Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Psikologi

Pengertian psikologi, mengandung kata psyche yang berarti jiwa dan logos yang
diterjemahkan sebagai ilmu. Istilah psikologi dan ilmu jiwa menurut isinya pada dasarnya
sama. Kata ilmu jiwa merupakan terjemahan dari psikologi. Perbedaan lingkup cakupannya :
Ilmu jiwa : merupakan istilah bahasa Indonesia sehari-hari yang dikenal setiap orang dan
digunakan dalam arti yang luas, mencakup segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan,
juga khalayan mengenai jiwa itu sendiri. Istilah ilmu jiwa menunjukkan cakupan pada
ilmu jiwa pada umumnya.
Psikologi : merupakan istilah ilmu pengetahuan, dipergunakan untuk menunjuk kepada
pengetahuan ilmu jiwa yang bercorak ilmiah, meliputi pengetahuan ilmu jiwa yang
diperoleh secara sistematis dengan metode ilmiah yang memenuhi syarat-syarat yang
disepakati sarjana-sarjana psikologi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa psikologi senantiasa ilmu jiwa tetapi ilmu jiwa belum tentu
psikologi.

2. Pengertian Psikologi Hukum


Psikologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum
sebagai suatu perwujudan daripada perkembangan jiwa manusia (Drever J.A. Dictionary of
Psychology Peuguin Bruks 1976). Cabang ilmu pengetahuan ini mempelajari tingkah laku atau
sikap hukum yang mungkin merupakan perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu.
Psikologi Hukum merupakan bidang yang baru lahir di sekitar tahun 1960-an sebagai salah satu
kajian empiris, yang memandang hukum dalam wujudnya sebagai behavioratau perilaku
manusia dalam bidang hukum. Ketika manusia berperilaku, apakah perilakunya benar atau
salah menurut standar hukum, maka di lain pihak, psikologi hukum ingin megklarifikasi
perilaku manusia itu dalam klasifikasinya sendiri. Seperti klarifikasi antara perilaku individu dan
perilaku kelompok, antara perilaku normal dan perilaku abnormal, dan sejumlah klasifikasi khas
psikologi hukum lainnya. (Achmad Ali, 2009: 2). Menurut Soerjono Soekanto (1989: 17-18),
psikologi hukum di satu pihak menelaah tentang faktor-faktor psikologis yang mendorong orang
untuk mematuhi hukum, di lain pihak juga meneliti mengenai faktor-faktor yang mungkin
mendorong orang untuk melanggar hukum.
Psikologi hukum dapat diartikan sebagai studi psikologi yang mempelajari ketidakmampuan
individu untuk melakukan penyesuaian terhadap norma hukum yang berlaku atau tidak
berhasilnya mengatasi tekanan-tekanan yang dideritanya. Dalam kondisi yang demikianlah maka
diperlukan studi psikologi terhadap hukum yang disebut psikologi hukum. Menurut Soerjono
Soekanto (1983: 2), psikologi hukum adalah studi hukum yang akan berusaha menyoroti hukum
sebagai suatu perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan kejiwaan dari
perilaku atau sikap tindak tersebut. Hukum dibentuk oleh jiwa manusia seperti putusan
pengadilan dan peraturan perundang-undangan, menandakan bahwa psikologi merupakan
karakteristik hukum yang tidak dapat dipisahkan dari hukum itu sendiri. Definisi psikologi
hukum secara lebih singkat dan agak berbeda dikemukakan oleh Ali (2009: 4). Psikologi hukum
mencakup kajian-kajian empiris, yakni: penelitian psikologi terhadap hukum, tentang institusi
hukum, dan tentang orang yang berhubungan dengan hukum. Psikologi hukum secara tipikal
sebagai kajian yang merujuk pada dasar sosial dan teori-teori serta asas-asas yang bersifat
kognitif, untuk menerapkan mereka terhadap isu-isu dalam sistem hukum seperti memori saksi
mata, pengambilan keputusan dewan juri, penyelidikan, dan pewawancaraan.
Meuwissen (1994: 67-68) menjelaskan psikologi hukum adalah cabang ilmu hukum yang
paling muda. Tujuannya adalah untuk memahami hukum positif dari sudut pandang psikologi.
Psikologi dapat memberikan sumbangan dalam tiga arti. Pertama dari sudut psikoanalisa (Freud).
Dari sudut ini negara dapat mengetahui gejala gejala hukum melalui cara di herinterpretasi.
Kedua, dari sudut psikologi humanistik. Dari sudut ini dapat diperoleh pengertian yang lebih
dalam tentang cara kesadaran hukum atau perasaan hukumyang berfungsi pada manusia.
Ketiga, dari sudut psikologi perilaku. Di dalamnya perilaku yang diamati dapat dilakukan dengan
bantuan model penjelasan kasual yang dipahami dari sudut konstelasi tertentu. Model ini dapat
diterapkan pada hukum, misalnya perilaku hakim, advokat maupun pembentuk undang-undang.
Pada masa kini, psikologi hukum hanya memainkan peran kecil dalam bidang hukum pidana,
misalnya berkaitan dengan kesalahan, pertanggungjawaban, dan kebebasan (Arief, 2009: 131)1.

1
Diakses dari <http://e-journal.uajy.ac.id/8635/3/2MIH02124.pdf > Selasa 23 Mei 2017, pukul 20.00, hlm. 53
3. Ruang Lingkup Psikologi Hukum
Psikologi hukum menyoroti hukum sebagai salah satu perwujudan dari perkembangan jiwa
manusia. Cabang ilmu pengetahuan ini mempelajari perkelakuan atau sikap tindak hukum yang
mungkin merupakan perwujudan dari gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan kejiwaan dari
perikelakuan atau sikap tindakan tersbut (Hendra & Rosley, 2011: 130). Dikemukakan oleh
Soerjono Soekanto bahwa dewasa ini, hasil penelitian tentang hubungan antara hukum dan
sektor kejiwaan, tersebar dalam publikasi hasil-hasil penelitian tersebut menyoroti timbal balik
antara faktor-faktor tertentu dari hukum, dan beberapa aspek khusus dari kepribadian manusia.
Masalah yang ditinjau adalah mengenai dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pelanggaran terhadap
kaidah hukum, dasar-dasar kejiwaan dan fungsi dari pola-pola penyelesaian terhadap
pelanggaran kaidah hukum serta akibat pola penyelesaian sengketa tertentu2.
Menurut Brian L. Cutler Secara sangat terinci memaparkan ruang lingkup dan subjek bahasan
lengkap dari kajian Psikologi Hukum.Brian L. Cutler membagi 17 pokok bahasan yang menjadi
materi kajian Psikologi Hukum menurut versinya, (Buku Ajar Psikologi Hukum oleh Achmad
Ali, 2009: 5-6). yaitu3:
a. Criminal Competencies (kompetensi criminal);
b. Criminal Responsibility(pertanggungjawaban pidana);
c. Death Penalty (pidana mati)
d. Divorce and Chalid Custody (perceraian dan pemeliharaan anak);
e. Education and Professional Development(pendidikan dan perkembangan professional)
f. Eyewitness Memory (memori saksi mata);
g. Forensic Assesment in Civil and Criminal Cases (penilaian forensik dalam kasus pidana
dan perdata);
h. Juvenile offenders (pelanggar hukum yang masih anak anak)
i. Mental Health Law (hukum kesehatan mental);
j. Psychological and Forensic Assessment Instruments (instrument penilaian psikologis dan
forensik);
k. Psychology of criminal Behavior (psikologi tentang perilaku kriminal);

2
Ibid, hlm. 54
3
Diakses dari <http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/9716/SKRIPSI%20LENGKAP-HMP-
UMMU%20KALSUM.pdf?sequence=1,> Selasa 23 Mei 2017, pukul 20.00, hlm. 15-16
l. Psychology of policing and Investigations (psikologi polisi dan investigasi); Sentencing
and Incarceration (pemidanaan dan penahanan/pemenjaraan);
m. Symptoms and Disorders Relevant to forensic Assesment (penilaian forensik terhadap
gejala dan penyakit yang relevan)
n. Trial Processes (proses persidangan pengadilan)
o. Victim Reactions to crime (reaksi korban terhadap kejahatan)
p. Violence Risk Assessment (penilaian risiko kekerasan).

4. Kajian Psikologi Hukum


Kajian psikologi hukum menekankan pada faktor psikologis yang memengaruhi perilaku
individu ataupun kelompok dalam segala tindakannya di bidang hukum. Misalnya, bagaimana
sikap atau perilaku polisi dalam menjalankan tugasnya untuk mencegah dan mengatasi terjadinya
pelanggaran dan kejahatan serta bagaimana perilaku jaksa dalam melakukan penyidikan,
penahanan, dan penuntutan terhadap seorang tersangka, serta bagaimana perilaku atau sikap
hakim dalam memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan sebuah keputusan. Kondisi psikologis
hakim dapat memberikan pengaruh terhadap putusannya, maupun tindakan aktor-aktor penegak
hukum lainnya (Hendra dan Rosleny, 2011: 139). Demikian pula, para aktor yang terlibat di
dalam proses persidangan di pengadilan, baik hakim, jaksa, pengacara maupun para klien
(pencari keadilan), semua mempunyai karakter yang berbeda-beda tergantung pada proses
sosialisasi yang mereka lalui. Perilaku yang berbedadari para aktor yang terlibat di dalam proses
peradilan, tidak memungkinkan lahirnya atau terciptanya suatu putusan yang netral. Untuk
memahami perilaku dari setiap aktor hukum, diperlukan penerapan psikologi hukum4.

5. Jenis-jenis Pendekatan Psikologi Hukum


Jadi menurut Blackburn(1995:1996) yang dikutip oleh Andreas Kapardis (Buku Ajar Psikologi
Hukum oleh Achmad Ali, 2009:7) ada beberapa jenis-jenis pendekatan psikologi hukum itu
sendiri diantaranya:
a. Psikologi Di Dalam Hukum (psychology in law)
Menurut Blackburn psikologi di dalam hukum mengacu pada penerapan-
penerapan spesifik psikologi di dalam hukum.Seperti persoalan kehandalan kesaksian
4
Ibid, hlm. 55
mata, kondisi mental terdakwa dan orang tua mana yang cocok, ibu atau ayah untuk
diterapkan sebagai wali pemeliharaan anak dalam kasus perceraian. Kehandalan saksi
mata menjadi salah satu pertanyaan yang penting agar hakim dapat menentukan dapat
meyakini keterangan saksi tersebut atau tidak. Demikian juga kondisi mental terdakwa
di persidangan, merupakan salah satu objek kajian dari psikologi di dalam hukum. Kita
sering menyaksikan si Terdakwa menjawab tidak ingat dan tidak jarang Majelis Hakim
atau Penuntut Umum seolah tidak menerima mengapa si Terdakwa tidak ingat lagi,
padahal dengan menggunakan pendekatan psikologi di dalam hukum bukan hal aneh
bahwa terdakwa yang karena kondisi mentalnya menjadi gugup di hadapkan di suatu
persidangan yang terbuka. Sehingga menjadi tidak ingat lagi suatu peristiwa yang dalam
kondisi mental yang normal, seyogyanya diingatnya.

b. Psikologi dan Hukum (psychology and law)


Psikologi dan hukum mencakup contohnya riset psikologi hukum tentang para
pelanggar hukum juga riset-riset psikologi hukum terhadap perilaku polisi, advokat
(pengacara), jaksa, dan hakim (atau juga juri, dalam suatu peradilan yang menggunakan
sistem juri).

c. Psikologi Tentang Hukum (psychology of law)


Psikologi tentang hukum digunakan untuk mengacu pada riset psikologi tentang
isu-isu seperti: mengapa orang menaati hukum, riset tentang perlembagaan moral dari
komunitas tertentu, riset tentang persepsi dan sikap politik terhadap berbagai sanksi
pidana. Kaitan dengan mengapa orang menaati hukum, maka teori yang terkenal adalah
teori tiga jenis ketaatan hukum dari H.C.Kelman yaitu;
- Ketaatan yang bersifat compliance yaitu seseorang yang menaati hukum
hanya karena takut akan sanksi.
- Ketaatan yang bersifat identification yaitu seseorang yang menaati hukum
hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak.
- Ketaatan yang bersifat internalization yaitu seseorang yang menaati hukum
benar-benar karena aturan hukum cocok dengan nilai intrinsik yang
dianutnya,sesuai dengan rasa keadilannya, dan dapat memenuhi kepentingan
subjektifnya.

d. Psikologi Forensik (forensic psychology)


Adapun psikologi forensic menunjukkan penyediaan langsung informasi
psikologi untuk pengadilan-pengadilan, sehingga dinamakan juga psychology in the
courts. Salah satu contohya, jika majelis hakim meminta agar terdakwa diperiksa
kewarasannya oleh tim psikiater, untuk dapat memutuskan ada tidaknya unsur dapat di
pertanggungjawabkan suatu tindak pidana tertentu. Sebagaimana diketahui bahwa di
dalam hukum pidana, yaitu Pasal 44 ayat (1) KUHP, pada prinsipnya ditentukan bahwa
salah satu alasan menghilangkan tindak pidana adalah bahwa tidaklah dapat dipidana
seseorang yang melakukan suatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada dirinya, oleh karena dia tidak waras, yaitu daya berpikirnya kurang berkembang
atau pikirannya terganggu oleh suatu penyakit (gebrekkige ontwikkeling of ziekelijke
storing zijner verstandelijke vermogens). Jadi alasan ketidakwarasan ini, dari perspektif
hukum pidana merupakan alasan yang berasal dari dalam diri si pelaku dan khusus
kondisi psikologinya5.

6. Kasus Jessica Wongso Dalam Telaah Psikologi Hukum


Adapun kronologis kasus tersebut yakni Pada tanggal 6 Januari 2016, Wayan Mirna
Salihin, 27 tahun, meninggal dunia setelah meminum Kopi es vietnam di Olivier Caf, Grand
Indonesia. Saat kejadian, Mirna diketahui sedang berkumpul bersama kedua temannya, Hani
dan Jessica Kumala Wongso. Menurut hasil otopsi pihak kepolisian, ditemukan pendarahan
pada lambung Mirna dikarenakan adanya zat yang bersifat korosif masuk dan merusak
mukosa lambung. Belakangan diketahui, zat korosif tersebut berasal dari asam sianida.
Sianida juga ditemukan oleh Puslabfor Polri di sampel kopi yang diminum oleh Mirna.
Berdasarkan hasil olah TKP dan pemeriksaan saksi, polisi menetapkan Jessica Kumala
Wongso sebagai tersangka. Jessica dijerat dengan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan
berencana.

5
Diakses dari <http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/9716/SKRIPSI%20LENGKAP-HMP-
UMMU%20KALSUM.pdf?sequence=1,> Selasa 23 Mei 2017, pukul 20.00, hlm. 18

Anda mungkin juga menyukai