
5. Tindakan reaksi dan koreksi alam hal petugas hukum adat melakukan tindakan reaksi dan
koreksi dalam menyelesaikan akibat peristiwa yang telah mengganggu keseimbangan
masyarakat dengan maksud mengembalikan keseimbangan sebagaimana semula, tidak saja
dapat bertindak terhadap pelakunya, tetapi juga dapat dikenakan pertanggungjawaban terhadap
keluarga atau kerabat pelaku atau juga mungkin diperlukan membebankan kewajiban kepada
masyarakat bersangkutan atau seluruhnya untuk mengembalikan keseimbangan dengan jalan
mengadakan upacara selamatan desa dan lain-lain.

3. Macam-Macam Delik Adat.

Setelah mengetahui pengertian dan sifat delik adat, ada beberapa macam jenis delik di lapangan
hukum adat, di antaranya:

1) Pengkhianatan.
Golongan delik yang paling berat ialah segala pelanggaran yang mengganggu
keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta segala pelanggaran yang
memperkosa dasar susunan masyarakat.
Misalnya: pengkhiantan memperkosa keselamatan masyakat seluruhnya,
menentang dasar hidup bersama, sehingga perbuatan itu merupakan delik yang paling
berat

2) Pembakaran kampung.
Pembakaran yang memusnahkan seluruh kampung juga menentang keselamatan
selurh masyarakat. Orang yang berkhianat atau membakar dianggap mengeluarkan diri
dari persekutuan. Maka ia dapat dibunuh atau dibuang seumur hidup dari persekutuan.

3) Delik terhadap diri pribadi kepala adat.


Delik ini mengenai masyarakat seluruhnya, karena kepala adat adalah penjelmaan,
manifestasi, personifikasi masyarakat.
a) Di Minangkabau, orang yang melawan perintah kepala adat, maka melakukan
delik yang disebut dago.
b) Di tanah Batak delik demikian disebut “tidak memenuhi perintah kepala”.
c) Di seluruh Indonesia, segala perbuatan yang tidak sopan terhadap kepala adat
itu melanggar hukum. Reaksi adat terhadap delik-delik itu tergantung kepada
berat-ringannya pelanggaran yang dilakukan. Dalam hal ini, melangar
kesopanan terhadap kepala adat umumnya pelanggar harus meminta maaf,
dengan melakukan upacara yang ditentukan oleh adat (mengadakan perjamuan
adat, dan sebagainnya).

4) Sihir, tenung.
Delik ini tidak terdapat dalam KUHP. Sebaliknya di dalam sistem Hukum Adat,
termasuk golongan perbuatan yang menentang keselamatan masyarakat seluruhnya.
Orang yang terkenal sebagai ahli sihir yang biasa menggunakan kekuatan gaib (magie
hitam) untuk mengganggu kehidupan orang lain, maka dapat dibunuh.

5) Pengganggu kekuatan batin masyarakat.


Segala perbuatan atau kejadian yang mengganggu kekuatan batin masyarakat, yang
mencemarkan suasana batin, yang menentang kesucian masyarakat, merupakan delik
terhadap masyarakat seluruhnya.
Misalnya:
a) Melahirkan anak di sawah/ladang.
b) Orang yang mencemarkan tempat suci seperti surau, tempat ibadah, mata
air, dan sebagainya.

Sebagai upaya pertahanan (reaksi atau koreksi) dari para petugas hukum terhadap
kejadian-kejadian demikian itu diadakan upacara pembersihan masyarakat, supaya
kesucian dalam suasana batin masyarakat tersebut dapat dipulihkan kembali.

6) Incest (sumbang).
Delik yang merusak dasar susunan masyarakat, sehingga merupakan delik yang
berat ialah incest, yaitu hubungan kelamin antara orang-orang yang menurut Hukum
Adat dilarang kawin. Larangan itu mungkin berdasarkan terlalu rapatnya pertalian
kerabat ataupun beralaskan keharusan exogami (kawin di luar clan atau bagian clan),
seperti terdapat pada suku-suku bangsa yang tersusun menurut dasar keturunan garis
laki-laki/patrilineal. Adapun Incest itu diantaranya:
1) Mencemarkan masyarakat.
2) Menyebaban kekacauan dalam hubungan masyarakat dengan dunia gaib.
3) Menyebakan timbulnya wabah.
4) Menyebabkan gagalnya panen padi.

Pendek kata: incest menimbulkan marabahaya sehingga tidak memungkinkan


marabahaya sehingga tidak memungkinkan kehidupan masyarakat yang sehat.

Hal yang disamakan dengan incest ialah hubungan kalamin antara seorang wanita
dari golongan bangsawan dengan laki-laki dari golongan rakyat biasa (masyarakat
bugis dan makasar), sebab pada kedua masyarakat tersebut susunan kelas yang
bertingkat itu merupakan salah satu dasar organisasi sosialnya. Dengan demikian
hubungan kelamin antara wanita bangsawan dengan laki-laki rakyat biasa bisa
melanggar dasar organisasi sosial bugis/makasar dan menyebabkan timbulnya
malapetaka di dalam masyarakat mereka.8

Adapun di Bali yang masyarakatnya berkasta karena pengaruh agama Hindu,


hubungan kelamin antara wanita Brahmana dengan pria dari kasta yang lebih rendah
merupakan delik yang berat, sebab membahayakan masyarakat.

8
Iman sudiyat, Hukum Adat, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1981), hal 190.
Kemudian upaya pertahan masyarakat terhadap delik incest, terhadap pembauran
tingkatan-tingkatan susunan masyarakat atau pembauran kasta itu bermanifestasi
kedalam beberapa bentuk:

a) Orang yang bersumbang dapat dibunuh dengan mencekiknya, memukul atau


membenamkan dalam air (toraja). Dan demikian pula reaksi adat di wilayah
suku Dayak, Bali, di masyarakat Bugis dan Makasar.
b) Orang yang bersumbang di asingkan dari nigari (Minangkabau: dibuang bida).
Reaksi serupa terdapat di tanah Batak.
c) Orang yang bersumbang dengan anak kandungnya selalu di pidana mati yaitu
dibunuh oleh rakyat dengan diam-diam.

Selain dari pada pidana mati atau pembuangan, diperlukan pula upacara
pembersihan masyarakat. seperti yang dilakukan oleh adat batak yakni si pelaku delik
beserta kerabatnya harus menghidangkan makanan dan minuman menurut upacara
kepada Kepala Adat yaitu mereka harus menyembelih kerbau atau lembu untuk
membersihkan masyarakat.

7) Hamil Tanpa Nikah


Delik yang menentang kepentingan hukum masyarakat atau suatu golongan
kerabat tentang masalah hamil di luar nikah. Di masyarakat Bugis dan Makasar, wanita
yang hamil di luar nikah perkawinan biasannya melarikan diri supaya tidak dibunuh
oleh kerabatnya. Biasanya ia lari ke tempat kediaman Kepala Kampung atau ke rumah
Imam (pemuka agama). Petugas hukum tersebut berusaha menikahkan si hamil, supaya
anak yang lahir kelak mempunyai bapak (menjadi terang).

8) Melarikan Gadis.
Membawa lari seorang wanita merupakan delik yang sangat berat. Adapun
contohnya di kalangan orang Dayak, perbuatan melarikan gadis itu mencemarkan
kesucian masyarakat dan melanggar kehormatan kerabat si gadis. Oleh karna itu, di
adakan upaya-upaya untuk memulihkan keseimbangan hukum, yaitu:
a) Pembayaran denda kepada kerabat yang terkena.
b) Penyerahan seekor binatang korban (babi) kepada Kepala Persekutuan untuk
membuat perjamuan adat agar masyarakat menjadi suci kembali.
Di wilayah-wilayah lain, perbuatan melarikan gadis tidak lagi dianggap sebagai
perbuatan yang langsung mencemarkan masyarakat seluruhnya. Melainkan hanya
melanggar kehormatan kerabat si wanita. Keseimbangan hukum telah dianggap pulih
kembali dengan pembayaran denda dan uang antaran oleh pihak pria yang bersalah
kepada pihak wanita.

9) Zina.
Zina merupakan delik yang terutama melanggar kehormatan golongan kerabat dan
melanggar kepentingan hukum seseorang selaku suami. Oleh perbuatan itu, kesucian
masyarakat menjadi terganggu. Sehingga dilakukan reaksi adat dalam beberapa bentuk:
a. Di tanah Batak, harus diselenggarakan upacara pembersihan masyarakat yang
disebut “pangurasion”. Perbuatan zina itu telah menimbulkan upaya pertahanan
(reaksi adat) dari pihak kerabat atau suami yang terhina.
Mengambil istri, tunangan atau janda orang lain yang masih turut golongan
kerabat suaminya (almarhum) di tanah Batak disebut “melangkup”. Pada masa
terdahulu, reaksi adat dari pihak kerabat yang terhina yakni dengan membunuh
pria yang bersalah. Jika tidak di bunuh, maka orang yang bersalah atas
permintaan ketabat yang terhina dapat yang terhina dapat di denda dengan
membayar beberapa ekor kerbau.
10) Pembunuhan.
Pembunhan merupakan perbuatan yang menghilangkan nyawa orang. Hukum
kriminal Barat yang berdasarkan liberalisme mengemukakan perlindungan nyawa
manusia selaku individu sebagai salah satu pokok dasarnya. Hukum tersebut
menganggap pembunuhan individu sebagai delik yang seberat-beratnya sehingga delik
itu diancam dengan pidana yang seberat-beratnya. Dan sebaliknya, sistem Hukum Adat
tidak bersandar atas individualisme dan arti tiap-tiap orang bergantung kepada
kedudukannya di dalam masyarakat.
a) Anak kembar “dampit”.
Di beberapa wilayah, anak kembar yang terdiri atas anak laki-laki dan anak
perempuan (jawa “dampit”) dianggap membayakan keselamatan batin
masyarakat. Sehingga membunuh anak-anak tersebut bukanlah merupakan
delik, bahkan dianggap sebagai upaya untuk meneguhkan keseimbangan
hukum.
b) Budak belia.
Budak belia adalah makhluk yang amat kecil artinya bagi masyarakat
(Dayak, Makasar) sehingga orang tidak merasa keberatan mengorbankan
seorang budak belian di dalam upacara kematian.

c) Uang darah.
Dahulu di kalangan orang Dayak terdapat kepercayaan bahwa untuk
menyentausakan keselamatan masyarakat atau memberantas bahaya gaib yang
mengganggu kesejahteraan masyarakat, sangat dibutuhkan suatu barang yang
mempunyai kekuatan gaib istimewa. Barang yang demikian itu ialah kepala
manusia. Alam pikiran itulah yang pada asasnya menjadi latar belakang dan titik
tumpuan perbuatan penggal memenggal kepala (pengayuan) antar golongan
kerabat atau suku.

Lambat laun kepercayaan itu berkembang ke arah kemajuan. Kesentausaan


masyarakat Dayak yang goyah karena salah seorang warganya jatyh sebagai
korban pengayuan, dianggap dapat dipulihkan kembali dengan pembayaran
“uang darah” yang berupa barang-barang yang mempunyai kekuatan gaib
istimewa. Seperti: guvi, gong, pedang, dan batu mustika. Kepercayaan serupa
tersebut serupa yang terakhir ini berlaku pula di kalangan suku bangsa di
Sumatra, Sulawesi, dan Maluku.

11) Perbuatan Melukai.


Delik yang bersasaran badan seseorang ialah perbuatan melukai. Perbuatan ini tidak
langsung melukai kepentingan hukum masyarakat seluruhnya, melainkan hanya orang
yang dilukai serta golongan kerabatnya. Atas permintaan pihak yang menderita,
pemulihan keseimbangan hukum dilakukan dengan pembayaran denda kepada orang
yang dilukai atau kerabatnya.

Di Aceh denda itu disebut “utang darah”. Di minangkabau terdapat ungkapan yang
berarti: “melukai orang yang membawa denda”. Besar kecilnya uang bangun
bergantung kepada tempat dan keadaan luka-luka yang diderita, bergantung pula
kepada kedudukan si korba di dalam masyarakat.
12) Pencurian.
Delik-delik yang mengenai harta benda, misalnya pencurian tidak langsung melukai
kepentingan hukum masyarakat seluruhnya, melainkan hanya kepentingan orang
seorang atau golongan yang mempunyai barang yang bersangkutan. Berat ringannya
pencurian bergantung kepada sifat barang yang dicuri (barang pusaka atau barang
duniawi biasa).

Menurut Hukum Adat tradisional, pada umumnya pencuri di hukum membayar


kembali barang yang dicuri serta membayar denda kepada orang yang kecurian.
Seorang perampok yang telah berkali-kali melakukan kejahatan dapat diasingkan dari
masyarakat hukum bahkan dapat dibunuh.

4. Cara Penyelesaian Delik Adat.


a) Penyelesaian Antara Pribadi, Keluarga, Tetangga.
Jika terjadi suatu peristiwa atau perbuatan delik adat dikampung, didusun, ditempat
pemukiman, ditempat pekerjaan dan lainnya maka untuk memulihkan gangguan
keseimbangan keluarga atau masyarakat bersangkutan atau diselesaikan langsung
ditempat kejadian antara pribadi yang bersangkutan atau diselesaikan dirumah keluarga
salah satu pihak antara keluarga yang bersangkutan dan teman-teman pekerjaan oleh
pihak yang bersangkutan dan teman-teman sekerja atau antar tetangga dalam kesatuan
rukun tetangga dan sebagainya.

b) Penyelesaian Kepala Kerabat Kepala Adat.


Adakalanya pertemuan yang diselenggarakan pribadi, keluarga atau tetangga
tersebut tidak mencapai kesepakatan atau karena salah satu dan lain hal tidak
berkelanjutan sehingga perkaranya perlu dilanjutkan kepada kepala kerabat atau kepala
adat. Di daerah Lampung misalnya yang harus ditangani kepala kerabat dan kepala adat
adalah perselisihan kawin lari diantara sesame orang Lampung.

c) Penyelesaian Kepala Desa.


Apabila penyelesaian delik adat dilakukan oleh Kepala Kerabat atau oleh Kepala
Adat menyangkut perselisihan khusus dikalangan masyarakat adat kekerabatan yang
tidak termasuk kewenangan kepala desa atau juga yang masih berlaku dikalangan
masyarakat yang susunannya dengan kelompok-kelompok suku. Maka penyelesaian
delik adat dari masyarakat yang bersifat ketetanggaan atau penduduknya campuran
dilaksanakan oleh kepala desa.

d) Penyelesaian Keorganisasian.
Sistem penyelesaian perselisihan secara damai ini bukan saja berlaku dalam
kumpulan atau organisasi kemasyarakat tetapi juga dilaksanakan oleh pihak penguasa
setempat terhadap rakyat. Misalnya penyelesaian yang dilakukan oleh Kepala Daerah
tentang keluhan rakyat yang merasa diperlakukan tidak adil mengenai ganti kerugian
tanah pekarangannya yang tergusur karena pelebaran jalan raya dan sebagainya.

5. Peradilan Adat

Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua pasal
51ayat (1) peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat,
yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara
pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Peradilan adat merujuk pada sistem hukum tradisional yang diterapkan oleh suatu
masyarakat atau kelompok etnis tertentu. Sistem ini biasanya didasarkan pada norma-norma
adat, tradisi, dan nilai-nilai lokal yang berkembang dalam komunitas tersebut. Peradilan adat
berfungsi sebagai mekanisme untuk menyelesaikan konflik, menegakkan norma-norma sosial,
dan menjaga keseimbangan dalam masyarakat. Berbeda dengan peradilan formal yang dikelola
oleh negara dan memiliki aturan hukum tertulis, peradilan adat seringkali bersifat informal dan
tidak memiliki kode hukum tertulis secara rinci. Keputusan dalam peradilan adat sering diambil
oleh tokoh-tokoh atau lembaga-lembaga adat yang dihormati dalam masyarakat.

Sistem peradilan adat dapat beragam di berbagai wilayah dan budaya. Meskipun
demikian, beberapa ciri umum dari peradilan adat melibatkan proses musyawarah, mediasi,
dan penyelesaian konflik dengan mempertimbangkan nilai-nilai dan norma-norma adat yang
berlaku.

6. Perbandingan dengan KUH Pidana

Hukum adat adalah hukum yang fungsional-religius dan mampu untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat karena hukum adat bersifat pragmatism-realisem, sehingga hukum adat
memiliki fungsi sosial atau keadilan sosial. Oleh karena itu, hukum adat berbeda dengan hukum
pidana yang bersumber dari Romawi atau sistem hukum Eropa Kontinental lainnya (sistem
hukum dari negara barat). Diantaranya:

1. Hukum pidana barat (KUHP) menggunakan sistem pelanggaran yang tertutup,


sedangkan hukum pidana adat menerapkan sistem pelanggaran yang terbuka.
2. Hukum pidana barat (KUHP) melihat pelanggaran berdasarkan perbuatan yang
disengaja atau perbuatan yang tidak disengaja berupa kesalahan/kelalaian,
sedangkan hukum pidana adat hanya mengenal delik yang berkaitan dan dapat
mengganggu keseimbangan dalam masyarakat adat tersebut (perbuatan yang
bertentangan dengan kepentingan masyarakat adat tersebut atau bertentangan
dengan kepribadian seseorang.
3. Hukum pidana barat (KUHP) dalam pertanggungjawaban kesalahan didasari
dengan kondisi fisik maupun psikis pelaku (untuk mengetahui apakah orang yang
melakukan tindak pidana tersebut adalah orang yang dapat bertanggungjawab atas
pelanggaran yang dibuat atau tidak), sedangkan hukum pidana adat lebih
menitikberatkan pada akibat dari pelanggaran tersebut.
4. Hukum pidana barat (KUHP) melarang perbuatan main hakim sendiri, sedangkan
dalam hukum pidana adat dibolehkan untuk main hakim sendiri oleh pihak yang
merasa dirugikan cukup dengan memberikan hukuman untuk mengganti kerugian
yang diderita.
5. Hukum pidana barat (KUHP) mengklasifikasikan pelaku yang berbuat tindak
pidana (penyertaan) dan pemberian hukuman disesuaikan dengan kadar keikut
sertaan dalam tindak pidana yang dilakukan. Sedangkan hukum pidana adat tidak
seperti hukum pidana barat karena dalam kacamata hukum pidana adat melihat
setiap pelaku tindak pidana sama rata karena sama-sama telah melakukan sebuah
pelanggaran, sehingga hukuman yang diberikan sama rata.
6. Hukum pidana barat (KUHP) melihat seorang yang kembali membuat tindak pidana
(residivis) hanya dapat dilakukan penghukuman atas perbuatan yang terakhir,
sedangkan hukum pidana adat sebuah perbuatan tindak pidana yang berulang maka
akan diakumulasikan penghukumannya.
7. Hukum pidana barat (KUHP) dalam menentukan suatu beratnya hukuman telah
dicantumkan dalam peraturan bakunya yang disesuaikan dengan jenis kejahatan apa
yang diperbuat. Sedangkan hukum pidana adat dalam menimbang beratringannya
suatu hukuman didasarkan pada asas kekeluargaan, kedamaian, kerukunan, dan rasa
keadilan, sehingga hakim (kepala adat) bebas untuk memutuskan hukuman dengan
memperhatikan suasana dan kesadaran anggota masyarakatnya.
8. Dalam hukum pidana adat terdapat hak mendapat perlindungan dari ancaman
hukuman dari pihak yang dirugikan yang dimintakan kepada hakim (kepala adat).9

9
Beni Ahmad Saebani and Syahrul Anwar, ‘Perbandingan Sistem Hukum Pidana’, 8.4 (2016), 281.
Kesimpulan

Hukum adat delik dan peradilan adat memainkan peran penting dalam menjaga
ketertiban masyarakat dan penyelesaian konflik secara lokal. Delik adat merujuk pada
pelanggaran norma-norma adat yang diakui dalam suatu komunitas. Sifat hukum adat delik
cenderung bersifat restitutif, dengan penekanan pada pemulihan keseimbangan sosial dari pada
hukuman punitif. Beberapa contoh delik adat mencakup pelanggaran terhadap adat istiadat,
kepemilikan tanah, atau hubungan sosial.

Penyelesaian perselisihan adat dilakukan melalui mekanisme tradisional yang


melibatkan tokoh-tokoh adat atau lembaga peradilan adat. Peradilan adat merupakan sistem
hukum lokal yang memiliki yurisdiksi terbatas pada komunitas tertentu. Dalam perbandingan
dengan sistem KUH Pidana, peradilan adat menekankan rekonsiliasi dan restorasi dari pada
hukuman penjara.

Penting untuk memahami dan menghormati hukum adat delik dan peradilan adat
sebagai bentuk warisan budaya yang berperan dalam memelihara harmoni sosial dan
keberlanjutan masyarakat lokal.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, B. A. (2016). Perbandingan Sistem Hukum Pidana.


Hadikusuma, H. (1961). Hukum Pidana Adat. Jakarta: CV Rajawali.
Hadikusuma, H. (1989). Hukum Pidana Adat. Bandung: Penerbit Alumni.
Soepomo. (1967). Bab-Bab tentang Hukum Adat. Penerbitan Universitas.
Sudiyat, I. (1981). Hukum Adat. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Topo, S. (1990). Pluralisme Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT Ersesco.
Widnyana, I. m. (1993). Hukum Pidana Adat. Bandung: PT Eresco.

Anda mungkin juga menyukai