Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Realitas menunjukkan bahwa secara sosiologis, masyarakat Indonesia

adalah masyarakat majemuk. Kemajemukan tersebut nampak dari adanya

berbagai suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara. Berbagai

suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara tersebut masingmasing memiliki
sistem budaya maupun hukum adat yang berbeda satu sama

lain. Bahkan satu sama lain terkadang menunjukkan suatu perbedaan yang

hakiki. Seperti juga di Bali, masyarakat yang hidup dalam suatu himpunan

organisasi kemasyarakatan memiliki sistem budaya yang berkaitan erat

dengan nilai-nilai yang bersifat religius. Demikianlah, hukum adat yang ada

yang hidup dan diakui dalam kenyataan masyarakat banyak berbaur dengan

nilai-nilai keagamaan. Ida Bagus Putu Purwita mengemukakan bahwa adat

dengan agama Hindu di Bali merupakan perpaduan yang pekat. Karena adat

istiadat menopang agama Hindu terutama dalam tata susila dan pelaksanaan

panca yadnya di masyarakat. Agama Hindu memancari tata krama kehidupan

masyarakat, dengan perkataan lain bahwa adat dan agama Hindu di Bali

adalah dua hal yang berbeda namun menyatu dalam tata krama kehidupan

masyarakat.

Memahami makna tersebut, dapat dikemukakan bahwa delik adat

yang tidak ada bandingnya dalam KUHP dan tergolong tindak pidana ringan,

maka ancaman pidananya adalah pidana penjara selama 3 bulan dan atau

pidana denda lima ratus rupiah. Sedangkan untuk delik hukum adat yang

sifatnya berat, ancaman pidananya adalah sepuluh tahun, sebagai pengganti


hukuman adat yang tidak dijalani oleh terhukum.

Di samping itu, dalam pasal 27 ayat (1) UU No. 14/1970 juga

disebabkan bahwa : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib

menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup”. Dengan

demikian, sebenarnya ada kewajiban bagi hakim untuk menggali, mengikuti

serta memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila

persoalan ini dikembalikan pada sanksi adat, maka ketentuan tersebut di atas

merupakan landasan yang mewajibkan serta memberikan kewenangan kepada

hakim untuk menjatuhkan sanksi adat. Hanya saja persoalannya, penjatuhan

sanksi adat ( di luar ketentuan pasal 10 KUHP) hanya bisa dijatuhkan terhadap

perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai bandingnya dalam KUHP.

Sedangkan dalam kenyataannya, ada berberapa perbuatan yang dilarang dan

diancam pidana menurut ketentuan KUHP, tetapi menurut pandangan

masyarakat juga merupakan delik adat yang terhadap pelanggarnya dituntut

untuk melakukan upaya adat. Di Bali misalnya, yang termasuk perbuatan ini

adalah pencurian benda-benda untuk keperluan upacara keagamaan, delik adat

gamia-gamana dan sebagainya.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Delik Adat
Mengenai pengertian delik adat, ada beberapa pendapat sarjana

seperti: Bushar Muhammadd memberikan pengertian tentang delik adat

sebagai berikut :

Suatu perbuatan sepihak dari seorang atau kumpulan perorangan, mengancam

atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dalam kehidupan

persekutuan, bersifat material atau immaterial, terhadap orang seorang atau

terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian

mengakibatkan suatu reaksi adat yang dipercayainya dapat memulihkan

keseimbangan yang telah terganggu, antara lain dengan berbagai jalan dan

cara, dengan pembayaran adat berupa barang, uang, mengadakan selamatan,

memotong hewan besar/kecil dan lain-lain.

Pelanggaran adat terhadap kepentingan orang banyak, antara lain : 1)

membawa mayat ke tempat suci (pura); 2) berkelahi, lebih-lebih akibat

perkelahian tersebut menimbulkan tetesan darah di tempat yang disucikan oleh umat Hindu; 3)
melakukan persetubuhan di tempat suci. Pelanggaranpelanggaran adat tersebut oleh masyarakat
hukum adat di Bali, dianggap

sebagai perbuatan yang dapat mencemarkan (‘leteh’), sehingga memerlukan

upaya pengembalian dalam bentuk penyelenggaraan ritual-ritual tertentu.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan masalah kesusilaan antara

lain :
1. Lokika Sanggara

Yaitu suatu delik adat yang berupa seorang laki-laki yang melakukan

hubungan seksual dengan seorang wanita diluar perwakinan atas dasar

suka sama suka dengan janji akan bersedia mengawini apabila terjadi

kehamilan.

15

2. Amandel Sanggama

Yaitu suatu delik adat berupa seorang istri yang masih dalam ikatan

perkawinan meninggalkan suaminya tanpa alasan.

Perbuatan ini dikatakan Amandel Sanggama, apabila si suami merasa

keberatan atas perbuatan istri dan perbuatan ini tidak dapat diterima oleh

masyarakat hukum adatnya.

3. Gamia Gamana

Yaitu delik adat berupa hubungan seksual antara orang-orang yangmasih

ada hubungan keluarga dekat (seperti anak dengan ibu tiri, ayah dengan

anak perempuannya).

Perbuatan berupa Gamia Gamana ini, apabila terbukti hubungan seksual

ini dan masyarakat hukum adatnya tidak dapat menerima perbuatan ini.

4. Salah Kerama

Yaitu delik adat berupa hubungan seksual antara manusia dengan

binatang. Perbuatan ini harus dapat dibuktikan secara langsung (ada saksi

yang melihat langsung perbuatan tersebut).

5. Derati Kerama

Yaitu delik adat berupa hubungan seksual antara seorang lelaki dengan

wanita yang bersuami.


Perbuatan ini harus dibuktikan karena si suami merasa keberatan demikian

pula masyarakat hukum adatnya

B. Sanksi Adat
Pada dasarnya pelanggan adat itu merupakan suatu tindakan yang

melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat

sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan serta ketentraman

masyarakat. Akibat dari pelanggaran tersebut, diperlukan upaya

pemulihan/upaya adat atau juga disebut reaksi adat dalam bentuk pembebanan

kewajiban-kewajiban/pengenaan sanksi tertentu bagi orang yang melakukan

perbuatan tersebut. Sanksi dalam hukum adat tidaklah selalu dalam bentuk

sanksi materiil, tetapi juga dapat berbentuk sanksi immateriil.

Reaksi adat atau koreksi adat terhadap delik-delik adat, misalnya :

1. Penggantian kerugian inmateriil dalam berbagai rupa, seperti paksaan

untuk menikahi gadis yang telah dicemarkan.

2. Bayaran uang adat kepada orang yang terkena, yang berupa benda

yang sakti sebagai pengganti kerugian rokhani;

3. Selamatan (kurban) untuk membersihkan masyarakat dari segala

kotoran gaib.

4. Penutup malu, permintaan maaf.

5. Pelbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati;

6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata

hukum.
C. Benda-benda Suci
Menurut Sarka menyatakan bahwa benda-benda suci ialah “bendabenda yang telah disucikan
dengan suatu upacara menurut Agama Hindu,

yang digunakan sebagai stana (pralingga) Sang Hyang Widhi Wasa atau

dipergunakan sebagai alat-alat di dalam upacara keagamaan”.

Benda-benda suci itu menurut besar kecilnya nilai kesuciannya dapat

dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan yaitu :

a. Pralingga, yang dibuat khusus untuk melambangkan Sang hyang Widhi

Wasa yang wujudnya seperti pewayangan yang disesuaikan dengan

manifestasinya.

b. Tapakan-tapakan seperti barong, rangda dan lain-lainlain yang dibuat

dengan tujuan supaya dijiwai istadewata yang mempunyai kekuatan

gaib supaya jangan mengganggu di alam semesta.

c. Alat-alat upacara yaitu semua alat-alat yang khusus dipakai dalam

upacara keagamaan misalnya kain lelancingan, umbul-umbul dan lainlain.


PENJATUHAN SANKSI TERHADAP PELANGGAR

DELIK ADAT KHUSUSNYA PELAKU PENCURIAN

BENDA – BENDA SUCI

Ketentuan pasal 1 ayat 1 KUHP memuat azas yang fundamental dalam

negara hukum, yaitu azas legalitas yang menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan

dapat dipidana / dihukum sebelum perbuatan itu diatur terlebih dahulu dalam

undang-undang. Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan jenis-jenis tindak

pidana adat yang dikenal di Bali, maka sebagian besar tidak ada diatur dalam

KUHP. Ini berarti, tertutup kemungkinan bagi pengadilan untuk memeriksa dan

memutus perkara yang berhubungan dengan tindakan pidana adat tersebut.

Namun apabila dilihat ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-undang

yang lain, ternyata ada ketentuan-ketentuan yang nampaknya dapat digunakan

sebagai dasar bagi pengadilan untuk memeriksa dan memutus perkara yang

berhubungan dengan tindak pidana adat. Jadi hakim dalam mencari dasar putusan

terhadap suatu tindak pidana adat dapat berpedoman pada ketentuan-ketentuan

atau undang-undang yang lain sepanjang belum diatur dalam KUHP. Seperti

misalnya:

1. Untuk delik adat lokika sanggraha hakim mendasrkan putusannya pada

kitab Adigma pasal 359 jo. Pasal a5 ayat (3) sub b UU No. 1 Drt Tahun

1951.

22

2. Untuk delik adat Gamia-gamana dasar putusan hakim adalah ketentuan

dalam Kitab Peswara tahun 1910 No. 6 a.

3. Untuk delik adat pencurian benda-benda suci / keagamaan, hakim tetap


mendasarkan putusannya sesuai ketentuan dalam KUHP, yaitu pasal 362

dan pasal 363 ayat (1)

Terhadap macam-macam delik adat ini, akan diketengahkan satu buah

kasus yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan negeri Gianyar. Mengenai delik

adat pencurian benda suci.

Putusan Pengadilan Negeri Gianyar No. 48/Pid.B/1999/PN. Gir, tanggal

28 Juni 1999, dalam kasus pencurian 4 (empat) buah gong yang

digunakan sebagai perlengkapan pelaksanaan upacara.

Putusan Hakim

- Menyatakan terdakwa Sang Putu Sunarta tersebut terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dan

Pemberatan”.

- Memidana terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.

- Menetapkan lamanya terdakwa ditahan dikurangkan sepenuhnya dari

pidana tersebut.

- Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan. (Putusan Pengadilan

Negeri Gianyar No. 48/Pid.B/1999/PN. Gir tanggal 28 Juni 1999)

Terhadap terdakwa dalam kasus Ap/Pid.B/1999/PN Gir. Selama 1 (satu)

tahun. Jika tersebut adalah kurang memenuhi rasa keadilan karena Hakim

Pengadilan Negeri Gianyar yang memutus perkara ini kurang memperhatikan

23

nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Karena disamping hakim

menjatuhkan pidana penjara, hakim seharusnya juga menjatuhkan suatu syarat

khusus yang berupa melaksanakan pemenuhan kewajiban-kewajiban adat. Karena

dengan hilangnya benda-benda suci keagamaan tersebut tentunya mengakibatkan


leteh/sebel di Desa Adat setempat. Sehingga untuk mengembalikan keseimbangan

alam niskala dilaksanakan upacara penyucian / pembersihan di desa tersebut.

Jadi pencurian semacam ini bukan hanya merugikan, secara materiil saja,

tetapi juga kerugian immateriil. Oleh karena itu sudah sepantasnya si pelaku

pencurian disamping dijatuhkan pidana penjara, juga terhadap terdakwa

dikenakan suatu syarat khusus sebagaimana ketentuannya dapat dilihat dalam

pasal 14C KUHP yaitu berupa pemenuhan kewajiban adat.

Dalam lingkungan desa adat di Bali telah melembaga dengan kokohnya

suatu keyakinan bahwa terjadinya pelanggaran norma adat yang belum

terselesaikan menurut ketentuan hukum adat yang berlaku, akan dapat

menimbulkan gangguan yang menyebabkan menderinya krama adat. Hal

demikian akan memerlukan suatu langkah-langkah pemulihan, dengan

membedakan kewajiban bagi pelanggarnya dalam bentuk penyelenggaraan ritualritual adat


tertentu yang bertujuan untuk memulihkan ketidakseimbangan

masyarakat dari perasaan kotor (leteh). Seperti dikatakan oleh I Ketut Rai

Setiabudhi bahwa beberapa pemuka desa adat dan agama Hindu di Bali pada

prinsipnya mengganggap bahwa, dengan hukuman (pidana) penjara saja si pelaku

delik adat pencurian benda suci belum bisa dikatakan mengembalikan

keseimbangan masyarakat adat yang terganggu, karena perasaan masyarakat

(secara alam gaib) masih dirasakan ternoda. Bali merupakan daerah yang religius

yaitu banyak benda-benda suci yang terdapat di Bali, namun demikian adanya

gangguan-gangguan yang menyalahi Agama mempunyai pengaruh pula dalam

kehormonisan dan kesucian hidup di kalangan masyarakat. Sebab pencurian

benda-benda suci yang terjadi di dalam masyarakat akan mengakibatkan

terganggunya stabilitas dalam masyarakat, karena kehilangan benda-benda yang


disucikan dan sebagai tempat berkonsentrasi yang merupakan wujud atas simbul

Tuhan serta manifestasinya. Dengan melihat hal-hal seperti ini dan kalau

dihubungkan dengan teori tujuan pemidanaan modern dengan pelestarian bendabenda suci di
Bali maka hukumnya dipandang perlu lebih berat lagi.

Terhadap pelaku pencurian samping dikenakan hukum yang berdasarkan

KUHP juga mendapatkan sanksi adat dari masyarakat dapat memenuhi rasa

keadilan dari masyarakat, delik pencurian benda-benda suci pada tempat-tempat

persembahyangan tidak akan dapat diselesaikan oleh KUHP secara sempurna.

Sebab masyarakat menghendaki di samping penyelesaiannya berupa pidana yang

bersifat materiil juga pidana yang bersifat immateriil yang melibatkan aspek

keagamaan (agama Hindu). Aspek ini dipandang sangat relevan di dalam delik

adat, karena delik adat akibatnya dirasakan menimbulkan kegoncangan di dalam

gaib (alm niskala). Penjatuhan hukuman dalam hukum adat Bali adalah bertujuan

untuk mengembalikan keseimbangan alam kosmos yaitu alam lahir (kala) dan

alam gaib (niskala) yang telah terganggu. Di sinilah kelihatan aspek agama

ditonjolkan, yang relevan dalam usaha mengembalikan keseimbangan alam

niskala misalnya suatu delik adat pencurian dilakukan disebuah tempat suci (pura)

tentu saja nyata dirasakan terganggu dan menggoncangkan alam niskala

menimbulkan leteh (sebel) maka sudah pasti tidak tidak cukup terhadap pelakunya

hanya dikenakan sanksi pidana yang bersifat materiil saja seperti hukuman

badan/penjara akan tetapi harus disertai melakukan tata cara keagamaan untuk

menghilangkan leteh/sebel pada tempat suci dimaksud. Dengan demikian

keseimbangan niskala pulih kembali.

Dari uraian tersebut jelas menunjukkan bahwa penyelesain kasus-kasus

delik adat melalui proses peradilan formal, belum menyelesaikan


permasalahannya secara tuntas. Dinisi secara jelas dapat dilihat sebagai sarana

yang tidak dapat mengembalikan keseimbangan (terutama keseimbangan magis)

sebagai akibat adanya pelanggaran norma adat.


KESIMPULAN
Dari uraian di depan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu antara

lain :

Pemidanaan oleh Pengadilan Negeri Gianyar terhadap pelaku pencurian

benda-benda suci yang memutus melalui pasal 363 KUHP yaitu pencurian

dengan pemberatan belum dianggap memenuhi rasa keadilan. Karena pidana

yang bersifat materiil saja seperti hukuman badan/penjara dianggap belum

dapat mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu, sebagai akibat

perbuatan si pelaku. Sehingga di dalam mengembalikan keseimbangan masih

dibutuhkan upaya-upaya adat untuk melakukan upacara-upacara agama/

pembersihan di lingkungan Pura atau Desa Adat setempat.

Segala bentuk perbuatan yang menimbulkan kegoncangan terhadap kesucian

dan keharmonisan tersebut seperti delik adat pencurian benda-benda suci

adalah merupakan bentuk perbuatan yang tidak dipatutkan oleh adat dan

kepada pelanggar-pelanggarnya dikenakan suatu reaksi adat yang berupa

sanksi-sanksi adat disamping diterapkannya ketentuan-ketentuan hukum yang

tertulis. Penerapan reaksi ada tersebut pada prinsipnya dikenakan kepada

yang bersalah tetapi ada kalanya dilakukan secara bersama-sama oleh

masyarakat sendiri dalam rangka mengembalikan kesucian yang dicemarkan

Anda mungkin juga menyukai