Anda di halaman 1dari 27

TUGAS MAKALAH

SOSIOLOGI HUKUM

PERANAN SOSIOLOGI HUKUM DALAM


MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI

Dosen Pengampu
Dr. Hj. Hasnati., S.H., M.H

Dibuat Oleh :

RISFA ANESA
NPM 2074101158

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


KONSENTRASI HUKUM KESEHATAN
UNIVERSITAS LANCANG KUNING
PEKANBARU
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
ridho-Nya lah sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat serta
salam penulis kirimkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Nabi
sebagai sang revolusioner sejati dan tak lupa pula penulis ucapkan banyak terima
kasih kepada seluruh pihak yang telah ikut membantu dalam dalam proses
penyusunan makalah ini.
Makalah Sosiologi Hukum ini berjudul tentang “Peranan Sosiologi Hukum
Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi”. Disadari sepenuhnya bahwa
makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Dengan segala kerendahan hati,
saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan dari pembaca guna
peningkatan kualitas makalah ini. Harapan kita, semoga yang sekecil apapun
percikan pemikiran yang tersaji dalam makalah ini dapat membuka wawasan para
pembaca. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan taufik-Nya kepada kita
semua. Amin.

Pekanbaru, 29 Maret 2021

Risfa Anesa

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i

KATA PENGANTAR……………………………………………………. ii

DAFTAR ISI ..........................…………………………………………… iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………………. 1

B. Rumusan Masalah……………………………………...... 4

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian Sosiologi, Hukum, Sosiologi Hukum, dan 5


Korupsi…………………………………………………………………………………
B. Peranan Sosiologi Terhadap Pemberantasan Tindak 9
Pidana Korupsi…………………………………………...

C. Pertanggung Jawaban Pidana pada Perkara Tindak


Pidana Korupsi…………………………………………... 13
………………………………………………..
D. Penjatuhan Pidana pada Perkara Tindak Pidana 14
Korupsi…………………………………………………...

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………. 21
Saran...................................................................................
B. 22
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 23

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan


masyarakat, sehingga ada sebuah adagium yang dikenal dalam ilmu hukum, yaitu
ubi societas ibi ius, dimana ada masyarakat maka ada hukum. Kehadiran hukum
dalam masyarakat sangat penting, dimana fungsi hukum sebagai sosial kontrol
merupakan aspek yuridis normatif dari kehidupan masyarakat. Sebagai alat
pengendali sosial, hukum dianggap berfungsi untuk menetapkan tingkah laku yang
baik dan tidak baik atau perilaku yang menyimpang dari hukum, dan sanksi hukum
terhadap orang yang mempunyai perilaku tidak baik1.
Namun, apa yang dianggap baik oleh seseorang belum tentu baik menurut
yang lainnya. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk yang senantiasa hidup
bersama atau berkelompok, memerlukan perangkat patokan agar tidak terjadi
pertentangan kepentingan sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda mengenai
kebaikan tersebut. manusia selalu ingin hidup tentram dan damai, manusia
memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya. Maka kemudian
terciptalah perlindungan kepentingan berwujud kaidah sosial, termasuk didalamnya
kaidah hukum.
Tatanan kaidah sosial dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kaidah
sosial dengan aspek kehidupan pribadi dan kaidah sosial dengan aspek kehidupan
antar pribadi. Kaidah sosial dengan aspek kehidupan pribadi meliputi kaidah agama
dan kaidah kesusilaan, karena kaidah ini ditunjukan kepada manusia sebagai
individu, sedangkan kaidah sosial dengan aspek kehidupan antar pribadi adalah
kaidah sopan santun atau tata karma yang meliputi antara lain sopan santun dalam
pergaulan, berbusana, kaidah hukum, dan sebagainya, karena kaidah-kaidah ini
ditujukan bagi manusia dalam kehidupan bermasyarakat dalam kaitannya manusia
sebagai makhluk sosial.2

1
Zainudin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 163
2
Soedikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012, hal. 15

4
Sosiologi hukum merupakan disiplin ilmu yang sudah sangat berkembang
dewasa ini. Bahkan, kebanyakan penelitian hukum sekarang di Indonesia dilakukan
dengan menggunakan metode yang berkaitan dengan sosialisasi hukum. Pada
prinsipnya, sosiologi hukum (sosiologi of law) merupakan derifatif atau cabang dari
ilmu sosiologi, bukan cabang dari ilmu hukum. Memang, ada study tentang hukum
yang berkeanan dengan masyarakat yang merupakan cabang dari ilmu hukum, tetapi
tidak disebut sebagai sosiologi hukum, melainkan disebut sebagai sociological
jurispudence. Disamping itu, ada kekhawatiran dari ahli sosiologi terhadap
perkembangan sosiologi hukum mengingat sosiologi bertugas hanya untuk
mendeskrisipkan fakta-fakta.3
R. Otje Salman mengatakan Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari
hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya secara
empiris analitis.
Secara filosofi ada tiga pendekatan yang digunakan dalam sosiologi hukum
untuk memahami hukum yang berlaku, hukum yang diterapkan, dan hukum yang
dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yaitu
sebagai berikut: 4
a. Pendekatan Ontologis
Pendekatan Ontologis adalah  pendekatan yang mengkaji secara mendalam
tentang hakikat kehidupan sosial dan hukum yang diterapkan dan berlaku dalam
masyarakat. Teori hakikat dalam konteks sosiologi hukum menitik beratkan pada
prinsip-prinsip  dasar tujuan hidup masyarakat dan berbagai upaya mencapainya.
b. Pendekatan Epistemologis
Sutardjo Wiramihardja mengatakan bahwa epistemologis adalah filsafat ilmu
yang mempersoalkan kebenaran pengetahuan, kebenaran ilmu atau keilmuan
pengetahuan, kebenaran epistemologis dirinci ke dalam hal yang mendasar,
adalah kebenaran religius, yaitu kebenaran yang dibangun oleh kaidah-kaidah
agama dan keyakinan tertentu yang bersifat mutlak dan tidak dapat dibantah.
c. Pendekatan Aksiologi
Pendekatan Aksiologis adalah pendekatan filosofis yang dapat diterapkan ke
dalam sosiologi hukum untuk mengkaji gejala sosial dan eksitensi hukum
dan urgensinya bagi masyarakat atau hukum. Menurut Juhaya S. Pradja
mengatakan bahwa pendekatan aksiologis paling tidak mempertanyakan hal-hal
yang berkaitan secara langsung pragmatis tentang etika, manfaat dan faedah dari
setiap perilaku dan tindakan manusia atau masyarakat umum.

3
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, PT. Raja Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 10
4
Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal. 24-25

5
Sedangkan ilmu hukum berbicara tentang nilai-nilai dimana nilai-nilai ini
memang ingin dihindari oleh ilmu sosiologi sejak semula. Kekhawatiran tersebut
adalah berkenaan dengan kemungkinan dijerumuskannya ilmu sosiologi oleh
sosiologi hukum untuk membahas nilai-nilai. Sebagaimana diketahui, bahwa
pembahasan tentang nilai-nilai sama sekali bukan urusan ilmu sosiologi. Meskipun
begitu, terdapat juga aliran dalam sosiologi hukum, yang menyatakan bahwa mau
tiak mau, suka tidak suka, sosiologi hukum meruapakan juga derifatif dari ilmu
hukum sehingga harus juga menelaah masalah-masalah normatif yang sarat dengan
nilai-nilai. Fungsi hukum dalam masyarakat sangat beraneka ragam, bergantung dari
berbagai faktor dan keadaan masyarakat. Disamping itu fungsi hukum dalam
masyarakat yang belum maju juga akan berbeda dengan yang terdapat dalam
masyarakat maju.5
Seringkali kita mengetahui bahwa di dalam masyarakat, hukum yang telah
dibuat ternyata tidak efektif didalamnya, dan efektifitas hukum ini mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan
hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-
benar berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis6.
Satjipto Rahardjo membedakan istilah penegakan hukum (law enforcement)
dengan penggunaan hukum (the use of law). Penegakan hukum dan penggunaan
hukum adalah dua hal yang berbeda. Orang dapat menegakkan hukum untuk
memberikan keadilan, tetapi orang juga dapat menegakkan hukum untuk digunakan
bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain. Menegakkan hukum tidak persis sama
dengan menggunakan hukum7.
Penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga penegakannya
dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti perkembangan politik,
ekonomi, sosial, budaya, hankam, iptek, pendidikan dan sebagainya. Penegakan
hukum harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana
tersirat dalam UUD 1945 dan asas-asas hukum yang berlaku di lingkungan bangsa-

5
Hasan Basry dan Imam Suyitno, Pembelajaran Praktis Tentang Ilmu Hukum dan Pengantar Ilmu
Hukum, Universitas Negeri Makassar, Makassar, 2009, hal. 8
6
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia., Cetakan Kedua, Buku Kompas, Jakarta,
2006, hal. 169
7
Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Bayumedia, Malang, 2008, hal. 111

6
bangsa yang beradab (seperti the Basic Principles of Independence of Judiciary),
agar penegak hukum dapat menghindarkan diri dari praktik-praktik negatif akibat
pengaruh lingkungan yang sangat kompleks tersebut.8
Dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi ini sosiologi hukum juga
berperan penting dalam mewujudkan masyarakat dan negara yang terbebas dari
tindak kejahatan korupsi yang merugikan rakyat Indonesia ini. Peluang korupsi
ketika pejabat publik menggunakan wewenangnya untuk mengambil aset negara.
Oleh karena itu harus ditangani lebih efektif, tanggap, sigap dan cepat karena
korupsi di Indonesia sangat kompleks serta membutuhkan strategi maupun karakter
manusia jujur yang kuat tahan banting dan mampu berbuat adil.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Pengertian Sosiologi, Hukum, Sosiologi Hukum, dan
Korupsi?
2. Peranan Sosiologi Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?
3. Pertanggung Jawaban Pidana pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ?
4. Penjatuhan Pidana pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ?

8
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar Maju,
Bandung, 2001, hal. 55

7
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sosiologi, Hukum, Sosiologi Hukum, dan Korupsi

Sosiologi berasal dari kata Latin socius yang berarti “kawan” dan kata
Yunani Logos yang berarti ”kata” atau “berbicara” , jadi sosiologi berbicara
mengenai masyarakat. Kekhususan bahwa perilaku sosiologi adalah manusia selalu
dilihat dalam kaitannya dengan struktur-struktur kemasyarakatan dan kebudayaan
yang dimiliki, dibagi dan ditunjang bersama. Dalam merumuskan suatu definisi
(batasan makna) yang dapat mengemukakan keseluruhan pengertian, sifat, dan
hakikat yang dimaksud dalam beberapa kata dan kalimat merupakan hal yang sangat
sukar9. Oleh sebab itu suatu definisi hanya dapat dipakai sebagai suatu pegangan
sementara saja. Sungguhpun penyelidikan berjalan terus dan ilmu pengetahuan
tumbuh ke arah  pelbagai kemungkinan, masih juga diperlukan suatu pengertian
yang pokok dan menyeluruh. Untuk patokan sementara akan diberikan beberapa
definisi sosiologi menurut para ahli sebagai berikut10:
1. Pitirim Sorokin, mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang
mempelajari:
a. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala
sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan
moral, hukum dengan ekonomis, gerak masyarakat dengan politik dan
lain sebagainya);
b. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-
gejala nonsoial (misalnya gejala geografis, biologis, dan sebagainya)
c. Ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.
2. Roucek dan Warren, mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari hubungan antara manusia dengan kelompok-kelompok.
3. William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff, berpendapat bahwa sosiologi
adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu
organisasi sosial.
4. J. A. A. Van Door dan C. J. Lammers berpendapat bahwa sosiologi adalah
ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses
kemasyarakatan yang bersifat stabil.

9
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2008, hal. 8
10
Mohammad Syawaludin, Sosiologi Suatu Pengantar Teori dan Metodologi, IAIN Raden Fatah
Press, Palembang, 2006, hal. 23.

8
5. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi atau
ilmu masyarakata adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-
proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Selanjutnya menurut
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi struktur sosial adalah
keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-
kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-
kelompok sosial serta lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh
timbal balik antara berbagai kehidupan bersama, misalnya pengaruh timal
balik antara segi kehidupan ekonomi  dengan segi kehidupan politik, antara
segi kehidupan hukum dan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan
agama dan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya. Salah satu proses
sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal terjadinya perubahan-
perubahan di dalam struktur masyarakat.
6. Auguste Comte, Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari manusia sebagai
makhluk yang mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan
sesamanya.
7. Emile Durkheim, Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari fakta sosial. Fakta
sosial merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di
luar individu, serta mempunyai kekuatan memaksa dan mengendalikan.
8. Max Weber, Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tindakan sosial.
Tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan
dan berorientasi pada perilaku orang lain.

Sosiologi hukum menurut Soejono Soekanto adalah cabang ilmu


pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari
hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Sosiologi
hukum merupakan suatu ilmu yang muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan
hukum dan dapat diketahui dengan mempelajari fenomena sosial dalam masyarakat
yang tampak aspek hukumnya. Oleh karena itu, adanya pengetahuan tersebut
diharapkan turut mengangkat derajat ilmiah dari pendidikan hukum. Pernyataan ini
dikemukakan atas asumsi bahwa sosiologi hukum dapat memenuhi tuntutan ilmu
pengetahuan modern untuk melakukan atau membuat deskripsi, penjelasan,
pengungkapan, dan prediksi. Jika keempat hal diatas merupakan tuntutan ilmu
pengetahuan hukum saat ini sebagai dampak “modernisasi”, maka harus diakui
dengan jujur bahwa pendidikan hukum dalam kajian jurisprudence model: rules
(normative), logic, practical, dan decision yang bersifat terapan, tidak mampu
memberikan pemahaman hukum yang utuh.11

11
Soerjono soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 11

9
Hukum berasal dari bahasa arab dan merupakan bentuk tunggal. Kata
jamaknya adalah “Alkas”, yang selanjutnya diambil dalam bahasa Indonesia
menjadi “Hukum”. Di dalam pengertian hukum terkandung pengertian bertalian erat
dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan. Hukum adalah keseluruhan
norma yang oleh penguasa masyarakat yang berwenang menetapkan hukum,
dinyatakan atau dianggap sebagai peraturan yang mengikat bagi sebagian atau
seluruh anggota masyarakat tertentu, dengan tujuan untuk mengadakan suatu tata
yang dikehendaki oleh penguasa tersebut12.
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian
kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam  bidang
politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai
perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalitas
dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut
perilaku dalam konstitusi hukum, meyediakan kerangka kerja bagi penciptaan
hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta
cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih13. Administratif hukum
digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum
internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari
perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan
bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan
dengan peraturan tirani yang merajalela.
Hukum tidak dapat didefinisikan secara tepat dan sama karena disetiap
wilayah berbeda-beda hukumnya, jadi sulit untuk didefinisikan, namun beberapa
sarjana telah memberikan batasan tentang hukum menurut pendapatnya masing-
masing. Batasan-batasan yang telah mereka kemukakan satu sama lain saling
berbeda. Batasan-batasan yang telah mereka kemukakan mengenai pengertian
hukum adalah sebagai berikut 14:

a. Menurut pendapat Prof. Mr.E.M. Meyers, Hukum adalah semua aturan


yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan pada tingkah laku
12
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, cet.viii, 2003, hal. 5
13
Satcipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, cet.v, 2000, hal. 208
14
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Teori dan Filsafat Hukum, Cita Aditya Bakti, Bandung, cet. Ix, 2004,
hal. 8

10
manusia dalam masyarakat yang menjadi pedoman penguasa-penguasa
negara dalan melakukan tugasnya.
b. Menurut Leon Duguit, Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota
masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu
diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan
bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang
yang melakukan pelanggaran itu.
c. Menurut Immanuel Kant, Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang
dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri
dengan kehendak bebas dari oarang lain menurut asas tentang
kemerdekaan.
d. Menurut Utrecht, Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan
(perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib
suatu masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat.
e. Menurut S.M. Amin, S.H. Hukum adalah kumpulan peraturan yang
terdiri dari norma dan sanksi-sanksi serta tujuan hukum adalah
mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan
dan ketertiban terpelihara.

Sosiologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan tibal balik antara
hukum dengan gejala sosial (masyarakat). Sosiologi hukum merupakan cabang ilmu
pengetahuan yang memahami, mempelajari, menjelaskan secara analiti sempiris
tentang persoalan hukum dihadapkan dengan fenomena-fenomena lain
dimasyarakat. Hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial
lainnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam mempelajari sosiologi
hukum.
Sosiologi hukum merupakan ilmu yang menganggap hukum bukan hanya
sisi normatif semata tetapi merupakan sekumpulan fakta empiris, sesuatu yang nyata
dalam masyarakat, yang ditinjau dari bebagai sisi sampai terdapat keseimbangan
informasi terhadap suatu fenomena sosial tentang hukum15.
Adapun pengertian hukum menurut beberapa para ahli sebagai berikut16:

a. Soerjono Soekanto, Sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu


pengetahuan yang antara lain meneliti, mengapa manusia patuh pada hukum,
dan mengapa dia gagal untuk mentaati hukum tersebut serta faktor-faktor
social lain yang mempengaruhinya (Pokok-Pokok Sosiologi Hukum).

15
Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bharata Karya Aksara, Jakarta, 2012, hal. 20
16
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet.vii, 2006,
hal. 13

11
b. Satjipto Rahardjo, Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari fenomen
hukum dengan mencoba keluar dari batas-batas peraturan hukum dan
mengamati hukum sebagaimana dijalankan oleh orang-orang dalam
masyarakat.
c. Soetandyo Wignjosoebroto, Sosiologi hukum adalah cabang kajian sosiologi
yang memusatkan perhatiannya kepada ihwal hukum sebagaiman terwujud
sebagai bagian dari pengalaman dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
(hukum; paradigma metode dan dinamika masalahnya).
d. David n. Schiff, Sosiologi hukum adalah, studi sosiologi terhadap fenomena-
fenomena hukum yang spesifik yaitu yang berkaitan dengan masalah legal
relation, juga proses interaksional dan organizational socialization, typikasi,
abolisasi dan konstruksi social; (pendekatan sosiologis terhadap hukum).

Korupsi berasal dari bahasa latin Corruptio atau Corruptus mempunyai arti
buruk, bejad, menyimpang dari kesucian, perkataan menghina, atau memfitnah.
Sedangkan pengertian korupsi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah
sebagai perbuatan curang, dapat disuap, dan tidk bermoral. Adapun menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang
negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi maupun orang
lain. Sedangkan di dunia internasional pengertian korupsi berdasarkan Black Law
Dictionary yang mempunyai arti bahwa suatu perbuatan yan dilakukan dengan
sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan
tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya "sesuatu perbuatan dari suatu yang
resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh
kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan tugas dan kebenaran-kebenaran lainnya17.

B. Peranan Sosiologi Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


Ilmu sosial yang secara khusus mempelajari “interaksi sosial” ini adalah
sosiologi. Berikut manfaat sosiologi dan peranan sosiologi dalam undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi (UU No. 24 / 1960, UU No. 3 / 1971, UU No.
31/1999, dan UU No. 20/2006). Sosiologi dalam masyarakat adalah untuk meneliti
berbagai macam masalah dalam masyarakat dan membantu mencari jalan keluar
yang paling efektif khususnya dalam kasus korupsi. Terdapat tiga tahap yaitu,
Perencanaan, Pelaksanaan, dan Penilaian.
17
http://idiesta.blogspot.compengertian-korupsi.html, diakses tanggal 29 Maret 2021

12
Keberhasilan pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan sangat
tergantung banyak faktor. Secara garis besar bekerjanya hukum dalam masyarakat
akan ditentukan oleh beberapa faktor utama. Faktor-faktor tersebut dapat:

1. Bersifat yuridis normatif (menyangkut pembuatan peraturan perundang-


undangannya).
2. Penegakannya (para pihak dan peranan pemerintah).
3. Serta faktor yang bersifat yuridis sosiologis.
Faktor materi (substansi) suatu hukum atau peraturan perundang-undangan
memegang peranan penting dalam penegakan hukum (law enforcement). Artinya di
dalam hukum atau peraturan perundang-undangan itu sendiri harus terkandung dan
bahkan merupakan conditio sine quanon di dalamnya keadilan (justice). Sebab,
bagaimana pun juga hukum yang baik adalah hukum yang di dalamnya terkandung
nilai-nilai keadilan. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah faktor aparatur
penegak hukum itu sendiri yang lazim juga disebut law enforcer (enforcement
agencies). Relevan dengan hal tersebut B. M. Taverne mengatakan, “geef me goede
rechter, goede rechter commissarissen, goede officieren van justitieen, goede politie
ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede
beruken” bahwasanya “berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik,
maka aku akan berantas kejahatan meskipun tanpa secarik undang-undang pun”.
Dengan kata lain, “berikan padaku hakim dan jaksa yang baik, maka dengan hukum
yang buruk saya bisa mendatangkan keadilan. Artinya, bagaimana pun lengkapnya
suatu rumusan undang-undang, tanpa didukung oleh aparatur penegak hukum yang
baik, memilikki moralitas dan integritas yang tinggi, maka hasilnya akan buruk18.
Sering dijumpai dalam hukum di Indonesia ini seolah penegakan hukum
hanya berlaku bagi “yang tidak mampu”, sehingga terkesan bahwa hukum tajam
bagi kalangan menengah dan bawah kemudian tumpul untuk kalangan atas, hal ini
terbukti dengan berbagai kasus rakyat miskin yang terjerat kasus hukum karena
mengambil sandal jepit dan mencuri pisang, seolah hal ini merupakan kasus besar
yang segera ditindak dan divonis, tetapi bila kalangan atas seolah-olah tumpul dapat
kita lihat pada kasus Century yang hingga saat ini belum mengalami perkembangan

18
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas, Jakarta, 2006, hal. 6

13
yang signifikan, sehingga belum bisa memberikan rasa keadilan bagi publik. Dalam
hal ini terasa percuma untuk merancang undang-undang dan menjadikannya sebagai
suatu produk hukum, jika hukum yang sudah dibuat itu tidak bermanfaat karena
keinginan dan alat untuk melaksanakannya lemah19.
Dalam kasus korupsi hal ini sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
kasus korupsi. Pada tahap perencanaan, disini perencanaan dalam anggaran harus
dibuat serinci mungkin dan sesuai dengan kebutuhan, serta terkendali. Tahap
pelaksanaan yang harus dilihat adalah jalannya suatu pembangunan/tindakan sesuai
dengan apa yang terjadi serta terus melaporkan proses perubahan yang terjadi secara
terbuka, dan selalu terawasi/terpantau. Sedangkan pada tahap penilaian, dalam hal
ini yang harus dilakukan adalah analisis terhadap masalah/dampak sosial yang akan
terjadi dalam suatu pembanguan/tindakan.
Selanjutnya yaitu penelitian, dengan penelitian dan penyidikan sosiologi
akan diperoleh suatu perencanaan/pemecahan masalah yang baik. Dalam kasus
korupsi hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya korupsi dan cara untuk
mengatasinya20.
Sebagai ahli ilmu kemasyarakatan, para sosiolog tentu sangat berperan dalam
membangun masyarakat. Dalam hal korupsi diperlukan untuk pengumpulan dan
penggunaan data, dalam mencari tahu data tentang kehidupan sosial pelaku korupsi.
Data itu kemudian diolah untuk memberi saran-saran baik dalam penyelesaian kasus
korupsi, maupun efek sosial dari kasus korupsi yang terjadi. Peran sosiolog sebagai
guru atau pendidik merupakan faktor paling utama dalam memberantas korupsi di
Indonesia. Peran ini sangat penting, karena disini mencakup generasi penerus
bangsa. Dalam proses pembelajaran guru/sosiolog dapat menjelaskan apa itu
korupsi, akibat sosial dari korupsi, serta memberikan pedoman kepada peserta didik
tentang bagaimana bersikap dan bertingkah laku dalam menghadapi masalah-
masalah dalam masyarakat, terutama yang berkaitan dengan korupsi.
Dalam kehidupan bermasyarakat penting bagi sosiolog, untuk memberikan
pegangan kepada masyarakat dalam mengadakan pengendalian sosial, yaitu system

19
Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Bayumedia, Malang, 2008, hal. 111
20
Ronny Hanitijo Soemitro, Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah Hukum, CV
Agung, Semarang, 2010, hal. 23

14
pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku para pejabat. Dengan kekuatan
yang dimilikinya berupa semangat dalam menyuarakan dan memperjuangkan nilai-
nilai kebenaran serta keberanian dalam menentang segala bentuk ketidak adilan,
masyarakat menempati posisi yang penting dalam upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia, serta pengawal bagi terciptanya kebijakan publik yang berpihak kepada
kepentingan masyarakat banyak.
Untuk mengatasi maraknya tindakan korupsi dapat ditempuh dengan cara
antara lain, perbaikan moral dari diri sendiri, penegakan hukum yang tidak pandang
bulu, pengawasan internal dan eksternal yang baik, kontrol sosial dari masyarakat,
mengusahakan perbaikan gaji aparatur negara, peningkatan iman dan taqwa. Dengan
demikian semua akan berjalan dengan terbuka dan mencegah timbulnya korupsi21.

C. Pertanggung Jawaban Pidana pada Perkara Tindak Pidana Korupsi


Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana
korupsi yaitu:
1. Korporasi  adalah  kumpulan  orang  dan  atau  kekayaan  yang  terorganisasi
baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pegawai Negeri adalah meliputi :
a.  pegawai      negeri      sebagaimana        dimaksud      dalam      Undang-
undang   tentang Kepegawaian;
b. pegawai  negeri  sebagaimana  dimaksud  dalam  Kitab  Undang-undang
Hukum Pidana;
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

21
http://anything-go-anything.blogspot.com.peran-sosiologi-dalam-memberantas.html, diakses
tanggal 29 Maret 2021

15
D. Penjatuhan Pidana pada Perkara Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-


undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim
terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.

a. Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi


1) Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun
1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
2)   Pidana Penjara

a) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4


(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
b) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara (Pasal 3)
c) Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00

16
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan
sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung
atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para
saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
d) Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal
36.
3) Pidana Tambahan
a) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak
berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik
terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari
barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
b) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya
sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama
1 (satu) tahun.
d) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat
diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
e) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam
waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita
oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
f) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi
untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana

17
penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari
pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun
1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan
dalam putusan pengadilan.

b. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu
Korporasi

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan
maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural
ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) Undang-Undang 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

a. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan/atau pengurusnya.
b. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut
baik sendiri maupun bersama-sama.
c. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka
korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat
diwakilkan kepada orang lain.
d. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri
di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut
dibawa ke siding pengadilan.
e. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan
untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus
berkantor.22
22
http://agusthutabarat.wordpress.com/2014/01/17/tindak-pidana-korupsi-di-indonesia-tinjauan-uu-
no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi/, diakses
tanggal 29 Maret 2021

18
Penegakan hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup
ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata atas,
menengah dan bawah. Artinya, didalam melaksanakan tugas-tugas penerapan
hukum, petugas seharunya memiliki pedoman, diantaranya peraturan tertulis tertentu
yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya.
Di dalam hal penegakan hukum dimaksud, kemungkinan petugas penegakan
hukum menghadapi hal-hal tersebut :23
1. Sampai sejauh mana petugas (penegak hukum) terikat dari peraturan-
peraturan yang ada.
2. Sampai batas-batas mana petugas berkenaan memberikan kebijakan.
3. Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat.
4. Sampai manakah derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan
kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada
wewenangnya.

Sehingga dari pernyataan diatas, disebutkan bahwa penegak hukum harus


mengetahui apa saja yang menjadi kewenangannya, hak dan kewajibannya dalam
menegakan hukum, dan penegak hukum seyogyanya memberikan suri tauladan yang
baik, yang dapat menjadi contoh bagi masyarakat dalam menegakan hukum. Jika
penegak hukum memiliki moral yang baik dan diikuti oleh masyarakat, maka hukum
dan moralitas berjalan beriringan dan terciptalah hukum yang bermanfaat. Dimana
hukum yang bermanfaat menurut teori utilitarianisme adalah hukum yang
memberikan kesenangan bagi banyak orang.
Dalam bukunya Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa gangguan terhadap
penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian aturan “tritunggal”
yakni nilai, kaidah, dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi
ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam
kaidah-kaidah yang simpangsiur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu
kedamaian pergaulan hidup24. Selanjutnya disebutkan faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum25 :
a. Faktor hukum itu sendiri
b. Faktor penegak hukum
23
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, op.cit., hal. 7
24
Ibid., hal.8
25
Andi Hamzah, op.cit., hal. 261

19
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan, karena kelima faktor tersebut


merupakan esensi dari penegakan hukum, selain itu juga merupakan tolak ukur
daripada efektivitas penegakan hukum. Jika dilihat pada penegakan hukum dalam
memberantas tindak pidana korupsi, maka Undang-Undang tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001, sudah dirasa cukup mewakili
keingininan dan kebutuhan masyarakat, hanya saja dewasa ini menjadi perdebatan
tentang hukuman mati yang ada dalam undang-undang tersebut, karena dalam
undang-undang tersebut seorang koruptor hanya dapat dijatuhi hukuman mati dalam
keadaan-keadaan tertentu, hal ini berbeda dengan sistem hukum Cina yang langsung
menghukum mati terpidana kasus korupsi, sehingga menimbulkan rasa takut bagi
masyarakat setempat untuk melakukan korupsi. Berbeda dengan Indonesia, yang
tidak pernah memberikan hukuman mati bagi koruptor, para koruptor Indonesia
kebanyakan hanya dijatuhi hukuman empat sampai delapan tahun saja dengan
hukuman denda yang tidak sesuai dengan jumlah yang mereka korupsi dari uang
negara. Tentu ini memperlihatkan penegak hukum di Indonesia masih setengah hati
dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Menurut Achmad Ali, bahwa salah satu alat bagi Hakim untuk lebih
mengembangkan kemampuannya dalam menciptakan hukum melalui putusan-
putusannya adalah dengan cara lebih memahami adanya 3 (tiga) jenis ilmu hukum
dan juga 3 (tiga) jenis pendekatan dalam ilmu hukum. 3 (tiga) Jenis ilmu hukum
yaitu :

1. Ilmu tentang asas-asas fundamental di bidang hukum


(Beggriffenwissenscheft);
Ilmu tetang norma hukum dan aturan hukum (Normwissenschaft);
2. Ilmu tentang perilaku hukum, tindakan hukum dan realitas hukum
(Tatsacherwissenschaft).

20
Ketiga jenis pendekatan dalam ilmu hukum dapat digambarkan dengan
dimulai dari : Pendekatan empiris di bidang hukum, Pendekatan normatif,
Pendekatan filosofis. Dimana kajian sosiologi hukum termasuk salah satu diantara
pendekatan dalam ilmu hukum tersebut. Jika menginginkan lahirnya suatu produk
hukum dan keputusan hukum yang optimal, maka ketiga pendekatan ilmu hukum
tersebut harus diimplementasikan secara proporsional dan harmonis oleh para
penegak hukum, yang pada akhirnya dapat mewujutkan penegakan hukum yang
bermartabat.
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak
korupsi di Indonesia, antara lain :

a. Upaya pencegahan (preventif).


b. Upaya penindakan (kuratif).
c. Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa.
d. Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)

Upaya Pencegahan (Preventif) yaitu dengan menanamkan semangat nasional


yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada bangsa dan negara melalui
pendidikan formal, informal dan agama, melakukan penerimaan pegawai
berdasarkan prinsip keterampilan teknis, para pejabat dihimbau untuk mematuhi
pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung jawab yang tinggi, para pegawai
selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua,
menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi, sistem
keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi dan
dibarengi sistem kontrol yang efisien, melakukan pencatatan ulang terhadap
kekayaan pejabat yang mencolok, berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi
organisasi pemerintahan melalui penyederhanaan jumlah departemen beserta
jawatan di bawahnya. Upaya Penindakan (Kuratif), yaitu dilakukan kepada mereka
yang terbukti melanggar dengan dibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak
terhormat dan dihukum pidana.
Upaya Edukasi Masyarakat, yaitu dengan memiliki tanggung jawab guna
melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait dengan kepentingan publik,
tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh, melakukan kontrol sosial pada setiap

21
kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional, membuka
wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan pemerintahan negara
dan aspek-aspek hukumnya, mampu memposisikan diri sebagai subjek
pembangunan dan berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk
kepentingan masyarakat luas, Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat), organisasi yang mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai
korupsi di Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen
untuk memberantas korupsi melalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat
melawan praktik korupsi
Menurut Andi Hamzah dalam bukunya menyebutkan bahwa kesadaran
hukum masyarakat lah yang sangat berpengaruh dalam memberantas tindak pidana
korupsi ini, di negara-negara Afrika Selatan dirumuskan strategi pemberantasan
korupsi berbentuk piramida yang pada puncaknya adalah prevensi (pencerahan),
sedangkan pada kedua sisinya masing-masing pendidikan masyarakat dan
pemidanaan. Dalam memberantas korupsi Andi Hamzah berpendapat, bahwa harus
dicari penyebab korupsi itu dahulu, kemudian kemudian penyebab itu dihilangkan
dengan cara prevensi disusul dengan pendidikan (peningkatan kesadaran hukum)
masyarakat disertai dengan tindakan represif (pemidanaan).
Sebagaimana dibahas sebelumnya faktor seseorang melakukan korupsi
adalah karena ketamakannya, dan untuk membuat orang tamak jera adalah
memiskinkanya, menurut hemat penulis jika terpidana kasus korupsi “dimiskinkan”,
yakni ditarik harta kekayaannya, sudah membuat koruptor-koruptor lainnya jera,
sehingga hukum dapat berjalan sesuai dengan tujuannya. Sarana dan fasilitas
menurut hemat penulis sudah terpenuhi dengan adanya keistimewaan dalam
melakukan penyidikan dalam kasus korupsi, juga sudah ada lembaga khusus yang
menangani kasus korupsi ini yakni Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini pun berlaku bagi seluruh warga
Indonesia, sehingga diperlukan kesadaran masyarakat untuk mematuhi undang-
undang yang sudah ada. Dimana untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat
diperlukan penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang baik.
Penyuluhan hukum itu sendiri bertujuan agar masyarakat mengetahui dan

22
memahami hukum-hukum tertentu. Penyuluhan hukum tersebut harus disesuaikan
dengan masalah-masalah hukum yang ada dalam masyarakat pada suatu waktu yang
menjadi sasaran penyuluhan hukum. 

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

23
Pernyataan korupsi sebagai sebuah istilah kebudayaan tetap menjadi sebuah
pernyataan yang melahirkan dua pandangan yang berbeda. Ada pihak yang
mengatakan bahwa tindakan korupsi merupakan sebuah budaya dan ada juga yang
menentang hal ini. Namun perbedaan pendapat ini didasarkan pada pemahaman
kebudayaan yang berbeda-beda pula. Korupsi bisa di lihat sebagai sebuah
kebudayaan jika kebudayaan memiliki diartikan sebagai sebuah tingkah laku yang
terus diwariskan dari generasi ke generasi, sebuah kebiasaan yang terus terpelihara
dalam masyarakat baik secara pribadi maupun kelompok yang besar seperti seperti
bangsa Indonesia. Namun secara filosofis, korupsi di satu pihak bukanlah sebuah
kebudayaan sebab korupsi sungguh bertentangan dengan nilai dan unsur kebudayaan
itu sendiri dan di pihak lain korupsi dapat dikatakan sebuah kebudayaan jika
meneliti motif dari korupsi itu sendiri. Nilai kebahagiaan yang merupakan hal yang
mendasar dari manusia itu sendiri merupakan motif di balik tindakan korupsi itu.
Peranan sosiologi dalam memberantas atau mencegah korupsi, Sosiologi
dalam masyarakat adalah untuk meneliti berbagai macam masalah dalam
masyarakat dan membantu mencari jalan keluar yang paling efektif khususnya
dalam kasus korupsi. Terdapat tiga tahap yaitu, Perencanaan, Pelaksanaan, dan
Penilaian. Dalam kasus korupsi hal ini sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
kasus korupsi. Pada tahap perencanaan, disini perencanaan dalam anggaran harus
dibuat serinci mungkin dan sesuai dengan kebutuhan,serta terkendali. Tahap
pelaksanaan yang harus dilihat adalah jalannya suatu pembangunan/tindakan sesuai
dengan apa yang terjadi serta terus melaporkan proses perubahan yang terjadi secara
terbuka, dan selalu terawasi/terpantau. Sedangkan pada tahap penilaian, dalam hal
ini yang harus dilakukan adalah analisis terhadap masalah/dampak sosial yang akan
terjadi dalam suatu pembanguan/tindakan. Selanjutnya yaitu penelitian, dengan
penelitian dan penyidikan sosiologi akan diperoleh suatu perencanaan/pemecahan
masalah yang baik. Dalam kasus korupsi hal ini diperlukan untuk mencegah
terjadinya korupsi dan cara untuk mengatasinya.
B. Saran

Peranan Sosiologi Hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi


ternyata masih belum maksimal bahkan belum mencapai titik keberhasilan dari

24
sinilah perlu kerja keras pejabat pemberantasan serta diiringi dengan peran penting
sosiologi dalam memberantas tindak pidana korupsi tersebut.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Buku-buku

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan


Internasional, PT Rajawali Pers, Jakarta, 2008, Ed. Revisi

25
Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2007

Chairudin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011

Hasan Basry dan Imam Suyitno, Pembelajaran Praktis Tentang Ilmu Hukum
dan Pengantar Ilmu Hukum, Universitas Negeri Makassar, Makassar,
2009

Honour dan Mainwaring, Sosiologi dan Bisnis, Bina Aksara, Jakarta, 1988

Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Teori dan Filsafat Hukum, Cita Aditya Bakti,


Bandung, cet. Ix, 2004

Mohammad Syawaludin, Sosiologi Suatu Pengantar Teori dan Metodologi,


IAIN Raden Fatah Press, Palembang, 2006

Mochtar Kusumaatmaja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional,


Bina Cipta, Bandung, 2005

Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Cetakan
Kedua, Universitas Diponegoro, Semarang, 2002

R. Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, PT Alumni, Bandung, 1993

Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan


Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2001

Ronny Hanitijo Soemitro, Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-


Masalah Hukum, CV Agung, Semarang, 2010

R. Otje Salman, Sosiologi Hukum: Suatu Pengantar,  Armico, Bandung, 2012

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, PT. Raja Refika Aditama, Bandung, 2007
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia., Cetakan Kedua,
Buku Kompas, Jakarta, 2006

----------------------, Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas, Jakarta, 2006


----------------------, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Bayumedia, Malang,
2008

Satcipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, cet.v, 2000

Soedikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012


Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008

26
----------------------, Mengenal Sosiologi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2012

----------------------, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada,


Jakarta, cet.vii, 2006

--------------------, Pengantar Sosiologi Hukum, Bharata Karya Aksara, Jakarta,


2012

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Raja Grafindo, Jakarta,


cet.viii, 2010

Zainudin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2001


Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006

2. Internet

http://idiesta.blogspot.com/2014/01/pengertian-korupsi.html
http://anything-go-anything.blogspot.com/2014/10/peran-sosiologi-dalam-
memberantas.html

http://asa-2009.blogspot.com/2014/01/permasalahan-dan-pemberantasan-
korupsi.html

http://humaniorahukum.blogspot.com/2014/01/tebang-pilih-kasus-korupsi-
dalam.html

http://agusthutabarat.wordpress.com/2014/01/17/tindak-pidana-korupsi-di-
indonesia-tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-
tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi/

27

Anda mungkin juga menyukai