Anda di halaman 1dari 23

HUKUM PERADILAN ADAT DI INDONESIA

Disusun untuk Pemenuhan Tugas Mata Kuliah Hukum Adat Sekolah Tinggi
Agama Islam Darud Da’wah Wal Irsyad Mangkoso Semester V Angkatan 2020

Oleh :

Kelompok X (sepuluh)

Hamka 200231005
Azwar Anas 200231052

Dosen Pemangku:
Laela Safriyani, S.Sy., M.HI.

JURUSAN SYARIAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUD


DA’WAH WAL IRSYAD MANGKOSO KABUPATEN BARRU
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul

“Hukum Adat” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari

makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Dosen pada Mata kuliah Hukum Adat.

Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang

pembaharuan Islam bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Laela Safriyani, S.Sy.,

M.HI. selaku Dosen Mata kuliah Hukum Adat yang telah memberikan tugas ini

sehingga dapat menambah pengetahuan wawasan.Kami juga mengucapkan terima

kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga

kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis

ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang

membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Mangkoso, 24 November 2022

Kelompok X

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 3
A. Pengertian Hukum Adat ......................................................................... 3
B. Jenis-Jenis Peradilan Hukum Adat......................................................... 4
C. Eksistensi Peradilan Adat....................................................................... 8
D. Keberlakuan Peradilan Adat ................................................................. 14
BAB III PENUTUP ................................................................................... 19
A. Kesimpulan ........................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum adat adalah hukum yang berkembang pada masyarakat yang

berada di suatu wilayah tertentu yang berkembang pada masyarakat itu sendiri dan

berasal dari kebiasan-kebiasan pada masyarakat itu. Karena dalam hidupnya

manusia akan mengatur dirinya sendiri dan keluarga yang berada disekitarnya

menurut kebiasaan mereka sehari-hari. Kegiatan itu dilakukan terus-menerus

sehingga menimbulkan kebiasaan-kebiasaan, yang pada akhirnya perilaku tersebut

ditiru, diakui serta dipertahankan sehingga menjadi adat. Lambat laun kebiasaan

yang menjadi adat tersebut berlaku pada masyarakat tersebut sehingga menjadi

hukum adat yang jika dlilanggarakan mendapatkan sanksi bagi para pelanggarnya.

Dalam seminar hukum adat di Yogyakarta pada tahun 1975

berkesimpullan pengertian hukum adat adalah Hukum Indonesia asli yang tidak

tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana sini

mengandung unsur-unsur agama. Maka sudah jelaslah bahwa hukum adat diakui

keberadaannya yang prlu diketahui bahwa hukum adat memilik corak tersendiri

yaitu tradisonal, keagamaan, kebersamaan, konkret dan visual, terbuka dan

sederhana, dapat berubah dan menyesuaikan, tidak dikodifikasi, musyawarah dan


mufakat. Dari corak hukum adat tersebut maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa

hukum adat tumbuh berkembang dimasyarakat.

Hukum adat yang berlaku dimasyarakat memiliki konsekuensi tinggi

untuk dipatuhi ketentuannnya sehingga jika ada yang melanggar akan mendapatkan

sanksi bagi si pelanggar tersebut. Maka disini dibutuhkan sebuah penyelesaian

dalam menangani pelanggar hukum adat tersebut. Maka dibutuhkanlah Hukum

Peradilan Adat dan Pidana Adat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang

1
2

timbul pada masyarakat yang melanggar hukum adat dan diharuskan mendapatkan

sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Hukum peradilan adat adalah aturan-aturan

hukum adat yang mengatur tata cara menyelesaikan suatu perkara dan atau

menetapkan hukum suatu perkara menurut hukum adat.

Proses dalam pelaksanaan tentang bagaimana penyelesaian dan penetapan

keputuan perkara tersebut disebut peradilan adat. Peradilan adat dapat dilaksanakan

oleh anggota masyarakat secara perorangan, oleh keluarga atau tetangga, kepala

kerabat atau kepala adat (Hakim Adat), kepala desa (Hakim Desa) atau oleh

pengurus perkumpulan organisasi, dimana untuk menyelesaiakan delik adat secara

damai untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu.

Dari beberapa latar belakang di atas, kami sebagai penulis akan membahas

mengenai Hukum Adat tersebut, sehingga kami mengangkat judul “Hukum

Peradilan Adat di Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Peradilan Hukum Adat?

2. Apa Saja Jenis-jenis Peradilan Hukum Adat?

3. Bagaimana Eksistensi Peradilan Adat di Indonesia?

4. Bagaimana Keberlakuan Peradilan Adat di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Apa Pengertian Peradilan Hukum Adat.
2. Untuk Mengetahui Apa Saja Jenis-jenis Peradilan Hukum Adat.

3. Untul Mengetaui Bagaimana Eksistensi Peradilan Adat di Indonesia.

4. Untuk Mengetahui Bagaimana Keberlakuan Peradilan Adat di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan Hukum Adat

Peradilan hukum adat merupakan norma-norma yang ada dalam hukum

adat yang mengatur tentang cara bagaimana bertindak untuk menyelesaikan sebuah

kasus dan untuk menetapkan keputusan menurut hukum adat dalam memutuskan

sebuah kasus. Aturan untuk menyelesaikan masalah atau kasus tersebut merupakan

sebuah peradilan, mendengar kata peradilan mungkin yang kita pikirkan adalah

sebuah keadilan, yang dapat dilakukan melalui proses persidangan atau bahkan
permusyawaratan.1

Peradilan adat dilaksanakan oleh masyarakat daerah atau adat itu sendiri

secara perorangan, oleh keluarga bahkan tetangga, kepala daerah atau kepala adat

yang sebagai hakim adat, kepala desa, atau oleh pengurus organisasi , sebagaimana

telah disetujui seluruh masyarakat adat di dalam penyelesaian delik adat secara

damai agar mengembalikan ketentraman masyarakat yang telah terganggu.

Pengadilan adat adalah pengadilan yang ada dalam kehidupan sehari-hari


masyarakat hukum adat. Pasal 103 huruf a UU Desa yang mengatakan bahwa

pengaturan serta pelaksanaan pemerintahan desa adat merupakan susunan asli.2

Dengan melihat rumusan Pasal 103 huruf a serta disambungkan dengan

Pasal 103 huruf d dan e UU Desa, maka pengadilan adat merupakan pengadilan

yang ada dalam masyarakat hukum adat, untuk memutus maupun mendamaikan

sengketa adat berdasarkan hukum adat. Undang-undang daerah atau desa mengakui

adanya pengadilan adat tersebut, berdasarkan susunan asli yang merupakan

organisasi kehidupan daerah adat yang dikenal di daerah-daerahnya sendiri,

1
Hadikusuma Hilman, Peradilan Adat di Indonesia (Miswar: Jakarta, 1989), h. 25.
2
Hadikusuma Hilman, Peradilan Adat di Indonesia, h. 28.

3
4

Pengadilan yang dikenal oleh masyarakat hukum adat itulah yang akan disetujui

menjadi pengadilan adat dalam rumusan UU Desa.

B. Jenis-Jenis Peradilan Hukum Adat

Ada lima jenis peradilan hukum adat yang diwariskan oleh perundang-

undangan penerintah hindia belanda diantaranya adalah peradilan gubernemen,

peradilan agama, peradilan pribumi, peradilan desa, dan peradilan swapraja.

Gubernemen merupakan peradilan yang dilakukan oleh Hakim Pemerintah dengan

nama Raja atau Ratu Belanda berdasarkan tata hukum Eropa bagi seluruh daerah

yang ada di Hindia Belanda.3

Peradilan Agama merupakan peradilan yang dilakukan oleh Hakim

Agama dan bisa Hakim Pribumi atau Hakim Gubernemen agar dapat

menyelesaikan suatu perkara atau kasus yang berhubungan dengan Hukum Islam.

Peradilan peribumi merupakan peradilan yang memiliki kekuasaan di daerahnya

dan bebas untuk menyelenggarakan peradilannya dengan hakim pribuminya, serta

memiliki wewenang untuk mengadili kasus antara orang-orang bumiputera yang

tidak dalam kewenangan peradilan gubernemen. Pada pasal 130 I.S. menjelaskan

bahwa orang-orang bumiputera dimanapun mereka berada, apabila tidak

menyelenggarakan peradilan mandiri, maka peradilanya dilaksanakan dengan

nama raja atau ratu belanda.4


Peradilan desa termasuk dari peradilan peribumi dan peradilan swapraja,

pada daerah tertentu peradilan desa juga merupakan peradilan gubernemen,

Peradilan desa dirapatkan para kepala desa atau kepala masyarakat hukum adat

setempat serta tugasnya hanya mengenai kasus perdata yang ringan terhadap

3
I Gede A. B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2005), h. 36.
4
I Gede A. B. Wiranata, Hukum adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke Masa
(Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003), h. 45.
5

putusan peradilan desa bisa diajukan banding pad hakim yang lebih tinggi yaitu

hakim distrip.

Peradilan swapraja memiliki kekuasaan otonomi pada wilayah-wilayah

swapraja berdasarkan kewenangannya pada peradilan, sehingga wilayah-wilayah

swapraja zaman hindia belanda memiliki peradilanya sendiri, empat daerah

swapraja seperti kesultanan Yogyakarta, pekualaman Yogyakarta, kesunanan

Surakarta, dan mengkunegaran surakarta pada tahun 1907 (Stbl.1907 no.156)

pekualaman Yogyakarta lepas dari kekuasaannya mengadili, maka peradilan agar

kaula daerah swapraja pekualaman diberikan pada kekuasaan peradilan

gubernamen.untuk tiga daerah yang lainya tetap berjalan , hingga di hapuskan

pemerintah Indonesia dengan adanya Undang-undang Darurat no.1 tahun 1951

yang menegaskan tentang aturan susunan serta kekuasaan pengadilan.5

Dari kelima peradilan diatas yang masih menerapakan hukum adat atau

hukum yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat adalah peradilan

pribumi dan peradilan desa serta peradilan swapraja, dari ketiga peradilan ini masih

menerapkan atau masih berpedoman pada hukum adat sampai sekarang. Peradilan

Pribumi merupakan peradilan yang dilakukan Hakim Eropa juga Hakim Indonesia,

tidak dengan nama Raja atau Ratu serta tidak berdasarkan hukum eropa, namun

berdasarkan hukum adat yang ditetapkan Residen dan disetujui Direktur


Kehakiman Batavia.6

Di Pribumi yang melaksanakan peradilan antaranya ialah riau, Aceh,

maluku, Sumatera Barat, lombok, Jambi, Palembang, Kalimantan, Sulawesi,

tapanuli, Manado dan bengkulu. Tugasnya hanya didaerah tersebut, penggugat

5
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad Ke Abad (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978),
h. 65.
6
Hadiz R. Vedi, Localising Power in Post- Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia
Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010), h. 105.
6

boleh dari luar daerah, apabila penggugat yang melapor merasa dirinya dirugikan

oleh pihak dalam, Peradilan ini memakai hukum yang khusus yaitu peraturan yang

dibuat oleh peradilan Residen. Peradilan desa adalah peradilan yang sederhana

dengan cara pelaksanaannya atau cara berfikirnya berdasarkan pengetahuan

masyarakat desa. Pada peradilan desa ada yang namanya hakim perdamaian desa. 7

Hakim perdamaian desa adalah istilah unutuk kalangan akademis.

yang dianggap khusus, untuk tugas tertentu, mempunyai kantor seperti hakim pada

umumnya. Meskipun hakim perdamaian desa dilakukan oleh ketua masyarakat

hukum adat untuk dapat menyelesaikan suatu kasus dan sengketa didaerahnya.

Dalam peradilan desa Hakim perdamaian mempunyai peranan penting dalam

melaksanakan tugasnya agar tercapainya suatu keadilan yang ada pada masyarakat

didaerahnya, seperti dengan sebutannya yaitu untuk mendamaikan masyarakat

dengan aturan-aturan hukum adat.8

Peradilan Swapraja dilakukan oleh ketua Swapraja. Peradilan swapraja

pada umumnya ada disetiap kabupaten Pakoe Alaman serta Swapraja Pontianak.

adanya Peradilan Swapraja diakui Pemerintah Hindia Belanda berdasarka

zelfbestuurs Regelen 1938 atau Lange Contact kepada berbagai Swapraja. peradilan

ini terdapat pada ilayah jawa maupun madura serta terdapat pada daerah seberang,

aturan untuk mengadili berdasarkan pada hukum materiil dan hukum formil
ditetapkan oleh ketetapan Residen setempat setelah berdiskusi dengan swapraja

yang bersangkutan serta telah disetujui oleh departemen Van Justiti.9

Berdasarkan peradilan yang ada di Indonesia ada yang namanya sistem

precedent seperti yang ada pada peradilan anglo saxon, maka hakim terdahulu

7
Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia, h. 30.
8
Muryadi, Lilik. https://badilag.mahkamahagung.go.id/eksistensi-hukum-pidana-adat-
indonesia/artikel-bagian-I-wordpress (24 November 2022).
9
M.B. Hooker, Adat Law in Modern Indonesia (Amerika Serikat: Oxford University
Press, 1978), h. 89.
7

dalam putusannya tidak wajib untuk di ikuti, meskipun dengan perkara yang sama

atau kejadian yang seruapa. Begitu juga pada pemeriksaan di hadapan pengadilan

negara, Hakim tidak bertindak bagaikan Hakim perdamaian di luar pengadilan

seperti pemakat pada seorang berperkara yang beda pada hukum adatnya serta

untuk penengah dari kedua pihak yang beda adatnya, atau untuk memutus perkara

dari dua pihak yang adatnya sama. Lalu dalam hal tersebut hakim dapat

memberikan suatu putusan, putusan-putusan hakim dalam perkara hukum adat

terbagi menjadi 8 putusan sebagai berikut:10


1. Suatu putusan yang menyamakan maksudnya adalah putusan seorang hakim
terdapat persamaan dengan putusan hakim yang terdahulu, sebah perkaranya
yang tanganinya sama.
2. Suatu putusan yang menyesuaikan pada putusan ini, seorang hakim
memutuskan yang didalamnya terdapat penyesuaian pada kaidah-kaidah
hukum adat atau tradisional.
3. Peradilan adat tak bisa dipisahkan dalam sistem hukum Indonesia.

Bekerjanya hukum adat dan institusinya, tak lepas dari kemajuan

pengakuan konstitusi, khususnya Pasal 18 B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 I

ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI

1945). Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945 Negara mengakui dan menghormati

satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang

diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih


hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.11

Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 Identitas budaya dan hak masyarakat

tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Pasal

10
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), h. 34.
11
Datoek Toeah, Tambo Adat Minangkabau (Bukittinggi: Pustaka Indonesia, 1989), h.
76.
8

18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 menegaskan soal governance, atau

ketatapemerintahan serta relasi pengakuan negara terhadap komunitas.1 Pemisahan

antara Pasal 18B ayat (1) dengan Pasal 18B ayat (2), sebenarnya menarik, karena

diperlukan untuk membedakan antara bentuk persekutuan masyarakat (hukum).

C. Eksistensi Peradilan Adat dalam Ketatanegaraan Indonesia

Pengakuan keberadaan masyarakat adat (dan hak tradisionalnya)

memiliki dinamika dalam sejarah hukum di Indonesia. Sebelum 1945, pemerintah

Kolonial Belanda menerapkan politik pluralisme hukum dengan membagi sistem

hukum ke dalam tiga stelsel hukum, yaitu: (1) hukum perdata barat; (2) hukum

untuk bangsa timur asing; serta (3) hukum adat untuk penduduk pribumi.

Kemudian, proses unifikasi hukum diupayakan Pemerintah Indonesia mulai dari

perumusannya dalam konstitusi (UUD NRI 1945) sampai pada pemberlakuan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria (UUPA).12

Dalam sidang BPUPKI, 10-17 Juli 1945, Muh. Yamin mengemukakan

bahwa ia mengusulkan Undang-Undang Dasar mengubah sifat pemerintahan

bawahan memenuhi kemauan zaman baru. Sekalipun demikian, Yamin

menegaskan,
“....tetapi yang perlu ditegaskan di sini, yaitu bahwa desa-desa, negeri-negeri,
marga-marga dan lainnya tetaplah menjadi kaki Pemerintahan Republik
Indonesia….”13
Secara khusus, istilah ‘peradilan adat’ telah pula diakui keberadaannya

sebelum Indonesia merdeka, setidaknya melalui peraturan perundang-undangan

masa Pemerintahan Hindia Belanda. Saat itu dikenal lima jenis peradilan, yaitu

12
Hadiz R. Vedi, Localising Power in Post- Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia
Perspective, h. 106.
13
Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan Persiapan Usaha-Usaha Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Sekretariat Negara
Republik Indonesia (Jakarta: Republik Indonesia Press, 1995). h. -.
9

Peradilan Gubernemen (Gouvernementsrechtspraak), Peradilan Pribumi atau

Peradilan Adat (Inheemsche Rechtspraak), Peradilan Swapraja

(Zelfbestuurrechtspraak), Peradilan Agama (Godsdien stige Rechtspraak) dan

Peradilan Desa (Dorpjustitie).14

Keberadaan pengadilan adat telah ada sejak jaman Kolonial Belanda.

Pengadilan tersebut diatur dalam pasal 130 Indische Staatsregeling, sebuah

peraturan dasar dalam pemerintah Belanda yang menentukan di samping ada

pengadilan-pengadilan oleh pemerintah Belanda, diakui dan dibiarkan berlakunya

pengadilan-pengadilan asli baik berbentuk pengadilan adat di sebagian daerah yang

langsung ada di bawah pemerintah Hindia Belanda dan pengadilan Swapraja.15

Diakuinya peradilan untuk orang pribumi, yaitu peradilan adat dan peradilan desa

karena Belanda menyadari bahwa mereka tidak bisa menyelesaikan sendiri seluruh

persoalan yang dihadapi oleh penduduk Hinda Belanda (Indonesia) sendiri dengan

menggunakan peradilan Eropa.

Pembagian penggolongan penduduk oleh Belanda dipandang sebagai

solusi atas masalah tersebut, oleh sebabnya Pasal 163 Indische Staatsregeling

menegaskan golongan penduduk di Hindia Belanda dibagi menjadi tiga yaitu:

golongan Penduduk Eropa, golongan Penduduk Timur Asing dan golongan

Penduduk Pribumi. Tiap golongan penduduk tersebut menerapkan aturan hukum


yang sesuai dengan golongan masing-masing apabila terjadi perkara, kecuali

melakukan penundukan diri ke hukum yang digunakan oleh pemerintah Belanda.

Saat itu, Inheemsche Rechtspraak merupakan peradilan yang dilaksanakan oleh

para Hakim Eropa dan juga Hakim Indonesia, tidak mengatasnamakan Raja atau

14
Hooker, M.B.. Adat Law in Modern Indonesia, h. 90.
15
Hadiz R. Vedi, Localising Power in Post- Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia
Perspective, h. 107.
10

Ratu Belanda dan tidak berdasarkan tata hukum Eropa, melainkan didasarkan atas

tata hukum adat yang ditetapkan oleh Residen dengan persetujuan Direktur

Kehakiman di Batavia.16

Kewenangan mengadili dari peradilan ini adalah terhadap orang-orang

pribumi yang berdomisili di daerah peradilan, yang dijadikan Tergugat atau

Tersangka. Penggugat atau pihak yang menyengketakan boleh saja yang bukan

penduduk setempat, termasuk orang Eropa atau non-pribumi yang merasa

dirugikan. Politik hukum peradilan adat masa kolonial yang demikian,

menunjukkan terjadinya proses pengakuan yang sekaligus pengawasan yang harus

tunduk dari sistem hukum moderen, khususnya di bawah sistem kolonial

pemerintahan Hindia Belanda. Keberadaan peradilan adat yang demikian,

bertahan hingga masa awal kemerdekaan dan masa pemerintahan Soekarno. Sejak

itu, dinyatakan bahwa putusan-putusan peradilan formal menjadi salah satu

sumber hukum adat dalam kurun Indonesia merdeka.17

Di awal tahun 1950an, eksistensi peradilanperadilan di Indonesia

mengalami sejumlah penataan dalam rangka unifikasi. Hal tersebut bisa terlihat

dari sejumlah ketentuan. Pertama, Undang-Undang tentang Penghapusan

Pengadilan-Raja (Zelfbestuursrechtspraak) di Jawa dan Sumatera (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1947 No. 23) juncto Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1950 tentang Peraturan Daerah Pulihan,

setelah diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1950.18

16
M. B. Hooker, Adat Law in Modern Indonesia, h. 91.
17
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung: CV. Mandar
Maju, 2003), h. 78.
18
Simarmata Rikardo, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia
(Jakarta: UNDP, 2006), h. 56.
11

Kedua, melalui Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang

Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan

Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil (UU Drt No. 1 Tahun 1951).

Dalam UU Drt No 1 Tahun 1951, menegaskan dalam pasal 1 ayat (2) bahwa

Menteri Kehakiman diberi mandat untuk menghapus secara berangsurangsur dua

peradilan, yakni segala Pengadilan Swapraja (Zelfbestuursrechtspraak) dan segala

Pengadilan Adat (Inheemse rechtspraak in rechtstreeksbestuurd gebied).19

Aturan Peralihan dalam Pasal 20 huruf H UU Drt No 1 Tahun 1951, pula

mengatur transisi upaya penghapusan tersebut, khususnya terkait kasus-kasus

pidana yang sedang ditangani baik oleh pengadilan swapraja maupun pengadilan

adat. Berikut kutipan pasal terkait transisi tersebut: (1) Terhadap segala perkara

pidana yang pada saat peraturan ini mulai berlaku telah diputuskan oleh

Pengadilan Swapraja atau Pengadilan Adat, maka ketentuan dalam aturan

peralihan bab B yuncto ketentuan dalam pasal 5 bab 3 huruf b berlaku juga. (2)

Segala perkara yang pada saat peraturan ini mulai berlaku telah ada pada

Pengadilan Swapraja atau Pengadilan Adat - melainkan perkara yang dikecualikan

berdasar atas ketentuan dalam pasal 1 ayat 2 bab a dan b, dijalankan putusannya

atau diteruskan perjalanan putusannya atau dilanjutkan pemeriksaannya dan

diputuskan oleh Pengadilan Negeri hukum.20

Misalnya, di Tanah Batak khususnya di Tapanuli telah diterbitkan

Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Na Tolu.

Perda lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II (Kabupaten), sebagai lembaga

musyawarah mengikutsertakan para penatu adat yang benar-benar memahami,

19
Hadiz R. Vedi, Localising Power in Post- Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia
Perspective, h. 107.
20
Simarmata Rikardo, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, h.
57.
12

menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya (Pasal 5 dan 8).

Keberadaan lembaga adat Dalihan Na Tolu diharapkan dapat memberikan solusi

terkait konflik yang timbul di masyarakat Adat Tapanuli.21

Di Kalimantan, ditemukan sejumlah peraturan perundang-undangan yang

memberikan pengakuan atas eksistensi itu, seperti pengukuhan lembaga

Kedamangan, melalui Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 14

Tahun 1998. Selain itu, disusul dengan dengan berbagai peraturan daerah tingkat

kabupaten, yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Barito Selatan Nomor 17 Tahun

2000; Peraturan Daerah Kabupaten Kapuas Nomor 5 Tahun 2001; dan Peraturan

Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 15 Tahun 2001.16 Pasca Suharto,

situasi ‘pengakuan daerah’ (pengakuan melalui hukum pemerintah daerah) tersebut

berlanjut dan kian meluas.22

Di Papua salah satu contohnya, yang dulu pernah dihapus, kini lahir

Peraturan Daerah Khusus Papua Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di

Papua. Peradilan adat dalam Perda ini (sebagai tindak lanjut berlakunya UU

Otonomi Khusus Papua) adalah peradilan adat pada kesatuan masyarakat hukum

adat, bukan tipologi peradilan adat (inheemsche rechtspraak) yang dihapus

berdasar UU Drt 1951. Konsep peradilan adat dalam UU Otonomi Khusus Papua

dan Perdasus Nomor 20 Tahun 2008 lebih mirip peradilan desa (Dorpjustitie).23

Begitu pula penegasan soal adat Dayak kembali diatur melalui Peraturan

Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 tahun 2008 tentang Kelembagaan

Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Pula aturan yang sifatnya ‘memandu’ peradilan

21
M. B. Hooker, Adat Law in Modern Indonesia, h. 92.
22
I Gede A. B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia, h. 37.
23
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad Ke Abad, h. 66.
13

adat melalui Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 42 tahun 2013 tentang

Pedoman Peradilan Adat di Sulawesi Tengah.24

Di tengah keragaman pengakuan hukum tersebut atas peradilan adat,

pertanyaan relevan dalam konteks ketatanegaraan, sekaligus dalam sistem hukum

Indonesia, adalah sejauh mana hubungan antara hukum negara dengan hukum adat

dalam konteks keberlakuan (gelding atau geltung) peradilan adatnya? Banyak

dijumpai bahwa yurisdiksi peradilan adat memiliki karakter tersendiri yang

membedakannya dengan peradilan negara, karena peradilan adat bisa mencakup

publik, privat, dan atau kombinasi keduanya dalam satu persidangan. Dalam

prakteknya, bisa berlangsung sangat informal, cukup dengan mekanisme mediasi,

dengan kemungkinan ruang negosiasi atas prosesnya.25

Mendefinisikan atau bahkan mendeterminasi yuridiksi peradilan adat,

khususnya menyangkut urusan privat atau publik, sungguh bukan semata hal yang

tak mudah, atau bahkan tidak mungkin atau pula berbahaya dalam arti bisa

mengubur eksistensi peradilan adat itu sendiri. Peradilan adat, yang

mendayagunakan hukum dan atau sistem hukum adat, sesungguhnya memiliki

logika sistem dan prinsip tersendiri. 26 Keberadaan masyarakat adat dan hak

tradisionalnya, termasuk pula keberlakuan peradilan adat, menjadi dilematis. Pada

satu sisi karena membutuhkan positivisasi (pengakuan hukum negara), maka


keberadaan dan hak tradisionalnya hanya akan diakui apabila diatur di dalam

hukum tertulis yang dibuat oleh institusi negara. Secara a contrario, dapat

24
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, h.
58.
25
Arief, As Suhaiti. Eksistensi Peradilan Adat Pada Masyarakat Hukum Adat
Minangkabau di Sumatera Barat (Usulan Penelitian Program Hibah Kompetisi A-2. Padang: Sinar
Grafika, 2007.
26
Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia, h. 31.
14

dikatakan bahwa, jika tidak diakui secara hukum maka eksistensi peradilan adat

itu dianggap lenyap atau tidak ada.27

Padahal keberadaan masyarakat adat dan hak tradisionalnya

sebagaimana hak asasi yang lain adalah hak yang melekat pada diri masyarakat

adat. Dengan penjelasan di atas, elemen yang mendasar sifatnya soal “sumber

otoritas” penyelenggaraan peradilan adat, yang memungkinkan tiga variannya: (1)

sumber otoritas penyelenggaraan peradilan adat berasal dari sistem hukum lokal

adat setempat, dalam arti ada penegasan dari dan oleh struktur otoritatif di level

masyarakat adat; (2) sumber otoritas penyelenggaraan peradilan adat berasal dari

non-sistem hukum lokal adat setempat, yang bisa berasal dari pemerintah daerah

(Gubernur, Bupati, Kepala Desa, dll.); (3) ada kemungkinan, sumber otoritasnya

berasal dari kombinasi keduanya, melalui ruang dialog tertentu yang melahirkan

persepakatan soal penyelenggaraan peradilan adat tertentu. Hal ini berbasis pada

riset BPHN yang mencoba membedahkan dari sisi bagaimana peradilan adat

berhubungan dengan kasus-kasus yang melibatkan pihak luar.

D. Keberlakuan Peradilan Adat

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara telah mempublikasikan sejumlah

pemikiran melalui buku ‘Sistem Peradilan Adat dan Lokal di Indonesia, Peluang

dan Tantangan’. Salah satu dalam kajian itu, menegaskan ada keinginan perlunya
memperluas dan memperkuat jaminan penyelenggaraan peradilan adat dalam

konteks sistem hukum Indonesia. Begitu juga, dalam konteks kelembagaan negara

yang menjalankan fungsi kekuasaan yudisial, seperti Mahkamah Agung Republik

27
Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, h.
59.
15

Indonesia, telah mencanangkan sejumlah program pembaruan peradilan dalam

Cetak Biru 2010-2035.28

Sayangnya, dokumen tersebut kurang memberikan perhatian terhadap

relasi kekuasaan kehakiman dengan peradilan adat, atau sama sekali tidak ada.

Sekalipun demikian, kini Mahkamah Agung telah membuka ruang untuk menjajaki

dialog untuk mendiskusikan soal peradilan adat, sebagaimana diinisiasi bersama

antara Perkumpulan HuMa dengan Badan Penelitian dan Pengembangan

Mahkamah Agung, di Royal Kuningan, 10 Oktober 2013.29 Dalam catatan riset

BPHN, ada beberapa alasan perlunya didorong proses penyelesaian sengketa non-

litigasi melalui peradilan adat dalam penyelesaian sengketa.

Pertama, di Indonesia tata cara penyelesaian sengketa damai telah lama

dan biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia. Beberapa studi juga menunjukkan

hal tersebut. Penyebabnya, antara lain:30


1. Terbatasnya akses masyarakat terhadap sistem hukum formal yang ada.
2. Masyarakat tradisional di daerah terisolasi pada dasarnya masih memiliki
tradisi hukum yang kuat berdasarkan hukum tradisionalnya dalam
memecahkan permasalahan hukum yang terjadi. Hal ini merupakan realitas
dimana tradisi atau custom (kebiasaan) masih berlaku di banyak tempat. Ini
juga merupakan realitas dimana perubahan masyarakat kadangkala terbentur
batas wilayah, dan bahwa hal ini juga merupakan kenyataan dimana terdapat
daerahdaerah yang masih ‘steril’ atau belum tersentuh dengan keberlakukan
sistem hukum formal.
3. Tipe pemecahan masalah yang ditawarkan sistem hukum formal terkadang
memperoleh pandangan yang berbeda dan dianggap kurang memadai dan
kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat yang masih memegang tradisi
hukum mereka sendiri.
4. Kurang memadainya infrastruktur dan sumberdaya yang dimiliki oleh
sistem hukum formal menyebabkan kurangnya daya adaptasi dalam menyerap
kebutuhan rasa keadilan masyarakat setempat.

28
Datoek Toeah, Tambo Adat Minangkabau, h. 69.
29
Datoek Toeah, Tambo Adat Minangkabau, h. 70.
30
Wiranata, I Gede A. B. Hukum adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke Masa,
h. 47.
16

Pada sebagian besar masyarakat Indonesia terdapat kecenderungan

menyelesaikan sengketa dengan cara damai. Cara ini diakui efektif dalam

menyelesaikan pertikaian atau persengketaan. Sekaligus mampu menghilangkan

perasaan dendam 31 , serta berperan menciptakan keamanan ketertiban dan

perdamaian.

Kedua, keberadaan peradilan adat menjadi semakin penting ditengah

situasi negara yang belum sepenuhnya mampu menyediakan layanan penyelesaian

perkara melalui jalur formal sampai ke desa-desa terpencil. Selain itu, kapasitas

peradilan formal yang juga berat karena terjadi penumpukan perkara yang yang

sangat serius. Sebagai catatan, bila dilihat pada institusi tertinggi peradilan negara,

data Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) menunjukkan bahwa “setiap

tahun ada 13 ribu perkara yang masuk ke Mahkamah Agung. Jumlah sebanyak itu

harus diselesaikan oleh 54 Hakim Agung yang selalu menyisakan 8 ribu kasus tiap

akhir tahun”.32 Tentunya, beban tumpukan kasus demikian berkonsekuensi atas

upaya akses keadilan bagi publik.

Atas dasar itu, penting untuk mempertimbangkan keberlakuan peradilan

di tingkat lokal yang memberi pemaknaan sosial lebih dan menguatkan kearifan-

kearifan lokal, seperti sejumlah contoh yang dikutip dari kajian SAJI, yakni tradisi

penyelesaian konflik di komunitas Dalihan Na Tolu (Tapanuli), Rumah Betang


(Kalimantan Tengah), Menyama Braya (Bali), Saling Jot dan Saling Pelarangan

(NTB), atau Peradilan Adat Clan Selupu Lebong (Bengkulu).33 Menariknya, salah

31
Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, h. 61.
32
Muryadi, Lilik. https://badilag.mahkamahagung.go.id/eksistensi-hukum-pidana-adat-
indonesia/artikel-bagian-I-wordpress (24 November 2022).
33
Hilman Hadikusuma Peradilan Adat di Indonesia, h. 80.
17

satu faktor penting dalam mendiskusikan keberlakuan peradilan adat adalah sejauh

mana peradilan adat tersebut dipatuhi para pihak yang sedang berkonflik.

Dari sudut keberlakuan hukum, apakah para pihak mematuhinya dalam

konteks bekerjanya peradilan adat. Secara sosiologi, kajian-kajian mengenai

kepatuhan hukum pada dasarnya melibatkan dua variabel, masing-masing adalah

hukum dan manusia yang menjadi objek pengaturan hukum tersebut. Kepatuhan

terhadap hukum tidak hanya dilihat sebagai fungsi peraturan hukum, melainkan

juga fungsi manusia yang menjadi sasaran pengaturan. Kepatuhan hukum tidak

hanya dijelaskan dari kehadiran hukum semata, melainkan juga dari kesediaan

manusia untuk mematuhinya.34

Bila posisi hukum yang dimaksud adalah hukum adat dan mekanismenya

adalah peradilan adat, apakah posisi manusia-manusia yang diidentifikasi

kepatuhannya menjadi problematis posisinya, karena satu menjadi bagian dari

masyarakat adat, dan di sisi lain ada pula yang tidak terkait atau bukan bagian dari

masyarakat adat (pihak luar). Misalnya dalam konteks peradilan adat yang

berkaitan dengan soal eksploitasi sumberdaya alam, tambang, kelapa sawit, atau

pelibatan permodalan/ investasi besar, kecenderungannya adalah ‘ketidakpatuhan

hukum’ atas berlakunya hukum adat dan peradilan adatnya.

Ada sejumlah kasus-kasus konflik agraria dan sumberdaya alam yang


sama sekali tak bisa terselesaikan secara hukum adat atau melalui peradilan adat,

sebagaimana kita saksikan atas kasus Tambang Mangan di Manggarai, atau kasus

Tambang Semen di komunitas Samin. Oleh sebab itu, keberlakuan peradilan adat

sesungguhnya lebih mengedepankan harmoni, terutama penciptaan penerimaan

34
M. B. Hooker, Adat Law in Modern Indonesia, h. 93.
18

yang lebih mengakomodasikan kebutuhan para pihak’. Karakter harmoni,

mengutip Slaats dan Portier dari Simarmata menyatakan:


“… Di mata anggota masyarakat adat, signifikasi proses penanganan sengketa
bukan terletak pada isi putusan melainkan pada proses menemukan solusi
yang bisa diterima oleh para pihak yang bersengketa dan yang memulihkan
harmoni atau menciptakan keseimbangan baru dalam relasi sosial antar
anggota komunitas.”35
Selain soal harmoni sebagai suatu proses mengembangkan keberlakuannya,

penting juga untuk memberi perhatian atas prinsip-prinsip mendasar

terselenggaranya peradilan adat, yang sama sekali tak boleh diabaikan dalam

proses penyelenggaraannya, sebagaimana dalam kajian BPHN.36

Prinsip tersebut terdiri dari tiga: prinsip kearifan lokal, keadilan sosial,

dan hak asasi manusia:37


1. Prinsip kearifan lokal, prinsip ini melandaskan penyelenggaraannya atas
dasar tradisi yang telah dipertahankan dan dapat diterima luas di tengah
masyarakat adat itu, secara turun temurun. Kearifan lokal dikenali sebagai
bagian kehidupan masyarakat yang sangat penting sebagai landasan interaksi
sosial sekaligus penanda moralitas yang diakui sebagai keyakinan setempat.
Contohnya, kearifan untuk ‘mengistirahatkan tanah’ di masyarakat adat Kaili
Sulawesi Tengah, atau kearifan yang sama di Desa Bika, yang mayoritas
warganya berasal dari suku Dayak Kantuk.
2. Prinsip keadilan sosial. Prinsip ini mengedepankan terwujudnya rasa
keadilan yang dirasakan sangat penting di tengah masyarakat keberlakuannya,
atau suatu yang memiliki kebermaknaan sosial (social significance).
3. Prinsip hak asasi manusia (HAM), Prinsip ini meliputi cara pandang
universalitas hak asasi manusia, non-diskriminasi, kesetaraan, pemartabatan
manusia, tidak memisahkan hak asasi yang satu dengan hak asasi lainnya
(indivisibel dan interdependensi), serta menempatkan tanggung jawab negara
dalam upaya memajukan dan melindungi hak asasi manusia.

35
Hadiz R. Vedi, Localising Power in Post- Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia
Perspective, h. 108.
36
Hadiz R. Vedi, Localising Power in Post- Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia
Perspective, h. 109.
37
M. B. Hooker, Adat Law in Modern Indonesia, h. 94.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Peradilan hukum adat merupakan norma-norma yang ada dalam hukum adat

yang mengatur tentang cara bagaimana bertindak untuk menyelesaikan

sebuah kasus dan untuk menetapkan keputusan menurut hukum adat dalam

memutuskan sebuah kasus.

2. Pembentukan pengadilan adat yang sesuai dengan konsitusi dilakukan

dengan jalan: Ditetapkan dengan undang-undang. Diposisiskan sebagai

pengadilan tingkat I. Dengan yurisdiksi material perkara-perkara adat yang

bersifat perdata. Sebagai pengadilan tingkat I maka upaya hukum terhadap

keputusan pengadilan adat adalah melakukan banding.

3. Pengakuan keberadaan masyarakat adat memiliki dinamika dalam sejarah

hukum di Indonesia. Sebelum 1945, pemerintah Kolonial Belanda

menerapkan politik pluralisme hukum dengan membagi sistem hukum ke

dalam tiga jenis hukum. Kemudian, proses unifikasi hukum diupayakan

Pemerintah Indonesia mulai dari perumusannya dalam konstitusi sampai

pada pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).


4. Pada sebagian besar masyarakat Indonesia terdapat kecenderungan

menyelesaikan sengketa dengan cara damai. Cara ini diakui efektif dalam

menyelesaikan pertikaian atau persengketaan. Sekaligus mampu

menghilangkan perasaan dendam, serta berperan menciptakan keamanan

ketertiban dan perdamaian.

19
DAFTAR PUSTAKA

Arief, As Suhaiti. Eksistensi Peradilan Adat Pada Masyarakat Hukum Adat


Minangkabau di Sumatera Barat (Usulan Penelitian Program Hibah
Kompetisi A-2. Padang: Sinar Grafika, 2007.
Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: CV.
Mandar Maju, 2003.
Hadikusuma, Hilman. Peradilan Adat di Indonesia. Miswar: Jakarta, 1989.
Hooker, M.B.. Adat Law in Modern Indonesia. Amerika Serikat: Oxford University
Press, 1978.
Muryadi, Lilik. https://badilag.mahkamahagung.go.id/eksistensi-hukum-pidana-
adat-indonesia/artikel-bagian-I-wordpress (24 November 2022).
Rahardjo, Satjipto. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah.
Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.
Indonesia, Republik, Risalah Sidang Badan Persiapan Usaha-Usaha Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta: Republik Indonesia
Press, 1995.
Simarmata, Rikardo, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia.
Jakarta: UNDP, 2006.
Toeah, Datoek. Tambo Adat Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia, 1989.
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad Ke Abad. Jakarta: Pradnya Paramita,
1978.
Vedi, Hadiz R.. Localising Power in Post- Authoritarian Indonesia: A Southeast
Asia Perspective. Stanford: Stanford University Press, 2010.
Wiranata, I Gede A. B. Hukum Adat Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2005.
Wiranata, I Gede A. B. Hukum adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke
Masa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003.

20

Anda mungkin juga menyukai