Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

BUDAYA HUKUM DAN HUKUM ADAT DALAM


MASYARAKAT DI INDONESIA

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Antropologi Hukum

Dosen Pengampu:
DR. Ummi Kalsum, S.H., M.H.

oleh
Aina Nurnabila (220510039)
Sari Ramadhana (220510083)

PROGRAM STUDI HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
TAHUN 2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................2

C. Tujuan...........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

A. Definisi Budaya Hukum...............................................................................3

B. Definisi Hukum Adat....................................................................................4

C. Hukum Adat Pada Masyarakat Aceh............................................................5

D. Hukum Adat Pada Masyarakat Gayo............................................................6

E. Hukum Adat Pada Masyarakat Batak...........................................................7

F. Hukum Adat Pada Masyarakat Jawa............................................................8

BAB III PENUTUP...............................................................................................10

A. Kesimpulan.................................................................................................10

B. Saran...........................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia di dalam hidup bermasyarakat pada dasarnya mempunyai


pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang
dianggap buruk. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam
pasangan-pasangan tertentu, sehingga misalnya, ada pasangan nilai ketertiban
dengan nilai ketentraman, pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai
kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian dengan nilai inovatisme, dan
seterusnya. Di dalam penegakan hukum, pasangan nilai-nilai tersebut perlu
diserasikan, umpamanya, perlu penyerasian antara nilai ketertiban dengan
ketentraman. Sebab, nilai ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan
nilai ketentraman titik tolaknya adalah kebebasan.

Hukum adalah sebuah produk budaya.Hal ini berarti hukum sangat


dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum seperti ; nilai, sikap, dan pandangan
masyarakat yang biasa disebut dengan kultur atau budaya hukum. Adanya kultur
atau budaya hukum inilah yang menyebabkan perbedaan penegakan hukum di
antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Hukum merupakan
sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum
Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik
perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda
karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan
sebutan Hindia Belanda. Hukum selalu tumbuh dan berkembang bersama
pertumbuhan masyarakatnya.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan,maka dapat
ditentukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa definisi budaya hukum?
2. Apa definisi hukum adat di indonesia?
3. Bagaimana hukum adat dalam kalangan masyarakat aceh?
4. Bagaimana hukum adat gayo,batak,dan jawa?

C. Tujuan
Pada makalah ini,penulis menentukan tujuan penulisan berdasarkan
rumusan masalah yang telah diuraikan.Berikut merupakan tujuan penulisan pada
makalah ini yaitu:

1. Mengetahui definisi budaya hukum.


2. Mengetahui definisi hukum adat di indonesia.
3. Menambah wawasan hukum adat dalam kalangan masyarakat aceh.
4. Menambah wawasan tentang hukum adat gayo, batak, dan jawa.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Budaya Hukum


Budaya hukum jika diartikan secara gramatikal maka akan menghasilkan
banyak pandangan, walaupun sebenarnya pandangan tersebut bebas. Namun
kiranya dalam pendidikan hukum ke depan, budaya hukum haruslah memiliki
batasan-batasan dalam pengertiannya agar tidak menimbulkan interpretasi dalam
masyarakat. sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Jimly Assidiqie bahwa
pembudayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum dalam arti luas sering tidak
dianggap penting. Padahal, tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan, dan
pemahaman oleh para subjek hukum dalam masyarakat, nonsense suatu norma
hukum tidak dapat diterapkan tegak dan ditaati.
Menurut Sastrapratedja mengatakan bahwa kebudayaan bukan hanya
merupakan cerminan infrastruktur melainkan juga merupakan totalitas objek
(kebudayaan material) dan totalitas makna (kebudayaan intelektual) yang
didukung oleh subjek (individu, kelompok, sektor-sektor masyarakat atau bangsa)
yang keseluruhannya, minimal dapat dibedakan dalam 3 lapis,yaitu:
1. Alat-alat yakni segala sesuatu yang diciptakan manusia untuk mencapai
tujuan yang dikehendaki, termasuk segala bentuk teknologi dari yang
sederhana sampai yang canggih dan ilmu pengetahuan. Dalam lapis
pertama ini, kebudayaan bersifat kumulatif dan dapat dialihkan dari
suatu masyarakat kemasyarakat lain dengan cara yang relatif mudah.
2. Etos masyarakat yakni kompleks kebiasaan dan sikap-sikap manusia
terhadap waktu, alam dan kerja.
3. Inti atau hati kebudayaan yakni pemahaman diri masyarakat meliputi
cara masyarakat memahami, sejarah dan tujuan-tujuannya.

Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor


masyarakat sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasannya diketengahkan

3
masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau
nonmaterial. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan),
maka hukum mencakup struktur, substansi, dan kebudayaan (Lawrence M.
Friedman, 1977). Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut
yang umpamanya mencakup tatanan lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Substansi mencakup isi norma-norma
hukum beserta perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku
bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum
pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasarihukum yang berlaku, nilai-
nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap
baik (sehingga dianuti) dan apa yanng dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-
nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua
keadaan ekstrim yanng harus diserasikan.

B. Definisi Hukum Adat


Istilah hukum adat dikemukakan pertama kali oleh Prof.Dr.Christian
Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Accheers”(Orang-orang
Aceh), yang kemudian diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis Van Vollen Hoven dalam
bukunya yang berjudul “Het Adat Recht Van Nederland Indie”Dengan adanya
istilah ini, maka pemerintah kolonial Belanda pada akhir tahun 1929 mulai
menggunakan secara resmi dalam peraturan perundangan Belanda.Hukum adat
pada dasarnya merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat istiadat
mencakup konsep yang sangat luas.Definisi dari hukum adat sendiri adalah suatu
hukum yang hidup karena dia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari
rakyat sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan
tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.Berikut merupakan definisi
hukum adat dari beberapa ahli hukum :
1. Prof. Mr. B. TerHaar BZN menyebutkan bahwa hukum adat ialah
keseluruhan aturan yang menjelma dalam keputusan para fungsionaris
hukum yang mempunyai wibawa dan pengaruh dan yang dalam

4
pelaksanaannya berlaku secara spontan dan dipatuhi dengan sepenuh
hati.
2. Prof. Dr. Mr. Sukanto menyatakan bahwa hukum adat adalah komplek
adat-istiadat yang kebanyakan tidak dikodifikasikan dan bersifat
memaksa, mempunyai sanksi atau akibat hukum.
3. Prof. Dr. Mr. R. Supomo, Hukum adat adalah hukum yang non
statuter, yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian
kecil adalah hukum islam.
4. Prof. Mr. Kusumadi Pujosewoyo, hukum adat adalah keseluruhan
aturan tingkah laku yang “adat” dan sekaligus “hukum” pula.
5. Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan
aturan tingkah laku positip yang disatu pihak mempunyai sanksi
(hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat).
Dari beberapa pendapat para ahli hukum mengenai pengertian hukum adat,
dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat ialah Norma-norma yang bersumber pada
perasaan peradilan rakyat yang meliputi aturan tingkah laku dan perbuatan
manusia dalam kehidupan sehari-hari, yang sebagian besar tidak tertulis, tetapi
senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai sanksi atau akibat
tertentu.

C. Hukum Adat Pada Masyarakat Aceh


Masyarakat Aceh di kenal dengan masyarakat yang memiliki budaya yang
khas dan mengakar sejak masa pemerintahan kerajaan, masa penjajahan sampai
masa sekarang. Dalam Perda No. 7 / 2000 tentang penyelenggaraan kehidupan
Adat, di jelaskan antara lain perannan dan kewenangan lembaga-lembaga adat
yang ada di Aceh. Peraturan Daerah (Perda) ini merupakan penjabaran salah satu
ciri keistimewaan dan otonomi khusus Aceh, seperti terlihat dalam UU No. 4 /
1999, Perda tentang penyelenggaraan kehidupan adat juga di rumuskan selaras
dengan semangat pemberlakuan Syari’at Islam (pasal 2). Dengan demikian adat
yang di maksudkan dalam oleh Perda ini adalah adat yang selaras dengan Islam:
Adat hanya di berlakukan apabila tidak bertentangan dengan syari’at.

5
Ketentuan-ketentuan Perda ini tentang kewenangan sejumlah lembaga adat
untuk menyelesaikan sengketa dalam masyarakat. Perda menetapkan bahwa
putusan adat bisa menjadi pertimbangan penegak hukum dalam menyelesaikan
perkara, yang memungkinkan orang yang terlibat perkara adat itu mengajukan
kasusnya kepengadilan, jika dia tidak dapat menerima keputusan adat.

Hukum adat adalah sebuah lembaga sosial harus terus di dukung


penerapannya dalam masyarakat. Ketika hukum tersebut telah teraplikasi secara
baik maka proses pelembagaan dan pembudayaan hukum akan terwujud.
Pembudayaan hukum adalah suatu kaidah atau seperangkat kaidah yang sudah
melembaga, selanjutnya mendarah daging dalam jiwa masyarakat. Pembudayaan
hukum dapat dikatakan bahwa hampir di setiap kegiatan dalam masyarakat Aceh
terdapat lembaga adat yang mengatur berbagai aktivitas tersebut, sehingga
hubungan antara masyarakat dalam setiap intraksinya dapat berlangsung secara
harmonis.

D. Hukum Adat Pada Masyarakat Gayo


Sistem budaya masyarakat Gayo pada dasarnya bermuatan pengetahuan,
keyakinan, nilai, agama, norma, aturan, dan hukum yang menjadi acuan bagi
tingkah laku dalam kehidupan masyarakat.Karena itu, hukum adat Gayo adalah
aturan atau perbuatan yang bersendikan Syariat Islam dituruti, dimuliakan, ditaati
dan dilaksanakan secara konsisten (îstîqâmâh) dan menyeluruh (kâffâh) dalam
upaya menyelesaikan kasus hukum pada masyarakat Gayo. Penyelesaian kasus
hukum pada hakikatnya adalah bagaimana upaya membuat penduduk suatu negeri
(terutama kaum lemah dan kaum miskin) merasa tidak hanya berkeadilan, tetapi
juga secara sosial lebih terlindungi dan lebih sadar diri.

Hukum adat Gayo yang berlaku di tengah masyarakat menurut para petue
atau tokoh adat di Gayo tidak bertentangan dengan hukum agama Islam.
Sebagaimana halnya diatur dalam hukum Islam yaitu tidak membenarkan
malakukan pernikahan dalam satu susuan (satu ibu) namun tidak dilarang
menikah dalam satu suku, begitu juga dalam hukum adat pada masyarakat Gayo

6
yang melarang keras melakukan perkawinan dalam satu susuan, dan untuk
mencengah terjadinya hal tersebut, masyarakat Gayo atau Sarak Opat membuat
satu hukum yang disebut dengan Hukum Parak, mereka berpendapat bahwa
hukum adat itu merupakan sebagai pagarnya agama.

Menurut adat Gayo, menghukum buang pasangan yang melanggar


ketentuan adat dari Kampung halaman bisa dijatuhkan. Perkara ini relevan dengan
Yurisprudensi khalifah Umar Bin Khattab, yang pernah menghukum buang
pasangan penzina selama seumur hidup meninggalkan Kampung
halamannya.hukum adat di dalam pemerintahan tanah Gayo pada hakikatnya
adalah merupakan “pancaran dari hukum Islam.” Dari hal inilah sanksi Parak
mengambil keputusan terhadap masyarakat yang Memiliki ilmu hitam maksudnya
adalah perbuatan yang mengarah kepada hal-hal yang bersifat musyrik dan
bertentangan dengan hukum Syar’i, seperti memiliki ilmu guna-guna (santet),
sanksi Parak yang diterapkan kepada pelakunya adalah yang bersifat sementara,
artinya bisa kembali ke kampung halamannya, apabila pelakunya tidak lagi
memakai ilmu tersebut.

E. Hukum Adat Pada Masyarakat Batak


Masyarakat Batak Toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal yang
artinya sistem kekeluargaan ditarik dari garis keturunan ayah (bapak). Hal ini
menyebabkan derajat laki-laki lebih diakui dari pada perempuan, karena laki-laki
merupakan penerima atau pembawa marga dari ayahnya; sebagai pembawa marga
pada sistem kekeluargaan adat Batak Toba maka laki-laki harus dapat
mempertahankan marga tersebut dan mewariskannya ke generasi selanjutnya.
Garis patrilineal ini sangat mempengaruhi adat Batak Toba dalam melakukan
pembagian harta warisan. Banyak masyarakat adat Batak Toba yang berada di
kampung halaman masih menganut dan berpegang teguh terhadap pembagian
harta warisan berdasarkan garis patrilineal ini.

Masyarakat Batak Toba merupakan penganut sistem perkawinan eksogami


sehingga endogamy atau dalam bahasa Batak Toba disebut marsumbang dianggap
sebagi pelanggaran terhadap hukum adat dan akan membuat roh para leluhur

7
marah. Selain marsumbang, na tarboan-boan rohana, dan marpadanpadan juga
merupakan sebuah pelanggaran terhadap hukum adat dan dipercaya akan
membuat roh-roh leluhur marah. Para pelaku akan mendapat sanksi berupa
manjuhuti mangindahani yakni mempersembahkan jamuan nasi dan daging (babi,
sapi atau kerbau) guna memperbaiki nama kepala atau raja yang tercemar karena
kejadian itu, sekaligus mentahirkan tanah dan penghuninya. Masyarakat Batak
Toba menganut sistem kekerabatan yang bersifat patrilineal.

Dalam hal pembagian harta waris pihak perempuan tidak mendapat harta
warisan apaapa dari orang tuanya, harta warisan akan jatuh pada anak laki-laki
baik anak kandung maupun anak tiri namun ada beberapa warisan yang tidak bisa
diserahkan kepada anak tiri misalnya pusaka turun-temurun. Dan anak laki-laki
bungsu (siapudan) memiliki hak-hak khusus dalam pembagian harta waris.
Sedangkan pihak perempuan yang tidak mendapat harta warisan apa-apa dari
orang tuanya akan mendapat harta warisan dari mertuanya atau orang tua
suaminya. Jika tidak terdapat anak laki-laki sebagai pewaris maka harta warisan
akan jatuh di tangan saudara ayahnya. Saudara ayahnya yang menerima harta
warisan tersebut berkewajiban menafkahi anak perempuan pewaris sampai dia
berkeluarga.

F. Hukum Adat Pada Masyarakat Jawa


Pada umumnya menurut adat jawa, seorang cakap penuh melakukan
perbuatan hukum apabila sudah hidup mandiri dan berkeluarga sendiri.
Sebaliknya, tidak dapat dikatakan bahwa seseorang yang belum sampai pada
keadaan syang demikian itu tentu sama sekali belum cakap melakukan hukum.
Setiap subjek hukum berwenang melakukan setiap transaksi adat, yaitu subjek
hukum mempunyai kewenangan untuk memindahkan hak-hak yang dimiliki
kepada subjek hukum lainnya. Jadi, setiap subjek hukum mempunyai kewenangan
untuk melakukan transaksi -transaksi yang yang menimbulkan hubungan hukum.
Misalnya, dalam transaksi jual beli tanah. Adapun transaksi tanah meliputi,
pertama yang merupakan perbuatan hukum sepihak, dan kedua yang merupakan
perbuatan hukum dua pihak.

8
Peribahasa Jawa mengatakan bahwa, dudu sanak dudu kadang ning yen
mati melu kelangan. Maksud peribahasa tersebut, sanak bukan saudara bukan,jika
ada yang mati merasa ikut kehilangan. Peribahasa ini menunjukkan kepribadian
bangsa indonesia asli yang tradisional di pedesaan namun pengaruhnya terbawa
pula oleh masyarakat di kota-kota yang rasa kekeluargaannya masih kuat dalam
kehidupan bertetangga. Hukum Adat Jawa terdapat ‘urf yang dilihat dari segi
keabsahannya yaitu mengenai adat perkawinan, kedewasaan, kematian dan
kelahiran. Adat atau kebiasaan tersebit mempunyai makna tertntu yang tetap
berlandaskan agama Islam, kesemuanya memiliki makna tertentu yang tidak
bertentangan dnegan agama Islam dan termasuk kedalam ‘urf shahih yaitu
kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash
(ayat atau hadis), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula
membawa kemudharatan kepada mereka.

Adat Jawa dilihat dari hukum Islam, ada yang bertentangan dan ada yang
tidak. Yang tidak bertentangan seperti perkawinan adat Jawa ada proses
meminang, adanya pemberitahuan oaring yang meninggal dan mendoakannya,
penabalan nama dan syukuran atas laihrnya seorang anak. Sedangkan yang
bertentangan seperti penggunaan beberapa benda saat perkawinan yang
mengharapkan adanya kebaikan dari benda tersebut, dan konsep baligh.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Budaya hukum merupakan penerimaan atau penolakan terhadap suatu
peristiwa hukum yang menunjukan setiap perilaku manusia terhadap masalah
hukum dan peristiwa hukum yang terbawa ke dalam masyarakat. Budaya hukum
adalah keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum
memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat
umum.Budaya hukum berperan untuk mendukung tegaknya hukum. Karena
budaya hukum ini berupa ide, sikap, harapan, dan pendapat seseorang atau
masyarakat tentang hukum yang secara keseluruhan memengaruhi seseorang
untuk patuh atau tidak patuh terhadap hukum.

Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat


lokal, ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal
ini dapat dimaklumi karena “adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil
(hukuman) di masyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan
dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat).Hukum Adat
adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma,
hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu
sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat, yang sebagian besar tidak
tertulis, tetapi senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai
sanksi atau akibat tertentu..

B. Saran
Hukum yang berlaku harus sesuai dengan kultur yang ada supaya ketika
melakukan implementasi tidak menimbulkan masalah di masyarakat.Hukum yang
berlaku harus menghormati hukum agama dan hukum adat..

10
DAFTAR PUSTAKA

Bushar, Muhammad. 1981. Asas-Asas Hukum Adat (suatu pengantar).


Jakarta:Pradnya Paramitha.

Soekanto. 1981. Meninjau Hukum Adat Indonesoia. Jakarta: CV.Rajawali.

Soepomo. 1993. Hukum Adat. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Umar Yunus, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, dengan


Editor:Koentjaraningrat, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2004.

Soerjono Soekanto dan Soeleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta:


Rajawali, 1981

Syahrizal Abbas, “Revitalisasi Nilai Adat dan Hukum di Wilayah Syari’at” dalam,
Dimensi Pemikiran Hukum dalam Implementasi Syari’at Islam di Aceh,
Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nangroe Aceh Darussalam,
2007

John, R. Bowen, Muslim Trough Discourse, Religion And Ritual in Gayo Society.
Princeton, New Jersey, Princeton University Press, 1991.

Syahrizal, (ukum Adat dan (ukum )slam di )ndonesia, Banda Aceh, Nadiya
Foundation Nanggroe Aceh,2004.

Anda mungkin juga menyukai