Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KELOMPOK 5

SISTEM HUKUM INDONESIA


ASAS HUKUM ADAT

Dosen Pengampu: A’ang Chaarnailan,M.IKom

NAMA:
M. Mukti Saputra {12040313842}
Ridho Naldo Pamalo {12040313331}
Viona Putri Zatira {12040326942}

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI


JURUSAN BROADCASTING
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU 2021
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Azza wa Jalla, karena atas berkat
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Sistem Hukum
Indonesia ini tepat pada waktunya.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan, terutama
disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun, berkat
bimbingan dan bantuan dari pihak lain, akhirnya makalah Sistem Hukum Indonesia ini
dapat terselesaikan. Karena itu, sudah sepantasnya kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada kami setiap
saat.
Dengan segala keterbatasan kami yakni bahwa makalah ini masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami
terima dengan senang hati. Pada Akhirnya kami berharap mudah-mudahan makalah
Sistem Pemerintahan Indonesia ini bisa diterima dan bermanfaat bagi para pembaca.

Duri, 20 Oktober 2021

Kelompok 5
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 2
A. Asas Hukum Adat ........................................................................................ 2
1. Pengertian dan Istilah Hukum Adat ............................................................... 2
2. Hukum Adat Pada Masa Kolonial ................................................................. 4
3. Tipe dan Susunan Masyarakat Hukum Adat ................................................. 5
4. Daerah Hukum Adat ...................................................................................... 9
5. Contoh Kasus di Indonesia ............................................................................ 9
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 11
A. Kesimpulan .................................................................................................... 11
B. Saran .............................................................................................................. 11
DAFTAR PUSAKA ................................................................................................. 12
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hukum Adat, jika kita mendengar kata itu yang terlintas di fikiran kita mungkin
adalah suatu Corak kedaerahan yang begitu kental didalamnya. Karena sifatnya yang
tidak tertulis, majemuk antara lingkungan masyarakat satu dengan lainnya, maka sangat
perlu dikaji perkembangannya. Pemahaman ini akan diketahui apakah hukum adat
masih hidup , apakah sudah berubah, dan ke arah mana perubahan itu.

Di era Modern ini terkadang kita lupa akan latar belakang lahirnya hukum yang
kita kenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara asia asia
lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa
Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh
dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena
peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki
kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum
adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan. Ada banyak istilah yang dipakai untuk menamai hukum lokal: hukum
tradisional, hukum adat, hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia – hukum
“adat“.[1]Bagaimana tempat dan bagaimana perkembangannya hukum adat dalam
masyarakat tergantung kesadaran, paradigma hukum, politik hukum dan pemahaman
para pengembannya- politisi, hakim, pengacara, birokrat dan masyarakat itu sendiri.

A. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dan istilah hukum adat?
2. Bagaimana pelaksanaan hokum adat pada masa colonial?
3. Bagaimana tipe dan susunan Masyarakat Hukum Adat?
4. Daerah-daerah yang ada hukum adat
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asas Hukum Adat


1. Pengertian dan Istilah Adat

Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa
Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap kedalam Bahasa
Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah menganal dan
menggunakan istilah tersebut. Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai berikut
:“Tingkah laku seseoarang yang terus-menerus dilakukan dengan cara tertentu dan
diikuti oleh masyarakat luar dalam waktu yang lama”. Dengan demikian unsur-unsur
terciptanya adat adalah :
a) Adanya tingkah laku seseorang
b) Dilakukan terus-menerus
c) Adanya dimensi waktu
d) Diikuti oleh orang lain atau masyarakat

Pengertian adat-istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang diikuti


oleh orang lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan begitu
luasnya pengertian adat-iatiadat tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau Bangsa dan
Negara memiliki adat-istiadat sendiri-sendiri, yang satu satu dengan yang lainnya pasti
tidak sama. Adat-istiadat dapat mencerminkan jiwa suatu masyarakat atau bangsa dan
merupakan suatu kepribadian dari suatu masyarakat atau bangsa. Tingkat peradaban,
cara hidup yang modern sesorang tidak dapat menghilangkan tingkah laku atau adat-
istiadat yang hidup dan berakar dalam masyarakat.
Adat selalu menyesuaikan diri dengan keadaan dan kemajuan zaman, sehingga
adat itu tetap kekal, karena adat selalu menyesuaikan diri dengan kemajuan masyarakat
dan kehendak zaman. Adat-istiadat yang hidup didalam masyarakat erat sekali
kaitannya dengan tradisi-tradisi rakyat dan ini merupakan sumber pokok dari pada
hukum adat.
Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo, mengatakan bahwa adat adalahtingkah
laku yang oleh masyarakat diadatkan. Adat ini ada yang tebal dan ada yang tipis dan
senantiasa menebal dan menipis. Aturan-aturan tingkah laku didalam masyarakat ini
adalah aturan adat dan bukan merupakan aturan hukum.

Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof.Dr. Cristian Snouck
Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang
kemudian diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang
berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”.

Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir tahun
1929 meulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundang-undangan
Belanda. Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan
masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat Recht yang
diterjemahkan menjadi Hukum Adat dapatkah dialihkan menjadi Hukum Kebiasaan.

Van Dijk tidak menyetujui istilah hukum kebiasaan sebagai terjemahan dari adat
recht untuk menggantikan hukum adata dengan alasan :“ Tidaklah tepat
menerjemahkan adat recht menjadi hukum kebiasaan untuk menggantikan hukum
adat, karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan
hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya karena telah demikian lamanya orang
biasa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga timbulah suatu peraturan
kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat, sedangkan apabila orang
mencari sumber yang nyata dari mana peraturan itu berasal, maka hampir senantiasa
akan dikemukakan suatu alat perlengkapan masyarakat tertentu dalam lingkungan
besar atau kecil sebagai pangkalnya.

Hukum adat pada dasarnya merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat.
Adat-istiadat mencakup konsep yang luas. Sehubungan dengan itu dalam penelaahan
hukum adat harus dibedakan antara adat-istiadat (non-hukum) dengan hukum adat,
walaupun keduanya sulit sekali untuk dibedakan karena keduanya erat sekali
kaitannya.
2. Hukum adat pada masa kolonial

Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, masyarakat pribumi di samping telah


mempunyai cirri khas adat tersendiri juga telah mulai bersinggungan dengan
peradaban luar, salah satunya adalah ajaran- ajaran Islam. Oleh karenanya, aturan
hukum yang lebih dikenal pada waktu itu adalah hukum Islam yang memnag telah
menyatu dengan budaya adat setempat. Pada dasarnya, kedua budaya ini (Islam dan
adat) dapat berjalan seiring-seirama bergelindan menjadi aturan yang memagari
norma-norma masyarakat pribumi.

Salah satu prinsip penjajahan yang dipegang belanda adalah memberikan toleransi
terhadap masyarakat dan institusi pribumi dan berusaha menyatukan mereka demi
agenda penjajahan. Kebijakan inilah yang mendasari dipertahankannya hukum adat
oleh pemerintah Belanda. Pada masa VOC sebenarnya telah dimulai kajian hukum
adat, tetapi istilah “hukum adat” (adatrecht) baru pertama kali digunakan pada tahun
1900 oleh Hurgronje, yang digunakan untuk menunjuk bentuk- bentuk adat yang
mempunyai konsekwensi hukum Perkembangan studi hukum adat selama periode
pebjajahan Belanda, dapat dibagi ke dalam tiga periode.

Pertama, periode tahun 1602 hingga tahun 1800. Secara relatif kajian-kajian
tentang hukum adat yang dilakukan pada masa VOC (1602-1800) masih sedikit,
kecuali beberapa karya dari beberapa orang seperti Marooned (1754-1836), seorang
pegawai Kolonial yang banyak mengumpulkan bahan-bahan tentang adat di Sumatera,
Raffles (1781-1826) Gubernur Jawa Tengah selama masa kekuasaan Inggris sejak
tahun 1811 hingga 1816, Crawford (1783-1868) yaitu anak buah Raffles, dan
Muntinghe (1773-1827) seorang Belanda yang menjadi pegawai di Jawa.

Kedua, periode tahun 1800 hingga tahun 1865. Pada masa ini disebut oleh van
Vollenhoven sebagai masa “eksplorasi Barat” (Wertern reconnoitering). Pada masa
ini tidak dihasilkan banyak karya hukum adat.

Ketiga, periode pasca tahun 1865 hingga masa kemerdekaan. Pada masa ini,
berbagai macam keadaan mendorong Belanda ujtuk semakin peduli terhadap hukum
adat. Masalah-masalah hukum agraria, mendorong pemerintah untuk menginvestigasi
hukum ini. Tiga figur utama penemu hukum adat pada waktu itu adalah G.A Wilken,
Liefrinck, dan Cristian Snouck Hurgronje.

Ketiga orang inilah yang membangun fondasi tentang hukum adat di Indonesia.
Pada masa sebelum perang kemerdekaan, riset-riset yang dilakukan oleh Belanda
tentang hukum adat Indonesia didominasi oleh ide-ide yang dikemukakan oleh C. van
Vollenhoven (1874-1933), yang pada waktu itu menjadi professor di fakultas hukum
Universitas Leiden. Dalam banyak karya ilmiahnya, ia berhasil membangun fondasi
untuk studi hukum adat sebagai suatu madzhab pemikiran hukum yang mandiri. Van
Vollenhoven membagi wilayah kepulauan nusantara menjadi 19 wilayah hukum adat
yang berbeda-beda berdasarkan pada budaya, bahasa, adat, dan kebiasaannya.9 Ia
mengajukan suatu hipotesis bahwa batas-batas linguistik dapat disamakan dengan
batas-batas hukum. Dengan argumentasi inilah, ia membagi hukum adat sebagai
kelompok suku hukum ke dalam sembilan belas area yang masing- masing terdiri dari
wilayah-wilayah hukum yang berlainan dengan dialek hukum yang berbeda pula.
Namun sungguh ironis bahwa ketika hukum adat semakin difahami secara teoritis,
karakter dari hukum ini semakin tidak jelas dan terabaikan. Manfaat dari kegiatan
pengumpulan hukum adat dalam bentuk tulisan memang banyak, namun sekali
dikodifikasikan, hukum adat menjadi berhenti dari tradisi yang hidup.

3. Tipe dan susunan masyarakat hukum adat

Masyarakat hukum adat di Indonesia tersusun atas dua faktor dominan, yakni
faktor genealogis dan teritorial.Pada mulanya faktor genealogis mempunyai dominasi
yang sangat kuat terhadap pembentukan suatu masyarakat hukum adat, disebabkan
oleh hubungan daerah antara satu dengan lainnya di antara mereka terikat dan
terbentuk dalam satu ikatan yang kokoh.Tetapi karena semakin meluasnya hubungan
antar suku bangsa maka dominasi faktor genealogis sedikit demi sedikit mulai tergeser
oleh faktor teritorial. Berdasarkan dua faktor tersebut dapat dibedakan 3 (tiga) bentuk
masyarakat hukum adat yaitu:
1. Masyarakat hukum adat genealogis;
2. Masyarakat hukum adat teritorial; dan
3. Masyarakat hukum adat genealogis-teritorial.

Namun demikian, sekarang ini factor genealogis masih memegang peranan yang
cukup kuat, yang akhirnya melahirkan masyarakat yang bercorak kebapakan
(patrilineal) atau bercorak keibuan (matrilineal) atau parental/bilateral dengan corak
dan polanya sendiri.Sedangkan dalam masyarakat tertentu di mana faktor teritorial
masih mendominasi, struktur masyarakatnya dapat berbentuk masyarakat desa
(dorpgemeenschap), dan masyarakat wilayah (streekgemeenschap), masyarakat desa
(dorppenbond).

A. Masyarakat Hukum Genealogis


Masyarakat hukum genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat di mana para
anggotanya terikat oleh suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur baik secara
langsung karena hubungan darah atau tidak langsung karena pertalian perkawinan atau
pertalian adat. Pada jenis masyarakat hukum genealogis pengikat anggota persekutuan
adalah kesamaan keturunan dalam arti semua anggota dari persekutuan terikat dan
mempunyai ikatan yang kuat karena mereka berasal dari satu nenek moyang yang satu
atau sama. Masyarakat hukum genealogis ini dibedakan dalam 3 (tiga) macam
pertalian keturunan, yaitu sebagai berikut:
a) Masyarakat hukum menurut garis laki-laki (patrilineal), yaitu masyarakat
yang susunannya ditarik menurut garis keturunan bapak (garis laki-laki).
Setiap anggota merasa dirinya sebagai keturunan dari seorang laki-laki
asal. Bentuk masyarakat ini terdapat dalam masyarakat Batak, Lampung,
Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Irian.

b) Masyarakat hukum menurut garis perempuan (matrilineal), yaitu


masyarakat yang tersusun berdasarkan garis keturunan ibu (garis wanita).
Setiap anggota merasa dirinya sebagai keturunan dari seorang ibu asal.
Bentuk masyarakat semacam ini terdapat pada masyarakat Minangkabau,
Kerinci, Semendo di Sumatera Selatan, dan beberapa suku di Timor.
c) Masyarakat hukum menurut garis ibu dan bapak (bilateral/parental), adalah
masyarakat yang tersusun berdasarkan garis keturunan orang tua, yaitu
bapak dan ibu secara bersama-sama. Bentuk masyarakat seperti ini terdapat
di masyarakat hukum adat orang Bugis, Dayak, dan Jawa. Bilateral artinya
dua pihak, yaitu pihak ibu dan pihak ayah.

B. Masyarakat Hukum Teritorial


Masyarakat hukum teritorial adalah masyarakat hukum yang anggota-anggota
masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi
maupun dalam kaitan rohani. Terdapat ikatan yang kuat sebagai pengikat di antara
anggotanya karena mereka merasa dilahirkan dan menjalani kehidupan bersama serta
tumbuh dan berkembang di tempat yang sama. Masyarakat hukum teritorial dibedakan
dalam 3 (tiga) macam, yatu sebagai berikut:

a) Masyarakat hukum/persekutuan desa, adalah sebagaimana desa dijumpai


di Jawa, merupakan suatu tempat kediaman bersama di dalam daerahnya
sendiri termasuk beberapa persekutuan yang terletak di sekitarnya yang
tunduk pada perangkat desa yang berkediaman di pusat desa. Jadi warga
terikat pada suatu tempat tinggal yang meliputi desa-desa/perkampungan
yang jauh dari pusat kediaman di mana pemimpin desa bertempat tinggal
dan semua tunduk pada pimpinan tersebut. Contohnya, desa di Jawa dan di
Bali. Desa di Jawa merupakan persekutuan hukum yang mempunyai tata
susunan tetap, mempunyai pengurus, mempunyai wilayah, dan harta benda,
bertindak sebagai satu kesatuan terhadap dunia luar dan tidak mungkin desa
itu dibubarkan.

b) Masyarakat hukum/persekutuan daerah, adalah kesatuan dari beberapa


tempat kediaman yang masing-masing mempunyai pimpinan sendiri dan
sederajat, tetapi kediaman itu merupakan bagian dari satu kesatuan yang
lebih besar. Bentuk seperti ini, misalnya kesatuan nagari di Minangkabau,
marga di Sumatera Selatan dan Lampung, dan kuria di Tapanuli. Desa di
Jawa terdiri dari bagian-bagian yaitu dusun dan tiap dusun mempunyai
pimpinan. Kuria di Tapanuli merupakan kesatuan dan bagian-bagian yang
disebut huta. Huta mempunyai pemimpin sendiri.

c) Masyarakat hukum/perserikatan desa, adalah apabila di antara beberapa


desa atau marga yang terletak berdampingan yang masing-masing berdiri
sendiri mengadakan perjanjian kerja sama, misalnya kepentingan mengatur
pemerintahan adat bersama, kehidupan ekonomi, pertanian, dan
pemasaran. Beberapa desa bergabung dan mengadakan permufakatan
untuk melakukan kerja sama untuk kepentingan bersama. Untuk itu
dibentuk suatu badan pengurus yang terdiri dari pengurus desa, seperti
subak di Bali.

C. Masyarakat Hukum Genealogis-Teritorial


Timbulnya masyarakat genealogis-teritorial disebabkan bahwa dalam
kenyataannya tidak ada kehidupan tidak tergantung dari tanah, tempat ia dilahirkan,
mengusahakan hidup, tempat kediaman, dan mati. Masyarakat genealogis-teritorial
adalah kesatuan masyarakat di mana para anggotanya tidak saja terikat pada tempat
kediaman, tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah
dan atau kekerabatan.Bentuk masyarakat ini terdapat pada masyarakat kuria dengan
huta-huta di lingkungan masyarakat Tapanuli Selatan (Angkola, Mandailing), umi
(Mentawai), euri (Nias), nagari (Minangkabau), Marga dengan dusun-dusun di
Sumatera Selatan, dan marga dengan tiyuh-tiyuh di Lampung.
4. Daerah Hukum adat
Wilayah hukum adat di Indonesia Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal
sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau
lingkaran adat (Adatrechtkringen). Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven
adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah
di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:
Aceh Gayo dan Batak Nias dan sekitarnya Minangkabau Mentawai Sumatra Selatan
Enggano Melayu Bangka dan Belitung Kalimantan (Dayak) Sangihe-Talaud
Gorontalo Toraja Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar) Maluku Utara Maluku Ambon
Maluku Tenggara Papua Nusa Tenggara dan Timor Bali dan Lombok
Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran) Jawa Mataraman Jawa Barat (Sunda).

5. Contoh Kasus Di Indonesia


➢ Contoh Kasus Pelanggaran Hukum Adat Beserta Sanksinya di Indonesia.

Meski Indonesia memiliki UUD 45, hukum adat tetap dapat digunakan untuk
menyelesaikan perkara pidana. Bahkan, pemberian sanksi pidana melalui hukum adat
beberapa kali dilakukan. Sebagai contoh, kasus pembunuhan Medelin Sumual di
Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.Pelaku pembunuhan bernama Muhamad
Munawir. Ia diputus harus membayar denda sebesar Rp1.898.000.000. Putusan
tersebut dikeluarkan oleh Lembaga Adat Besar Kabupaten Kutai Barat. Dalam
pemberitaan VOI sebelumnya dikatakan bahwa Lembaga Adat Besar Kabupaten Kutai
Barat mempertimbangkan berbagai hal. Di antaranya adalah tuntutan keluarga korban,
kerawanan sosial pasca kejadian yang berpotensi instabilitas di Kutai Barat. Selain itu
perimbangan juga merujuk pada upaya menjaga situasi tetap damai dan kondusif serta
menghindari kejadian semacam ini berulang.

Pertimbangan juga didasarkan pada upaya menciptakan persatuan dan kesatuan,


serta terjalinnya rasa persaudaraan yang berdasarkan rasa saling menghormati dan
saling menghargai antar sesama di Kutai Barat sekaligus upaya menghilangkan rasa
permusuhan, dan dendam fitnah di tengah masyarakat. “Memutuskan Saudara
Muhamad Munawir dinyatakan bersalah telah menghilangkan nyawa/membunuh
saudari Medelin Sumual. Melanggar hukum adat Bolitn Mate Namar Umar.
Dikenakan sanksi adat sebesar 4120 Antakng atau sebesar Rp1.648.000.000 dan
menanggung biaya acara adat kematian Paramp Api dan Kenyau Etus Askng sebesar
Rp250 juta,” demikian cuplikan putusan sanksi adat. Lembaga Adat Besar Kabupaten
Kutai Barat memberikan tenggat waktu kepada Munawir paling lama enam bulan.
“Apabila sampai batas waktu yang telah ditentukan yakni 4 Agustus 2021 denda adat
Rp 1.898.000.000 tidak dapat dipenuhi/dibayar maka segera berkoordinasi dengan
lembaga Adat besar Kabupaten Kutai Barat untuk membicarakan hal-hal berkaitan
pembayaran denda.”
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sejak awal manusia diciptakan telah dikarunia akal, pikiran dan prilaku yang ketiga hal ini
mendorong timbulnya “kebiasaan pribadi “, dan apabila kebiasaan ini ditiru oleh orang lain,
maka ia akan menjadi kebiasaan orang itu dan seterusnya sampai kebiaasaan itu menjadi adat,
jadi adat adalah kebiasaan masyarakat yang harus dilaksanakan oleh masyarakat yang
bersangkutan.

Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan
jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena
“adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat kecuali
menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan
(tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat dan lain-lain.

Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma,
hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan
memiliki sanksi riil yang sangat kuat, yang sebagian besar tidak tertulis, tetapi senantiasa ditaati
dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai sanksi atau akibat tertentu.

B. SARAN

Saya berharap kepada pembaca khususnya mahasiswa Ilmu komunikasi bahwa kita harus
melihat Hukum Adat sebagai latar belakang Historis dari kelahiran Hukum itu sendiri dari
aspek psikologis Hukum adat tidak bisa dihilangkan dan dipisahkan dengan hukum yang ada
sekarang ini. Dan diadakannya studi khususnya mahasiswa Hukum untuk langsung turun ke
lapangan Hukum Adat yang ada dalam masyarakat agar pendatailan data dan esensi Hukum
Adat sendiri lebih nyata.
DAFTAR PUSAKA

Bushar, Muhammad. 1981. Asas-Asas Hukum Adat (suatu pengantar). Jakarta:


_______Pradnya Paramitha.
H.A.M. Effendy. 1994. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Mahdi Offset.

Id.m.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat

Keebet von Benda-Beckmann. 2006. Pluraisme Hukum. Jakarta: Ford Fondation.

Lukito, Ratno. 1998. Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia.
______Jakarta: INIS.
Soekanto. 1981. Meninjau Hukum Adat Indonesoia. Jakarta: CV.Rajawali.

Soepomo. 1993. Hukum Adat. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Warjiyati, Sri. 2006. Memahami Hukum Adat. Surabaya: IAIN Surabaya

Anda mungkin juga menyukai