Disusun untuk Pemenuhan Tugas Mata Kuliah Hukum Adat Sekolah Tinggi
Agama Islam Darud Da’wah Wal Irsyad Mangkoso Semester V Angkatan 2020
Oleh :
Kelompok X (sepuluh)
Hamka 200231005
Azwar Anas 200231052
Dosen Pemangku:
Laela Safriyani, S.Sy., M.HI.
Puji syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan
“Hukum Adat” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Dosen pada Mata kuliah Hukum Adat.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Laela Safriyani, S.Sy.,
M.HI. selaku Dosen Mata kuliah Hukum Adat yang telah memberikan tugas ini
kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis
ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
Kelompok X
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 3
A. Pengertian Hukum Adat ......................................................................... 3
B. Jenis-Jenis Peradilan Hukum Adat......................................................... 4
C. Eksistensi Peradilan Adat....................................................................... 8
D. Keberlakuan Peradilan Adat ................................................................. 14
BAB III PENUTUP ................................................................................... 19
A. Kesimpulan ........................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 20
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
berada di suatu wilayah tertentu yang berkembang pada masyarakat itu sendiri dan
manusia akan mengatur dirinya sendiri dan keluarga yang berada disekitarnya
ditiru, diakui serta dipertahankan sehingga menjadi adat. Lambat laun kebiasaan
yang menjadi adat tersebut berlaku pada masyarakat tersebut sehingga menjadi
hukum adat yang jika dlilanggarakan mendapatkan sanksi bagi para pelanggarnya.
berkesimpullan pengertian hukum adat adalah Hukum Indonesia asli yang tidak
mengandung unsur-unsur agama. Maka sudah jelaslah bahwa hukum adat diakui
keberadaannya yang prlu diketahui bahwa hukum adat memilik corak tersendiri
untuk dipatuhi ketentuannnya sehingga jika ada yang melanggar akan mendapatkan
1
2
timbul pada masyarakat yang melanggar hukum adat dan diharuskan mendapatkan
sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Hukum peradilan adat adalah aturan-aturan
hukum adat yang mengatur tata cara menyelesaikan suatu perkara dan atau
keputuan perkara tersebut disebut peradilan adat. Peradilan adat dapat dilaksanakan
oleh anggota masyarakat secara perorangan, oleh keluarga atau tetangga, kepala
kerabat atau kepala adat (Hakim Adat), kepala desa (Hakim Desa) atau oleh
Dari beberapa latar belakang di atas, kami sebagai penulis akan membahas
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Apa Pengertian Peradilan Hukum Adat.
2. Untuk Mengetahui Apa Saja Jenis-jenis Peradilan Hukum Adat.
adat yang mengatur tentang cara bagaimana bertindak untuk menyelesaikan sebuah
kasus dan untuk menetapkan keputusan menurut hukum adat dalam memutuskan
sebuah kasus. Aturan untuk menyelesaikan masalah atau kasus tersebut merupakan
sebuah peradilan, mendengar kata peradilan mungkin yang kita pikirkan adalah
sebuah keadilan, yang dapat dilakukan melalui proses persidangan atau bahkan
permusyawaratan.1
Peradilan adat dilaksanakan oleh masyarakat daerah atau adat itu sendiri
secara perorangan, oleh keluarga bahkan tetangga, kepala daerah atau kepala adat
yang sebagai hakim adat, kepala desa, atau oleh pengurus organisasi , sebagaimana
telah disetujui seluruh masyarakat adat di dalam penyelesaian delik adat secara
Pasal 103 huruf d dan e UU Desa, maka pengadilan adat merupakan pengadilan
yang ada dalam masyarakat hukum adat, untuk memutus maupun mendamaikan
sengketa adat berdasarkan hukum adat. Undang-undang daerah atau desa mengakui
1
Hadikusuma Hilman, Peradilan Adat di Indonesia (Miswar: Jakarta, 1989), h. 25.
2
Hadikusuma Hilman, Peradilan Adat di Indonesia, h. 28.
3
4
Pengadilan yang dikenal oleh masyarakat hukum adat itulah yang akan disetujui
Ada lima jenis peradilan hukum adat yang diwariskan oleh perundang-
nama Raja atau Ratu Belanda berdasarkan tata hukum Eropa bagi seluruh daerah
Agama dan bisa Hakim Pribumi atau Hakim Gubernemen agar dapat
menyelesaikan suatu perkara atau kasus yang berhubungan dengan Hukum Islam.
tidak dalam kewenangan peradilan gubernemen. Pada pasal 130 I.S. menjelaskan
Peradilan desa dirapatkan para kepala desa atau kepala masyarakat hukum adat
setempat serta tugasnya hanya mengenai kasus perdata yang ringan terhadap
3
I Gede A. B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2005), h. 36.
4
I Gede A. B. Wiranata, Hukum adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke Masa
(Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003), h. 45.
5
putusan peradilan desa bisa diajukan banding pad hakim yang lebih tinggi yaitu
hakim distrip.
Dari kelima peradilan diatas yang masih menerapakan hukum adat atau
pribumi dan peradilan desa serta peradilan swapraja, dari ketiga peradilan ini masih
menerapkan atau masih berpedoman pada hukum adat sampai sekarang. Peradilan
Pribumi merupakan peradilan yang dilakukan Hakim Eropa juga Hakim Indonesia,
tidak dengan nama Raja atau Ratu serta tidak berdasarkan hukum eropa, namun
5
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad Ke Abad (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978),
h. 65.
6
Hadiz R. Vedi, Localising Power in Post- Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia
Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010), h. 105.
6
boleh dari luar daerah, apabila penggugat yang melapor merasa dirinya dirugikan
oleh pihak dalam, Peradilan ini memakai hukum yang khusus yaitu peraturan yang
dibuat oleh peradilan Residen. Peradilan desa adalah peradilan yang sederhana
masyarakat desa. Pada peradilan desa ada yang namanya hakim perdamaian desa. 7
yang dianggap khusus, untuk tugas tertentu, mempunyai kantor seperti hakim pada
hukum adat untuk dapat menyelesaikan suatu kasus dan sengketa didaerahnya.
melaksanakan tugasnya agar tercapainya suatu keadilan yang ada pada masyarakat
pada umumnya ada disetiap kabupaten Pakoe Alaman serta Swapraja Pontianak.
zelfbestuurs Regelen 1938 atau Lange Contact kepada berbagai Swapraja. peradilan
ini terdapat pada ilayah jawa maupun madura serta terdapat pada daerah seberang,
aturan untuk mengadili berdasarkan pada hukum materiil dan hukum formil
ditetapkan oleh ketetapan Residen setempat setelah berdiskusi dengan swapraja
precedent seperti yang ada pada peradilan anglo saxon, maka hakim terdahulu
7
Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia, h. 30.
8
Muryadi, Lilik. https://badilag.mahkamahagung.go.id/eksistensi-hukum-pidana-adat-
indonesia/artikel-bagian-I-wordpress (24 November 2022).
9
M.B. Hooker, Adat Law in Modern Indonesia (Amerika Serikat: Oxford University
Press, 1978), h. 89.
7
dalam putusannya tidak wajib untuk di ikuti, meskipun dengan perkara yang sama
atau kejadian yang seruapa. Begitu juga pada pemeriksaan di hadapan pengadilan
seperti pemakat pada seorang berperkara yang beda pada hukum adatnya serta
untuk penengah dari kedua pihak yang beda adatnya, atau untuk memutus perkara
dari dua pihak yang adatnya sama. Lalu dalam hal tersebut hakim dapat
pengakuan konstitusi, khususnya Pasal 18 B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 I
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945). Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945 Negara mengakui dan menghormati
satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 Identitas budaya dan hak masyarakat
10
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), h. 34.
11
Datoek Toeah, Tambo Adat Minangkabau (Bukittinggi: Pustaka Indonesia, 1989), h.
76.
8
18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 menegaskan soal governance, atau
antara Pasal 18B ayat (1) dengan Pasal 18B ayat (2), sebenarnya menarik, karena
hukum ke dalam tiga stelsel hukum, yaitu: (1) hukum perdata barat; (2) hukum
untuk bangsa timur asing; serta (3) hukum adat untuk penduduk pribumi.
Agraria (UUPA).12
menegaskan,
“....tetapi yang perlu ditegaskan di sini, yaitu bahwa desa-desa, negeri-negeri,
marga-marga dan lainnya tetaplah menjadi kaki Pemerintahan Republik
Indonesia….”13
Secara khusus, istilah ‘peradilan adat’ telah pula diakui keberadaannya
masa Pemerintahan Hindia Belanda. Saat itu dikenal lima jenis peradilan, yaitu
12
Hadiz R. Vedi, Localising Power in Post- Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia
Perspective, h. 106.
13
Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan Persiapan Usaha-Usaha Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Sekretariat Negara
Republik Indonesia (Jakarta: Republik Indonesia Press, 1995). h. -.
9
Diakuinya peradilan untuk orang pribumi, yaitu peradilan adat dan peradilan desa
karena Belanda menyadari bahwa mereka tidak bisa menyelesaikan sendiri seluruh
persoalan yang dihadapi oleh penduduk Hinda Belanda (Indonesia) sendiri dengan
solusi atas masalah tersebut, oleh sebabnya Pasal 163 Indische Staatsregeling
para Hakim Eropa dan juga Hakim Indonesia, tidak mengatasnamakan Raja atau
14
Hooker, M.B.. Adat Law in Modern Indonesia, h. 90.
15
Hadiz R. Vedi, Localising Power in Post- Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia
Perspective, h. 107.
10
Ratu Belanda dan tidak berdasarkan tata hukum Eropa, melainkan didasarkan atas
tata hukum adat yang ditetapkan oleh Residen dengan persetujuan Direktur
Kehakiman di Batavia.16
Tersangka. Penggugat atau pihak yang menyengketakan boleh saja yang bukan
bertahan hingga masa awal kemerdekaan dan masa pemerintahan Soekarno. Sejak
mengalami sejumlah penataan dalam rangka unifikasi. Hal tersebut bisa terlihat
Negara Republik Indonesia Tahun 1947 No. 23) juncto Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1950 tentang Peraturan Daerah Pulihan,
16
M. B. Hooker, Adat Law in Modern Indonesia, h. 91.
17
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung: CV. Mandar
Maju, 2003), h. 78.
18
Simarmata Rikardo, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia
(Jakarta: UNDP, 2006), h. 56.
11
Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil (UU Drt No. 1 Tahun 1951).
Dalam UU Drt No 1 Tahun 1951, menegaskan dalam pasal 1 ayat (2) bahwa
pidana yang sedang ditangani baik oleh pengadilan swapraja maupun pengadilan
adat. Berikut kutipan pasal terkait transisi tersebut: (1) Terhadap segala perkara
pidana yang pada saat peraturan ini mulai berlaku telah diputuskan oleh
peralihan bab B yuncto ketentuan dalam pasal 5 bab 3 huruf b berlaku juga. (2)
Segala perkara yang pada saat peraturan ini mulai berlaku telah ada pada
berdasar atas ketentuan dalam pasal 1 ayat 2 bab a dan b, dijalankan putusannya
Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Na Tolu.
Perda lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II (Kabupaten), sebagai lembaga
19
Hadiz R. Vedi, Localising Power in Post- Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia
Perspective, h. 107.
20
Simarmata Rikardo, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, h.
57.
12
Tahun 1998. Selain itu, disusul dengan dengan berbagai peraturan daerah tingkat
2000; Peraturan Daerah Kabupaten Kapuas Nomor 5 Tahun 2001; dan Peraturan
Di Papua salah satu contohnya, yang dulu pernah dihapus, kini lahir
Peraturan Daerah Khusus Papua Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di
Papua. Peradilan adat dalam Perda ini (sebagai tindak lanjut berlakunya UU
Otonomi Khusus Papua) adalah peradilan adat pada kesatuan masyarakat hukum
berdasar UU Drt 1951. Konsep peradilan adat dalam UU Otonomi Khusus Papua
dan Perdasus Nomor 20 Tahun 2008 lebih mirip peradilan desa (Dorpjustitie).23
Begitu pula penegasan soal adat Dayak kembali diatur melalui Peraturan
Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Pula aturan yang sifatnya ‘memandu’ peradilan
21
M. B. Hooker, Adat Law in Modern Indonesia, h. 92.
22
I Gede A. B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia, h. 37.
23
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad Ke Abad, h. 66.
13
adat melalui Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 42 tahun 2013 tentang
Indonesia, adalah sejauh mana hubungan antara hukum negara dengan hukum adat
publik, privat, dan atau kombinasi keduanya dalam satu persidangan. Dalam
khususnya menyangkut urusan privat atau publik, sungguh bukan semata hal yang
tak mudah, atau bahkan tidak mungkin atau pula berbahaya dalam arti bisa
logika sistem dan prinsip tersendiri. 26 Keberadaan masyarakat adat dan hak
hukum tertulis yang dibuat oleh institusi negara. Secara a contrario, dapat
24
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, h.
58.
25
Arief, As Suhaiti. Eksistensi Peradilan Adat Pada Masyarakat Hukum Adat
Minangkabau di Sumatera Barat (Usulan Penelitian Program Hibah Kompetisi A-2. Padang: Sinar
Grafika, 2007.
26
Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia, h. 31.
14
dikatakan bahwa, jika tidak diakui secara hukum maka eksistensi peradilan adat
sebagaimana hak asasi yang lain adalah hak yang melekat pada diri masyarakat
adat. Dengan penjelasan di atas, elemen yang mendasar sifatnya soal “sumber
sumber otoritas penyelenggaraan peradilan adat berasal dari sistem hukum lokal
adat setempat, dalam arti ada penegasan dari dan oleh struktur otoritatif di level
masyarakat adat; (2) sumber otoritas penyelenggaraan peradilan adat berasal dari
non-sistem hukum lokal adat setempat, yang bisa berasal dari pemerintah daerah
(Gubernur, Bupati, Kepala Desa, dll.); (3) ada kemungkinan, sumber otoritasnya
berasal dari kombinasi keduanya, melalui ruang dialog tertentu yang melahirkan
persepakatan soal penyelenggaraan peradilan adat tertentu. Hal ini berbasis pada
riset BPHN yang mencoba membedahkan dari sisi bagaimana peradilan adat
pemikiran melalui buku ‘Sistem Peradilan Adat dan Lokal di Indonesia, Peluang
dan Tantangan’. Salah satu dalam kajian itu, menegaskan ada keinginan perlunya
memperluas dan memperkuat jaminan penyelenggaraan peradilan adat dalam
konteks sistem hukum Indonesia. Begitu juga, dalam konteks kelembagaan negara
27
Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, h.
59.
15
relasi kekuasaan kehakiman dengan peradilan adat, atau sama sekali tidak ada.
Sekalipun demikian, kini Mahkamah Agung telah membuka ruang untuk menjajaki
BPHN, ada beberapa alasan perlunya didorong proses penyelesaian sengketa non-
dan biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia. Beberapa studi juga menunjukkan
28
Datoek Toeah, Tambo Adat Minangkabau, h. 69.
29
Datoek Toeah, Tambo Adat Minangkabau, h. 70.
30
Wiranata, I Gede A. B. Hukum adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke Masa,
h. 47.
16
menyelesaikan sengketa dengan cara damai. Cara ini diakui efektif dalam
perdamaian.
perkara melalui jalur formal sampai ke desa-desa terpencil. Selain itu, kapasitas
peradilan formal yang juga berat karena terjadi penumpukan perkara yang yang
sangat serius. Sebagai catatan, bila dilihat pada institusi tertinggi peradilan negara,
tahun ada 13 ribu perkara yang masuk ke Mahkamah Agung. Jumlah sebanyak itu
harus diselesaikan oleh 54 Hakim Agung yang selalu menyisakan 8 ribu kasus tiap
di tingkat lokal yang memberi pemaknaan sosial lebih dan menguatkan kearifan-
kearifan lokal, seperti sejumlah contoh yang dikutip dari kajian SAJI, yakni tradisi
(NTB), atau Peradilan Adat Clan Selupu Lebong (Bengkulu).33 Menariknya, salah
31
Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, h. 61.
32
Muryadi, Lilik. https://badilag.mahkamahagung.go.id/eksistensi-hukum-pidana-adat-
indonesia/artikel-bagian-I-wordpress (24 November 2022).
33
Hilman Hadikusuma Peradilan Adat di Indonesia, h. 80.
17
satu faktor penting dalam mendiskusikan keberlakuan peradilan adat adalah sejauh
mana peradilan adat tersebut dipatuhi para pihak yang sedang berkonflik.
hukum dan manusia yang menjadi objek pengaturan hukum tersebut. Kepatuhan
terhadap hukum tidak hanya dilihat sebagai fungsi peraturan hukum, melainkan
juga fungsi manusia yang menjadi sasaran pengaturan. Kepatuhan hukum tidak
hanya dijelaskan dari kehadiran hukum semata, melainkan juga dari kesediaan
Bila posisi hukum yang dimaksud adalah hukum adat dan mekanismenya
masyarakat adat, dan di sisi lain ada pula yang tidak terkait atau bukan bagian dari
masyarakat adat (pihak luar). Misalnya dalam konteks peradilan adat yang
berkaitan dengan soal eksploitasi sumberdaya alam, tambang, kelapa sawit, atau
sebagaimana kita saksikan atas kasus Tambang Mangan di Manggarai, atau kasus
Tambang Semen di komunitas Samin. Oleh sebab itu, keberlakuan peradilan adat
34
M. B. Hooker, Adat Law in Modern Indonesia, h. 93.
18
terselenggaranya peradilan adat, yang sama sekali tak boleh diabaikan dalam
Prinsip tersebut terdiri dari tiga: prinsip kearifan lokal, keadilan sosial,
35
Hadiz R. Vedi, Localising Power in Post- Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia
Perspective, h. 108.
36
Hadiz R. Vedi, Localising Power in Post- Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia
Perspective, h. 109.
37
M. B. Hooker, Adat Law in Modern Indonesia, h. 94.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Peradilan hukum adat merupakan norma-norma yang ada dalam hukum adat
sebuah kasus dan untuk menetapkan keputusan menurut hukum adat dalam
menyelesaikan sengketa dengan cara damai. Cara ini diakui efektif dalam
19
DAFTAR PUSTAKA
20