Anda di halaman 1dari 10

MENJELASKAN HUKUM PIDANA ADAT

Dipresentasikan Pada Mata Kuliah Budaya Alam Minangkabau

Semester V.S.1.PGMI

DISUSUN OLEH :

Kelompok I

1. YURIKE RAHAYU NINGSIH


2. FAUZIATUL AZMI

DOSEN PEMBIMBING:

NOFRIZAL, S.PdI., MA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) MA

1443 H/2021 M
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis


dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang
mengandung unsur agama. Dari kesimpulan tersebut dapat pula dikatakan
bahwa Hukum Pidana Adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak
tertulis dalam bentuk perundang- undangan yang mengandung unsur
agama, diikuti dan ditaati oleh masyarakat secara terus-menerus, dari satu
generasi ke generasi selanjutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata
tertibnya dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.
Oleh sebab itu, bagi si pelanggar diberikan sanksi adat, koreksi adat atau
sanksi/kewajiban adat oleh masyarakat melalui pengurus adatnya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Pidana Adat


Hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis
dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang
mengandung unsur agama.
Pengertian Hukum Pidana Adat seperti di atas mengandung
empat hal pokok, yaitu pertama, hukum Indonesia asli yang merupakan
rangkaian peraturan- peraturan tata tertib yang tidak tertulis dalam bentuk
perundang-undangan yang mengandung unsur –unsur agama. Kedua,
peraturan tersebut dibuat, dikuti, dan ditaati oleh masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Ketiga, pelanggaran terhadap peraturan tersebut
dipandang sebagai perbuatan yang menimbulkan kegoncangan dan
mengganggu keseimbangan kosmis, perbuatan melanggar peraturan ini
dapat disebut sebagai tindak pidana adat. Keempat, pelaku yang
menimbulkan pelanggaran tersebut dikenai sanksi/kewajiban adat oleh
masyarakat yang bersangkutan.1

perbuatan yang harus diselesaikan (dihukum) dikarenakan


peristiwa dan perbuatan itu telah menganggu keseimbangan masyarakat.
Berbeda dengan hukum pidana barat yang menekankan peristiwa apa
yang dapat diancam dengan hukuman serta macam hukuman dikarenakan
peristiwa yang terjadi bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan2.

1
. Kesimpulan Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional pada tanggal 17
Januari 1975. hlm 15
2
. Hilman Hadikusuma, , Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni1984), hlm 18.

2
3

Hukum Pidana Adat adalah hukum yang hidup (living law) dan
akan terus hidup selama ada manusia budaya. Ia tidak akan dapat dihapus
dengan perundang-undangan. Jika diadakan juga undang-undang yang
memfokuskannya, akan percuma juga karena hukum pidana perundang-
undangan akan kehilangan sumber kekayaannya, karena Hukum Pidana
Adat itu lebih dekat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi
daripada hukum perundang-undangan3.
ada beberapa konsep yang perlu diberi batasan, sebagai berikut:
1. Hukum pidana adat menurut Hilman Hadikusuma4 adalah
aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau
perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan
masyarakat, sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar
keseimbangan masyarakat tidak terganggu.
2. Jenis-jenis pidana adat yang dimaksud adalah adat ngancam
berdasarkan hukum pidana adat Suku Dayak Desa di Dusun
Tapang Sambas, Desa Tapang Semadak, Kecamatan Sekadau
Hilir, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat.

3. Sanksi pidana adat adalah reaksi dan koreksi yang diberikan


dalam Suku Dayak Desa di Dusun Tapang Sambas, Desa
Tapang Semadak, Kecamatan Sekadau Hilir, Kabupaten
Sekadau, Kalimantan Barat.
4. Tindak pidana menurut Moeljatno5 yang cenderung
menggunakan istilah perbuatan pidana, adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
yang melanggar larangan tersebut.
5. Jenis-jenis tindak pidana yang dimaksud adalah pembagian delik
menjadi pelanggaran dan kejahatan yang dibedakan secara

3
Ibid, hlm. 20
4
H. Hilman Hadikusuma, 2014, Op. Cit, hlm. 221.
5
Moeljatno, 2008, Azas-Azas Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta, Rineka Cipta), hlm. 60.
4

kuantitatif, bukan secara kualitatif.


6. Sanksi dalam hukum pidana yang dimaksud adalah pidana
pokok dan pidana tambahan, sebagaimana diatur pada Pasal 10
KUHP.
B. Undang-Undang Nan Salapan
a. Tikam Bunuh
Yaitu menghilangkan nyawa orang lain dengan
menggunakan senjata tajam atau benda runcing.6
b. Dago-Dagi
Yaitu melakukan perlawanan kepada nan tiada patut dilawannya.
c. Upeh Racun
Yaitu menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan
racun, mulai dari dosis yang rendah sampai dosis tinggi.
d. Samun Saka
Yaitu perampokan yang dilakukan di tempat yang sunyi
e. Maling Curi
Yaitu melakukan pencurian terhadap barang orang lain.
f. Sumbang salah
Yaitu melakukan perbuatan yang dilarang aturan delik adat.
g. Kicuh-kecong dan Tipuk-tepok
Yaitu melakukan perbuatan penipuan terhadap orang lain
baik dengan cara halus atau dilakukan dengan kekerasan.
h. Siar-bakar
Yaitu melakukan pembakawan, mulai dari menyulut
sampai menghanguskan.
Berdasarkan kenyataan dimasyarakat, diketahui bahwa
Undang-Undang nan Salapan (ketentuan pidana adat Minangkabau
atau disebut juga delik adat/tindak pidana adat) yang masih
mendapat perhatian dari fungsionaris adat dan masyarakat adalah

6
. Dt. Toeah, Tambo Alam Minangkabau, (Tanpa Tahun, Pustaka Indonesia,
Bukittinggi), hlm. 116
5

perbuatan sumbang-salah dan dago-dagi.7

Contoh kasus dago yang terjadi di Kanagarian Labuh pada


tahun 1998, seseorang yang berinisial A telah melecehkan ninik
mamak dikeramaian. Si A ini telah menunjuk dengan tangan kiri
semua ninik mamak di suatu forum karena berlainan pendapat tentang
masalah penggunaan tanah ulayat. Kejadian ini membuat marah
semua peserta forum. Si A telah diputuskan oleh masyarakat nagari
melakukan suatu perbuatan pelanggaran adat (dago). Masyarakat
nagari mewajibkan pada si A, untuk menebus kesalahan ke nagari
yang disebut dengan manatiang kasalahan secara adat ke nagari.
Sebelum si A manatiang kasalahan, maka masyarakat menggap si A
sebagai orang yang melawan adat. Setelah menyadari kekhilafannya,
si A akhirnya minta maaf pada masyarakat nagari di suatu forum dan
pemberian sanksipun diserahkan kepada forum. Sanksi yang
diberikan kepada si A dalam manatiang kesalahan ke nagari adalah
dengan meminta maaf dengan upacara adat dengan memotong seekor
kambing dan menjamu makan seluruh ninik mamak yang hadir.8

Perbuatan contoh kasus tersebut secara jelas merusak adat nan


sarak dalam hukum adat dan terhadap perbuatan tersebut dijatuhkan
hukuman denda menurut adat, yaitu bali si laki-laki, tapak si
perempuan artinya dijamu ninik mamak dan minta maaf atau boleh
dibayar dengan uang senilai biaya menjamu pada saat membayarnya.
Terhadap si perempuan diserahkan kepada keputusan mamak yang
bersangkutan (kepada mamak perempuan) apabila orang tersebut
tidak mematuhi sanksi di atas maka hukumannya dibuang sepanjang
adat. Masyarakat setempat mendukung sepenuhnya agar perbuatan

7
Ricky Syahrul, 1996, Suatu tinjauan tentang Relevansi Azas Legalitas
dengan Tindak Pidana Adat Sumbang-Salah di Minangkabau (Studi Kasus di
Pengadilan Negeri Batusangkar). Universitas Andalas, Padang, hlm. 16
8
. Tenofrimer, Loc.Cit.
6

merusak moral dituntut menurut hukum yang berlaku (Ketua KAN


Parambahan).9
C. Pelanggaran Dalam Perkawinan
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam
kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan
seorang wanita menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap
keluarga masing-masing masyarakat dan juga dengan harta kekayaan
yang diperoleh di antara mereka baik sebelum maupun selamanya
perkawinan berlangsung.
Setiap mahluk hidup memiliki hak azasi untuk melanjutkan
keturunannya melalui perkawinan, yakni melalui budaya dalam
melaksanakan suatu perkawinan yang dilakukan di Indonesia. Ada
perbedaan-perbedaannya dalam pelaksanaan yang disebabkan karena
keberagaman kebudayaan atau kultur terhadap agama yang dipeluk.10

Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


Tentang Perkawinan4 dalam Pasal 1 memberikan pengertian:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga / rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dari
pengertian tersebut mesti kita sepakati bahwa setiap pernikahan haruslah
didasari niat dasar yang lurus dan dengan tujuan yang baik, dan Pasal
tersebut juga tegas menyatakan bahwa Perkawinan mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan Agama dan kerohanian, sehingga Perkawinan
bukan saja mempunyai unsur lahir / jasmani tetapi juga memiliki unsur
bathin / rohani11

9
. Tenofrimer, Segi-segi Hukum Pidana Adat Minangkabau yang Masih Hidup dalam
Rangka Kembali ke Pemerintahan Nagari ( Studi Kasus pada Enam Nagari di Kabupaten Tanah
Datar), Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi (Delicti Vol.IX N0.1/Jan-Juni 2012 No.ISSN:
1693-4350), hlm. 17
10
. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum
Adat, Hukum Agama, (CV Mandar Maju, Bandung, 2007), hlm. 5.
11
.“Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan”
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1Tahun 1974 dan Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3019, Pasal 1” selanjutnya Undang-Undang tersebut dikutip sebagai UU Perkawinan.
7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis


dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang
mengandung unsur agama.

Hukum Pidana Adat adalah hukum yang hidup (living law) dan
akan terus hidup selama ada manusia budaya. Ia tidak akan dapat dihapus
dengan perundang-undangan.

Berdasarkan kenyataan dimasyarakat, diketahui bahwa Undang-


Undang nan Salapan (ketentuan pidana adat Minangkabau atau disebut
juga delik adat/tindak pidana adat) yang masih mendapat perhatian dari
fungsionaris adat dan masyarakat adalah perbuatan sumbang-salah dan
dago-dagi

8
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Kesimpulan Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional pada tanggal
17 Januari 1975
Hadikusuma, Hilman, Hukum Pidana Adat, Bandung: Alumni 1984.

Moeljatno, , Azas-Azas Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta, Rineka Cipta 2008

Dt. Toeah, Tambo Alam Minangkabau, Pustaka Indonesia, Bukittinggi

Tenofrimer, Segi-segi Hukum Pidana Adat Minangkabau yang Masih Hidup


dalam Rangka Kembali ke Pemerintahan Nagari ( Studi Kasus pada Enam
Nagari di Kabupaten Tanah Datar), Jurnal Hukum Pidana dan
Kriminologi Delicti Vol.IX N0.1/Jan-Juni 2012 No.ISSN: 1693-4350
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan
Hukum Adat, Hukum Agama, CV Mandar Maju, Bandung, 2007

Anda mungkin juga menyukai