SISUSUN OLEH ;
MATA KULIA :
i.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.
BAB I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG........................................................................................... 3.
B. RUMUSAN MASALAH ..................................................................................... 4.
C. TUJUAN PENULISAN....................................................................................... 4.
ii.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Norma moral tidak sama dengan norma hukum. Dalam keadaan tertentu norma
moral memerlukan norma hukum untuk diformalkan dalam lembaga tertentu, sehingga
mempunyai kekuatan yang mengikat. Moral sangat erat hubungannya dengan
hukum.Pelaksanaan dan penegakkan hukum memerlukan ketaatan kepada moral. Ada
pepatah romawi. yang berbunyi : “Quid Leges sine moribus?” artinya “apa artinya
undang-undang kalau tidak disertai moralitas?” karena moral sangat erat hubungannya
dengan hukum, maka kualitas hukum ditentukan oleh kualitas moral. Hukum yang tidak
mencerminkan moral pada dasarnya bukan hukum, ia harus diganti dengan hukum
3.
yang bermoral. Tidak terlepas dari itu selain hukum yang berkaitan dengan moral,
hukum pun mempunyai keterkaitam yang sangat erat dengan etika, akhlak, dan agama.
Membincangkan hukum, moral, etika, akhlak dan agama sebagai salah satu
kesatuan akan berimplikasi pada kedudukannya masing-masing. Dan hal ini yang
melatar belakangi penulis untuk menulis dan mengkaji keterkaitannya suatu hubungan
antara hukum, moral, etika, akhlak, dan agama. Maka penulis membuat makalah yang
berjudul “ KajianKeterkaitan Hubungan Antara Hukum, Moral, Etika, Akhlak, dan
Agama”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas penulis dapat menyimpulkan 2 (dua)
bahasan yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan hukum, moral, etika, akhlak, dan agama?
2. Bagaimana keterkaitan hubungan antara hukum, moral, etika, akhlak, dan agama?
C. Tujuan Penulis
Dalam membuat makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan pengetahuan para
pembaca tentang :
1. Mengetahui definisi dan makna dan penjelasan dari hukum, moral, etika, akhlak, dan
agama;
2. Mengetahui keterkaitan hubungan antara hukum, moral, etika, akhlak, dan agama.
4.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hukum
Kata hukum mempunyai makna yang luas, sehingga tidak mungkin untuk
diberikan suatu pengertian atau definisi yang tepat. Namun demikian, pengertian hukum
itu, mempunyai pengertian yang luas, akan tetapi ditengah-tengah masyarakat saat ini
sudah tertanam suatu stigma bahwa hukum itu adalah sesuatu yang ada dan harus
dijadikan pedoman hidup.
d. Pengertian hukum itu bertalian erat dengan peraturan yang berisi norma.
5.
kesempatan ini, akan dikemukakan definisi hukum yang diberikan oleh ahli hukum
sebagai berikut:
1) Hukum ialah peraturan atau norma, petunjuk atau pedoman hidup yang wajib
ditaatioleh manusia. Dengan demikian hukum bukan kewajiban;
2. L.J. Van Apeldoorn mengemukakan dalam bukunya yang bejudul “Inleiding too de
studie van het Nederlandse recht” Apeldoorn, memberikan pengertian hukum sebagai
berikut “memberikan definisi atau batasan hukum, sebenarnya hanya bersifat
menyamaratakan saja, dan itupun tergantung siapa yang memberikan”. Oleh karena itu,
tinjauan hukum Aperdoorn diliat dari kedua sudut, yaitu:
2) The man in the street. Termasuk dalam kelompok the man in the street,
adalah orang-orang di jalanan atau kebanyakan orang yang tidak terpelajar,
6.
misalnya tukang becak, pedagang dll. Bagi “the man in the street” apabila
mendengar kata/istilah hukum, maka ia akan teringat akan polisi, jaksa gedung
pengadilan dll. Tidak pernah melihat undang-undang, tetapi ia pernah ke
pengadilan dan teringat pada suatu perkara. Hukum itu konkrit dan menyangkut
kehidupan manusia sehari-hari, karena bagi mereka hukum dapat dilihat dan
diraba.
Sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh para pakar diatas, maka
menurut Munir Fuady, bahwa dalam pandangan masyarakat di sepanjang sejarah, ada
dua pengertian yang sering kali diberikan kepada hukum, yaitu sebagai berikut:
1) Hukum diartikan sebagai “hak” yang dalam hal ini merupakan pengertian yang
lebih mengarah kepada pengaturan moral yang dalam bahasa sering disebut
dengan istilah right, recht, ius, droit, diritto, derecho.
Karena pengertian hukum dapat dilihat dari berbagai segi lalu Sumaryono
memberi definisi sebagai berikut:
1) Hukum ialah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis, yang
biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat Negara
serta antar Negara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya
guna demi tata dan damai dalam masyarakat.
2) Hukum sebagai kaidah, adalah pedoman atau patokan sikap tindakan atau
perikelakuan yang pantas atau diharapkan.
3) Hukum sebagai tata hukum, adalah stuktur dan proses perangkat kaidah-
kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta
kehendak tertentu.
7.
4) Hukum sebagai sarana sistem pengendalian sosial yang mencangkup segala
proses, baik yang direncanakan maupun yang tidak, yang bertujuan untuk
mendidik, mengajar atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat agar
mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai.
2. Moral
Moral berasal dari bahasa Latin (Yunani), yaitu moralismos, moris yang diartikan
sebagai adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, dan kelakuan. Atau dapat pula
diartikan mores yang merupakan gambaran atau adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak,
akhlak dan cara hidup. Istilah ini dikenal moral dalam bahasa inggris.
2. Sesuai dengan kaidah-kaidah yang diterima yang menyangkut apa yang dianggap
benar, bijak, adill, dan pantas.
3. Memiliki kemampuan untuk diserahkan oleh atau salah, dan kemampuan untuk
mengarahkan atau mempengaruhi orang lain sesuai dengan kaidah-kaidah perilaku
yang dinilai benar atau salah.
4. Menyangkut cara seseorang bertungkah laku dalam hubungan dengan orang lain.
8.
Norma-norma moral adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur
kebaikan seseorang.Penilaian moral selalu berbobot dilihat dari salah satu segi,
melaikan sabagai manusia, warga Negara yang selalu taat dan selalu bicara sopan
belum mencukupi untuk menetukan dia betul-betul seorang manusia yang baik.
Barangkali ia seorang munafik, atau ia mencari keuntungan baik atau buruk itulah yang
menjadi permasalahan moral.
Moralitas, disatu sisi berbeda dengan moral. Dalam hal ini moralitas disebutkan
sebagai sikap manusia berkenaan dengan hukum moral yang didasarkan atas
keputusan bebasnya.Moralitasa dalam hal ini biasa juga disebut dengan ethos.etos
kadang kala diartikan untuk menunjukan karakter tertentu, misalnya sikap moral dari
satu nilai khusus. Suatu tindakan yang baik secara moral digambarkan sebagai
tindakan bebas manusia yang mengafirmasikan nilai etis objektif dan yang
mengafirmasikan hukum moral.Sementara, suatu tindakan yang buruk secara moral
digambarkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai etis dan hukum moral. Moralitas
menurut E. Sumaryono yaitu kualitas yang terkandung didalam perbuatan manusia,
yang dengan kita dapat menilai perbuatan benar atau salah, baik atau jahat.Moralitas
dapat bersifat objektif ataupun subjektif.Moralitas objektif adalah moralitas yang
diterapkan pada perbuatan sebagai perbuatan, terlepas dari modifikasi kehendak
pelakunya.Sedangkan moralitas subjektif adalah moralitas yang memandang perbuatan
yang ditinjau dari kondisi pengetahuan dan pusat perhatian pelakunya, latar
belakangnya, stabilitas emosional, serta prilaku personal lainnya. Moralitas subjektif
merupakan fakta pengalaman bahwa kesadaran manusia (suara hatinya) menyetujui
atau melarang apa yang diperbuat manusia. Disamping itu, moralitas dapat bersifat
intrinsik dan dapat juga bersifat ekstrinsik .moralitas intrinsik menetapkan sebuah
perbuatan baik atau jahat/buruk secara terpisah atau terlepas dari ketentuan hukum
positif yang ada, moralitas ini menilai perbuatan sebagai benar atau salah didasarkan
atas esensi perbuatan itu sendiri, bukan karena diperintahkan atau dilarang oleh
hukum. Sedangkan moralitas ekstrinsik menetapkan sebuah perbuatan itu benar atau
salah, disesuaikan dengan trem “diperintahkan” atau “dilarang” yang dinyatakan oleh
penguasa atau pemerintah, yaitu melalui pemberlakuan hukum positif.
9.
Moralitas juga bukanlah sesuatu yang bersifat artifisial atau terlepas dari persoalan-
persoalan hidup manusia, melainkan tampak sebagai sesuatu yang tumbuh seiring
dengan kondisi hidup manusia. Oleh karena itu, ukuran-ukuran moral tidaklah sama
dengan kebiasaan-kebiasaan (tradisional) yang diikuti oleh sebagian bangsa.
Adapun perbandingan antara hukum dengan moral menurut para ahli hukum, antara
lain:
2. Hukum berasal dan menjunjung tinggi norma dari masyarakat sedangkan moral
berasal dari hati nurani individu.
3. Tujuan hukum untuk menciptakan rasa aman, damai, dan ketenangan dalam
mayarakat, sedang kesusialaan (moral) bertujuan untuk kesempurnaan dan
keutamaa manusia.
4. Hukum bekerja dengan paksa, sedangkan moral bekerja dengan kesadaran atau
kekuatan batin.
10.
Menurut K.Bertens, Etika (moral) lebih luas dari hukum. Perbuatan yang tidak
melanggar hukum belum tentu secara etis baik juga.Hukum adalah minimum dari
etika.Etika harus dimulai dari hukum, tapi hubungan etika dan hukum lebih kompleks
lagi.
3. Etika
Etika sendiri dalam beberapa literatur dan pendapat para filsuf disinonimkan
dengan moralitas, bukan moral.Menurut Santayana bahwa pada dasarnya etika
berbeda dengan moralitas.Etika dianggapnya sebagai suatu disiplin rasioanal,
sedangkan moralitas berkaitan lebih erat dengan adat istiadat atau kebiasaaan.Dalam
hal ini, moralitas disinonimkan dengan moral.
Dalam kedudukannya sebagai lantasan moralitas, maka etika dapat dilihat dari sudut
pandang, sebagai berikut:
3. Etika dalam sistem moralitas itu sendiri mengacu pada prinsip-prinsip moral aktual.
Etika sebagai ilmu memiliki metode, yaitu metode atau pendekatan kritis.Franz
Magniz Suseno mengatakan bahwa para ahli etika selalu berselisih paham tentang
metode yang tepat. Meskipun demikian, ada suatu cara pendekatan yang dituntut
dalam semua aliran yang pantas disebut etika, ialah pendekatan kritis. Etika pada
hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis.Etika tidak memberikan ajaran,
melainkan memeriksa kebiasan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan-
11.
Etika menentukan ukuran atas perbuatan manusia. Oleh karena itu, dalam
mengusahakan tujuan etika, manusia pada umumnya menjadikan norma yang ideal
untuk mecapai tujuan tersebut.
4. Akhlak
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh
suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.Akhlak
merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti
perangai, tingkah laku, atau tabiat. Cara membedakan akhlak, moral dan etika yaitu
dalam etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan
tolok ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam moral dan susila menggunakan
tolok ukur norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung dalam
masyarakat (adat istiadat), dan dalam akhlaq menggunakan ukuran Al Qur’an dan Al
Hadis untuk menentukan baik-buruknya. Tiga pakar di bidang akhlak yaitu Ibnu
Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak ilmu akhlak atau
etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, merangkan apa yang harus
dilaksanakan oleh sebagian manusia terhadap sebagiannya, menjelaskan tujuan yang
hendak dicapai oleh manusia dalam perbuatan manusia yang menunjukan jalan yang
lurus yang harus diperbuat. Definisi kata akhlak diartikan sebagai suatu tingkah laku,
tetapi tingkah laku tersebut harus dilakukan secara berulang-ulang tidak cukup hanya
sekali melakukan perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja.
Menurut Quraish Shihab akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan
etika.Etika dibatasi pada sopan santun anatar sesame manusia, serta hanya berkaitan
dengan tingkah laku lahiriah.Akhlak lebih luas maknanya dan mencangkup pula
beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Menurut Quraish Shihab, akhlak
agama (islam) dapat dibedakan:
Titik tolak akhlak terhadap Allah SWT adalah pengakuan kesadaran bahwa tiada
Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji demikian agung sifat itu yang
jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya.
12.
Termasuk akhlak terhadap Allah SWT manusia wajib beribadah (menghambakan diri)
dan bersyukur kepada-Nya, kita hanya bergantung dan minta tolong kepada-Nya.
Yang dimaksud dengan lingkungan disini adalah segala sesuatu yang berada
disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda tak
bernyawa.Pada dasarnya akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan
bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah (pemegang amanat).Kekhalifahan
menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap
alam.Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan serta pembimbingan,
agar setiap makhluk mencapai tujuan peniptaannya.
Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang
berjalan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan
manusia bertanggung jawab, sehingga tidak melakukan perusakan bahkan dengan kata
lainter, “Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada
diri manusia sendiri”.
5. Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur
tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta
tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya.
13.
Menurut Michel Meyer berpendapat bahwa agama adalah sekumpulan kepercayaan
dan pengajaran-pengajaran yang mengarahkan kita dalam tingkah laku kita terhadap
Allah SWT, terhadap sesama manusia dan terhadap diri kita sendiri.
Din al Islam mengandung aspek pengaturan hidup manusia, baik aspek pengaturan
hidup manusia, baik aspek vertikal dengan tuhannya, maupun aspek horizontal antar
hubungan manusia. Karena Islam mengandung hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan tuhannya
(vertikal) dan hubungan antar manusia (horizontal), maka islam secara hakiki tidak
memisahkan hukum dan moral (akhlaq). Justru moral (akhlaq) adalah inti hukum.Pada
dasarnya sasaran Din al Islam adalah untuk memperbaiki atau menyempurnakan moral
(akhlaq) manusia.
Moral (akhlaq) sangat erat hubungannya dengan agama.Motivasi yang kuat untuk
melaksanakan moral adalah agama.Pada dasarnya ajaran masiang-masing agama
adalah mentaati ketentuan moral atau sebaliknya.
Dalam pandangan agama melanggar moral adalah dosa, karena norma moral
merupakan bagian dari norma agama. Demikian juga memiliki moral yang baik pada
dasarnya merupakan bagian dari melaksanakan norma agama. Jadi mestinya orang
yang menganut suatu agama, dia harus memiliki moral yang baik, dibanding orang
yang tidak menganut agama.
B. Kajian Keterkaitan Hubungan Antara Hukum, Moral, Etika, Akhlak, Dan Agama
Dapat disimpulkan bahwa hukum dan etika membatasi diri pada tingkah laku
lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut sikap batin seseorang.Niat batin tidak
termasuk jangkauan hukum, sebaliknya dalam konteks moralitas sikap batin sangat
penting. Sedangkan di dalam agama (Islam) aturan antara lahiriah dan bathiniah
keduanya dianggap sangat penting sehingga kedua hal tersebut wajib diwadahi, dalam
islam istilah ini disebut dengan Akhlak.
14.
Sanksi yang berkaitan dengan hukum berlainan dengan sanksi yang berkaitan dengan
moral maupun agama. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan, orang yang
melanggar hukum akan mendapat sanksi/hukuman. Suatu contoh ketika ada orang
yang melakukan pencurian maka di dalam be no morality, and without morality there
can be no law “.
Hubungan hukum, moral, etika, akhlak dan agama sangat kuat dan saling
membutuhkan, maka Sir Alfred Denning menggambarkan dalam bukunya “The
Changing Law” yang menyatakan “without religion there can be no morality, and without
morality there can be no law “. Tidak akan ada moral tanpa agama, dan tidak aka nada
hukum tanpa moral.
Satu satunya sanksi dalam bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang
karena telah melakukan perbuatannya yang kurang baik terhadap orang lain.
Sedangkan sanksi yang diberikan agama nyata dan juga abstrak karena bukan hanya
sekarang (di dunia), akan tetapi setelah manusia itu mengalami kematian (alam barzah
dan alam akhirat) juga akan mendapatkan sanksi manakala tidak segera bertobat. Misal
di dalam QS. Al Ma’idah Ayat 38 yang artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.
15.
Secara tegas di katakan dalam ayat tersebut di atas tidak membedakan laki-laki
maupun perempuan ketika mereka melakukan pencurian maka harus dipotong
tangannya. Bukan hanya itu, ketika mereka tidak mau bertobat atas perbuatannya
maka di hari pembalasan (alam akhirat) akan mendapatkan sanksi lagi yang lebih
kejam dari pada potong tangan. Ini secara lahiriah orang yang mencuri tersebut akan
jerah dan secara bathiniah hatinya akan tersiksa karena hukumannya bukan hanya di
dunia tapi berlanjut di akhirat.
moral yang melampaui para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun
cara lain masyarakat dapat mengubah hukum tetapi tidak pernah masyarakat
mengubah atau membatalkan suatu norma moral.
Perbedaan antara hukum dan moral disini ialah bahwa jalan menuju ke bidang
bersama itu bertentangan arah, yaitu bagi hukum dari luar (dari perbuatan lahir) ke
dalam(ke batiniah).Seringkali hukum harus menghukum perbuatan yang timbul dari
motif yang dibenarkan oleh moral.Ini merupakan akibat perbedaan dalam tujuan antara
hukum dan moral.Sebab syarat untuk adanya kehidupan bersama yang lebih baik
dengan yang baik dengan yang ditentukan oleh moral bagi manusia sebagai individu
seperti pembunuhan atas perintah komandan, sumpah diganti janji.Didalam hukum ada
kekuasaan luar (kekuasaan diluar “aku”) yaitu masyarakat yang memaksakan
kehendak.Kita tunduk pada hukum diluar kehendak kita.Hukum mengikat kita tanpa
syarat.Sebaliknya perintah batiniah (moral) itu merupakan syarat yang ditentukan oleh
manusia sendiri.Moral mengikat kita karena kehendak kita.Hukum bertujuan tatanan
kehidupan bersama yang tertib. Tujuan ini hanya dapat dicapai apabila diatas dan diluar
16.
manusia individual ada kekuasaan yang tidak memihak yang mengatur bagaimana
mereka harus bertindak satu sama lain.
Moral berakar dalam hati nurani manusia, berasal dari kekuasaan dari dalam diri
manusia.Disini tidak ada kekuasaan luar yang memaksa manusia mentaati perintah
moral.Paksaan lahir dan moral tidak mungkin disatukan.Hakikat perintah moral adalah
bahwa harus dijalankan dengan sukarela.Satu-satunya perintah kekuasaan yang ada
dibelakang moral adalah kekuasaan hati nurani manusia.Kekuasaan ini tidak asing juga
pada hukum, bahkan mempunyai peranan penting.Agama yang bersumber dari kitab
suci menjadi pelengkap antara hukum dan moral.
Kaidah Hukum Moral Agama Berdasarkan untuk mengatur tingkah laku individu
dalam bertindak dilingkungan masyarakat.Kaidah moral melalui hati nurani
membimbing manusia menuju kejalan yang benar ketika individu tersebut menjalani
kehidupan di dalam bermasyarakat.
Sedangkan agama lebih dari pada hukum dan moral, karena bukan hanya
dipertanggung jawabkan di dunia melainkan ketika melakukan kegiatan di masyarakat
segala amal perbuatan yang baik maupun buruk akan dicatatdan di pertanggung
jawabkan kelak di alam akhirat.
Adanya sanksi baik dari kaidah hukum, moral, dan agama tidak lain adalah untuk
mengatur tata kehidupan individu di dalam masyarakat. Sanksi adalah sebuah cara
untuk memaksa individu untuk berbuat baik, sanksi adalah sebuah keharusan yang
harus diterima oleh individu ketika mereka melanggar kaidah. Dengan adanya perintah,
larangan, dan sanksi menyebabkan antara hukum, moral, dan agama sama-sama
memiliki sifat “memaksa”. Ketiga kaidah tersebut memiliki sifat yang sama karena
memiliki tujuan yang sama pula. Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut tidak ada
jalan yang lain selain harus memaksa individu untuk melakukan tindakan yang baik dari
kaca mata objektif.
keterkaitan hubungan keterikatan antara hukum moral, dan agama yaitu terdapat
pada, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 29 (2)
menyatakan “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
17.
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya
itu. Bukti bahwa antara hukum, moral, dan agama tidak bisa dilepaskan dalam tatanan
kehidupan masyarakat Indonesia.
Hukum, moral, dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Antara hukum, moral, dan
agama mempunyai hubungan yang erat sehingga diantara ketiganya dapat
memperkuat satu
sama lain untuk menjalankan kaidah-kaidahnya. Orang yang menganut suatu ajaran
agama maka sudah pasti dia bermoral dan taat akan hukum. Hal tersebut didasarkan
pada suatu realita bahwa di dalam ajaran agama apapun tidak ada yang mengajarkan
tentang bagaimana berbuat buruk atau jahat kepada orang lain.
Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Karena itu,
hukum harus selalu diukur dengan norma moral. Produk hukum yang bersifat imoral
tidak boleh tidak harus diganti bila dalam masyarakat kesadaran moral mencapai tahap
cukup matang. Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum. Moral akan mengawang-
awang kalau tidak
diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat, dalam bentuk salah satunya adalah
hukum. Dengan demikian, hukum bisa meningkatkan dampak sosial dari moralitas.
“Menghormati milik orang lain” misalnya merupakan prinsip moral yang penting. Ini
berarti bukan saja tidak boleh mengambil dompet orang lain tanpa izin.
18.
melindungi kepentingan sendiri ataupun masyarakat dalam tatanan kehidupan, baik di
dunia dan di akhirat.
Bentuk lain termasuk milik intelektual, hal-hal yang ditemukan atau dibuat oleh
orang lain (buku, lagu, komposisi musik, merk dagang dsb). Hal ini berlaku karena
alasan etis, sehingga selalu berlaku, juga bila tidak ada dasar hukum.Hukum tanpa
moral adalah kezaliman.Moral tanpa hukum adalah anarki dan utopia yang menjurus
kepada peri-kebinatangan. Sedangkan hukum dan moral tanpa di landasi agama maka
akan sesat. Hanya hukum yang dipeluk oleh kesusilaan dan berakar pada kesusilaan
yang dapat mendirikan kesusilaan.Dengan begitu dapat dinyatakan bahwa hukum
tanpa keadilan dan moralitas bukanlah hukum dan tidak bisa bertahan lama. Sistem
hukum yang tidak memiliki akar substansial pada keadilan dan moralitas pada akhirnya
akan terpental. sehingga hukum dan moral harus berdampingan, karena moral adalah
pokok dari hukum, maka tidak ada dan tidak pernah ada pemisahan total hukum dari
moralitas.
Oleh karenanya hukum yang dipisahkan dari keadilan dan moralitas bukanlah
hukum. Moral dengan hukum memiliki hubungan yang erat pula, hukum membutuhkan
moral, disisi lain moral juga membutuhkan hukum. Tanpa moralitas hukum akan
kososng, sedangkan moral akan mengawang-awang jika tidak diungkapkan dan
dikembangkan dalam masyarakat. Artinya adalah moral dan hukum senantiasa saling
mendukung satu sama lain, tanpa moral lantas apa dasar yang akan diatur dalam
hukum. Sedangkan jika tidak ada hukum lantas bagaimana merealisasikan harapan-
harapan “baik” yang menjadi dasar dari kaidah moral. Kubu positivisme hukum inklusif
mengatakan bahwa kaidah hukum positif yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan
dengan faktor moral, bisa jadi kaidah hukum positif tersebut menjadi tidak
valid.Meskipun demikian pendapat ini juga bersebrangan dengan teori postivisme
hukum eksklusif yang menganggap bahwa hukum adalah undang-undang.
Namun pendapat dari teori postivisme, hukum postivisme ekslusif yang klasik
nampaknya mendapatkan pertentangan dari teori positivisme ekslusif yang lebih
moderat yang menganggap bahwa faktor moral juga memberi sumbangan kepada apa
yang seharusnya dilakukan ketika hukum itu dilaksanakan. Pada umumnya peraturan-
19.
peraturan hukum dilaksanakan secara sukarela oleh karena kita dalam hati nurani kita
merasa wajib.Hukum dalam pelaksaannya terdapat dukungan moral.Dasar kekuasaan
batiniah dari hukum ini dapat berbeda.Dapat terjadi karena isi peraturan hukum
memenuhi keyakinan batin kita.Akan tetapi dapat juga isi peraturan hukum kita
mematuhinya.Dibelakang hukum masih ada kekuasaan disamping hati nurani
kita.Masyarakat yang menerapkan peraturan-peraturan hukum itu mempunyai alat
kekuasaan untuk melaksanakan pelaksanaanya kalau tidak dilaksanakan.Pelaksanaan
hukum tidak seperti moral yang hanya tergantung pada kekuasaan batiniah, tetapi
masih dipaksakan juga oleh alat-alat kekuasaan lahir/luar.
Agama dan hukum juga saling berkaitan dan mewarnai, untuk mendapatkan
legalitas dari suatu negara maka harus melaksanakan ritual sesuai dengan ajaran
agama, Suatu contoh sepasang mempelai yang melakukan pernikahan maka terlebih
dahulu harus disahkan menurut ajaran agamanya, sebelum mereka mendapat
pengakuan dari negara melalui catatan pernikahan dari Kantor urusan Agama (KUA)
maupun catatan sipil.
Fenomena ini terjadi karena untuk melaksanakan hukum yang dibuat oleh
pemerintah.Pasal 2(1)Undang-Undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974
TentangPerkawinan, menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.Meskipun demikian
tidak semuanya yang ada di kitab suci bisa diadopsi ke dalam hukum positif. Contohnya
adalah sanksi pemotongan tangan kepada pencuri yang dibenarkan oleh agama Islam,
akan tetapi itu bertentangan dengan hukum positif di Indonesia karena alasan
pertimbangan nilai moral.
Hal ini yang memberikan salah satu bukti bahwa antara hukum, moral dan
agama memiliki hubungan yang sangat erat.Dari kajian ini agama merupakan suatu
kaedah yang di dalamnya sudah mencakupi ciri dari kaedah hukum maupun moral.Di
dalam agama sudah terdapat ciri yang ada dalam kaedah hukum yaitu adanya sebuah
perintah dan larangan, dan ada sanksi yang jelas. Dalam ajaran agama pun juga sudah
terdapat ciri dari kaedah moral yaitu mengatur bagaimana seseorang bisa berbuat
sesuatu yang baik dan meninggalkan sesuatu yang buruk demi ketentraman sebuah
20.
bathin. Sehingga dapat dikatakan jika seseorang benar-benar menganut ajaran salah
satu agama secara benar maka sudah pasti juga melaksanakan kaedahkaedah yang
lain.
Hubungan hukum, moral, etika, akhlak dan agama sangat kuat dan saling
membutuhkan, maka Sir Alfred Denning menggambarkan dalam bukunya “The
Changing Law” yang menyatakan “without religion there can
21.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak dalam
diri manusia tentang apa yang dianggap baik (sehingga harus dianut dan diataati)
dan apa yang dianggap buruk (sehingga harus di hindari).
Moral berasal dari bahasa Latin (Yunani), yaitu moralismos, moris yang diartikan
sebagai adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, dan kelakuan. Atau dapat pula
diartikan mores yang merupakan gambaran atau adat istiadat, kelakuan, tabiat,
watak, akhlak dan cara hidup.
Etika yaitu untuk menentukan ukuran atas perbuatan manusia yang dipandang baik
oleh masyarakat atau berhubungan dengan apa dan bagaimana seseorang
sebaiknya berucap atau bertindak pada saat dia berhungan dengan manusia lain.
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu
keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia
dan manusia serta lingkungannya.
2. Menurut penulis kelimanya dapat disimpulkan bahwa hukum dan etika membatasi diri
pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut sikap batin seseorang.
Niat batin tidak termasuk jangkauan hukum, sebaliknya dalam konteks moralitas
sikap batin sangat penting. Sedangkan di dalam agama (Islam) aturan antara lahiriah
dan bathiniah keduanya dianggap sangat penting sehingga kedua hal tersebut wajib
diwadahi, dalam islam istilah ini disebut dengan Akhlak.
22.
Moral mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk menurut kebenaran umum
tanpa adanya sebuah aturan yang jelas mengenai sanksi.Agama cakupannya sangat
luas, bukan hanya sebatas ukuran baik dan buruk menurut kebenaran hati dan
pikiran bersih, bukan juga hanya perintah, larangan, dan sanksi yang bersifat lahiriah
saja, akan tetapi lebih luas dari apa yang menjadi dasar dari kedua kaidah tersebut
yakni ada sanksi pada kehidupan setelah manusia meninggal. Hukum mengatur
larangan dan keharusan dengan aturan sanksi yang jelas yang dibuat oleh negara,
keberadaan hukum sangat dipengaruhi oleh rasionalitas manusia.
Hubungan hukum, moral, etika, akhlak dan agama sangat kuat dan saling
membutuhkan, maka Sir Alfred Denning menggambarkan dalam bukunya “The
Changing Law” yang menyatakan “without religion there can be no morality, and
without morality there can be no law “. Tidak akan ada moral tanpa agama, dan tidak
aka nada hukum tanpa moral.
B. SARAN
Saya berharap makalah yang buat bisa bermanfaat bagi para pembaca. Dan
pembaca bisa memahami setiap hakikat dari Hukum, Moral, Etika, dan Agama, karena
penulis mempunyai tujuan untuk pembaca agar menerapkan setiap poin yang telah
disebutkan dalam kehidupan sehari-hariuntuk mematuhi semua peraturan yang ada
karna dengan dengan mematuhi peraturan akan membawa kefaedah dalam kehidupan
kita.
23.
DAFTAR PUSTAKA
E. Sumaryono. 2014. Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum. Yogyakarta:
PT Kanisius
Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Muhammad Daud. 2012. Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Munir Fuady. 2007. Dinamika Teori Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia
----------------- 2013. Teori-Teori Besar Dalam Hukum. Jakarta: Kencana
R. Soeroso. 2000. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Sukarno Aburaera. 2013. Filsafat Hukum Teori Dan Praktik. Jakarta: Kencana
Suparman Usman. 2008. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum. Jakarta: Gaya Media
Pratama
------------------------ 2010. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Serang: SUHUD Setra Utama
Zaenudin Ali dan Supriadi. 2013. Pengantar Ilmu Hukum. Tanggerang: Anggota Ikatan
Penerbit Indonesia (IKAPI)
24.