Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

TEORI HUKUM SOSIOLOGIS

DISUSUN OLEH :

NAMA : ANDI AISYAH NIRWANA PATUNRU

NIM : B022211048

PROGRAM STUDI ILMU KENOTARIATAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah swt kami panjatkan atas ridho inayah serta
hidayah Allah Subhana wa Ta’ala dan sholawat serta salam kami curahkan kepada
junjungan dan suri tauladan kami Rasulullah Shalallahu’alaihi Wa Sallam,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ilmiah dalam bentuk makalah
yang berjudul “SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE”. Makalah ini disusun
dalam rangka memenuhi dan melengkapi salah satu tugas mata kuliah Teori dan
Perkembangan Ilmu Hukum.

Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis banyak membutuhkan bantuan


dari berbagai pihak, oleh karenanya dalam kesempatan yang berbahagia ini sudah
selayaknya penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada pada pihak yang telah membantu secara moril dan materil.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, khususnya


kepada penulis sendiri dan umumnya bagi siapa pun yang membutuhkan sebagai
bahan referensi penulisan maupun bahan perbandingan. Atas dukungan yang telah
diberikan semua pihak, dengan rasa penuh harapan semoga menjadi amal
kebajikan sehingga Allah Azza Wazzalla senantiasa melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya. Amin ya Robbal alamin.

Makassar, 14 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1


B. Identifikasi Masalah.....................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................3

A. Aliran Sosiologis..........................................................................................3
B. Sociological of Law Sociological Jurisprudence.........................................4
C. Pendekatan sociological jurisprudence tentang hukum...............................7
D. Pendekatan sosiologi terhadap ilmu hukum.................................................9
E. Aliran sociological jurisprudence..............................................................10
F. Kritik terhadap aliran sociological jurisprudence......................................13
G. Aliran sociological jurisprudence dan relevansinya terhadap pembangunan
sistem hukum Indonesia.............................................................................16

BAB III PENUTUP.........................................................................................22

A. Simpulan.....................................................................................................22
B. Saran...........................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................23

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANGAN MASALAH


............Hukum dan masyarat merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan.
Dimanaada masyarakat disitu ada hukum. Aristoteles menyatakan bahwa manusia
adalah zoonpoliticon, artinya bahwa manusia pada dasarnya selalu ingin bergaul
dan berkumpuldengan sesamanya. Jadi manusia adalah makluk yang suka
bermasyarakat. Untukmencapai  hidup   teratur,   aman   dan   terjamin  hak-
hak   masyarakat   maka   diperlukanhukum. Menurut paham positivisme
bahwa,  hukum adalah suatu  perintah dari merekayang memegang kekuasaan
tertinggi atau memegang kedaulatan. Hukum dianggapsebagai suatu sistem yang
logis, tetap, dan bersipat closed logical system.
Menurut ilmu hukum dan filsafat hukum, maka usaha pembaharuan hukum
dapat dikatakan bahwa Negara Republik Indonesia dalam kebijaksanaan
pembinaan hukumnya menganut teori gabungan dari apa yang dikenal sebagai
aliran sociological jurisprudence dan pragmatic jurisprudence. Aliran sociological
jurisprudence ialah aliran yang menghendaki bahwa dalam proses pembentukan
pembaharuan hukum harus memperhatikan kesadaran masyarakat.
Memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tokoh mazhab
yang mengemukakan aliran ini adalah Roscoe Pound dan Eugen Erlich.
Aliran Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat
hukum menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat.
Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum
yang hidup  di antara masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara
hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living
law). Singkatnya yaitu, aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat
agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik
tertulis maupun tidak tertulis. Misalnya dalam hukum yang tertulis jelas
dicontohkan Undang- Undang sebagai hukum tertulis, sedangkan yang
dimaksudkan hukum tidak tertulis disini adalah hukum adat yang dimana hukum
ini adalah semulanya hanya sebagai kebiasaan yang lama kelamaan menjadi suatu
hukum yang berlaku dalam adat tersebut tanpa tertulis. Dalam masyarakat yang
mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan,
Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Untuk itu ia harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk
mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.

B. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Bagaimanakah pendekatan sociological jurisprudence tentang hukum?
2. Bagimanakah kritik terhadap aliran sociological jurisprudence?
3. Bagaimanakah relevansinya aliran sociological jurisprudence terhadap
pembangunan sistem hukum Indonesia?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Aliran Sosiologis
Aliran sosiologis ini memandang hukum sebagai “kenyataan social” dan
bukan hukum sebagai kaidah. Oleh karena itu, jika kita ingin membandingkan
persamaan dan perbedaan antara pandangan kaum positivis dengan kaum
sosiologis di bidang hukum, maka dapatlah dilihat sebagai berikut.
Persamaan antara positivism dan sosiologisme adalag keduanya terutama
memusatkan perhatiannya pada hukum tertulis atau perundang-undangan.
Perbedaannya adalah:
1. Positivisme memandang hukum tidak lain kaidah-kaidah yang tercantum
dalam perundang-undangan, sedangkan sosiologisme memandang hukum
adalah kenyataan social. Ia mempelajari; bagaimana dan mengapa dari
tingkah laku sosial.
2. Positivisme memandang hukum sebagai sesuatu yang otonom atau
mandiri, sedangkan sosiologisme hukum memandang hukum bukan
sesuatu yang otonom, melainkan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
non hukum yang ada dalam masyarakatnya, seperti faktor ekonomi,
politik, budaya dan sosial lainnya.
3. Poisitivisme hanya mempersoalkan hukum sebagai “das sollen” (apa
yang seharusnya, ought), sedang sosiologisme hukum memandang
hukum sebagai das sein (dalam kenyataannya, is). Dunia “is” (realm of
“is”) adalah: refers to a complez of actual determinants of actual human
conduct.
4. Positivisme cenderung berpandangan yuridis-dogmatik, sedang
sosiologisme hukum berpandangan empiris. Mereka ingin melakukan
pemahaman secara sosiologis terhadap fenomena hukum. Jadi,
interpretative under standing of social conduct. (suatu usaha untuk
memahami objeknya dari segi tingkah laku sosial), meliputi: causes, it
course, dan its effects. Fenomena hukum dari sudut pandangan aliran

3
sosiologis ini adalah gejala-gejala yang mengandung stereotip baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis.
5. Metode yang digunakan kaum positivis adalah preskriptif, yaitu
menerima hukum positif dan penerapannya, sedang metode yang
digunakan oleh penganut sosiologisme hukum adalah deskriptif.
Dalam metode deskriptisnya, kaum sosiologis mengkaji hukum dengan
menggunakan teknik-teknik: survei lapangan (fiel surveys), observasi
perbandingan (comparative observation), analisis statistic (statistical analysis),
eksperimen (experimentation).

B. Sociology of Law dan Sociological Jurisprudence


Para penganut aliran sosiologis di bidang ilmu hukum, dapat dibedakan antara
yang menggunakan sociological of law sebagai kajiannya, dan yang menggunakan
sociological jurisprudence sebagai kajiannya.
Socialogy of law di Italia, pertama kali dikenalkan oleh Anzilotti. Oleh karena
itu, berkonotasi Eropa Daratan, sedangkan sociological jurisprudence lahir di
Amerika Serikat, olehnya itu berkonotasi Anglo Saxon.
Sociology of law adalah sosiologi tentang hukum, karena itu ia merupakan
cabang sosiologi. Sedangkan sociological jurisprudence adalah ilmu hukum
sosiologi, karena itu merupakan cabang ilmu hukum.
Pembaruan suatu bidang hukum harus dibuat sesuai dengan arah bentuk
masyarakat tertentu yang digunakan. Sebagai contoh, konsop ekonomi Pancasila,
yang bentuk masyarakatnya adalah bentuk masyarakat sederhana. Untuk
menyukseskan konsep ekonomi Pancasila itu, harus diikutsertakan sarjana hukum
sebagai “arsitek sosial” nya, yang akan merancang hukumnya, karena alat itu
untuk dapat mewujudkan konsep tadi adalah hukum.
Lebih lanjut Emilie Dhurkheim menyatakan bahwa apa saja yang dapat
dilakukan oleg setiap individu dalam masyarakat adalah tergantung “social
order”. Jadi kevevsasan itu tidak ada dalam individu, tetapi kebebsan itu berada
dalam kerangka masyarakat. Jika dilihat dari teori Emelie Dhurkheim ini, maka
bentuk masyarakat Indonesialah yang justru benar, dan justru bentuk masyarakat
individual ala Barat yang salah.

4
Kritik terhadap teori Emilie Dhurkheim adalah bahwa tidak benar pada
masyarakat yang sederhana hukumnya represif, justru hukumnya bersifat
restitutif. Menurut Satjipto Rahardjo, kritik semacam itu tidak mengurangi
kebebasan Emilie Durkheim sebagai pelopor yang mana sebagai seorang pelopor
tentu saja setiap kesalahan yang dibuatnya tentu kelihatan besar.
Ajaran Eugen Ehlich terkenal dengan kalimatnya: “the center of gravity of
legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial
decision, but in society itself”. Jadi bagi Ehrlich, perkembangan hukum itu tidak
terdapat dalam undang-undang tidak juga dalam ilmu hukum, dan juga tidak
dalam putusan pengadilan, melainkan di dalam masyarakat sendiri.
Ehrlich terkenal juga dengan konsep “living law” nya. Menurut Ehrlich, ada
dua sumber hukum:
1. Legal history and jurisprudence, yaitu penggunaan presden dan komentar
tertulis.
2. Living law yang tumbuh dari kebiasaan mutakhir dalam masyarakat.
Ehrlich juga membedakan kaidah-kaidah yang terdapat dalam masyarakat ke
dalam dua jenis:
1. Norms of decision, yaitu kaidah hukum.
2. Norms of conduct yaitu kaidah-kaidah sosial selain kaidah hukum, yang
muncul akibat pergaulan hidup sesama warga masyarakat.
Masyarakat dilihat Persons sebagai satu totalitas yang mempunyai dua
macam lingkungan, yaitu “ultimate realty” dan fisik organic. Masyarakat
mengorganisasi sedemikian rupa untuk dapat menghadapi dua lingkungan ini.
Untuk mengadapi kedua lingkungan tersebut, masyarakat mengorganisir diri ke
dalam beberapa subsistem, masing-masing: subsistem ekonomi, politik, sosial dan
budaya.
Tiap-tiap subsistem memiliki fungsi khas, yaitu:
1. Subsistem ekonomi berfungsi adaptasi (adaption).
2. Subsistem politik berfungsi pencapaian tujuan toal pursuance).
3. Subsistem sosial berfungsi integritas (integrations).
4. Subsistem budaya berfungsi mempertahankan pola (pattern
maintenance).

5
Pattern maintenance, artinya tanpa kebudayaan, maka masyarakat tidak dapat
berintegrasi, tidak dapat berdiri sebagai kesatuan. Integration berarti proses-
proses/hubungan-hubungan di dalam masyarakat diintegrasikan menjadi satu
sehingga masyarakat dapat merupakan satu kesatuan. Contohnya dengan adanya
aturan jual beli maka dapat diintegrasikan orang-orang yang mengadakan
hubungan jual beli.
Goal pursunance berarti setiap warga masyarakat selalu mempunyai
kebutuhan untuk mengetahui ke arah mana tujuan masyarakat itu digerakkan.
Dengan politik, masyarakat dihimpun sebagai satu totalitas untuk menentukan
satu tujuan bersama. Contohnya, masyarakat Indonesia bertujuan mencapai
masyarakat yang adil dan makmur.
Adaption merupakan fungsi bagaimana masyarakat itu dapat memanfaatkan
sumber daya di sekitarnya secara fisik organik. Yang menarik adalah adanya
hubungan antara masing-masing subsistem dan mengenal adanya dua arus, yaitu
arus informasi dan arus energy. Arus energi yang tertinggi pada subsistem
ekonomi. Subsistem budaya memang sangat kaya dengan ide, tetapi miskin dalam
energi.
Konsep Talcott Parsons ini dinamai konsep Sibernetik. Arus informasi
terbesar pada subsistem budaya, dan semakin kecil ke sosial, politik dan terakhir
pada ekonomi. Sebaliknya arus energy terbesar pada ekonomi, semakin kecil pada
politik, sosial dan terakhir budaya.
Pada masyarakat sederhana, diferensi antara sub-sub system yang terdapat
dalam konsep Sibenetika itu belum tajam, sedangkan dalam suatu masyarakat
modern yang kompleks, perbedaan dan pemisahan yang tajam sudah terlihat di
antara masing-masing subsistem tersebut.
Pembedaan antara “ultimate reality” dengan “fisik organic” oleh Persons,
menurut penulis tepat, tetapi tetap ada perbedaan antara manusia sebagai makhluk
fisik organik dengan binatang yang juga sebagai makhluk fisik organik.
Binatang sebagai makhluk biologis hanya memiliki sinnhaft (kebutuhan
biologis), sedang manusia sebagai makhluk biologis juga memiliki sinnhaft.
Tetapi manusia, selain memiliki sinnhaft, juga memiliki ideenhaft (keterikatan
pada ide) yang tidak dimiliki oleh binatang-binatang. Sebagai contoh, lapar adalah

6
sinnhaft setiap manusia, tetapi berkat adanya ideenhaft-nya, bagi manusia Muslim
di bulan Ramadhan dapat menahan diri untuk menahan lapar dan dahaga saat
berbuka puasa.
Teori Sibernetik pertama-tama digungan dalam ilmu anatomi di bidang ilmu
kedokteran, di mana tubuh manusia yang terdiri dari bagian-bagian tubuh dilihat
sebagai satu system, dengan fungsi sub-sub system yang berbeda-beda kemudian
Parsons mentransfer Sibernetik itu ke dalam sosiologi, dan mengganti eksistensi
tubuh manusia dengan eksistensi masyarakat. Inilah yang membentuk “grand
theory”.
Sehubungan dengan itu, seorang pakar bernama Riggs, mengemukakan
bahwa di antara masyarakat yang masih “fused” dengan masyarakat yang sudah
“difussed”, masih ada satu tahapan yaitu masyarakat prismatis.

C. Pendekatan Sociological Jurisprudence tentang Hukum


Suatu batasan yang tepat tentang ruang lingkup dan pengertian sociological
jurisprudence sampai sekarang masih menjumpai kesulitan-kesulitan yang tak
dapat teratasi. Pendekatan yang aneka ragam daripada penelitian tentang hukum,
terkelompokkan oleh suatu kecenderungan “untuk lebih mementikngkan
geraknya/pelaksanaan hukum daripada isinya yang abstrak”.
Bagi sejumlah pengarang modern dewasa ini ialah bahwa bagian penting dan
asasi dari sosiologi hukum (Sociology of Law) adalah penelitian tentang hubungan
antara hukum yang nyata dengan cita keadilan.
Demikianlah Horvath menganggap bahwa tugas sosiologi hukum adalah
membahas hubungan antara kehidupan yang nyata (facts of life) dengan ketentuan
peradilan tentang penilaian. Suatu program yang menonjol dalam gerakan realis
Amerika. Sincheimer melangkah lebih jauh, dengan menafsirkan sosiologi hukum
sebagai suatu ilmu praktis yang menunjukkan jalan yang baik kepada para
pembentuk undang-undang, Ginsberg memandang penelitian hubungan antara
hukum yang nyata dengan cita keadilan, sebagai salah satu dari empat objek
sosiologi hukum yang terpenting. J. Hall merumuskan sosiologi hukum sebagai
ilmu teoritis yang terdiri daripada generalisasi tentang gejala-gejala sosial,

7
sepanjang berhubungan dengan isi, tujuan, penerapan dan akibat daripada aturan-
aturan hukum.
Ikhtisar paling lengkap untuk membatasi tempat sosiologi hukum meliputi
pula teori-teori dan sistem-sistem yang amat bermacam-macam seperti cara
pendekatan etnologis oleh Post atau Vinogradoff, cara pendekatan teleologis oleh
Ihereng, analisis psikologis oleh Tarde atau Petrazhitsky, teori-hukum-bebas oleh
Kantorowicz, mazhab realis Amerika dan penelitian Max Weber tentang
mekanisme daripada evolusi hukum. Tetapi suatu pembedaan yang nyata
ditegaskan antara penelitian ilmiah dan penilaian. “Sosiologi hukum dapat
merumuskan dalil-dalil yang menyatakan tujuan-tujuan peraturan hukum positif,
tetapi metode-metode ilmu pengatuhan dengan hukum tidak pernah dapat
memutuskan tujuan yang mana harus dicapai, yang mana dari sistem-sistem yang
bersaing harus diutamakan (sebagai contoh konservatisme, liberalisme, sosialisme
atau fasisme) persoalan-persoalan demikian terletak di luar bidang ilmu
pengetahuan”. Hal ini tentu tidak berarti bahwa disiplin hukum (teori/filsafat
hukum) hanya mementingkan teori (filsafat), sedangkan sosiologi hukum hanya
mementingkan praktik. Antara penilaian-penilaian terakhir dan bekerjanya hukum
dalam praktik ada hubungannya teori tentang hukum (Theory of law) dan
sosiologi hukum harus bekerja sama (terjalin) dalam ilmu perundang-undangan
(the science of legislation).
“Sosiologi hukum memberikan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan-
tujuan, tetapi tujuan-tujuan terakhir akan selalu tergantung atas pertimbangan-
pertimbangan filsafat dan tidak atas pertimbangan-pertimbangan ilmiah”.
Banyak dari penelitian fungsional atau sosiologi tentang hukum yang dipadu
(digabung) dengan penilaian-penilaian yang mementingkan tujuan dan maksud-
maksud hukum dari sudut terakhir itu. Tetapi ada satu garis perkembangan
sociological jurisprudence yang harus dipisahkan sama sekali dari sosiologi
hukum sociology of law) sebagaimana dirumuskan di atas.
Kebanyakan teori-teori yang bertolak dari ajaran Ihering tentang “Zweck im
Recht” (tujuan hukum) memperlihatkan suatu garis perkembangan baru dalam
ilmu hukum tetapi mereka merumuskan penilaian dan ideal mereka dalam
pengertian kekuatan-kekuatan/gerakan dan kepentingan-kepentingan sosial, bukan

8
dalam angan metafisik seperti para ahli filsafat hukum yang dahulu. Teori Geny,
Pound, Cardozo atau Ernst Fuchs melanjutkan garis daripada teori-teori tentang
keadilan tetapi teori-teori itu diciptakan oleh ahli-ahli hukum modern yang
mengungkapkannya dalam pengertian kepentingan-kepentingan sosial.
Bilamana diadakan pemisahan antara teori tentang keadilan yang modern dan
kebanyakan penelitian-penelitian sosiologis yang bercampur baur dengan disiplin
hukum (teori/filsafat hukum), maka tinggallah sejumlah aneka percobaan, yang
terutama mementingkan metodologi yang menjelaskan hukum dalam fungsinya.

D. Pendekatan Sosiologi terhadap Ilmu Hukum


1. Pendekatan Weber
Karya Weber sociological of law bertema pokok, analisis perkembangan
hukum dari penemuan hukum secara karismatis sampul pada pembentukan
hukum yang rasional. Proses perubahan ini diikuti dalam berbagai gejala
hukum: dalam pembedaan yang berangsur-angsur antara hukum politik dan
hukum privat, meskipun pembedaan ini ada hubungannya dengan perubahan
prinsip pemerintahan, dalam perkembangan perjanjian penentuan status yang
formal ke arah perjanjian yang elastis dan tidak kaku untuk mencapai suatu
tujuan; dari pribadi-hukum yang otonom dalam abad pertengahan kea rah
monopoli Negara modern dalam hal menciptakan pribadi-hukum.
Seluruh perkembangan hukum ini erat hubungannya dengan faktor-faktor
sosial, politik dan ekonomi. Jadi perkembangan suatu perekonomian pasar
dengan sarana uang yang meningkat, membawa ke arah perkembangan
perjanjian yang modern dengan kebebasan menetapkan syarat-syaratnya.
Bagian yang menarik dari analisa Weber adalah mengenai pengaruh para
ahli hukum dan pengaruh berbagai bentuk pemerintahan terhadap
perkembangan hukum.
Setelah kepercayaan terhadap penemuan hukum yang bersifat rasional,
maka penyelenggaraan pengadilan menjadi suatu prosedur yang lebih teratur
untuk menyelesaikan yang mempunyai kedudukan sosial yang terpandang, di
antara penentu hukum terdahulu dan ahli-ahli hukum selanjutnya. Golongan
ini amat mempengaruhi rasionalisasi prosedur hukum, meskipun kerap kali

9
mereka berkepentingan untuk memperlambat proses rasionalisasi material
daripada hukum Weber membandingkan garis perkembangan ini dalam
perkembangan sistem-sistem ilmu hukum Romawi, Inggris, Jerman, Islam
dan lain sebagainya.
Menjelang tahun 1914, Weber menulis tentang suatu kecenderungan baru
untuk mengganti penyelenggaraan hukum secara rasional dengan suatu
antiformalisme, tetapi ia percaya bahwa reaksi demikian tidak akan
mempengaruhi spesialisasi keahlian hukum yang semakin meningkat,
bersamaan dengan pertumbuhan peralatan teknisnya, sebagai akibat wajar
dari perkembangan teknik dan perekonomian.

E. Aliran Sociological Jurisprudence

Aliran ini tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat oleh seorang


pionernya,yakni Roscoe Pound (1870-1964) melalui karya besarnya yang berjudul
“Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence”pada tahun 1912.Inti
pemikiran dari aliran ini terletak pada penekanan bahwa hukum yang baik adalah
hukum yang hidup didalam masyarakat.Lili Rasjidi mengemukakan perbedaan
antara sociological jurisprudence dengan sosiologi hukum. Kalau sociological
jurisprudence merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari
pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya,maka
sosiologi hukum mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh
mana gejala-gejala yang ada di dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum
tersebut,disamping itu juga diselidiki sebaliknya pengaruh hukum terhadap
masyarakat.”

Aliran ini lahir dari proses dialektika antara yang sebagai tesis adalah aliran
hukum positif dan yang sebagai antitesis adalah mazhab sejarah yang kemudian
menghasilkan sintesis yang berupa sociological jurisprudence .Aliran hukum
positif memandang tiada hukum kecuali perintah yang diberikan oleh penguasa
(law is command of lawgiver),sebaliknya mazhab sejarah menyatakan hukum
timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat.Aliran hukum positif lebih
mementingkan akal,sementara mazhab sejarah lebih mementingkan
pengalaman,dan Sociological Jurisprudence menganggap keduanya sama

10
pentingnya. Sintesis Sociological Jurisprudence dimaksudkan berusaha
menekankan adanya sisi hukum dan sisi masyarakat secara bersamaan.

Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu lembaga
kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
sosial.Selain itu dianjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law
in action) yang dibedakannya dengan hukum yang tertulis (law in books).Salah
satu pendapat terkenal Pound adalah bahwa hukum itu merupakan a tool of social
engineering (hukum sebagai pranata sosial atau hukum sebagai alat untuk
membangun masyarakat).

Menurut Pound, pada saat terjadi imbangan antara kepentingan dalam


masyarakat maka yang akan muncul adalah kemajuan hukum. Roscoe Pound
mengadakan tiga penggolongan utama terhadap kepentingan-kepentingan yang
dilindungi oleh hukum. Pertama, public interests, yang meliputi kepentingan
negara sebagai badan hukum dalam tugasnya untuk memelihara hakikat negara
dan kepentingan negara sebagai penjaga dari kepentingan sosial. Kedua,
kepentingan orang perorangan yang dibedakan oleh Pound menjadi tiga
kepentingan lagi,yakni kepentingan pribadi (fisik,kebebasan
kemauan,kehormatan, privacy ,kepercayaan dan pendapat), kepentingan-
kepentingan dalam hubungan di rumah tangga,dan kepentingan mengenai harta
benda. Ketiga, kepentingan sosial yang meliputi keamanan umum,keamanan dari
institusi-institusi sosial,moral umum,pengamanan sumber-sumber daya sosial,
kemajuan sosial dan kehidupan individual.

Tokoh signifikan berikutnya dari aliran ini ada pada pandangan Eugen Erlich
(1922-2008), di mana ia sangat menentang adanya kekuasaan tak terbatas yang
diberikan kepada penguasa karena dipandangnya akan memberikan sarana kepada
penguasa untuk mengadakan penyimpangan hukum terhadap masyarakat. Oleh
karena itu, harus ada keseimbangan antara kepentingan penguasa dengan
kepentingan masyarakat. Kekuasaan tak terbatas dilakukan oleh Negara terhadap
masyarakat dalam hal ini spesifik elite kelompok sosial.

Secara konsukuen Ehrlich beranggapan bahwa mereka yang berperan sebagan


pihak yang mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan yang erat

11
dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran
itu harus ada pada setiap anggota profesi hukum yang bertugas mengembangkan
hukum yang hidup dan menentukan ruang lingkup hukum positif dengan hukum
yang hidup.

Titik berat aliran sociological jurisprudence terletak pada kenyataan sosial


yang dapat menjadi kenyataan hukum (fakta hukum). Fakta-fakta hukum yang
mendasari semua hukum adalah kebiasaan, dominasi, pemilikan dan pernyataan
kemauan. Keempat faktor ini dari masing-masing melaksanakan hubungan-
hubungan hukum, atau melakukan pengawasan, memberlakukannya,
menghalanginya, atau tidak memberlakukannya.

Tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa hukum akan menjadi instrumen


perubahan sosial yakni hukum sebagai sarana yang penting untuk memelihara
ketertiban harus dikembangkan, sehingga dapat memberi ruang gerak bagi
perubahan sosial-kemasyarakatan, Dalam hal ini hukum dapat tampil ke depan
menunjukkan ke arah dan memberi jalan bagi perubahan.

Aliran sociological jurisprudence melihat masyarakat dari pendekatan


hukumnya yang salah satu rinciannya meliputi fungsi dari hukum terhadap
masyarakat. Fungsi hukum adalah sebagai kerangka ideologis perubahan struktur
dan kultur masyarakat.

Dalam paradigma sosiological jurisprudence yang melihat fungsi hukum dari


hukum terhadap masyarakat dengan spesifikasi fungsi hukum sebagai kerangka
ideologis perubahan struktur dan kultur masyarakat, maka dapat ditanggapi
struktur dan kultur yang dimaksud menyangkut sebuah proses transformasi
struktur dan kultur yang tidak mudah.

Masyarakat akan dibatasi oleh politik dan dalam menegakkan hukum yaitu:
kebebasan untuk memiliki sesuatu, kebebasan untuk berdagang dan perlindungan
terhadap monopoli, kebebasan untuk mengadakan usaha industri dan dorongan
untuk mengadakan penemuan-penemuan. Pound sendiri mengakui bahwa dalam
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim dari waktu ke waktu belakangan
ini, beberapa asas politik tersebut harus dibatasi dan dasar dari pandangan bahwa

12
perihal politik tersebut dengan sendirinya merupakan jaminan untuk kemajuan,
pada umumnya tergantung dari asas-asas politik dan ekonomi tertentu.

Pound memasukan dalam kategori yang sama kepentingan tentang kemajuan


politik dengan memberi perlindungan mengenai kritik yang bebas, kebebasan
untuk mengadakan pesan yang jujur, kebebasan di bidang pendidikan dan
sebagainya. Akhirnya disebutkan kepentingan kemasyarakatan mengenai
kehidupan perorangan. Dalam kehidupan kemasyarakatan yang beradab perlu
adanya jaminan bahwa setiap individu mendapat kesempatan untuk hidup dengan
layak menurut ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh masyarakat.

Menurut Roscoe Pound, kepentingan sebagai tersebut ini agaknya merupakan


kepentingan yang paling utama. Kepentingan tersebut dapat dilihat dalam
perlindungan hukum mengenai kebebasan untuk berbicara dan kebebasan untuk
memilih pekerjaan dalam kebebasan untuk mendirikan perusahaan sebagai
tersebut terakhir, diadakan pembatasan pembatasan dan perubahan-perubahan
menurut keadaan. Penggolongan-penggolongan dasar Roscoe Pound sebagai
tersebut di atas oleh beberapa sarjana hukum modern diperluas dan diadakan
perubahan perubahan.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa aliran ini memandang hukum


sebagai kenyataan dan bukan sebagai kaidah. Hukum baru dapat disebut hukum
jika ada jaminan eksternal bahwa aturan itu dapat dipakasakan melalui paksaan
fisik maupun psikologi. Para pendasar aliran ini begitu menyadari bahwa pada
prinsipnya sociological jurisprudence begitu memberi penekanan terhadap
pentingnya keseimbangan antara hukum formal dengan hukum yang hidup di
masyarakat. Perkembangan hukum sesuai dengan perkembangan masyarakat
menurut aliran ini geraknya dimulai dari yang irasional menuju ke yang rasional.

F. Kritik terhadap Aliran Sociological Jurisprudence


Sekalipun aliran sociological jurispridence kelihatannya sangat ideal dengan
cita hukum masyarakat yang terus-menerus berubah ini, karena mengutamakan

13
bagaimana suatu hukum itu menjadi baik dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat. Tetapi, aliran ini bukanlah tanpa kritik.
Suatu hal yang patut dipahami, bahwa dalam program sosiologi jurisprudence
Pound, lebih mengutamakan tujuan praktis dengan :
1. menelaah akibat sosial yang aktual dari lembaga hukum dan doktirin
hukum, karena itu , lebih memandang kerjanya hukum dari pada isi
abstraknya
2. memajukan telaah sosiologis berkenaan dengan telaah hukum untuk
mempersipakan perundang-undangan, karena itu, menganggap hukum
sebagai suatu lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha yang
cerdik guna menemukan cara terbaik untuk melanjutkan dan
membimbing usaha usaha demikian itu
3. mempelajari cara membuat peraturan yang efektif dan menitik
beratkan pada tujuan sosial yang hendak dicapai oleh hukum dan
bukannya pada sanksi
4. menelaah sejarah hukum sosiologis yakni tentang akibat sosial yang
ditimbulkan oleh doktrin hukum dan bagaimana cara
mengahasilkannya
5. membela apa yang dinamakan pelaksanaan hukum secara adil dan
mendesak supaya ajaran hukum harus dianggap sebagai bentuk yang
tidak dapat berubah
6. meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan yang tersebut diatas agar
usaha untuk mencapai maksud serta tujuan hukum lebih efektif.
Program sosiologis jurisprudence Pound kelihatan berpengaruh dalam
pandangannya yakni apa yang disebut dengan hukum sebagai social engineering
serta ajaran sociological jurisprudence yang dikembangkannya. Dimana hukum
yang baik itu adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Aliran ini mengetengahkan pentingnya hukum yang hidup dalam
masyarakat. Dimana hukum positif akan baik apabila ada hubungan dengan
peraturan yang terletak di dasar dan di dalam masyarakat secara sosilogis dan
antropologis. Tetapi tidak mudah untuk mewujudkan cita hukum yang demikian.
Tidak saja dimungkinkan oleh adanya perbenturan antara nilai-nilai dan tertib

14
yang ada dalam masyarakat sebagai suatu kelompok dengan kelompok
masyarakat lainnya. Terutama dalam masyarakat yang pruralistik. Tetapi sama
sekali tidak berarti tidak bisa diterapkan.
Dalam masyarakat yang monoistik, tidak begitu sukar menerapkan ajaran
sociological jurisprudence. Berbeda halnya dengan masyarakat yang memiliki
pruralistik seperti masyarakat Indonesia dimana nilai-nilai dan tata tertibnya
masing-masing serta pola perilaku yang spesifik pula adalah tidak mudah
menerapkan ajaran sociological jurisprudence.
Berdasarkan fakta bahwa setiap kelompok mempunyai tata tertib sendiri, dan
fakta bahwa hubungan antara tertib ini adalah terus menerus berubah menurut tipe
masyarakat yang serba meliputi, yang terhadapnya negara hanyalah merupakan
suatu kelompok yang khusus dan suatu tata tertib yang khusus pula. Dalam
menerapkannya diperlukan berbagai pendekatan untuk memahami dan
menginventarisasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, terutama dalam
masyarakat majemuk yang memiliki tata tertib sendiri dan pruralitik.
Menurut Pound, hukum di pandang sebagai lembaga masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Disisi lain, Friedman mengemukakan,
secara teoritis karya Ehrlich, menunjukkan adanya tiga kelemahan pokok terhadap
ajaran sociological jurisprudence yang dikembangkan Ehrlich, yang semuanya
disebabkan oleh keinginanannya meremehkan fungsi negara dalam pembuatan
undang-undang.
Kelemahan itu adalah :
1. Karya tersebut tidak memberikan kriteria yang jelas membedakan
norma hukum dari norma sosial yang lain. Bahwa keduanya tidak
dapat dipertukarkan, sesuatu yang merupakan fakta historis dan sosial,
tidak mengurangi perlunya pengujian pernedaan yang jelas. Sesuai
dengan itu sosiologi hukum Ehrlich selalu hampir menjadi suatu
dalam garis besar, sosilogi umum.
2. Ehrlich meragukan posisi adat kebiasaan sebagai sumber hukum dan
adat kebiasaan sebagai satu bentuk hukum. Dalam masyarakat primitif
seperti halnya dalam hukum internasional pada zaman ketika adat
istiadat dipandang baik sebagai sumber hukum maupun sebagai

15
bentuk hukum yang paling penting. Di negara modern peran
masyarakat mula-mula masih penting, tetapi kemudian berangsur
berkurang. Masyarakat modern menuntut sangat banyak undang-
undang yang jelas dibuat oleh pembuat undang-undang yang sah.
Undang-undang semacam itu selalu derajat bermacam-macam,
tergantung dari fakta hukum ini, tetapi berlakunya sebagai hukum
bersumber pada ketaatan faktual ini. Kebingunan ini merembes ke
seluruh karya Ehrlich.
3. Ehrlich menolak mengikuti logika perbedaan yang ia sendiri adakan
norma-norma hukum negara yang khas dan norma-norma hukum
dinama negara hanya memberi sanksi pada fakta-fakta sosial.
Konsekwensinya adalah adat kebiasaan berkurang sebelum perbuatan
udang-undang secara terperinci, terutama undang-undang yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat mempengaruhi kebiasaan dalam
masya-rakat sama banyaknya dengan pengaruh dirinya sendiri.

G. Aliran Sociological Jurisprudence dan Relevansinya Terhadap


Pembangunan Sistem Hukum Indonesia

Keadilan adalah kepentingan manusiayang paling luhur di bumi ini.


Bagaimanapun juga keadilan itulah yang dicari orang tiada hentinya,
diperjuangkan oleh setiap orang dengan gigihnya, dinantikan oleh orang dengan
penuh kepercayaan tetapi perkataan keadilan mempunyai lebih dari satu arti.
Di dalam etika, keadilan dapat dianggap sebagai budi pekerti perseorangan atau
sebagai suatu keadaan dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan atau tuntutan-
tuntutan manusia secara adil dan layak. Di dalam ilmu ekonomi dan ilmu
politik berbicara tentang keadilan sosial sebagai suatu sistem yang
menjamin kepentingan-kepentingan atau kehendak manusia yang selaras
dengan cita-cita kemasyarakatan. Di dalam hukum berbicara tentang
pelaksanaan keadilan tersebut yang berarti mengatur hubungan-hubungan dan
menerbitkan kelakuan manusia di dalam dan melalui aturan-aturan tentang
tingkah laku.

16
Gagasan negara berdasar atas hukum muncul dari para pendiri bangsa
ini dengan dilandasi oleh prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial,
artinya hukum dan segala wujud nilai-nilai yang kemudian
diimplementasikan kedalam peraturan perundang-undangan tidak boleh
menyimpang, baik secara nyata maupun tersamar dari prinsip-prinsip
demokrasimaupun keadilan sosial. Hukum dalam gagasan para pendiri
tersebut justru seyogyanya menjadi dasar pertama dan utama bagi nilai-nilai
demokrasi dan keadilan sosial. Dalam negara hukum maka negara
berfungsi menegakkan keadilan, melindungi hak-hak sosial danpolitik warga
negara dari pelanggaran-pelanggaran, baik yang dilakukan oleh penguasa
maupun warga negara sehingga warga negara yang ada dapat hidup secara
damai dan sejahtera sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD NRI Tahun
1945.

Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merubah


sutu kondisi yang dianggap kurang baik tau bahkan buruk ke kondisi atau
keadaan yang baik. Pembnagunan yang ada dilaksanakan tentu saja dengan
berpijak pada hukum yang jelas, dapat dipertanggungjawabkan, terarah, serta
proposional dalam hal fisik maupun non fisik.

Pada dasarnya, semua masyarakat yang sedang membangun selalu


dicirikan oleh perubahan dan pembangunan. Oleh karena itu, bagaimanapun
pembangunan diartikan atau dimaknai serta apapun ukuran yang digunakan
olehmasayarakat dalam pembangunan pasti didasarkan atas tujuan untuk
kesejahteraan masyarakat dengan menjamin bahwa pembangunan yang ada
berjalan secara damai dan teratur.

Istilah pembaharuan hukum pada dasarnya mengandung makna yang


luas, menurut Friedman, sistem hukum terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu:
(1) struktur kelembagaan hukum, yang terdiri dari sistem dan mekanisme
kelembagaan yang menopang pembentukan dan penyelenggaraan hukum di
Indonesia, termasuk di antaranya adalah lembaga-lembaga peradilan,
aparatur penyelenggara hukum, mekanisme-mekanisme penyelenggaraan
hukum, dan sistem pengawasan pelaksanaan hukum. (2) materi hukum, yaitu

17
meliputi kaedah-kaedah yang telah dituangkan ke dalam peraturan
perundang-undangan tertulis maupun yang tidak tertulis yang hidup dan
berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta
bersifat mengikat bagi semua lapisan masyarakat dan (3) budaya hukum.
Ketiga unsur penopang sistem hukum tersebut saling berkaitan dalam rangka
bekerja menggerakkan rodahukum suatu negara.

Dalam prosesnya, ternyata pembangunan membawa konsekuensi


terjadinya perubahan di beberapa aspek sosial termasuk pranata hukum. Artinya
perubahan yang dilakukan dalam perjalannya menuntut adanya perubahan-
perubahan dalam bentuk hukum. Perubahan tersebut memiliki arti positif
dalam rangka menciptakan sistem hukum baru yang sesuai dengan kondisi nilai-
nilai yang ada pada masyarakat.

Pada dasarnya pembangunan hukum merupakan upaya untuk merombaka


struktur hukum lama yang merupakan warisan kolonial dan dianggap eksploitatif
dan diskriminatif sedangkan dilain pihak pembangunan sistem hukum
dilaksanakan dalam rangka untuk memenuhi tuntutan perkembangan
masyarakat yang sangat kompleks serta cenderung untuk berubah kapan saja.

Hukum diakui memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam
memacu percepatan pembangunan suatu negara. Usaha ini tidak semata-mata
dalam rangka memenuhi tuntutan pembangunan jangka pendek tetapi juga jangka
menengah serta jangka panjang walaupun disadari setiap saat hukum dapat
berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Pada negara berkembang seperti Indonesia pembangunan hukum menjadi


prioritas utama, terlebih lagi jika negara yang dimaksud merupakan negara yang
baru merdeka dari penjajahan bangsa lain. Oleh karena itu pembangunan hukum
di negara berkembang senantiasa mengesankan adanya peranan ganda. Pertama,
sebagai upaya untuk melepaskan diri sendiri dari lingkaran struktur kolonial.
Upaya tersebut terdiri dari penghapusan, penggantian dan penyesuaian
ketentuan hukum warisan kolonial guna memenuhi tuntutan masyarakat
nasional. Kedua, pembangunan hukum berperan pula dalam mendorong proses
pembangunan, terutama pembangunan dalam bidang ekonomi yang memang

18
diperlukan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari negara maju, dan demi
kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Hukum sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarakat Indonesia,


senantiasa dihadapkan pada perubahan sosial yangsedemikian dinamis
seiring dengan perubahan kehidupan masyarakat, baik dalam konteks
kehidupan individual, soaial maupun politik bernegara. Pikiran bahwa
hukum harus peka terhadap perkembangan masyarakat dan bahwa hukum
harus disesuaikan atau menyesuaikandiri dengan keadaan yang telah
berubah, sesungguhnya terdapat dalam alam pikiran manusia Indonesia.

Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran Sociological
Jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada kenyataan hukum
daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Kenyataan hukum
pada dasarnya adalah kemauan publik, jadi tidak sekedar hukum dalam
pengertian law in books (hukum tertulis). Sociological
Jurisprudencemenunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis
sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian hukum
(positivism law) dan living lawsebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya
peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum.

Aliran Sociological Jurisprudencedalam ajarannya berpokok pada


pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup (living law) , atau
dengan perkataan lain suatu pembedaan antar kaidah-kaidah hukum dengan
kaidah-kaidah sosial lainnya. Bahwa hukum positif hanya akan efektif
apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Bahwa pusat
perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif,
keputusan-keputusan badan judikatif ataupun ilmu hukum, akan tetapi justru
terletak di dalam masyarakat itu sendiri.

Roscoe Pound menyatakan dan menjelaskan sebuah ringkasan antinomi lain


yang berwujud ketegangan antara hukum dan aspek-aspek lain dari
kehidupan bersama. Filsafat hukum mencerminkan keadaan bersitegang antara
tradisi dankemajuan, stabilitas dengan perubahan serta kepastian hukum.
Sebegitu jauh, karena salah satu tugas hukum adalah untuk menegakkan

19
ketertiban.Pound juga menjelaskan bahwa tugas pokok pemikiran modern
mengenai hukum adalah tugas rekayasa sosial. Pound berusaha untuk
memudahkan dan menguatkan tugas rekayasa sosial ini. Dengan
merumuskan dan menggolongkan kepentingan-kepentingan sosial yang
keseimbangannya menyebabkan hukum berkembang.

Dalam paham sosiologi hukum, yang dikembangkan oleh aliran


Pragmatic LegalRealism yang dipelopori antara lain oleh Roscoe Pound
memiliki keyakinan bahwa hukum adalah “a tool of social engineering”
atau “alat pembaharuan masyarakat” atau “sarana perubahan masyarakat”,
dalam konteks perubahan hukum di Indonesia harus diarahkan kejangkauan
yang lebih luas, yang berorientasi pada :

1. Perubahan hukum melalui peraturan perundangan ang lebih bercirikan


sikap hidup serta karakter bangsa Indonesia, tanpa mengabaikan nilai-
nilai universal manusia sebagai warga dunia, sehingga kedepan akan
terjadi transformasi hukum yang lebih bersifat Indonesia (mempunyai
seperangkat karakter bangsa yang positif).
2. Perubahan hukum harus mampu membimbing bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang mandiri, bermartabat dan terhormat dimata
pergaulan antar bangsa, karena hukum bisa dijadikan sebagai sarana
mencapai tujuan bangsa yang efektif.

Perubahan hukum di Indonesia pada kenyataannya berlangsung, baik


yang dilakukan oleh penyelenggara negara yang berwenang (lembaga
legislatif dan eksekutif) melalui penciptaan berbagai peraturan perundangan
yang menjangkau semua fase kehidupan baik yang berorientasi pada kehidupan
perorangan, kehidupan sosial maupun kehidupan bernegara (politik) atau yang
diusulkan oleh berbagai lembaga yang memiliki komitmen tentang
pemabruan dan pembinaan hukum, sehingga mampu mengisi kekosongan
atau kevakuman hukum dalam berbagai segi kegidupan.Dengan perencanaan
yang baik, perubahan hukum diarahkan sesuai dengan konsep pembangunan
hukum di Indonesia, harus dilakukan dengan jalan :

20
1. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan
antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasiserta unifikasi
hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan
kesadaran hukum masyarakat.
2. Menertibkan fungsi lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing.
3. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum.
4. Memupuk kesadaran hukum masyarakat.
5. .Membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah/ negara
ke arah komitmen yang kuat dalam penegakan hukum, keadilan serta
perlidungan terhadap harkat dan martabat manusia.

21
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Sociological jurisprudence menggunakan pendekatan hukum
kemasyarakatan. Menurut sociological jurisprudence hukum yang baik haruslah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam msyarakat. Aliran ini
memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat (living law). Aliran ini timbul sebagai akibat dari proses dialektika
antara (tesis) positivisme hukum dan (antitesis) mazhab sejarah. Menurut Roscoe
Pound, hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas ilmu
hukum untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-
kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal.
Sociological jurisprudence itu merupakan suatu madzab/aliran dalam filsafat
hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat,
sedangkan Sosiologi Hukum adalah cabang sosiologi mempelajari hukum sebagai
gejala sosial yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan
sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi
hukum di samping juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh
hukum terhadap masyarakat. Roscoe Pound juga menganjurkan untuk
mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang dibedakan dengan
hukum yang tertulis (law in the books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada
seluruh bidang hukum, baik hukum substantif, maupun hukum ajektif. Ajaran
tersebut menonjolkan masalah apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-
pola perikelakuan.

B. SARAN
Dalam penulisan ini, penulis menyadari bahwa banyak kekurangan baik dari
segi penulisan, bahkan tidak menutup kemungkinan adanya kekeliruan dari tata
bahasa ataupun referensi. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dan memotivasi agar makalah selanjutnya dapat lebih baik.

22
DAFTAR PUSTAKA

Huijbers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. (Yogyakarta: Kanisius,


1982).

Hartono, Sunaryani. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional.


(Bandung: Alumni, 2017).

Pound. The Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence. (Harv I, 1991, Rev.
489).

Prasetyo, Teguh. Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat
yang Berkeadilan dan Bermanfaat. (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016).

Soekanto, Soerjono. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat. (Jakarta:


Rajawali, 1985).

Timasheff. Growth and Scope of Sociology of Law, Modern Sociology Theory.


(Cambridge: Cambridge University Press, 2018).

Vinogradoff, Historical Jurisprudence. (London: Oxford University Press, 2019).

23

Anda mungkin juga menyukai