Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

“Hukum Adat Sebagai Segi (Aspek) Kebudayaan”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah


Mata Kuliah : Hukum Adat

Disusun Oleh :
Kelompok 1
1. Iklima Santer (22310004)
2. Destia Triyanti (22310002)
3. Dian Syahputra Harahap (22310003)
4. Angga Saputra (22310046)
5. Almalikul Mulki (22310035)

Kelas : Semester 2A

Dosen Pengampu : Hj. Desmawaty Romli, SH., MH. dan


Randi Aritama, SH., MH.

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan
karunia-Nyalah kelompok kami dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai tentang ―
Hukum Adat sebagai Segi (Aspek) Kebudayaan ‖.
Penulisan makalah ini bertujuan guna memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah ― Hukum
Adat ‖. Disamping itu makalah ini diharapkan dapat menjadikan sarana pembelajaran serta
menambah wawasan dan pengetahuan.
Disamping itu kami juga menyadari akan segala kekurangan dan ketidaksempurnaan, baik
dari segi penulisan maupun dari cara penyajiannya. Oleh karena itu kelompok kami dengan
senang hati menerima kritik dan saran demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.
Penyusun berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis
dan para pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... I


DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ II
BAB 1 ................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................................................... 1
1.3. Tujuan Masalah .......................................................................................................................... 1
BAB II .................................................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN ................................................................................................................................... 2
BAB III ................................................................................................................................................. 8
KESIMPULAN..................................................................................................................................... 8

II
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Memahami Hukum Adat dimulai dari pengertian dan istilah hukum adat itu sendiri, menurut
Snouck Hurgronje Adat Recht atau Hukum Adat adalah adat-adat yang mempunyai akibat
hukum, atau dengan kata lain disebut dengan hukum adat jika adat tersebut mempunyai
akibat hukum. Diantara manfaat mempelakari hukum adat adalah untuk memahami budaya
hukum Indonesia, dengan ini kita akan lebih mengetahui hukum adat mana yang dapat
mendekati keseragaman yang berlaku sebagai hukum nasional.
Lebih jauh membahas tentang Hukum Adat, suatu adat dikatakan sebagai hukum adat yang
merupakan karakteristik hukum adat adalah hukum yang umumnya tidak ditulis, peraturan-
peraturan yang ada kebanyakan merupakan petuah yang memuat asas peri kehidupan dalam
bermasyarakat serta kepatuhan seseorang terhadap hukum adat akan lebih didasarkan pada
rasa harga diri setiap anggota masyarakat. Lalu bagaimana dengan hukum adat yang
selanjutnya ada dan dikatakan sebagai Aspek Kebudayaan, serta letaknya dalam kerangka
kebudayaan itu, jawaban dari beberapa pertanyaan ini akan kami bahas di bab selanjutnya.

1.2. Rumusan Masalah


 Apa itu hukum adat sebagai segi (aspek) kebudayaan ?

1.3. Tujuan Masalah


 Untuk mengetahui tentang hukum adat sebagai aspek kebudayaan

1
BAB II
PEMBAHASAN
Penyelidikan van Vollenhoven serta sarjana-sarjana lain membuktikan bahwa wilayah
hukum adat Indonesia itu tidak hanya terbatas pada wilayah Republik Indonesia, akan tetapi
sampai pada kepulauan Nusantara kita. Hukum adat Indonesia tidak saja bersemayam dalam
perasaan hati nurani orang Indonesia yang menjadi warga-warga (Republik) Indonesia
(staatsrechtelijk Indonesier) di segala penjuru Nusantara kita, tetapi juga tersebar dan
memencar sampai di gugusan kepulauan Filipina dan Taiwan di sebelah utara, yaitu Pulau
Malagasi (Madagaskar) di sebelah Barat Lautan Hindia dekat pantai Afrika, dan berbatas di
sebelah Timur sampai dekat Amerika Selatan di kepulauan Pass, dianut dan dipertahankan
oleh orang Indonesia yang termasuk golongan ethnologisch Indonesier. Dalam wilayah yang
sangat luas ini, hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tata-
tertib sosial dan tata-tertib hukum diantara manusia, yang sama bergaul di dalam suatu
masyarakat, supaya dapat dihindarkan segala bencana dan bahaya yang mungkin atau telah
mengancam. Ketertiban yang dipertahankan oleh hukum adat itu baik bersifat batiniah
maupun jasmaniah, kelihatan atau tidak kelihatan, tetapi diyakini dan dipercayai sejak dari
kecil waktu anak-anak sampai berkubur baur dengan tanah kembali.
Di mana ada masyarakat, di sana ada hukum (adat). Inilah suatu kenyataan umum, di
seluruh dunia. Tidakkah Cicero lebih kurang 2000 tahun yang lalu telah mengikrarkan dalam
bahasanya, yaitu dalam bahasa latin, kata-kata yang tahan zaman: ubi societas, ibi ius. Dalam
zaman modern, kenyataan ini ditegaskan dengan penuh keyakinan oleh mazab Ethnologische
Jurisprudenz, pelopornya, yaitu A.H Post mengikrarkan dalam bahasa Jerman, kalimat: Es
gibt kein Volk der Erde, welches nicht die Anfange eines Rectes besasse. Van Apeldoorn
mengulangi kata-kata Post itu dalam bahasanya sendiri: Recht is er over de gehele wereld,
overal waar een samenleving van mensen is.
Hukum yang terdapat disetiap masyarakat manusia, betapa sederhana dan kecilnya
masyarakat itu, menjadi cerminnya. Karena tiap masyarakat, tiap rakyat mempunyai
kebudayaan sendiri, dengan corak dan sifatnya sendiri – biarpun dalam kebudayaan ada
beberapa rakyat tertentu (misalnya, semua rakyat Eropa Barat) ada, banyak persamaan pula--,

2
mempunyai cara berpikir geestesstructuur sendiri, maka hukum di dalam tiap masyarakat,
sebagai salah satu penjelmaan geestesstructuur masyarakat yang bersangkutan, mempunyai
corak dan sifatnya sendiri sehingga hukum masing-masing masyarakat itu berlain-lainan. Van
Savigny, pernah mengajarkan bahwa hukum mengikuti Volksgeist dari masyarakat tempat
hukum itu berlaku. Karena Volkgeist masing-masing masyarakat berlain-lainan.
Begitu pula halnya dengan hukum adat di Indonesia. Seperti halnya dengan semua sistem
hukum dibagian lain di dunia ini, maka hukum adat itu senantiasa tumbuh dari sesuatu
kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup, yang keseluruhannya
merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. Tidak mungkin suatu
hukum tertentu yang asing bagi masyarakat itu dipaksakan atau dibuat, apabila hukum
tertentu yang asing itu bertentangan dengan kemauan orang terbanyak dalam masyarakat
yang bersangkutan atau tidak mencukupi rasa keadilan rakyat yang bersangkutan, pendeknya:
bertentangan dengan kebudayaan rakyat yang bersangkutan.
Jadi, kita tidak boleh meninjau hukum adat Indonesia terlepas dari apa yang dinamakan Von
Savigny, Volksgeist, geestesstructuur, grondstructuur masyarakat Indonesia, dari sudut cara
berpikir yang khas orang Indonesia yang terjelma dalam hukum adat itu. Kita juga tidak
boleh lupa struktur rohaniah masyarakat Indonesia yang bersangkutan.
Untuk dapat mengerti benar hukum adat itu sebagai suatu segi kebudayaan Indonesia,
sebagai penjelmaan kepribadian Indonesia, maka perlulah terlebih dahulu kita harus memberi
jawaban atas pertanyaan: bagaimanakah struktur berpikir, corak dan sifat masyarakat
Indonesia, khusunya yang berhubungan dengan bidang hukum? Menjawab pertanyaan ini
adalah penting, karena – dengan meminjam sekali lagi istilah Von Savigny – Volksgeist
Indonesia berbeda dari Volkgeist masyarakat lain dibagian lain dunia ini, Volksgeist
Indonesia mempunyai struktur berpikir, corak dan sifat sendiri.
Tetapi sebelum menjawab pertanyaan tersebut di atas, baiklah terlebih dahulu kita ingat
bahwa masyarakat Indonesia sekarang, baik di pusat maupu di daerah-daerah terutama zaman
sesudah Perang Dunia II dan Kemerdekaan Nasional, sedang mengalami masa peralihan dan
bergolak terus. Revolusi sosial ekonomi yang sekarang sedang berjalan terus mempengaruhi
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Revolusi tersebut akan mengubah pengertian dan
penilaian kita disemua lapangan, termasuk lapangan hukum. Revolusi tersebut akan
mengubah makna atau isi kepatuhan, keharusan, dan demokrasi, kebebasan, hak milik, dan
lain-lain.

3
Dalam hal melihat arus perubahan-perubahan itu, kita bertanya: Berapa besarkah perubahan
tersebut sekarang ini dan berapa jauh perubahan itu, sehingga dapat mempengaruhi penilaian
kita dan kepatutan kita dalam kehidupan sehari-hari? Dan bagaimanakah khususnya keadaan
hukum adat sebagai bagian dari keadaan yang telah berubah itu ?
Mengenai pertanyaan berapa besarkah perubahan tersebut sekarang ini dan berapa jauh
perubahan itu, maka dapat dikatakan bahwa buku ini bukanlah tempatnya untuk
menjawabnya. Hal itu kiranya menjadi tugas ahli-ahli sosiologi dan ahli-ahli antropologi
budaya. Ada kemungkinan besar, bahwa khusus mengenai hukum adat, ditunjukkannya
perubahan atau perkembangan baru, tetapi hanya meliputi beberapa segi hukum adat itu saja.
Tetapi tidak semua perubahan dalam jiwa dan struktur masyarakat merupakan perubahan
fundamental, yang melahirkan suatu jiwa dan struktur yang baru masyarakat itu. Masyarakat
adalah sesuatu yang kontinu. Masyarakat berubah, tetapi tidak dengan meninggalkan
sekaligus nilai-nilai yang lama. Melainkan, walau ada perubahan, masih juga beberapa hal-
hal yang lama diteruskan. Karl Mannheim berkata: ―we must not overshoot the fact that even
in so-called revolutionary periods the old and the new are blended‖. Jadi, dalam suatu
masyarakat terdapatlah realitas bahwa sesuatu proses [perkembangan] mengatur kembali
yang lama dan menghasilkan sintese dari yang lama dan yang baru, sesuai dengan kehendak,
kebutuhan, cara hidup dan pandangan hidup suatu rakyat. Mengenai perkembangan hukum—
perubahan dari yang lama dan lahirnya yang baru, sintese dari yang lama dan yang baru –
dari zaman ke zaman, Von Savigny pernah mengatakan bahwa perkembangan hukum itu bagi
rakyat yang bersangkutan adalah das lebender Nation selbst.
Sesudah kita mengetahui dari apa yang diuraikan di atas tadi, bahwa hukum adat itu adalah
suatu segi kebudayaan Indonesia, adalah pancaran dari jiwa dan struktur masyarakat
Indonesia, dari mentalitas orang dan masyarakat Indonesia, maka sampailah kita pada
kesempatan untuk mengetahui mentalitas itu yang mendasari hukum adat tersebut.
F.D. Holleman; yang pernah menjabat guru besar dalam mata pelajaran hukum adat di
Leiden dan yang menjadi pengganti Van Vollenhoven di sana, dalam pidato inaugurasinya
yang berjudul De Commune trek in het Indonesische rechtsieven, menyimpulkan adanya
empat sifat umum hukum adat Indonesia yang hendaknya dipandang juga sebagai suatu
kesatuan. Pertama, sifat religio magis, kedua sifat komun, ketiga sifat contant dan keempat
sifat konkret.

4
―Religio-magis‖ itu sebenarnya adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung
unsur beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogis, animisme, pantangan, ilmu gaib, dan
lain-lain. Koentjaraningrat dalam tesisnya menulis bahwa alam pikiran religio-magis itu
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
a. ―kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu yang
menempati seluruh alam semesta dan khusus gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan,
binatang, tubuh manusia dan benda-benda;
b. kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta
dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa yang luar biasa, binatang yang luar
biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, tubuh manusia yang luar biasa, benda-benda
yang luar biasa dan suara yang luar biasa;
c. anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai magische kracht
dalam berbagai perbuatan-perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia
atau untuk menolak bahaya gaib;
d. anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis,
menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya gaib yang hanya dapat dihindari
dengan berbagai macam pantangan.

Unsur-unsur tersebut dalam sub a telah kita jumpai sebagai unsur dalam anggapan E.B.
Tylor tentang animisme, yang dikenal oleh para sarjana Indonesia melalui karangan-karangan
G.A. Wilken dan A.C. Kruyt. Unsur tersebut dalam sub b, kita jumpai sebagai unsur dalam
anggapan R.R. Marett tentang preanimisme, yang dikenal oleh para sarjana Indonesia melalui
karangan-karangan F.D.E. Van Ossenbruggen. Unsur tersebut dalam sub c, kita jumpai
sebagai anggapan A. Vierkandt tentang dasar-dasar magis atau ilmu gaib, yang dikenal oleh
para sarjana Indonesia melalui karangan-karangan F.D.E. Van Ossenbruggen. Akhirnya
unsur tersebut dalam sub d, kita jumpai sebagai anggapan A.Vierkandt dan K.T. Preusz
tentang dasar-dasar pantangan, yang dikenal oleh para sarjana Indonesia melalui karangan-
karanagan Van Ossenbruggen, dengan lain perkataan: sifat atau dasar jiwa daripada religio
magis itu diintroduksi di Indonesia melalui berbagai pemikir hukum adat atau antropologi,
seperti antara lain Wilken, Kruyt, dan Van Ossenbruggen.

5
Sebagai tambahan serta penegasan atas pengertian religio magis, saya ingin mengemukakan
kata majemuk: participerend kosmisch, singkatnya mengandung pengertian kompleks, yaitu
orang Indonesia pada dasarnya berpikir serta merasa dan bertindak didorong oleh
kepercayaan (religi) pada tenaga-tenaga yang gaib (magis) yang mengisi, menghuni seluruh
alam semesta (dunia kosmos) dan yang terdapat pada orang, binatang, tumbuh-tumbuhan
besar dan kecil, benda yang berupa dan berbentuk luar biasa--, dan semua tenaga-tenaga itu
membawa seluruh alam semesta dalam suatu keadaan keseimbangan (in een toetand van
evenwicht). Tiap tenaga gaib itu merupakan bagian dari kosmos, dari keseluruhan hidup
jasmaniah dan rohaniah – ―participatie‖- dan keseimbangan itulah yang senantiasa harus ada
dan terjaga, dan apabila terganggu, harus dipulihkan. Memulihkan keadaan keseimbangan itu
berwujud dalam beberapa upacara, pantangan atau ritus (rites de passage).
Adapun hal yang kedua dari dasar cara berpikir dalam hukum adat adalah suatu segi atau
corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup sangat terpencil atau dalam
hidupnya sehari-hari masih sangat tergantung pada tanah atau alam pada umumnya. Dalam
masyarakat-masyarakat semacam, selalu terdapat sifat lebih mementingkan keseluruhan;
lebih diutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individu.
Dalam masyarakat-masyarakat semacam, individualitas orang peorang terdesak ke
belakang. Masyarakat, desa, dusun, orang banyak sedusun sebagai satu kesatuan, yang
senantiasa memegang peranan, yang menentukan, yang pertimbangannya dan kepatutannya
tidak boleh dan tidak dapat disia-siakan. Keputusan clan, keputusan desa adalah berat,
berlaku terus dan dalam keadaan apapun juga harus dipatuhi dengan hormat, khidmat,
Holleman, yang pendapatnya dikutip oleh Koentjaraningrat, mengemukakan , bahwa sifat
komunal ( communetrek ) dalam hukum adat - berati bahwa kepentingan individu dalam
hukum adat selalu diimbangi oleh kepentingan umum, bahwa hak-hak individu dalam hukum
adat selalu diimbangi oleh hak-hak umum. Dengan mentalitas itu, segala penilaian,
pembuatan keputusan dan tekanan dalam hukum adat terletaklah dalam tangan desa,
masyarakat adat. Keseluruhan masyarakat, adalah yang kuat kuasa, menentukan segala,
memberi arah kepada segala tindak-tanduk.
Juga sifat contant, yaitu sifat ketiga yang saya sebut di atas tadi dengan mengikuti
Holleman, terdapat dalam hukum adat pada umumnya. Dalam bahasa Indonesia – sebagai
terjemahan contant itu sifat tunai itu mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan
nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah

6
selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau
mengucapkan yang diharuskan oleh adat. Dengan demikian, dalam hukum adat segala
sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang-terima secara contant itu, adalah diluar
akibat-akibat hukum (rechtgevolgen) dan memang tidak bersangkut paut atau bersebab
akibat menurut hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud yang telah selesai seketika itu juga,
adalah suatu perbuatan hukum yang – dalam arti yuridis – berdiri sendiri. Dalam arti urutan
kenyataan-kenyataan , tindakan-tindakan sebelum dan sesudah perbuatan yang bersifat
contant itu hanya mempunyai arti logis terhadap satu sama lain. Contoh yang tepat dalam
hukum adat tentang suatu perbuatan yang contant adalah jual-lepas, perkawinan jujur,
melepaskan hak atas tanah, adopsi, dan seterusnya.
Dasar cara berpikir yang keempat yang umum terdapat dalam hukum adat adalah apa yang
disebut sifat konkret. Konkret artinya bahwa dalam alam berpikir yang tertentu senantiasa
dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksud, diingini, dikehendaki atau akan
dikerjakan ditransformasikan atau diberi wujud sesuatu benda, diberi tanda yang kelihatan,
baik berupa langsung maupun hanya menyerupai objek yang dikehendaki (simbol, benda
yang magis, dan lain-lain). Contoh-contoh; panjar bermaksud akan melakukan jual-beli atau
memindahkan hak atas tanah; paningset, panyangcang, dalam pertunangan atau akan
melakukan perkawinan; membalas dendam terhadap seseorang dengan membuat palung,
boneka atau benda, lalu barang itu dimusnahkan, dibakar, dipancung. Jadi, contantnya itu
adalah dengan bertindak atau berbuat sesuatu secara visual, kelihatan, biarpun hanya
menyerupai objek yang dikehendaki.

7
BAB III
KESIMPULAN
Hukum adat sebagai aspek kebudayaan adalah hukum adat yang dilihat dari pandang nilai,
norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur sosial religious yang didapat
seseorang dengan eksistensinya sebagai anggota masyarakat. Hukum adat adalah sebagai
aspek kehidupan dan budaya bangsa Indonesia karena struktur kejiwaan dan cara berfikir
bangsa Indonesia tercermin lewat hukum adat itu sendiri.

Hukum adat adalah Hukum Non Statuir, hukum adat juga sebagai hukum yang berkembang
dan hidup di masyarakat, sehingga unsur-unsur yang ada dalam hukum adat dapat menjadi
asumsi atas eksistensi hukum adat, hukum adat tersebut lahir dan dipelihara oleh putusan-
putusan para warga masyarakat hukum terutama keputusan kepala rakyat yang membantu
pelaksanaan perbuatan hukum itu atau dalam hal bertentangan kepentingan dan keputusan
para hakim mengadili sengketa tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, senafas,
seirama, dengan kesadaran tersebut diterima atau ditoleransi.

Anda mungkin juga menyukai