DOSEN PEMBIMBING
DR.Yetniwati, SH.,MH.
NIP.196206261988032003
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
Muhammad Wahyu Armailiansyah B (B10017070)
Arif Rahmansyah (B10017071)
Inggrid Aulya (B10017075)
Muhammad Farhan Haviz (B10017109)
Muhammad Akbar Al-Islami (B10017128)
Galang Putra Nusantara (B10017294)
Rizky Aditya (B10017 )
Jordane Situmorang (B10017304)
Boyke Aulia Rachman (B10017320)
Ardian Dwiky (B10013231)
Falldo Heri W (B10013199)
UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM
2017/2018
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
tentang perkembangan hukum adat pada masa pra-kemerdekaan.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang perkembangan hukum adat pada
masa pra-kemerdekaan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................4
BAB 2 PEMBAHASAN............................................................................................7
Dalam penulisan makalah ini, permasalahan-permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai
berikut :
a. Bagaimanakah pelaksanaan system hukum adat pada masa penjajahan atau sebelum
merdeka ?
b. Bagaimanakah akibat hukum dari hukum adat yang tidak tertulis terhadap hukum yang
tertulis ?
1.3. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya adalah untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Hukum Adat. Selain itu, penulisan makalah ini bertujuan untuk menelaah lebih
jauh, menambah pemahaman serta memperluas pengetahuan mengenai system hukum adat
pada masa kerajaan di Indonesia.
1.4. Manfaat
a) Secara Teoretis
Diharapkan uraian dalam makalah ini dapat memberikan dasar dan pengarahan
dalam pemahaman mengenai hukum Adat dalam kehidupan masyarakat adat yang berada di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakekatnya sudah terdapat pada zaman kuno, zaman Pra-
Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra-Hindu tersebut menurut ahli-ahli
hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu Polinesia.
Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing
mempengaruhi kultur asli tersebut yang sejak lama menguasai tata kehidupan masyarakat
Indonesia sebagai suatu hukum adat. Sehingga Hukum Adat yang kini hidup pada rakyat itu
adalah hasil akulturasi antara peraturan-peraturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan
peraturan-peraturan hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen.
Setelah terjadi akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau “Inladsrecht”
menurut Van Vaollenhoven terdiri dari :
a) Dasar filosofis
Adapun yang dimaksud dasar filosofis dari Hukum Adat adalah sebenarnya nilai-nilai
dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir
Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong royong, musyawarah mufakat dan keadilan.
Dengan demikian Pancasila merupakan kristalisasi dari Hukum Adat.
Dasar Berlakunya Hukum Adat ditinjau dari segi Filosofi Hukum Adat yang hidup,
tumbuh dan berkembang di indonesia sesuai dengan perkembangan jaman yang berfiat
luwes, fleksibel sesuai dengan nilai-nilai Pancasila seperti yang tertuang dalam
pembukaan UUD 1945. UUD 1945 hanya menciptakan pokok-pokok pikiran yang meliputi
suasana kebatinan dari UUD RI. Pokok pokok pikiran tersebut menjiwai cita-cita hukum
meliputi hukum negara baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam pembukaan
UUD 1945 pokok pokok pikiran yang menjiwai perwujudan cicta-cita hukum dasar
negara adalah Pancasila. Penegasan Pancasila sebagai sumbertertib hukum sangat berarti
bagi hukum adat karena Hukum Adat berakar pada kebudayaan rakyat sehingga dapat
menjelmakan perasaan hukum yang nyata dan hidup dikalangan rakyat dan
mencerminkan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia (Wignjodipoero, l983:14).
Dengan demikian hukum adat secara filosofis merupakan hukum yang berlaku sesuai
Pancasila sebagai pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa Indonesia.
b) Dasar sosiologis
Hukum yang berlaku di suatu negara merupakan suatu sistem artinya bahwa hukum
itu merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian
atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya (Mertokusumo, l986:100).
Dengan kata lain bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-
unsur yang mempunyai interaksi satu sama lainnya dan bekerja bersama untuk mencapai
tujuan. Keseluruhan tata hukum nasional yang berlaku di Indonesia dapat disebut sebagai
sistem hukum nasional. Sistem hukum berkembang sesuai dengan perkembangan hukum.
Selain itu sistem hukum mempunyai sifat yang berkesinambungan, kontinyuitas dan
lengkap.
Dalam sistem hukum nasional wujud/ bentuk hukum yang ada dapat dibedakan menjadi
hukum tertulis ((hukum yang tertuang dalan perundang-undangan) dan hukum yang tidak
tertulis (hukum adat,
hukum kebiasaan).
Hukum yang berlaku di suatu negara dapat dibedakan menjadi hukum yang benar-
benar berlaku sebagai the living law (hukum yang hidup) ada hukum yang diberlakukan
tetapi tidak berlaku sebagai the living law. Sebagai contoh Hukum yang berlaku dengan
cara diberlakukan adalah hukum tertulis yaitu dengan cara diundangkan dalam lembaran
negara. Hukum tertulis dibuat ada yang berlaku sebagai the living law tetapi juga ada yang
tidak berlaku sebagai the living law karena tidak ditaati/ dilaksanakan oleh rakyat.
Hukum tertulis yang diberlakukan dengan cara diundangkan dalamlembaran negara
kemudian dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup
(the living law.)
Sedangkan hukum tertulis yang walaupun telah diberlakukan dengan cara
diundangkan dalam lembaran negara tetapi ditinggalkan dan tidak dilaksanakan oleh rakyat
maka tidak dapat dikatakan sebagai the living law. Salah satu contohnya adalah UU nomor
2 tahun 1960 tentang Bagi hasil.
Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis tidak memerlukan prosedur/ upaya
seperti hukum tertulis, tetapi dapat berlaku dalam arti dilaksanakan oleh masyarakat dengan
sukarela karena memang itu miliknya. Hukum adat dikatakan sebagai the living law karena
Hukum adat berlaku di masyarakat, dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat tanpa harus
melalui prosedur pengundangan dalam lembaran negara.
Berbagai istilah untuk menyebut hukum yang tidak tertulis sebagai the living law yaitu :
People law, Indegenous law, unwritten law, common law, customary law dan sebagainya.
c) Dasar yuridis
Dasar Berlakunya Hukum Adat Ditinjau Secara Yuridis dalam Berbagai Peraturan
Perundang-undangan, Mempelajari segi Yuridis dasar berlakunya Hukum Adat berarti
mempelajari dasar hukum berlakunya Hukum Adat di Indonesia (Saragih, l984:15).
Berdasarkan fakta sejarah dapat dibagi dalam dua periode yaitu pada jaman Kolonial
(penjajahan Belanda dan Jepang) dan jaman Indonesia Merdeka.
Bukti-bukti bahwa dulu sebelum bangsa Asing masuk ke Indonesia sudah ada hukum
adat, adalah sebagai berikut :
1. Tahun 1000, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur dengan kitabnya
yang disebut Civacasana.
2. Tahun 1331-1364, Gajah Mada Patih Majapahit, membuat kitab yang disebut Kitab Gajah
Mada.
3. Tahun 1413-1430, Kanaka Patih Majapahit, membuat kitab Adigama.
2. Faktor Agama
Masuknya agama-agama di Indonesia cukup banyak memberikan pengaruh terhadap
perkembangan hukum adat misalnya :
Agama Hindu :
Pada abad ke 8 masuknya orang India ke Indonesia dengan membawa agamanya,
pengaruhnya dapat dilihat di Bali. Hukum-hukum Hindu berpengaruh pada bidang
pemerintahan Raja dan pembagian kasta-kasta.
Agama Islam :
Pada abad ke 14 dan awal abad 15 oleh pedagang-pedagang dari Malaka, Iran. Pengarush
Agama Islam terlihat dalam hukum perkawinan yaitu dalam cara melangsungkan dan
memutuskan perkawinan dan juga dalam bidang wakaf. Pengaruh hukum perkawinan Islam
didalam hukum adat di beberapa daerah di Indonesia tidak sama kuatnya misalnya daerah
Jawa dan
Madura, Aceh pengaruh Agama Islam sangat kuat, namun beberapa daerah
tertentu walaupun sudah diadakan menurut hukum perkawinan Islam,
tetapi tetap dilakukan upacara-upacara perkawinan menurut hukum adat,
missal di Lampung, Tapanuli.Agama Kristen :Agama Kristen dibawa oleh pedagang-
pedagang Barat. Aturan-aturanhukum Kristen di Indonesia cukup memberikan pengaruh pada
hukum keluarga, hukum perkawinan.Agama Kristen juga telah memberikan pengaruh besar
dalam bidang socialkhususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan, dengan
didirikannyabeberapa lembaga Pendidikan dan rumah-rumah sakit.
D. Zaman Hindu
Agama Hindu hanya mempunyai pengaruh di pulau Jawa, Sumatera dan Bali, sedangkan di
daerah lain mendapat pengaruh dari zaman “Malaio polynesia”, yaitu : Suatu zaman dimana
nenek moyang kita masih memegang adat istiadat asli yang dipengaruhi oleh alam yang serba
kesaktian.
Pada zaman Hindu tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh hukum agama Hindu
serta hukum agama Budha yang dibawa oleh para pedagang (khususnya dari Cina). Kerajaan-
kerajaan tersebut antara lain :
- Sriwijaya – Raja Syailendra (abad 7 s/d 9)
~ Pusat pemerintahan : hukum agama Budha
~ Pedalaman : hukum adat Malaio Polynesia
- Medang (Mataram)
Masa raja “Dharmawangsa” dikeluarkan suatu UU “Iwacasana – Jawa Kuno –
Purwadhigama.
Untuk mengabadikan berbagai peristiwa penting dalam bidang peradilan, telah dibuat
beberapa prasasti antara lain :
- Prasasti Bulai (860 M)
- Prasasti Kurunan (885 M)
- Prasasti Guntur (907 M)
Setelah runtuhnya kerajaan Mataram, Jawa dipimpin oleh “Airlangga” yang membagi
wilayah kerajaan atas :
- Kerajaan Jonggala
- Kerajaan Kediri (Panjalu)
Zaman raja-raja “Airlangga”, usaha-usaha yang dilakukan terhadap hukum adat :
1. Adanya meterai raja yang bergambar kepala garuda.
2. Macam-macam pajak dan penghasilan yang harus dibayar kepada raja
Kesimpulan :
Secara zaman ini di mana kerajaan-kerajaan yang ada dipengaruhi oleh agama Hindu dan
sebagian kecil agama Budha. Hal ini terlihat adanya pembagian-pembagian kasta dalam
bidang pemerintahan dan peradilan.
Zaman ini berakhir dengan wafatnya Mahapatih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk dengan
raja terakhir Kertabumi (1478). Sejak saat itu kekuasaan di Jawa diambil alih oleh Kerajaan
Demak.
Sebab-sebab runtuhnya kerajaan Majapahit :
- Perpecahan diantara pemimpinnya.
- Perang saudara dan perebutan kekuasaan.
B. Zaman Islam
- Aceh (Kerajaan Pasai dan Perlak)
Pengaruh hukum Islam cukup kuat terhadap hukum adat, terlihat dari setiap tempat
pemukiman dipimpin oleh seorang cendekiawan agama yang bertindak sebagai imam dan
bergelar “Teuku/Tengku”.
- Lampung
Masuknya Islam disini pada masa “Ratu Pugung” dimana puterinya yang bernama “Sinar
Alam” melangsungkan perkawinan dengan “Syarif Hidayat Fatahillah/sunan Gunung Jati”,
setelah jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Islam. Susunan kekerabatan yang dianut adalah
garis keturunan laki-laki (patrilineal). Di mana laki-laki tertua (disebut “pun” – yang
dihargai) – Kewarisan Mayorat. Ia berhak dan berkewajiban melanjutkan orang tua.
- Jawa
~ Jawa Timur : pelabuhan Gresik dan Tuban
Penduduknya : Kota pantai – orang pendatang (Arab, Cina, Pakistan) dengan agama Islam.
adanya makam Maulana Malik Ibrahim. Penduduk asli : agama Hindu.
~ Jawa Tengah
BerdIrinya kerajaan Demak – Raden Patah.
Dimana Masjid – menjadi pusat perjuangan dan pemerintahan pembantu raden Fatah yang
terkenal – Raden Sa’id/Sunan Kali Jogo.
Pada masa “Pangeran Trenggana” dengan bantuan Fatahillah berhasil menduduki Cirebon
dan Banten.
~ Jawa Barat – kerajaan Pajajaran didirikan “Ratu purana”
Pelabuhan laut :
- Banten
- Kalapa (Sunda Kelapa)
Tahun 1552 Fatahillah memimpin Armada Demak dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa
– Jayakarta.
- Bali
Pengaruh Islam sangat kecil, masyarakat masih tetap mempertahankan adat istiadat dari
agama Hindu. Menurut I Gusti Ketut Sutha, SH bahwa hubungan antara adat/hukum adat
dengan agama (khususnya agama Hindu) di Bali merupakan pengecualian. Hal ini diperkuat
oleh penegasan Pemda Bali yang menyatakan :
Bahwa pengertian adat di Bali dengan desa dan krama adatnya adalah berbeda dengan
pengertian adat secara umum.
Artinya : pelaksanaan agama dengan segala aspeknya terwujud dalam Panca Yodnya yang
merupakan wadah konkrit dan tatwa (Filsafah) dan susila (etika) agama, karena seluruh
kehidupan masyarakat Bali terjali erat berdasarkan atas keagamaan.
Contoh : dalam hal pembagian warisan erat hubungannya dengan pengabenan atau upacara
pembakaran mayat yang hakekatnya adalah pengaruh agama Hindu, juga ada bagian tertentu
dari jumlah warisan yang diperuntukkan untuk tujuan keagamaan.
- Kalimantan
~ Agama Islam hanya berhasil mempengaruhi masyarakat di daerah pantai.
~ Masyarakat daerah pedalaman masih berdasarkan kepercayaan dari zaman Malaio
Polynesia – kepercayaan kaharingan.
- Sulawesi
Dimulai berdirinya kerajaan “Goa” oleh Datuk Ri Bandang. Pengaruh Islam hanya sebagai
pengisi rohani, tidak merubah/mendesak adat masyarakat.
Sebelum Konstitusi RIS berlaku yaitu pada jaman penjajahan Jepang, terdapat peraturan
Dai Nippon yaitu Osamu Sirei pasal 3 menentukan bahwa peraturan-peraturan sebelumnya
juga masih tetap berlaku. Ketentuan yang ada pada waktu sebelum penjajahan Jepang
adalah ketentuan pasal 75 baru RR yang pada tahun l925 diundangkan dalan Stb nomor
415 Jo 577 berlaku mulai 1 januari 1926
dimasukkan dalam pasal 131 IS _(Indische Staatsregeleing) lengkapnya wet op de
staatsinrichting van Nederlands Indie.
Ketentuan tersebut juga merupakan penyempurnaan dari pasal 75 ayat 3 lama RR l854
_(Regeringsreglemen) lengkapnya Reglement op het beleid der regering van Nederlands
Indie_ (Peraturan tentang kebijaksanaan pemerintah di Hindia Belanda ) stb no. 2 tahun
1854 (belanda) dan Stb nomor 2 jo 1 1855 (Hindia Belanda) .Pasal 75 lama RR terdiri dari 6
ayat (Mahadi, 1991:1-2)
yaitu:.
(1). Sepanjang mengenai golongan Eropa, pemberian keadilan dalam bidang hukum
perdata juga dalam hukum pidana didasarkan pada _verordering-verordering umum,
yang sejauh mungkin sama bunyinya dengan undang undang yang berlaku di negeri
Belanda.
(2). Gubernur Jendral berhak menyatakan berlaku aturan-aturan yang dipandang pantas,
dari _verordering-verordering tersebut bagi golongan orang orang bumi putra. Jika perlu
aturan- aturan tersebut boleh dirubah.
(3) Kecuali secara suka rela orang Bumi putra menundukkan diri ke dalam hukum
perdata Eropa, maka dalam memutus suatu perkara hakim mempergunakan Hukum
Adat.
Pada waktu itu istilah untuk menyebut Hukum Adat dengan berbagai macam yaitu:
(1) UU agama, (2)l Lembaga-lembaga golongan bumi putra dan (3) Kebiasaan golongan
bumi putra sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas yang diakui umum tentang
kepatutan dan keadilan (4), (5) dan seterusnya tidak begitu penting bagi hukum adapt (6).
Jika hukum adat tidak mengatur tentang suatu perkara yang diajukan ke pengadilan
maka hakim memberikan keadilan kepada golongan bumi putra mengambil asas-asas
umum dari hukum perdata Eropa.
Menurut Mahadi (l991:2) pengertian Verordering umum dalam pa0sal 75 RR meliputi:-
Wet (UU) yang dibuat di negri Belanda oleh DPR belanda bersa-
ma-sama raja Belanda.
- AMVB (Algemene Maatregel van Bestuur)_ peraturan yang dibuat
oleh raja Belanda untuk menjalankan suatu undang undang yang
di Indonesia dikenal dengan Peraturan Pemerintah (PP).
- Ordonansi yaitu peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jendral
bersama-sama Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda) juga
dengan Volksraad (DPR). Di Indonesia disebut UU
- RV (regeringsverordering) yang dibuat oleh Gubernur Jendral
untuk menjalankan Ordonansi.
Pasal 75 lama RR merupakan hasil perubahan dan penyempurnaan dari ketentuan pasal 11
AB _(Algemene Bepalingen van Wetgeving). Pasal 75 lama RR berlaku sampai tanggal 1
Januari 1920 dan sejak tanggal itu pasal 75 lama RR mendapat perubahan yaitu menjadi
pasal 75 baru RR. Sebenarnya perubahan tersebut di Belan
da sudah terjadi pada tahun 1906 dengan Stb nomor 346. diikuti di Indonesia pada tahun
l907 dengan Stb nomor 204, tetapi sebelum berlaku, pada tahun yang sama (l907) pasal 75
baru RR sudah mengalami perubahan lagi dengan Stb 286 di Belanda dan stb no. 621 di
Indonesia. Pada tahun l920 RR baru dirubah lagi dan pada tahun l925 RR dimasukkan ke
dalam pasal 131 IS yang diberlakukan mulai tahun 1926 dengan Stb nomor 415 jo 577 tahun
l925. Pasal 131 ayat 2 sub b IS berisi tentang ketentuan bahwa bagi golongan hukum bumi
putra dan timur asing berlaku hukum adat mereka, _tetapi dengan pembatasan _(Sudiyat,
l981:24):
1. Jika kepentingan sosial mereka membutuhkan maka pembuat ordonansi (Gubernur
jendral dan Voksraad) dapat menentukan bagi mereka:
a. Hukum Eropa
b. Hukum Eropa yang telah diubah
c. Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama
2. Jika kepentingan umum memerlukan maka bagi mereka dapat ditentukan yaitu hukum
baru yang merupakan sintesa antara Hukum Adat dan Hukum Eropa.
Pasal 131 IS ditujukan kepada pembuat ordonansi untuk membuat kodifikasi hukum privat
bagi Bumi putra dan timur asing dan bukan kepada hakim. Masalahnya: ketika pembuat
ordonansi belum sempat membuat kodifikasi yang dimaksudkan maka apa yang menjadi
pegangan bagi hakim?. Jawab: berdasarkan pasal 131 ayat 6 (merupakan ketentuan
peralihan) yaitu selama hukum perdata dan hukum dagang yang sekarang berlaku bagi
Bumi Putra dan Timur Asing belum diganti dengan kodifikasi maka hukum yang berlaku
bagi mereka adalah Hukum Adat mereka sebelum tahun 1920 yang
ditentukan dalam pasal 75 RR 1854. Menurut Muhammad (1991:45),
Karena kodifikasi belum terlaksana maka kedua kekuasaan istimewa hakim mengenai
Hukum Adat tetap dapat dijalankan atas dasar bukan asas konkordansi seperti pada jaman
dahulu, tetapi yang menjadi ukuran bagi hakim adalah asas-asas hukum harus yang
dipertahankan dalam suatu negara hukum yang merdeka berdaulat berdasarkan UUD 45
dan Pancasila.
Perbedaan antara pasal 131 IS dengan pasal 75 lama RR antara
lain:
1. Hukum Adat dirumuskan secara berbeda dalam kedua pasal 75 lama RR dan 131 IS
(Mahadi, l991:17). Dalam pasal 75 lama Hukum Adat dirumuskan sebagai UU agama
lembaga-lembaga dan kebia saan-kebiasaan golongan bumi putra. Dalam pasal 131 IS,
Hukum Adat dirumuskan sebagai norma hukum yang erat hubungannya dengan
agama dan kebiasaan-kebiasaan. Rumusan Hukum Adat menurut pasal 75 lama RR
dipengaruhi oleh pendapat van den Berg yang dikenal dengan teori resepsi (_Recetio in
complexu)
2. Pasal 75 RR ditujukan kepada hakim sedang 131 ditujukan kepada pembuat UU.
3. Pasal 75 lama RR tidak ada kemungkinan bagi BP untuk menun dukkan diri kepada
hukum baru, sedangkan 131 IS ada kemung kinan untuk itu.
4. Pasal 75 lama RR memuat ketentuan tentang pembatasan terhadap berlakunya Hukum
Adat yaitu Hukum Adat tidak diberlakukan jika bertentangan dengan asas-asas keadilan. 1
Pembatasan ini tidak ada dalam pasal 131 IS. Pasal 134 ayat 2 IS menentukan bahwa
dalam hal timbul perkara antara orang muslim dan hukum adat memeinta
penyelesaiannya maka penyelesaian perkara tersebut diselenggarakan oleh hakim agama
kecuali ordonansi menetapkan lain.
Pasal 131 dan 134 IS hanya berlaku bagi hakim Landraad (PN), sedangkan bagi hakim
Peradilan Adat _(inheemse rechtspraak) dasar hukumnya adalah pasal 3 stb nomor 80 tahu
1932 bagi daerah yang langsung dikuasai oleh Belanda yang di luar Jawa dan Madura.
Sedangkan bagi daerah swapraja dasar hukumnya berlakunya Hukum Adat adalah pasal 13
ayat 3 stb nomor 529 tahun 1938 dalam lange contracten.
Dasar hukum peradilan adat di Jawa dan Madura adalah ketentuan pasal 3 RO stb
23 tahun 1847 jo stb jo. nomor 47 tahun 1848. RO ingkatan dari _Rechterlijke Organisatie
(Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie
BAB III
PENUTUP
2.1 KESIMPULAN