Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PERKEMBANGAN HUKUM ADAT PADA MASA


PRA-KEMERDEKAAN

DOSEN PEMBIMBING

DR.Yetniwati, SH.,MH.
NIP.196206261988032003

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
Muhammad Wahyu Armailiansyah B (B10017070)
Arif Rahmansyah (B10017071)
Inggrid Aulya (B10017075)
Muhammad Farhan Haviz (B10017109)
Muhammad Akbar Al-Islami (B10017128)
Galang Putra Nusantara (B10017294)
Rizky Aditya (B10017 )
Jordane Situmorang (B10017304)
Boyke Aulia Rachman (B10017320)
Ardian Dwiky (B10013231)
Falldo Heri W (B10013199)

UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM
2017/2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
tentang perkembangan hukum adat pada masa pra-kemerdekaan.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang perkembangan hukum adat pada
masa pra-kemerdekaan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Jambi, Februari 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................3

BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................4

1.1 Landasan Teori....................................................................................................4

1.2 Identifikasi Masalah............................................................................................6

1.3 Tujuan penulisan.................................................................................................6

1.4 Manfaat penulisan...............................................................................................6

BAB 2 PEMBAHASAN............................................................................................7

2.1 Sejarah Hukum Adat..........................................................................................8

2.2 Dasar Berlakunya Hukum Adat........................................................................8

2.3 Bukti Adanya Hukum Adat Di Indonesia.........................................................10

2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat..............10

BAB 3 PENUTUP ....................................................................................................24

3.1 Kesimpulan ........................................................................................................24


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Landasan Teori
Istilah kebiasaan merupakan istilah yang umum dipakai dlam kehidupan masyarakat.
Selain itu juga ada istilah adat yang juga mempunyai persamaan dan perbedaan dengan
kebiasaan. Dalam masyrakat minang dikenal istilah adat istiadat, dan adat nan diadatkan.
Istilah Hukum Adat berasal dari terjemahan Adatrecht, yang mula-mula dikemukakan
oleh Snouck Hurgronje, kemudian dipakai oleh Van Vollenhoven. Istilah yang dipergunakan
sebelumnya dalam perundang-undangan adalah Peraturan Keagamaan (Godsdienstige
Wetten) karena pengaruh ajaran Receptio in Complexudari Van Den Berg dan Salmon
Keyzer.
Pada masa Hindia Belanda ada Adatrecht (Hukum Adat) yang berlaku bagi orang-
orang yang tidak tunduk kepada KUH Perdata dan Gewoonte Recht (Hukum Kebiasaan) yang
berlaku bagi mereka yang tunduk kepada Hukum KUHPerdata.
Perbedaan istilah dan pengertian (Hukum Adat dan Kebiasaan) itu harus dihilangkan
karena lambat laun tidak ada lagi perbedaan antara golongan Eropa, Indonesia dan Timur
Asing melainkan hanya ada perbedaan Warga Negara Indonesia dan Orang Asing (Mahadi).
Maka sebaiknya digunakan satu istilah saja yaitu Hukum Adat (sebagaimana yang telah
dipakai dalam UUPA).
1) Pengertian Hukum Adat
Banyak pengertian atau difinisi Hukum Adat yang telah ditulis oleh para ahli Hukum
Adat, tetapi disini hanya akan dikemukakan beberapa contoh saja. Menurut Van Vollenhoven
Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai
sanksi (oleh karena itu “hukum”) dan di lain pihak, dalam keadaan tidak dikodifikasikan
(oleh karena itu “adat”).
Menurut Soepomo, istilah Hukum Adat dipakai sebagai sinonim hukum yang tidak
tertulis di dalam peraturan legeslatif (non statutory law), hukum yang hidup sebagai
konvensi di badan-badan hukum negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan seterusnya), hukum
yang timbul karena putusan-putusan hakim (judge made law), hukum yang hidup sebagai
peraturan kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan hidup, baik di kota-kota maupun di
desa-desa (customary law).
Hazairin menyatakan, bahwa dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat bagi
sesuatu yang tidak selaras atau bertentangan dengan kesusilaan. Adat adalah endapan
kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah
kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat maka
Hukum Adat adalah hukum yang berurat berakar pada kesusilaan.
Kesimpulan Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Nasional tahun 1975 yang
diselenggarakan atas kerja sama BPHN dan Fak. Hukum UGM mendifinisikanHukum Adat
sebagai :Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan RI yang
di sana sini mengandung unsur agama).
Pendapat Dosen mengenai Hukum Adat merupakan hukum rakyat (folk
law)sebagai lawan hukum negara (state law) yaitu hukum yang dibuat oleh rakyat dan
diberlakukan untuk rakyat dan dilaksanakan secara sukarela oleh rakyat tanpa ada paksaan
dari penguasa sehingga merupakan hukum yang hidup tumbuh dan berkembang bersama
masyarakat (the living law).

2) Ciri-ciri Hukum Adat


Hukum Adat mempunyai kekhususan yang menjadi ciri-cirinya dan membedakannya dengan
hukum lain, yaitu:
a) Religio magis/ Keagamaan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, dan hal itu menjiwai hukum yang
diciptakannya, yaitu Hukum Adat. Dalam perbuatan hukum seperti pembukaan tanah,
perkawinan tampak jelas adanya sifat religius itu
b) Kebersamaan
Berbeda dengan hukum barat yang berpusat pada individu, maka hukum adat berpusat
kepada masyarakat. Kepentingan bersama lebih diutamakan, sedangkan kepentingan individu
diliputi oleh kepentingan bersama (bermuatan publik). Hal itu dapat dilihat misalnya pada
rumah gadang dan tanah pusaka di Minangkabau, tanah dati di Ambon, tanah Karang Desa
dan Ayahan Desa di Bali. Namun demikian pengutamaan kepentingan bersama itu bukan
berarti kepentingan perorangan diabaikan.
c) Tradisional
Kata “tradisional” berasal dari kata benda “tradisi” yang menurut Myror Wemwr berarti:
“the biliefs andpracticies handed down from the past, as we reinterpret our past, the tradition
change”. Hukum Adat pada hakekatnya adalah tradisi juga, yaitu praktek kehidupan warga
masyarakat dalam pergaulan hidup bermasyarakat yang dianggap benar oleh norma-norma
yang diciptakannya sendiri dan diberi daya memaksa dengan sanksi bagi yang melanggarnya,
norma yang dipraktekkan tersebut berasal dari warisan masa lalu yang selalu diperbaharui
dengan diadakan reinterpretasi agar sesuai dengan tuntutan jaman dan keadaan serta
perubahan masyarakat. Maka Hukum Adat yang tradisional itu tidak statis.
d) Konkrit
Sifat hubungan hukum dalam Hukum Adat adalah konkrit, artinya nyata, Dapat dirasakan
oleh panca indra.
e) Terang, dan tunai,
Terang artinya tidak samar-samar, dapat dilihat, diketahui, disaksikan dan didengar orang
lain, misalnya pada “ijab kabul”, pemberian panjer dan peningset sebelum terjadinya jual beli
dan perkawinan.
Tunai artinya setiap ada perbuatan hukum terjadi secara bersamaan
antara penyerahan dengan penerimaan.
f) Dinamis dan plastis
Dinamis artinya dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan
masyarakat, sedangkan plastis dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.
g) Tidak dikodifikasi
Hukum Adat kebanyakan tidak tertulis, walaupun ada yang tertulis seperti awig-awig di
Bali. Karena bentuknya yang tidak tertulis maka mudah berubah menyesuaikan diri dengan
perkembangan masyarakat jika mereka menginginkannya.
h) Musyawarah dan Mufakat
Hukum Adat mementingkan musyawarah dan mufakat dalam melakukan perbuatan dan
hubungan hukum di dalam keluarga, kekerabatan dan masyarakat bahkan dalam penyelesaian
sengketa. Hukum Adat, menurut Koesnoe, sebagai hukum rakyat pembuatnya rakyat sendiri,
mengatur kehidupan mereka yang terus menerus berubah dan berkembang malalui
keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakat
sebagai temu rasa dan temu pikir lewat musyawarah. Hal-hal lama yang tidak dipakai diubah
atau ditinggalkan secara tidak mencolok. Ciri-ciri kebersamaan, tradisional, dinamis, plastis,
tidak dikodifikasikan, musyawarah dan mufakat adalah saling berkaitan dan saling
mendukung satu sama lain.
1.2. Identifikasi Masalah

Dalam penulisan makalah ini, permasalahan-permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai
berikut :
a. Bagaimanakah pelaksanaan system hukum adat pada masa penjajahan atau sebelum
merdeka ?
b. Bagaimanakah akibat hukum dari hukum adat yang tidak tertulis terhadap hukum yang
tertulis ?
1.3. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya adalah untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Hukum Adat. Selain itu, penulisan makalah ini bertujuan untuk menelaah lebih
jauh, menambah pemahaman serta memperluas pengetahuan mengenai system hukum adat
pada masa kerajaan di Indonesia.

1.4. Manfaat

a) Secara Teoretis

Makalah ini diharapkan dapat memperluas serta menambah khazanah


pengetahuan dalam bidang Hukum.
b) Secara Praktis

Diharapkan uraian dalam makalah ini dapat memberikan dasar dan pengarahan
dalam pemahaman mengenai hukum Adat dalam kehidupan masyarakat adat yang berada di
Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Hukum Adat

Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakekatnya sudah terdapat pada zaman kuno, zaman Pra-
Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra-Hindu tersebut menurut ahli-ahli
hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu Polinesia.
Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing
mempengaruhi kultur asli tersebut yang sejak lama menguasai tata kehidupan masyarakat
Indonesia sebagai suatu hukum adat. Sehingga Hukum Adat yang kini hidup pada rakyat itu
adalah hasil akulturasi antara peraturan-peraturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan
peraturan-peraturan hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen.
Setelah terjadi akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau “Inladsrecht”
menurut Van Vaollenhoven terdiri dari :

2.2 Dasar Berlakunya Hukum Adat

a) Dasar filosofis

Adapun yang dimaksud dasar filosofis dari Hukum Adat adalah sebenarnya nilai-nilai
dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir
Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong royong, musyawarah mufakat dan keadilan.
Dengan demikian Pancasila merupakan kristalisasi dari Hukum Adat.
Dasar Berlakunya Hukum Adat ditinjau dari segi Filosofi Hukum Adat yang hidup,
tumbuh dan berkembang di indonesia sesuai dengan perkembangan jaman yang berfiat
luwes, fleksibel sesuai dengan nilai-nilai Pancasila seperti yang tertuang dalam
pembukaan UUD 1945. UUD 1945 hanya menciptakan pokok-pokok pikiran yang meliputi
suasana kebatinan dari UUD RI. Pokok pokok pikiran tersebut menjiwai cita-cita hukum
meliputi hukum negara baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam pembukaan
UUD 1945 pokok pokok pikiran yang menjiwai perwujudan cicta-cita hukum dasar
negara adalah Pancasila. Penegasan Pancasila sebagai sumbertertib hukum sangat berarti
bagi hukum adat karena Hukum Adat berakar pada kebudayaan rakyat sehingga dapat
menjelmakan perasaan hukum yang nyata dan hidup dikalangan rakyat dan
mencerminkan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia (Wignjodipoero, l983:14).
Dengan demikian hukum adat secara filosofis merupakan hukum yang berlaku sesuai
Pancasila sebagai pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa Indonesia.

b) Dasar sosiologis

Hukum yang berlaku di suatu negara merupakan suatu sistem artinya bahwa hukum
itu merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian
atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya (Mertokusumo, l986:100).
Dengan kata lain bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-
unsur yang mempunyai interaksi satu sama lainnya dan bekerja bersama untuk mencapai
tujuan. Keseluruhan tata hukum nasional yang berlaku di Indonesia dapat disebut sebagai
sistem hukum nasional. Sistem hukum berkembang sesuai dengan perkembangan hukum.
Selain itu sistem hukum mempunyai sifat yang berkesinambungan, kontinyuitas dan
lengkap.
Dalam sistem hukum nasional wujud/ bentuk hukum yang ada dapat dibedakan menjadi
hukum tertulis ((hukum yang tertuang dalan perundang-undangan) dan hukum yang tidak
tertulis (hukum adat,
hukum kebiasaan).
Hukum yang berlaku di suatu negara dapat dibedakan menjadi hukum yang benar-
benar berlaku sebagai the living law (hukum yang hidup) ada hukum yang diberlakukan
tetapi tidak berlaku sebagai the living law. Sebagai contoh Hukum yang berlaku dengan
cara diberlakukan adalah hukum tertulis yaitu dengan cara diundangkan dalam lembaran
negara. Hukum tertulis dibuat ada yang berlaku sebagai the living law tetapi juga ada yang
tidak berlaku sebagai the living law karena tidak ditaati/ dilaksanakan oleh rakyat.
Hukum tertulis yang diberlakukan dengan cara diundangkan dalamlembaran negara
kemudian dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup
(the living law.)
Sedangkan hukum tertulis yang walaupun telah diberlakukan dengan cara
diundangkan dalam lembaran negara tetapi ditinggalkan dan tidak dilaksanakan oleh rakyat
maka tidak dapat dikatakan sebagai the living law. Salah satu contohnya adalah UU nomor
2 tahun 1960 tentang Bagi hasil.
Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis tidak memerlukan prosedur/ upaya
seperti hukum tertulis, tetapi dapat berlaku dalam arti dilaksanakan oleh masyarakat dengan
sukarela karena memang itu miliknya. Hukum adat dikatakan sebagai the living law karena
Hukum adat berlaku di masyarakat, dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat tanpa harus
melalui prosedur pengundangan dalam lembaran negara.
Berbagai istilah untuk menyebut hukum yang tidak tertulis sebagai the living law yaitu :
People law, Indegenous law, unwritten law, common law, customary law dan sebagainya.
c) Dasar yuridis

Dasar Berlakunya Hukum Adat Ditinjau Secara Yuridis dalam Berbagai Peraturan
Perundang-undangan, Mempelajari segi Yuridis dasar berlakunya Hukum Adat berarti
mempelajari dasar hukum berlakunya Hukum Adat di Indonesia (Saragih, l984:15).
Berdasarkan fakta sejarah dapat dibagi dalam dua periode yaitu pada jaman Kolonial
(penjajahan Belanda dan Jepang) dan jaman Indonesia Merdeka.

2.3 Bukti Adanya Hukum Adat di Indonesia

Bukti-bukti bahwa dulu sebelum bangsa Asing masuk ke Indonesia sudah ada hukum
adat, adalah sebagai berikut :
1. Tahun 1000, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur dengan kitabnya
yang disebut Civacasana.
2. Tahun 1331-1364, Gajah Mada Patih Majapahit, membuat kitab yang disebut Kitab Gajah
Mada.
3. Tahun 1413-1430, Kanaka Patih Majapahit, membuat kitab Adigama.

4. Tahun 1350, di Bali ditemukan kitab hukum Kutaramanava.


2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat
Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum adat, disamping kemajuan zaman,
ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi alam, juga faktorfaktor yang bersifat tradisional
adalah sebagai berikut :
1. Magis dan Animisme :
Alam pikiran magis dan animisme pada dasarnya dialami oleh setiap bangsa di dunia. Di
Indonesia faktor magis dan animisme cukup besar pengaruhnya. Hal ini dapat dilihat dalam
upacara-upacara adat yang bersumber pada kekuasaan-kekuasaan serta kekuatan-kekuatan
gaib.
a. Kepercayaan kepada mahkluk-mahkluk halus, roh-roh, dan hantuhantu yang menempati
seluruh alam semesta dan juga gejala-gejala alam, semua benda yang ada di alam bernyawa.
b. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti dan adanya roh-roh yang baik dan yang jahat.
c. Adanya orang-orang tertentu yang dapat berhubungan dengan dunia gaib dab atau sakti.
d. Takut adanya hukuman/ pembalasan oleh kekuatan-kekuatan gaib. Hal ini dapat dilihat
adanya kebiasaan mengadakan siaran-siaran, sesajen di tempat-tempat yang dianggap
keramat.
Animisme yaitu percaya bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini bernyawa.
Animisme ada dua macam yaitu :
a. Fetisisme : Yaitu memuja jiwa-jiwa yang ada pada alam semesta, yang mempunyai
kemampuan jauh lebih besar dari pada kemampuan manusia, seperti halilintar, taufan,
matahari, samudra, tanah, pohon besar, gua dan lain-lain.
b. Spiritisme : Yaitu memuja roh-roh leluhur dan roh-roh lainnya yang baik dan yang jahat.

2. Faktor Agama
Masuknya agama-agama di Indonesia cukup banyak memberikan pengaruh terhadap
perkembangan hukum adat misalnya :
Agama Hindu :
Pada abad ke 8 masuknya orang India ke Indonesia dengan membawa agamanya,
pengaruhnya dapat dilihat di Bali. Hukum-hukum Hindu berpengaruh pada bidang
pemerintahan Raja dan pembagian kasta-kasta.

Agama Islam :
Pada abad ke 14 dan awal abad 15 oleh pedagang-pedagang dari Malaka, Iran. Pengarush
Agama Islam terlihat dalam hukum perkawinan yaitu dalam cara melangsungkan dan
memutuskan perkawinan dan juga dalam bidang wakaf. Pengaruh hukum perkawinan Islam
didalam hukum adat di beberapa daerah di Indonesia tidak sama kuatnya misalnya daerah
Jawa dan
Madura, Aceh pengaruh Agama Islam sangat kuat, namun beberapa daerah
tertentu walaupun sudah diadakan menurut hukum perkawinan Islam,
tetapi tetap dilakukan upacara-upacara perkawinan menurut hukum adat,
missal di Lampung, Tapanuli.Agama Kristen :Agama Kristen dibawa oleh pedagang-
pedagang Barat. Aturan-aturanhukum Kristen di Indonesia cukup memberikan pengaruh pada
hukum keluarga, hukum perkawinan.Agama Kristen juga telah memberikan pengaruh besar
dalam bidang socialkhususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan, dengan
didirikannyabeberapa lembaga Pendidikan dan rumah-rumah sakit.

3. Faktor Kekuasaan yang lebih tinggi


Kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi yang dimaksud adalah kekuasaankekuasaan Raja-
raja, kepala Kuria, Nagari dan lain-lain. Tidak semua Raja-raja yang pernah bertahta di negeri
ini baik, ada juga Raja yang bertindak sewenang-wenang bahkan tidak jarang terjadi keluarga
dan lingkungan kerajaan ikut serta dalam menentukan kebijaksanaan kerajaan misalnya
penggantian kepala-kepala adat banyak diganti oleh orang-orang yang dengan kerajaan tanpa
menghiraukan adat istiadat bahkan menginjak-injak hukum adat yang ada dan berlaku
didalam masyarakat tersebut.
4. Adanya Kekuasaan Asing
Yaitu kekuasaan penjajahan Belanda, dimana orang-orang Belanda dengan alam pikiran
baratnya yang individualisme. Hal ini jelas bertentangan dengan alam pikiran adat yang
bersifat kebersamaan.

D. Zaman Hindu
Agama Hindu hanya mempunyai pengaruh di pulau Jawa, Sumatera dan Bali, sedangkan di
daerah lain mendapat pengaruh dari zaman “Malaio polynesia”, yaitu : Suatu zaman dimana
nenek moyang kita masih memegang adat istiadat asli yang dipengaruhi oleh alam yang serba
kesaktian.

Pada zaman Hindu tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh hukum agama Hindu
serta hukum agama Budha yang dibawa oleh para pedagang (khususnya dari Cina). Kerajaan-
kerajaan tersebut antara lain :
- Sriwijaya – Raja Syailendra (abad 7 s/d 9)
~ Pusat pemerintahan : hukum agama Budha
~ Pedalaman : hukum adat Malaio Polynesia
- Medang (Mataram)
Masa raja “Dharmawangsa” dikeluarkan suatu UU “Iwacasana – Jawa Kuno –
Purwadhigama.
Untuk mengabadikan berbagai peristiwa penting dalam bidang peradilan, telah dibuat
beberapa prasasti antara lain :
- Prasasti Bulai (860 M)
- Prasasti Kurunan (885 M)
- Prasasti Guntur (907 M)

Setelah runtuhnya kerajaan Mataram, Jawa dipimpin oleh “Airlangga” yang membagi
wilayah kerajaan atas :
- Kerajaan Jonggala
- Kerajaan Kediri (Panjalu)
Zaman raja-raja “Airlangga”, usaha-usaha yang dilakukan terhadap hukum adat :
1. Adanya meterai raja yang bergambar kepala garuda.
2. Macam-macam pajak dan penghasilan yang harus dibayar kepada raja

Zaman raja “Jayabaya” usaha-usaha yang dilakukan terhadap hukum adat:


1. Adanya balai pertemuan umum.
2. Bidang kehakiman, tidak dikenal hukuman siksa badan, kecuali kejahatan perampokan dan
pencurian.
3. Hukuman yang berlaku kebanyakan hukuman denda.

- Zaman Singosari (Tumapel) – didirikan oleh Ken Arok (Rajasa)


Raja yang terkenal “Prabu Kertaqnegara” yang menghina utusan Cina (Men Gici). Usaha
yang dilakukan terhadap hukum adat :
Mendirikan prasasti “Sarwadharma” yang melukiskan tentang adanya “Tanah Punpunan”,
yaitu : tanah yang disediakan untuk membiayai bangunan suci yang statusnya dilepaskan dari
kekuasaan Thanibala atau kekuasaan sipil (masyarakat) dengan ganti rugi.

- Zaman Majapahit – didirikan oleh Jayakatong (Jayakatwang)


Dengan adanya pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Wijaya (Kertarajasa
Jayawardhana), Jayakatwang berhasil dibunuh. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk,
hukum adat mendapat perhatian berkat usaha Mahapatih Gajah Mada. Usaha yang dilakukan
:
- Membagi bidang-bidang tugas pemerintahan dan keamanan negara. Misal : soal
perkawinan, peralihan kekuasaan, ketentaraan negara.
- Keputusan pengadilan pada masa itu disebut : Jayasong (Jayapatra).
Gajahmada mengeluarkan suatu kitab UU, yaitu : “Kitab Hukum Gajah Mada”

Kesimpulan :
Secara zaman ini di mana kerajaan-kerajaan yang ada dipengaruhi oleh agama Hindu dan
sebagian kecil agama Budha. Hal ini terlihat adanya pembagian-pembagian kasta dalam
bidang pemerintahan dan peradilan.
Zaman ini berakhir dengan wafatnya Mahapatih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk dengan
raja terakhir Kertabumi (1478). Sejak saat itu kekuasaan di Jawa diambil alih oleh Kerajaan
Demak.
Sebab-sebab runtuhnya kerajaan Majapahit :
- Perpecahan diantara pemimpinnya.
- Perang saudara dan perebutan kekuasaan.

B. Zaman Islam
- Aceh (Kerajaan Pasai dan Perlak)
Pengaruh hukum Islam cukup kuat terhadap hukum adat, terlihat dari setiap tempat
pemukiman dipimpin oleh seorang cendekiawan agama yang bertindak sebagai imam dan
bergelar “Teuku/Tengku”.

- Minangkabau dan Batak


Hukum adat pada dasarnya besar tetap bertahan dalam kehidupan sehari-hari, sedang hukum
Islam berperan dalam kehidupan keagamaan, dalam hal ini terlihat dalam bidang perkawinan.
Pepatah adat : Hukum adat bersendi alur dan patut, hukum agama/syara bersendi kitab Allah.
Di Batak yang terdiri dari berbagai suku :
- Toba
- Karo
- Dairi
- Simalungun
- Angkola
Masing-masing suku tetap pada hukum adat, karena menghormati Sisingamangaraja, tetapi
berkat Ompu Nommensen, agam Kristen juga ikut berpengaruh (jalan damai).
Secara umum, agama Islam dan Kristen di Batak hanya dalam hal kerohanian saja, tetapi
tetap dalam struktur kemasyarakatan hukum adat tetap dipakai.
Kedudukan pejabat agama hanya sebagai penyerta saja dalam pemerintahan desa, mengurus
dan menyelenggarakan acara agama, misalnya : perkawinan, perceraian dan sebagainya.

- Sumatera Selatan (Palembang/Kukang)


Masuknya agama Islam berasal dari :
~ Barat : Pedagang/mubaligh dari Aceh dan Minangkabau
~ Utara : Pedagang/mubaligh dari Aceh, Malaka dan Cina
~ Selatan : Pedagang/mubaligh dari Cirebon dan Banten
Perkembangan terhadap hukum adat :
Pada masa “Ratu Senuhun Seding”, hukum adat dibukukan dalam bahasa Arab Melayu – UU
Simbur Cahaya. Di dalamnya memuat istilah-istilah yang berasal dari hukum Islam, seperti :
Khatib Bilal.
Berdasarkan Tambo Minang : Datuk Perpatih Nan Sabatang dari Minangkabau pernah
mengusahakan tambang emas di daerha Rejang Lebong (Bengkulu).
Masuknya para mubaligh yang berasal dari Minangkabau membawa pula pengaruh terhadap
hukum adat dengan gari matrilineal – daerah Semendo. (jadi menempatkan kedudukan wanita
sebagai penguasa harta kekayaan dari kerabatnya).
Di daerah Semendo dengan dianutnya garis keturunan matrilineal, telah membawa pengaruh
terhadap sistem kewarisan yang dipakai, yaitu :
Sitem kewaisan mayorat (Mayorat Erprecht), dimana anak wanita tertua sebagai “tunggu
tubang” atas harta kerabat yang tidak terbagi. Sedangkan anak lelaki tertua disebut “payung
jurai” yang bertugas harta pengurusan harta tersebut.
Di samping itu juga berlaku adat “kawin Semendo”, dimana suami setelah kawin menetap di
pihak istri.

- Lampung
Masuknya Islam disini pada masa “Ratu Pugung” dimana puterinya yang bernama “Sinar
Alam” melangsungkan perkawinan dengan “Syarif Hidayat Fatahillah/sunan Gunung Jati”,
setelah jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Islam. Susunan kekerabatan yang dianut adalah
garis keturunan laki-laki (patrilineal). Di mana laki-laki tertua (disebut “pun” – yang
dihargai) – Kewarisan Mayorat. Ia berhak dan berkewajiban melanjutkan orang tua.

- Jawa
~ Jawa Timur : pelabuhan Gresik dan Tuban
Penduduknya : Kota pantai – orang pendatang (Arab, Cina, Pakistan) dengan agama Islam.
adanya makam Maulana Malik Ibrahim. Penduduk asli : agama Hindu.
~ Jawa Tengah
BerdIrinya kerajaan Demak – Raden Patah.
Dimana Masjid – menjadi pusat perjuangan dan pemerintahan pembantu raden Fatah yang
terkenal – Raden Sa’id/Sunan Kali Jogo.
Pada masa “Pangeran Trenggana” dengan bantuan Fatahillah berhasil menduduki Cirebon
dan Banten.
~ Jawa Barat – kerajaan Pajajaran didirikan “Ratu purana”
Pelabuhan laut :
- Banten
- Kalapa (Sunda Kelapa)
Tahun 1552 Fatahillah memimpin Armada Demak dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa
– Jayakarta.

- Bali
Pengaruh Islam sangat kecil, masyarakat masih tetap mempertahankan adat istiadat dari
agama Hindu. Menurut I Gusti Ketut Sutha, SH bahwa hubungan antara adat/hukum adat
dengan agama (khususnya agama Hindu) di Bali merupakan pengecualian. Hal ini diperkuat
oleh penegasan Pemda Bali yang menyatakan :
Bahwa pengertian adat di Bali dengan desa dan krama adatnya adalah berbeda dengan
pengertian adat secara umum.
Artinya : pelaksanaan agama dengan segala aspeknya terwujud dalam Panca Yodnya yang
merupakan wadah konkrit dan tatwa (Filsafah) dan susila (etika) agama, karena seluruh
kehidupan masyarakat Bali terjali erat berdasarkan atas keagamaan.
Contoh : dalam hal pembagian warisan erat hubungannya dengan pengabenan atau upacara
pembakaran mayat yang hakekatnya adalah pengaruh agama Hindu, juga ada bagian tertentu
dari jumlah warisan yang diperuntukkan untuk tujuan keagamaan.

- Kalimantan
~ Agama Islam hanya berhasil mempengaruhi masyarakat di daerah pantai.
~ Masyarakat daerah pedalaman masih berdasarkan kepercayaan dari zaman Malaio
Polynesia – kepercayaan kaharingan.

- Sulawesi
Dimulai berdirinya kerajaan “Goa” oleh Datuk Ri Bandang. Pengaruh Islam hanya sebagai
pengisi rohani, tidak merubah/mendesak adat masyarakat.

C. Zaman VOC (1596 – 1608 / 1600 – 1800)


Tanggal 20 Maret 1602 didirikan VOC yang merupakan gabungan dari maskapai dagang
Belanda. Tahun 1619 VOC di bawah pimpinan Jenderal Jan Pieter Zoon Coen menduduki
Jakarta (Batavia).
Wilayah VOC meliputi daerah di antara laut Jawa dan Samudera Indonesia, dengan batas-
batas :
- Sebelah barat : sungai Cisadane
- Sebelah timur : sungai Citarum
Kedudukan VOC pada waktu itu
1. Sebagai pengusaha perniagaan
2. Sebagai penguasa pemerintahan
Guna menjaga kepentingan VOC di Hindia Belanda, tahun 1609 Staten General (Perwakilan
Rakyat), Belanda memberikan kuasa kepada pengurus VOC di Banten (Gubernur Jenderal
dan Dewan Hindia/Raad Van Indie) untuk membentuk hukum sendiri.
Adapun hukum yang diteapkan pada waktu itu adalah hukum VOC, yang terdiri dari unsur-
unsur :
- Hukum Romawi
- Asas-asas hukum Belanda Kuno
- Statuta Betawi
Statuta Betawi dibuat oleh Gubernur Jenderal Van Diemen yang berisikan kumpulan plakat-
palakat dan pengumuman yang dikodifikasikan.
Menurut Van Vollenhoven : Kebijakan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum tersebut
disebutnya “Cara mempersatukan hukum yang sederhana”
Dalam praktek/kenyataannya, peraturan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum
tersebut tidak dapat dijalankan, sebab :
1. Ada hukum yang berlaku di dalam pusat pemerintahan VOC, yaitu dalam kota
Betawi/Batavia.
2. Ada hukum yang berlaku di luar pusat pemerintahan VOC, yaitu di luar kota
Betawi/Jakarta.
Menurut Utrecht : Hukum yang berlaku untuk penduduk asli adalah hukum adat. kecuali
untuk daerah Betawi/Jakarta
Sebab : - kesulitan sarana transportasi waktu itu.
- kurangnya alat pemerintah.
Sebagai jalan keluarnya, maka dikeluarkan resolutie 21-12-1708
Sebagian Priangan (barat, tengah dan timur) diadili oleh Bupati dengan ombol-ombolnya
dalam perkara perdata dan pidana menurut hukum adat.
Perhatian terhadap hukum adat pada masa ini sedikit sekali, tapi ada beberapa tulisan-tulisan
baik perorangan maupun karena tugas pemerintahan, diantaranya :
1. Confendium (karangan singkat) dari D.W. Freijer
Memuat tentang peraturan hukum Islam mengenai waris, nikah dan talak.
2. Pepakem Cirebon.
Dibuat oleh Mr. P.C. Hasselar (residen Cirebon). Membuat suatu kitab hukum yang bernama
“pepakem Cirebon” yang diterbitkan oleh Hazeu. Isinya merupakan kumpulan dari hukum
adat Jawa yang bersumber dari kitab kuno antara lain : UU Mataram, Kutaramanawa, Jaya
Lengkaran, dan lain-lain.
Dalam Pepakem Cirebon, dimuat gambaran seorang hakim yang dikehendaki oleh hukum
adat :
a. Candra : bulan yang menyinari segala tempat yang gelap
b. Tirta : air yang membersihkan segala tempat yang kotor
c. Cakra : dewa yang mengawasi berlakunya keadaan
d. Sari : bunga yang harum baunya

Penilaian VOC terhadap hukum adat :


1. Hukum adat identik dengan hukum agama
2. Hukum adat terdapat dalam tulisan-tulisan yang berbentuk kitab hukum.
3. Penerapannya bersifat opportunitas (tergantung kebutuhan)
4. Hukum adat kedudukannya lebih rendah dari hukum Eropa.

D. Kedudukan Hukum Adat Zaman Daendels


Hukum adat pada zaman Daendels, tidak diperhatikan dan tidak ada peraturan-peraturan yang
lahir. Daendels berpendapat bahwa hukum adat di Jaea terdiri atas hukum Islam. Akan tetapi
hukum adat keseluruhan menurut Daendels terdiri atas hukum Islam.
Menurut Daendels derajat hukum Eropa lebih tinggi dari hukum adat. Meskipun demikian
Daendels mempunyai pengertian tentang desa sebagai persekutuan. Selain itu Daendels juga
mengenal sistem panjer.

E. Kedudukan Hukum Adat zaman Raffles


Raffles beranggapan bahwa hukum adat sama dengan hukum islam. Hukum adat menurut
Raffles tidak mempunyai derajat setinggi hukum Eropa. Hukum adat dianggap hanya baik
untuk bangsa Indonesia, akan tetapi tidak patut jika diberlakukan atas orang Eropa.

Politik Hukum Kolonial


Pada tahun 1838 di negeri Belanda dilakukan kodifikasi terhadap semua aturan perundangan
terutama hukum perdata dan hukum dagang. Dengan adanya kodifikasi hukum, di Belanda
timbul juga pemikiran untuk diberlakukan unifikasi hukum di Hindia Belanda. hal ini sesuai
dengan asas konkordansi. Saat itu di Hindia Belanda berlaku hukum adat bagi golongan
bumiputera yang selama ini hukum adat belum pernah mendapat perhatian. Tugas ini
diserahkan kepada Mr. Hageman, tetapi tugas ini gagal, karena pemerintahan Belanda tidak
mengetahui keadaan hukum di Hindia Belanda. Tugas tersebut diganti oleh scholten, lalu
diganti lagi oleh Mr. H.L. Wichers. Tugas utamanya adalah mengadakan unifikasi hukum.
Unifikasi hukum ini ditentang oleh Van der Vinne yang mengatakan :
Suatu kejanggalan untuk memberlakukan hukum Belanda di Hindia Belanda yang sebagian
besar penduduknya beragama Islam dan memegang teguh adat istiadat mereka. Pada tahun
1848, hasil unifikasi dan kodifikasi terhadap hukum perdata dan hukum dagang di Belanda
telah selesai. Dan ini merupakan hasil kerja dari :
1. A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgering) mengenai ketentuan umum perundang-
undangan di Hindia Belanda.
2. B.W. (Burgelijk Wetbock) mengenai hukum perdata.
3. Wetbock van Krophandel (WUK) mengenai hukum dagang.
4. R.O. (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie) mengenai
peraturan susunan dan kekuasaan badan-badan peradilan.

Sedangkan hasil kerja dari Mr. H.L. Witchers antara lain :


1. RV/BRV (Reglement op de Rechtsvordering). Mengenai hukum acara perdata untuk
golongan Eropa di Indonesia.
2. RSV (Reglement of de Rechtstraftvordering). Mengenai hukum acara pidana untuk
golongan Eropa di Indonesia.
3. HIR (Herzien Inland Reglement) mengenai hukum acara perdata dan acara pidana untuk
golongan bumiputera di Jawa dan Madura.
4. RBG (Rechtreglement Buitentewesten). Mengenai hukum acara pidana dan hukum acara
perdata untuk golongan Bumiputera di luar Jawa dan Madura.

Dalam bidang hukum tanah, dilakukan unifikasi hukum diantaranya :


1. Agrarische Wet (stb. 1850-1855). Lahir atas desakan pengusaha swasta yang dikenal
dengan Cultuur Stelsel.
2. Agrarische Besluit (stb 1870-1877), mengenai Domein Verklarine.
3. Agrarische Zigendum (stb 1872-1877), yang sekarang dikonversi menjadi hak milik, Hak
Guna Usaha dan hak Guna Bangunan.
4. Vervremding Verbrod (stb 1875-1879)
Saat itu yang dikodifikasi hanya hukum perdata berat dan hukum dagang. Sedangkan untuk
hukum adat belum diperhatikan.
Mengenai hukum adat timbul pemikiran untuk melakukan unifikasi sesuai kepentingan
ekonomi dan kepentingan keamanan dari pemerintah Belanda, tetapi termasuk kepentingan
bangsa Indonesia.
Tahun 1904 pemerintah Belanda (kabinet Kuyper) mengusulkan suatu rencana Undang-
Undang untuk mengganti hukum adat dengan hukum Eropa dan mengharapkan agar
Bumiputera tunduk hukum Eropa, karena hukum adat tidak mungkin diunifikasi dan
dikodifikasi, selama ini usaha itu gagal. Kegagalan ini mengakibatkan hukum adat semakin
terdesak dan ada pemikiran untuk menghilangkan hukum adat. Kegagalan untuk mengganti
hukum adat dengan hukum Eropa, karena :
Dalam kenyataan tidak mungkin, bangsa Indonesia yang merupakan bagian terbesar dari
penduduk Indonesia tunduk pada hukum Eropa yang disesuaikan dengan orang-orang Eropa,
sedangkan bangsa Eropa hanya sebagian kecil saja, tidak mungkin bangsa Indonesia
dimasukkan dalam golongan Eropa di dalam lapangan hukum privat.
Tahun 1927 pemerintah Belanda mulai menolak untuk mengadakan unifikasi hukum adat,
mulai melaksanakan konsepsi Van Vollenhoven yang isisnya menganjurkan diadakan
pencatatan yang sistematis dari hukum adat yang didahului dengan penelitian.
Tujuannya adalah untuk memajukan hukum dan untuk membantu hakim yang harus
mengadili menurut hukum adat.
Konsepsi van Vollenhoven didukung oleh :
a) Pengalaman yang pahit bertahun-tahun lamanya, bahwa memaksakan hukum barat dari
atas selalu gagal.
b) Selalu berkembangnya pengertian akan pentingnya hukum adat dalam lingkungan bangsa
Indonesia
Politik hukum semenjak tahun 1927 adalah konsepsi Van Vollenhoven mengenai hukum
adat. Sebelum menggunakan konsepsi Van Vollenhoven digunakan pasal II AB sebagai dasar
hukum berlakunya hukum adat. Awalnya hukum adat tidak dikenal, istilah yang dikenal
adalah istilah Undang-Undang Keagamaan, Lembaga Rakyat dan kebiasaan.
Dasar hukum yang berlaku pada saat itu adalah pasal II AB yang isisnya :
Bagi golongan pribumi, golongan Timur Asing berlaku peraturan-peraturan hukum yang
didasarkan atas agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka.
Kegagalan mengadakan unifikasi dan kodifikasi terhadap hukum adat, dikarenakan
keanekaragaman penduduk Indonesia, sehingga sulit diarahakan pada keseragaman hukum.
Maka tahun 1906 DPR Belanda mempertahankan hukum adat dengan memberlakukan pasal
131 ayat 2 b IS yang berlaku 1 Januari 1926.

Pasal 131 ayat 2 b isinya :


Bagi golongan Bumiputera, Timur Asing, berlaku peraturan hukum yang didasarkan atas
agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka.
Dengan demikian dasar hukum berlakunya hukum adat masa Hindia Belanda
- Pasal II AB ditujukan pada Hakim Indonesia
- Pasal 131 IS ditujukan kepada pembuat ordonansi.

Tahun 1927 – 1928


Merupakan tahun titik balik, dimana hukum Indonesia asli akan ditentukan kemudian setelah
dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kebutuhan hukum mereka dan untuk sementara
dipakai hukum adat, karena belum bisa ditinggalkan. Sarjana Belanda yang banyak
memperjuangkan hukum adat adalan Van Vollenhoven disebut juga Bapak Hukum Adat.
Usaha yang dilakukan adalah :
- Menghilangkan kesalahpahaman hukum adat identik dengan hukum Islam
- Membela hukum adat terhadap usaha yang ingin menghilangkan hukum adat.
- Membagi wilayah Indonesia dalam 19 lingkup hukum adat.

Karya dari Van Vollenhoven tentang hukum adat adalah :


- Het Adatrech van Nederlandsc Indie (1901-1933), pengantar hukum adat Hindia Belanda.
- Een adat Wetboektje Voor Hele Indie (1910), buku adat untuk seluruh Indonesia.
- De Indonesienen Zinj Grond (1919), orang Indonesia dan tanahnya.
- De Ontdekring van Het Adatrecht (1829), penemuan hukum adat.

F. Kedudukan Hukum Adat pada Masa Pemerintahan Jepang


Masa itu berlaku hukum militer, sedangkan hukum perundangan dan hukum adat tidak
mendapat perhatian saat itu. Peraturan pada masa pemeintahan Belanda tetap berlaku selama
tidak bertentangan dengan hukum militer.
Ketentuan ini diatur pada UU No. 1 Balatentara Jepang 1942 pasal 3 isinya :
Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan, hukum dan Undang-Undang dari pemerintah
yang dahulu, tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan aturan
pemerintah militer. (dasar hukum adat masa Jepang).

E. Jaman Kolonial (Penjajahan Belanda dan Jepang)

Sebelum Konstitusi RIS berlaku yaitu pada jaman penjajahan Jepang, terdapat peraturan
Dai Nippon yaitu Osamu Sirei pasal 3 menentukan bahwa peraturan-peraturan sebelumnya
juga masih tetap berlaku. Ketentuan yang ada pada waktu sebelum penjajahan Jepang
adalah ketentuan pasal 75 baru RR yang pada tahun l925 diundangkan dalan Stb nomor
415 Jo 577 berlaku mulai 1 januari 1926
dimasukkan dalam pasal 131 IS _(Indische Staatsregeleing) lengkapnya wet op de
staatsinrichting van Nederlands Indie.
Ketentuan tersebut juga merupakan penyempurnaan dari pasal 75 ayat 3 lama RR l854
_(Regeringsreglemen) lengkapnya Reglement op het beleid der regering van Nederlands
Indie_ (Peraturan tentang kebijaksanaan pemerintah di Hindia Belanda ) stb no. 2 tahun
1854 (belanda) dan Stb nomor 2 jo 1 1855 (Hindia Belanda) .Pasal 75 lama RR terdiri dari 6
ayat (Mahadi, 1991:1-2)
yaitu:.
(1). Sepanjang mengenai golongan Eropa, pemberian keadilan dalam bidang hukum
perdata juga dalam hukum pidana didasarkan pada _verordering-verordering umum,
yang sejauh mungkin sama bunyinya dengan undang undang yang berlaku di negeri
Belanda.
(2). Gubernur Jendral berhak menyatakan berlaku aturan-aturan yang dipandang pantas,
dari _verordering-verordering tersebut bagi golongan orang orang bumi putra. Jika perlu
aturan- aturan tersebut boleh dirubah.
(3) Kecuali secara suka rela orang Bumi putra menundukkan diri ke dalam hukum
perdata Eropa, maka dalam memutus suatu perkara hakim mempergunakan Hukum
Adat.
Pada waktu itu istilah untuk menyebut Hukum Adat dengan berbagai macam yaitu:
(1) UU agama, (2)l Lembaga-lembaga golongan bumi putra dan (3) Kebiasaan golongan
bumi putra sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas yang diakui umum tentang
kepatutan dan keadilan (4), (5) dan seterusnya tidak begitu penting bagi hukum adapt (6).
Jika hukum adat tidak mengatur tentang suatu perkara yang diajukan ke pengadilan
maka hakim memberikan keadilan kepada golongan bumi putra mengambil asas-asas
umum dari hukum perdata Eropa.
Menurut Mahadi (l991:2) pengertian Verordering umum dalam pa0sal 75 RR meliputi:-
Wet (UU) yang dibuat di negri Belanda oleh DPR belanda bersa-
ma-sama raja Belanda.
- AMVB (Algemene Maatregel van Bestuur)_ peraturan yang dibuat
oleh raja Belanda untuk menjalankan suatu undang undang yang
di Indonesia dikenal dengan Peraturan Pemerintah (PP).
- Ordonansi yaitu peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jendral
bersama-sama Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda) juga
dengan Volksraad (DPR). Di Indonesia disebut UU
- RV (regeringsverordering) yang dibuat oleh Gubernur Jendral
untuk menjalankan Ordonansi.
Pasal 75 lama RR merupakan hasil perubahan dan penyempurnaan dari ketentuan pasal 11
AB _(Algemene Bepalingen van Wetgeving). Pasal 75 lama RR berlaku sampai tanggal 1
Januari 1920 dan sejak tanggal itu pasal 75 lama RR mendapat perubahan yaitu menjadi
pasal 75 baru RR. Sebenarnya perubahan tersebut di Belan
da sudah terjadi pada tahun 1906 dengan Stb nomor 346. diikuti di Indonesia pada tahun
l907 dengan Stb nomor 204, tetapi sebelum berlaku, pada tahun yang sama (l907) pasal 75
baru RR sudah mengalami perubahan lagi dengan Stb 286 di Belanda dan stb no. 621 di
Indonesia. Pada tahun l920 RR baru dirubah lagi dan pada tahun l925 RR dimasukkan ke
dalam pasal 131 IS yang diberlakukan mulai tahun 1926 dengan Stb nomor 415 jo 577 tahun
l925. Pasal 131 ayat 2 sub b IS berisi tentang ketentuan bahwa bagi golongan hukum bumi
putra dan timur asing berlaku hukum adat mereka, _tetapi dengan pembatasan _(Sudiyat,
l981:24):
1. Jika kepentingan sosial mereka membutuhkan maka pembuat ordonansi (Gubernur
jendral dan Voksraad) dapat menentukan bagi mereka:
a. Hukum Eropa
b. Hukum Eropa yang telah diubah
c. Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama
2. Jika kepentingan umum memerlukan maka bagi mereka dapat ditentukan yaitu hukum
baru yang merupakan sintesa antara Hukum Adat dan Hukum Eropa.
Pasal 131 IS ditujukan kepada pembuat ordonansi untuk membuat kodifikasi hukum privat
bagi Bumi putra dan timur asing dan bukan kepada hakim. Masalahnya: ketika pembuat
ordonansi belum sempat membuat kodifikasi yang dimaksudkan maka apa yang menjadi
pegangan bagi hakim?. Jawab: berdasarkan pasal 131 ayat 6 (merupakan ketentuan
peralihan) yaitu selama hukum perdata dan hukum dagang yang sekarang berlaku bagi
Bumi Putra dan Timur Asing belum diganti dengan kodifikasi maka hukum yang berlaku
bagi mereka adalah Hukum Adat mereka sebelum tahun 1920 yang
ditentukan dalam pasal 75 RR 1854. Menurut Muhammad (1991:45),
Karena kodifikasi belum terlaksana maka kedua kekuasaan istimewa hakim mengenai
Hukum Adat tetap dapat dijalankan atas dasar bukan asas konkordansi seperti pada jaman
dahulu, tetapi yang menjadi ukuran bagi hakim adalah asas-asas hukum harus yang
dipertahankan dalam suatu negara hukum yang merdeka berdaulat berdasarkan UUD 45
dan Pancasila.
Perbedaan antara pasal 131 IS dengan pasal 75 lama RR antara
lain:
1. Hukum Adat dirumuskan secara berbeda dalam kedua pasal 75 lama RR dan 131 IS
(Mahadi, l991:17). Dalam pasal 75 lama Hukum Adat dirumuskan sebagai UU agama
lembaga-lembaga dan kebia saan-kebiasaan golongan bumi putra. Dalam pasal 131 IS,
Hukum Adat dirumuskan sebagai norma hukum yang erat hubungannya dengan
agama dan kebiasaan-kebiasaan. Rumusan Hukum Adat menurut pasal 75 lama RR
dipengaruhi oleh pendapat van den Berg yang dikenal dengan teori resepsi (_Recetio in
complexu)
2. Pasal 75 RR ditujukan kepada hakim sedang 131 ditujukan kepada pembuat UU.
3. Pasal 75 lama RR tidak ada kemungkinan bagi BP untuk menun dukkan diri kepada
hukum baru, sedangkan 131 IS ada kemung kinan untuk itu.
4. Pasal 75 lama RR memuat ketentuan tentang pembatasan terhadap berlakunya Hukum
Adat yaitu Hukum Adat tidak diberlakukan jika bertentangan dengan asas-asas keadilan. 1
Pembatasan ini tidak ada dalam pasal 131 IS. Pasal 134 ayat 2 IS menentukan bahwa
dalam hal timbul perkara antara orang muslim dan hukum adat memeinta
penyelesaiannya maka penyelesaian perkara tersebut diselenggarakan oleh hakim agama
kecuali ordonansi menetapkan lain.
Pasal 131 dan 134 IS hanya berlaku bagi hakim Landraad (PN), sedangkan bagi hakim
Peradilan Adat _(inheemse rechtspraak) dasar hukumnya adalah pasal 3 stb nomor 80 tahu
1932 bagi daerah yang langsung dikuasai oleh Belanda yang di luar Jawa dan Madura.
Sedangkan bagi daerah swapraja dasar hukumnya berlakunya Hukum Adat adalah pasal 13
ayat 3 stb nomor 529 tahun 1938 dalam lange contracten.
Dasar hukum peradilan adat di Jawa dan Madura adalah ketentuan pasal 3 RO stb
23 tahun 1847 jo stb jo. nomor 47 tahun 1848. RO ingkatan dari _Rechterlijke Organisatie
(Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie
BAB III

PENUTUP

2.1 KESIMPULAN

Dari penjelasan-penjelasan di muka, terlihat bahwa memang Hukum Adat yang


dibentuk pada situasi dan kondisi “Low Energy Society”, mempunyai peranan yang penting
sekali dalam pembentukan Hukum Nasional. Disamping itu, pembentukan Hukum Nasional
dapat didekati dengan pendekatan system dalam system social, yang dalam uraian dimuka
didasarkan pada pendapat Talcot Parsons.
Dalam tulisan ini hanya diberikan salah satu contoh aspek saja tentang Hukum adat ke
Hukum Nasional, yaitu mengenai Hukum lainnya (Adat) yang dapat diangkat menjadi
Hukum Nasional dengan melalui proses tertentu; hal ini tergantung pada identifikasi
kebutuhan.

Anda mungkin juga menyukai