Anda di halaman 1dari 13

MASALAH POKOK HUKUM PIDANA ADAT

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Hukum Pidana Adat

Dosen Pengampu : Dr. Benny Irawan, S.H., M.H.

Pertemuan 7
Kelompok 4
Nama Anggota:

Rahzief Haykall : 1111210168


Wilda Febiana Rizka : 1111210172
Tiara Tri Indah Sari : 1111210179
Davin Algamar : 1111210183
Gichinori Dimetri Moekbun : 1111210195
Yazid Ali Samanhudi : 1111210286

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA


FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM 2021

Jl. Raya Palka Km 3 Sindangsari, Pabuaran, Kab. Serang Provinsi Banten


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang membahas tentang Hukum Pidana Adat. Dan kami juga
berterimakasih kepada dosen kami, Bapak Benny Irawan, S.H., M.H. selaku
dosen mata kuliah Hukum Pidana Adat di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Adapun penulisan makalah yang membahas tentang Hukum Pidana Adat


ini adalah untuk mengetahui tentang pengertian dan sifat-sifat Hukum Pidana
Adat. Penyelesaian penyusunan makalah ini tentunya dengan bantuan berbagai
referensi buku dan referensi internet, sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terimakasih
kepada seluruh referensi-referensi yang telah membantu kami dalam pembuatan
makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik
dari materi maupun teknik penyajiannya, oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa
yang akan datang,mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang


kurang berkenan. Akhir kata, semoga adanya makalah ini dapat memberikan
manfaat dan inspirasi bagi semua pembaca untuk membuat makalah yang lebih
baik lagi. Terimakasih.

Tangerang, 24 Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
A. Latar Belakang......................................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................................
C. Tujuan dan Manfaat...............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................
A. Ekistensi Hukum Adat dalam Perkara Pidana ..................................................
B. Masalah Pokok Hukum Pidana Adat
C. Lahirnya Pidana/Delik Adat
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Realitas menunjukan bahwasannya secara sosiologis, masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat majemuk. Yang kemudian kemajemukan tersebut Nampak
dari adanya berbagai suku bangsa yang tersebar di seluru kepulauan nusantara.
Berbagai suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara tersebut
masing-masing memiliki sistem budaya maupun hukum adat yang berbeda satu
sama lain. Bahkan tak dapat dipungkiri satu sama lain terkadag menunjukkan
suatu perbedaan yag hakiki. Hukum adat didefinisikan sebagai hukum Indonesia
yang asli yang tidak tertulis dalam bentuk produk peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia, yang mengandung unsur agama.1 Pelanggaran terhadap
aturan tata tertibnya dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam
masyarakat. Oleh karena itu, bagi si pelanggar diberikan sanksi adat, sebuah
koreksi adat setempat yang berupa sanksi/kewajiban adat oleh masyarakat melalui
pengurus adatnya.
Keterkaitan yang erat antara hukum adat dan agama terdapat pada tata cara
penjatuhan sanksi adat. Untuk delik-delik adat tertentu, mekanisme
pelaksanaannya banyak berupa kewajiban untuk melaksanakan ritual adat
keagamaan. Dengan catatan semua sanksi tersebut tentunya harus dilandasi dan
berhubungan pula dengan nilai dasar filosofi reaksi adat, yakni untuk
mengembalikan keseimbangan masyarakat yang disebabkan oleh perasaan kotor.
Di samping dikenalnya sanksi yang berifat materiil juga sanksi yang bersifat
immaterial. Sehingga dalam penjatuhan pidana, kedua sanksi tersebut haris
diterapkan agar terjadi keseimbangan dan dapat memenuhi keinginan masyarakat.
Heterogenitas kultur budaya serta pluralisme hukum dalam masyarakat Indonesia
bagik yag bersifat hukum adat maupun yang bersifat religius yang mempunyai
pengaruh terhadap hukum pidana.

1
Kesimpulan Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional pada tanggal 17 Januari 2022
Hukum pidana adat adalah hukum yang menunjukkan peristiwa dan
perbuatan yang harus diselesaikan (dihukum) karena peristiwa dan perbuatan itu
telah mengganggu keseimbangan masyarakat. Jelas berbeda dengan hukum pidana
barat yang menekankan peristiwa apa yang dapat diancam dengan hukuman serta
macam hukuman dikarenakan peristiwa yang terjadi bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.2 Kemudian hukum pidan adat juga berstatus
sebagai hukum yang hidup (living law) dan akan terus hidup selama ada manusia
budaya. Ia tidak akan dapat dihapus dengan perundang-undangan. Ketika suatu
aturan diatur oleh perundang-undangan khusus yang memfokuskannya, tentu akan
berdampak hilangnya sumber kekayaan hukum pidana. Hal ini karena hukum
pidana adat itu lebih dekat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi
dibanding hukum perundang-undangan.
Keberadaan hukum pidana adat dalam sistem hukum nasional merupakan
sumber hukum yang telah mendapat pengakuan baik dalam perundang-undangan,
forum ilmiah, pendapat doktrin, maupun yurisprudensi Mahkamah Agung. Ada
tiga konklusi dasar dari ketentuan yang telah diatur dala Pasal 5 ayat (3) sub b
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Hukum adat tak luput dari
masalah pokok. Dalam masyarakat hukum adat, umunya adaa berbagai perbuatan
yang dianggap sebagai delik adat. Definisi delik adat sendiri ialah semua
perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kepatutan, kerukunan,
ketertiban, keamanan, rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat
bersangkutan, baik hal itu akibat perbuatan seseorang atau perbuatan penguasa
adat. 3
Van Vollenhoven juga turt mendefinisikan delik adat merupakan
perbuatanyang tidak boleh dilakukan walau dalam kenyataannya, peristiwa atau
perbuatan itu hanya “sumbang” kecil saja. Perbuatan-perbuatan tersebut apabila
diklasifikasikan dapat dibedakan:
a. Delik terhadap harta benda
b. Delik terhadap kepentingan orang banyak
c. Delik terhadap kehormatan seseorang.
Delik adat tentang harta benda yang di atur dalam peraturan desa adat,
secara garis besar dapat di kelompokan menjadi: pencurian, merusak benda-benda
2
Hilman Hadikusuma, 1984, Hukum Pidana Adat, Bandung: Alumni, hlm 18
3
Ibid. hlm. 20.
suci, dan pencurian benda suci. Aturan adat tersebut sampai saat ini masih
berlaku, namun karena hal ini jarang terjadi dan kadang sangat membahayakan si
pelaku dan juga menimbulkan efek dendam yang mengarah kepada perpecahan,
maka pemberlakuannya di dalam masyarakat agak kurang jelas, dan lebih
dominan memakai hukum nasional. Umumnya pelanggaran terhadap delik ini
diserahkan dan diproses pada pengadilan umum. Penuturan dari beberapa sumber
bahwa apabila ada pencurian harta benda milik warga ataupun pengerusakan dan
pencurian benda-benda suci, hal ini langsung diserahkan ke aparat kepolisian.
Uniknya, di salh satu adat Desa Kawo, sanksi tersebut masih dapat diselesaikan
menggunakan aturan adatnya, Garap. Garap ini merupakan acara sakral yang
tujuannya adalah menemukan pelaku yang dicurigai melakukun perbuatan
pencurian, santet dan sebagainya. Di Desa Kawo, biasanya garap dilakukan
dengan cara meminum air tanah makam nyate. Semua penduduk desa diwajibkan
untuk meminum air tanah ini. Apabila seseorang pelaku, malu untuk mengakui
perbuatannya dan ikut meminum air tanah ini, maka akan ada suatu kejadian aneh
yang akan menimpa diri dan keluarganya.
Fenomena pelanggaran adat terhadap kepentingan orang banyak, antara lain;
(1) berkelahi, terutama berkelahi yang berakibat menimbulkan darah di tempat
yang disucikan oleh masyarakat adat setempat. (2) melakukan persetubuhan di
tempat suci. Pelanggaran-pelanggaran adat tersebut oleh masyarakat adat,
dianggap sebagai perbuatan yang dapat mencemarkan, sehingga memerlukan
upaya pengembalian dalam bentuk penyelenggaraan ritual-ritual adat setempat.
Delik adat yang melanggar kehormatan. Jenis pelanggaran terhadap delik ini
adalah mengucapkan kata-kata kotor atau mencaci seseorang menϐitnah orang
lain, menuduh orang lain tanpa bukti yang jelas, menyinggung perasaan orang
lain, berkata cabul terhadap seorang perempuan dan sebagainya. Di Desa Kawo
delik ini dikategorikan sebagai “gila bibir”. Seperti penuturan dari beberapa tokoh
pemuda Desa Kawo bahwa segala perkataan yang ditujukan kepada orang lain
dengan sengaja tanpa ada alasan yang jelas, dan kemudian dengan perkataan
tersebut membuat orang lain sakit hati, malu, dan sebagainya, lalu mengajukan
keberatan atas perkataan yang ditujukan kepadanya itu melalui pengamong adat
(Kadus), maka orang yang mengucapkan perkataan yang tidak mengenakkan bagi
orang tersebut telah melanggar aturan adat tentang kehormatan. Pelanggaran
terhadap aturan adat karena perkataan yang diucapkan oleh seseorang ini disebut
gila bibir.
Meski keberadaan pengadilan adat diakui, kenyataannya lembaga hukum
adat ini tidak banyak berperan untuk menyelesaikan konflik Hukum Pidana Adat
yang timbul dalam kehidupan masyarakat. Penyelesaian melalui sistem peradilan
pidana yang mengedepankan kepastian hukum dengan dipidananya pelaku dalam
hukum pidana tidak dapat mengakomodasikan kepentingan korban dan
masyarakat hukum adat. Kerugian korban secara material dan immaterial tidak
tergantikan dalam proses hukum acara pidana, terutama pemulihan hak-hak
masyarakat hukum adat Minangkabau. Pemulihan hak-hak masyarakat adat dapat
dilakukan melalui pembentukan peradilan adat mengingat ketentuan yang tidak
diatur dalam hukum negara berdasarkan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No. 1
Tahun 1951 dapat diatur dalam hukum adat. Keberadaan peradilan adat diperkuat
dengan Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 untuk masalah perdata dan
pidana yang dalam Pasal 103 Undang-Undang Desa tersebut mengedepankan
hukum adat dalam penyelesaian sengketa adat. Oleh sebab itu, kedudukan Hukum
Pidana Adat terutama Hukum Pidana Adat Minangkabau sangat berperan dalam
penegakan hukum dan sangat erat relevansinya dengan pembaruan hukum pidana
nasional.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka
terdapat permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia?
2. Apa yang menjadi masalah pokok Hukum Pidana Adat di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat


1. Untuk mengetahui eksistensi hukum pidana adat dalam perkara pidana di
Indonesia
2. Menganalisis dan memberikan informasi kepada pembaca terkait masalah pokok
hukum pidana adat di Indonesia
3. Memperluas pengetahuan penulis, maupun pembaca tentang sistem pidana Adat
yang ada di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

A. Ekistensi Hukum Adat dalam Perkara Pidana


Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya, sumber hukum pidana di Indonesia
bukan hanya pidana tertulis tetapi juga pidana tidak tertulis. Pada 1 Januari 1918
ketika Belanda memberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Nedderlandch Indie,
hukum pidana adat tidak lagi berlaku secara formal, akan tetapi secara materill
tetep berlaku. Setelah Indonesia merdeka, pidana adat tercantum dalam UU
Darurat No. 1 Drt 1951. Pada Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang ini
menjelaskan tentang pidana adat yang tidak ada bandinganya dalam KUHP,
pidana adat yang ada bandingannya dalam KUHP, dan sanksi adat.
Salah satu putusan yang menghargai pidana adat, menurut Nyoman Sarikat,
adalah putusan MA No. 984 K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996. Dalam putusan
ini, majelis hakim menyatakan jika pelaku (dader) perzinahan telah dijatuhi sanksi
adat atau mendapat reaksi adat oleh para pemangku desa adat, dimana hukum adat
masih dihormati dan hidup subur, maka tuntutan oleh jaksa harus dinyatakan tidak
dapat diterima.4 Adapun putusan lain adalah putusan MA No. 1644 K/Pid/1988
tanggal 15 Mei 1991. Dalam putusan ini MA mempertimbangkan:
(1) seseorang yang telah melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup
(hukum adat) di daerah tersebut merupakan suatu perbuatan yang melanggar
hukum adat, yaitu “delik adat‟.
(2) Kepala dan para pemuka adat memberikan reaksi reaksi adat (sanksi adat)
terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat itu telah dilaksanakan oleh terhukum.
(3) Terhadap si terhukum yang sudah dijatuhi “reaksi adat” oleh kepala adat
tersebut, maka ia tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai

4
Nyoman Sarikat Putra Jaya, Hukum Pidana dalam Pembahruan Hukum Pidana Nasional, Makalah
disampaikan dalam Pelatihan Hukm Pidana dan Krimonologi III, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas
Lambung Mangkurat dengan MAHUPIKI, tanggal 16 – 19 Mei 2016.
terdakwa dalam persidangan badan peradian negara (Pengadilan Negeri)
dengan dakwaan yang sama, melanggar hukum adat, dan dijatuhi hukuman
penjara menurut KUHP (Pasal 5 ayat 3 huruf b UU Darurat No. 1 Drt 1951).
Berdasarkan kedua putusan ini, maka dapat menunjukan bahwa MA mengakui
eksistensi hukum pidana adat beserta reaksi adatnya yang masih hidup dalam
masyarakat Indonesia‖.
Selain itu, berdasarkan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, negara mengakui
dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
Undang-Undang.5 Pasal 5 ayat (1) dan 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman juga menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat
pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Contoh eksistensi hukum adat dalam perkara pidana dapat dilihat dalam
kasus pencurian di Desa Tuindrao Kecamatan Amandraya Kabupaten Nias
Selatan. Dalam penyelesaian setiap aksus yang terjadi di Desa Tuindrao, para
penatua adat sangat berperan dalam menyelesaikannya sehingga setiap
sengketa/konflik yang terjadi dimasyarakat akan diserahkan kepada para penatua
adat untuk diadili dana diberi keputusan. Jabatan penatua adat terdiri dari tiga
tingkatan yaitu Balugu (kepala adat yang memutuskan segala perkara adat), Tuha
(Eksekutor), Salawa (Kepala Desa). Segala keputusan dari penatua adat sangat
dihargai dan dihormati oleh anggota masyarakat sehingga tetap terjaga hak dan
kewajiban para pihak yang bersengketa, pengambilan keputusan dilakukan secara
musyawarah dan tidak memihak.
Pada tahun 2009 terjadi kasus pencurian getah karet warga secara berulang-
ulang di Desa Tuindrao, bukan hanya getah karet saja yang dicuri tetapi buah
cokelat dan kelapa warga juga ikut dicuri. Ketika warga mengetahui siapa pelaku

5
Ibid
pencuri getah karet, warga kemudian melaporkannya di kantor “SALAWA”
(Kantor Desa) untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Selanjutnya
pelaku pencurian getah karet digiring/dibawa dikantor Desa, kepala desa beserta
para penatua adat (Balugu) memanggil semua warga desa untuk menyelesaikan
kasus ini, karena telah melanggar pidana adat desa. Berdasarkan pengakuaanya
pelaku pencurian, perbuatan tersebut dilakukan karena dilatar belakangi faktor
ekonomi keluarganya yang selalu kekurangan sehingga terpaksa pelaku
melakukan perbuatan ini demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Setelah
para penatua adat mendengar pengakuan pelaku maka penatua adat mengadakan
musyawarah desa untuk menyelesaikan kasus ini, agar tidak menimbulkan amarah
dari warga. Dalam hal ini penatua adat mengambil keputusan tanpa berpihak
kepada pihak yang satu, sehingga keputusan yang diambil oleh balugu dapat
bersifat adil sehingga diterima oleh masyarakat. Balugu menjatuhkan hukuman
kepada pelaku sesuai dengan perbuatannya yang disepakati oleh pelaku (keluarga)
dan pihak korban (anggota masyarakat) denga ganti rugi sebesar Rp. 3.5 juta, 1
(satu) karung beras, 2 (dua) ekor Babi dan uang Rp. 500 ribu untuk biaya
administrasi. Kemudian pelaku memberi makan seluruh warga sebagai bentuk
permohonan maaf dan juga sebagai bukti bahwa kasus ini sudah diselesaikan dan
tidak dilanjutkan lagi kepada pihak yang berwajib. Dengan dipenuhinya hukuman
yang diberikan Balugu maka keluarga pelaku terlepas dari ancaman warga,
adapun bentuk hukuman di desa Tuindrao jika anggota masyarakat melakukan
pelanggaran pidana adat akan diusir oleh warga karena telah merusak nilai-nilai
dan norma-norma yang berlaku didesa tersebut.6
Hukum pidana adat dalam sistem hukum nasional merupakan sumber
hukum yang telah mendapat pengakuan baik dalam perundang-undangan, forum
ilmiah, pendapat doktrin, maupun yurisprudensi Mahkamah Agung. Hukum
pidana adat juga berstatus sebagai hukum yang hidup (living law) dan akan terus
hidup selama ada manusia budaya. Ia tidak akan dapat dihapus dengan perundang-
undangan. Ketika suatu aturan diatur oleh perundang-undangan khusus yang

6
Hepy Krisman Laia, M. Y. (2020). ANALISIS HUKUM PIDANA ADAT NIAS DALAM MENYELESAIKAN
KASUS PENCURIAN (Studi di Desa Tuindrao Kecamatan Amandraya Kabupaten Nias Selatan). JURNAL
RETENRUM, hlm 6
memfokuskannya, tentu akan berdampak hilangnya sumber kekayaan hukum
pidana.

B. Masalah Pokok Hukum Pidana Adat


Hukum adat tak luput dari masalah pokok. Dalam masyarakat hukum adat,
umunya ada berbagai perbuatan yang dianggap sebagai delik adat. Definisi delik
adat sendiri ialah semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan
kepatutan, kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan dan kesadaran hukum
masyarakat bersangkutan, baik hal itu akibat perbuatan seseorang atau perbuatan
penguasa adat.7
Hukum Pidana Adat bersifat menyeluruh dan menyatukan ketentuan yang
bersifat terbuka membeda bedakan permasalahan peradilan dengan permintaan
tindakan reaksi atau koreksi. Sedangkan terjadinya delik adat adalah apabila tata
tertib adat dilanggar dan keseimbangan masyarakat terganggu. Bertolak dari
pengertian tersebut, maka jelaslah bahwa sesungguhnya pengartian hukum pidana
adat tidak bertumpu pada cara pandang positivistik yang menganggap bahwa yang
dimaksud dengan hukum adalah Undang-undang. Jika cara pandang itu yang
diterapkan maka tidak mungkin ada hukum pidana adat.
Sebagai sarana social control, hukum berusaha mempertahankan sistem
yang telah hidup di tengah masyarakat. Namun demikian, perlu disadari bahwa
tidak semua tatanan sosial masyarakat selamanya baik. Ada pula tatanan sosial
masyarakat tertentu yang dianggap tidak baik yang jika dikaitkan dengan
pembangunan sosial ekonomi dapat menjadi faktor penghambat pembangunan.
Pemaksaan tatanan tersebut mengancam eksistensi adat dan kebiasaan masyarakat
setempat.
Persoalan berikutnya yang muncul adalah manakala seseorang atau
sekelompok orang meyakini sistem hukum sendiri atau hukum adat yang
berlainan dengan sistem hukum yang berlaku sebagai hukum positif negara.
Perbedaan apa yang diyakini sebagai nilai-nilai kebaikan dalam masyarakat
dengan apa yang dinilai baik oleh negara melalui hukum positif yang berlaku
diduga menjadi salah satu sebab banyaknya pelanggaran atas hukum yang
berlaku. Bukan saja karena masyarakat tidak mengetahui akan hukumnya tentang
sesuatu, tetapi bahkan juga disebabkan oleh perbedaan dalam memahami nilai
yang dianggap baik antara nilai yang hidup di tengah masayarakat dengan apa
yang dianggap baik oleh negara.

7
Hilman Hadikusuma, 1984, Hukum Pidana Adat, Bandung: Alumni, hlm 18
Terdapat beberapa jenis-jenis tindak pidana adat :
1. Jenis Tindak Pidana terhadap Harta Benda, yaitu dimana seseorang dari
masyarakat adat mengambil hak kebendaan atas kepunyaan orang lain yang
dimana dapat dicontohkan sebagai mencuri perhiasan, merampok orang yang
sedang berada dijalan, mencuri buah-buahan di tanah milik orang lain, dan
seterusnya.
2. Jenis Tindak Pidana terhadap Kepentingan Orang Banyak, yaitu merupakan delik
yang perbuatan seseorang itu mengganggu kepentingan masyarakat adat dan
mengganggu stabilitas di lingkungan adat itu sendiri yang dapat dicontohkan
seperti membuka rahasia masyarakat adat, penghinaan terhadap masyarakat adat,
perbuatan menyihir seseorang, dan seterusnya.
3. Jenis Tindak Pidana terhadap Kehormatan Seseorang, yaitu merupakan delik
terhadap perbuatan seseorang yang melecehkan atau mengganggu kehormatan
seseorang di dalam masyarakat adat khususnya kehormatan Wanita, perbuatan
yang dimaksudkan disinii yaitu menghamili perempuan diluar pernikahan,
kedapatan melakukan zina tanpa status pernikahan, dan melarikan seorang
perempuan.
Selain terdapat jenis jenis tindak pidana adat, terdapat juga unsur-unsur delik
dalam Hukum Pidana Adat, yakni:
1. Adanya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, kelompok, atau pengurus adat
itu sendiri.
2. Perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma hukum adat.
3. Perbuatan itu dinilai dapat menimbulkan kegoncangan karena mengganggu
keseimbangan dalam masyarakat.
4. Dari perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat yang berupa sanksi/kewajiban
adat.

C. Lahirnya Pidana/Delik Adat


Peraturan adat istiadat di Indonesia telah dikenal sejak zaman kuno, yaitu
sejak zaman pra-Hindu atau sebelum kedatangan Hindu dari Kshatrapa, Gujarat
(India). Masuknya budaya Hindu, Islam, dan kristen telah memengaruhi budaya asli
sejak lama. Oleh karena itu, hukum adat yang kini hidup dan berlaku di masyarakat
merupakan hasil akulturasi antara peraturan-peraturan adat istiadat zaman Pra-
Hindu dengan peraturan-peraturan hidup yang dibawa oleh ketiga kultur agama
tersebut.
Setelah terjadi akulturasi, maka hukum adat atau hukum pribumi , menurut
Van Vollenhoven berkembang ke dalam dua bentuk yaitu Inlandsrecht (hukum adat
atau hukum pribumi) yang merupakan hukum tidak tertulis dan hukum ditulis, yaitu
hukum asli penduduk berdasarkan ketentuan hukum-hukum agama.
Berdasarkan teori Berlisingen Teer bahwa setiap peraturan tentang tingkah
laku akan bersifat hukum Ketika diputuskan dan dipertahankan oleh petugas
hukum, sehingga lahirnya delik adat bersamaan dengan lahirnya hukum adat.
Hukum delik adat bersifat dinamis, setiap perbuatan yang tadinya bukan dianggap
delik oleh hakim (kepala adat) karena perbuatan tersebut bertentangan dengan tata
tertib masyarakat, sehingga perbuatan tersebut dapat menjadi delik dan perlu
adanya reaksi atau upaya dari adat itu sendiri untuk memulihkan kembali kondisi
dalam masyarakat. Hukum pidana adat itu juga timbu, berkembang, dan hilang
karena menyesuaikan diri dengan perasaan mengenai keadilan yang ada di dalam
masyarakat adat itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai