Anda di halaman 1dari 14

TEORI PEMIDANAAN

Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu


Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana pada Program
Studi Hukum Tata Negara (HTN) 6

Oleh:
KELOMPOK 2 (DUA)
DARUS SALAM
NIM: 01184161

JUWITA INRI ASTUTI


NIM: 01184176

ARDIANSYAH AGUS
NIM: 01184158

CHANDRA WIJAYA
NIM: 01184151

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE


2020

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah ini.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Watampone, Januari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii   
BAB I PENDAHULUAN   1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN  3  
A. Pengertian Pemidanaan 3
B. Tujuan Pemidanaan 3
C. Teori Pemidanaan 4
BAB III PENUTUP  10
A. Simpulan 10
B. Saran 10
DAFTAR RUJUKAN 11 

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar  Belakang
Hukum merupakan suatu pedoman yang mengatur pola hidup manusia
yang memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan ketentraman hidup
bagi masyarakat. Oleh karena itulah, hukum mengenal adanya adagium ibi
societes ibi ius. Adagium ini muncul karena hukum ada karena adanya
masyarakat dan hubungan antar individu dalam bermasyarakat. Hubungan
antar individu dalam bermasyarakat merupakan suatu hal yang hakiki sesuai
kodrat manusia yang tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah
makhluk polis, makhluk yang bermasyarakat (zoon politicon).1
Semua hubungan tersebut diatur oleh hukum, semuanya adalah
hubungan hukum (rechtsbetrekkingen). Maka untuk itulah dalam mengatur
hubungan-hubungan hukum pada masyarakat diadakan suatu kodifikasi
hukum yang mempunyai tujuan luhur yaitu menciptakan kepastian hukum dan
mempertahankan nilai keadilan dari subtansi hukum tersebut. Sekalipun telah
terkodifikasi, hukum tidaklah dapat statis karena hukum harus terus
menyesuaikan diri dengan masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan hukum
publik karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak dan
berlaku secara umum.2
Seiring perkembangan zaman permasalahan di bidang hukumpun
semakin hari semakin rumit dan kompleks. Khususnya lagi dalam hukum
pidana yang mencita-citakan lahirnya sebuah kodifikasi baru pengganti Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP saja) warisan
kolonial yang telah terlalu jauh tertinggal oleh zaman. Patut dicatat,
pembaharuan hukum pidana selalu menimbulkan pertentangan-pertentangan
pendapat yang tidak hanya terjadi antara para ahli hukum saja melainkan juga

1Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana


Filsafat Hukum Indonesia, (Cet. I; P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995), h. 73.
2L.J. van Apeldoorn, pengantar Ilmu hukum, (Cet. I; P.T. Pradnya Paramita, Jakarta,
2000), h. 6.

1
melahirkan  pertentangan di tengah masyarakat. Pertentangan yang terjadi
tidak hanya mencakup persolan pembaharuan hukum pidana (penal
reform) nasional yang berkaitan dengan aturan umum dan rumusan deliknya
namun juga mencakup kebijakan criminal (criminal policy) yang merupakan
persoalan yang tak kalah penting guna mencegah meluasnya
perkembangan/kecendrungan kejahatan (crime trend).
Hukum pidana yang domeinnya sebagai hukum publik membuat
perkembangan hukum pidana selalu menjadi sorotan di tengah masyarakat.
Contoh kecil yang dapat kita lihat ialah bagaimana respon masyarakat yang
sangat antusias terhadap wacana penegasan ancaman pidana mati terhadap
terhadap para koruptor. Menurut Hegel Negara ialah realitas “Roh” atau
kesadaran, yang menjawab pertentangan dalam masyarakat. Tanpa Negara
pertentangan yang ada di dalam masyarakat tidak  dapat diselesaikan. Maka
menyikapi permasalahan dan pertentangan yang terjadi di dalam pembaharuan
hukum pidana, Negaralah yang harus mengambil kebijakan guna mencegah
terjadi pertentangan yang semakin meluas yang bukannya mendatangkan
solusi  melainkan melahirkan debat kusir yang tak bermakna.3

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian pemidanaan?
2. Bagaimanakah Tujuan Pemidanaan Indonesia ?
3. Bagaimana teori hukum pidana dalam teori pemidanaan ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian pemidanaan.
2. Untuk mengetahui Tujuan Pemidanaan Indonesia
3. Untuk mengetahui teori hukum pidana dalam teori pemidanaan

3 Darsono P, Karl Marx Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi, (Cet. I; Diadit Media,


Jakarta, 2006), h. 21.

2
BAB II
PEMBAHASAN

D. Pengertian Pemidanaan
Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana.
Untuk pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah-istilah yang lain,
yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan pidana, pemberian
pidana, dan hukuman pidana.
Sudarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang
sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu. Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai
reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja
ditimpakan Negara pada pelaku delik itu.4
“Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional,
dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat
berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering
digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang
pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan
istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna
sentral yang dapat menunjukan cirri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas”.
Pada dasarnya pidana dan tindakan adalah sama, yaitu berupa
penderitaan. Perbedaanya hanyalah, penderitaan pada tindakan yang lebih
kecil atau ringan daripada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan
pidana. Pidana berasal dari kata straf (Belanda) yang adakalanya disebut
dengann istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman,
karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.5
Berdasarkan pengertian pidana di atas dapatlah disimpulkan bahwa
pidana mengandung unsur-unsur dan ciri-ciri, yaitu (1) pidana itu pada
hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-

4 Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana. (Cet. I; Sinar Grafika. Jakarta. 2012), h. 185.
5Adama Chazawi.2013, Pelajaran Hukum Pidana I,(Cet. I; Rajawali Pers, Jakarta), h.
23-24.

3
akibat lain yang tidak menyenangkan; (2) pidana itu diberikan dengan sengaja
oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang),
dan (3) pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang, dan (4) pidana itu merupakan pernyataan
pencelaan oleh negara atas diri seseorang karena telah melanggar hukum.

E. Tujuan Pemidanaan
Sebagaimana telah terurai, pemidanaan secara sederhana dapat
diartikan dengan penghukuman. Penghukuman yang dimaksud berkaitan
dengan penjatuhan pidana dan alasan-alasan pembenar (justification)
dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang dengan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan
secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Tentunya, hak
penjatuhan pidana dan alasan pembenar penjatuhan pidana serta
pelaksanaannya tersebut berada penuh di tangan negara dalam realitasnya
sebagai roh.6
Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Barda Nawawi Arief : bahwa
tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana tidak
terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti keseluruhannya yaitu
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu untuk
menjawab dan mengetahui tujuan serta fungsi pemidanaan, maka tidak
terlepas dari teori-teori  tentang pemidanaan yang ada.
Patut diketahui, bahwa tidaklah semua filsuf ataupun pakar hukum
pidana sepakat  bahwa negaralah yang mempunyai hak untuk melakukan
pemidanaan (subjectief strafrech). Hal ini dapat terlihat jelas pada pendapat
Hezewinkel-Suringa yang mengingkari sama sekali hak mempidana ini
dengan mengutarakan keyakinan mereka bahwa si penjahat tidaklah boleh
dilawan dan bahwa musuh tidaklah boleh dibenci. Pendapat ini dapat
digolongkan sebagai bentuk negativisme, dimana  para ahli yang sependapat

6Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Cet. I; PT. Refika


Aditama, Bandung, 2008), h. 23.

4
dengan Suringa tersebut menyatakan hak menjatuhkan pidana sepenuhnya
menjadi hak mutlak dari Tuhan.
Negativisme yang dimaksud di atas, penulis anggap sebagai bentuk
penegakan hukum secara utopis di masa sekarang ini, dikarenakan penegakan
hukum agama menganggap Negara adalah perpanjangan tangan Tuhan di
dunia. Sementara itu, dewasa ini cenderung untuk mengkotomikan antara
konsep-konsep sistem pemerintahan dan penegakan hukum dengan ajaran-
ajaran agama tertentu. Bagi kalangan religius hal ini dianggap menuju arah
paham sekularisme (walaupun tidak secara absolut), namun hal ini semakin
hari-hari semakin banyak dipraktekkan pada banyak Negara pada sistem
ketatanegaraan yang berimplikasi pada bentuk hukum pidana positif. Hal ini
dapat terlihat jelas pada Negara kita dengan tidak diberlakukannya hukum
agama secara mutlak dalam hukum nasional kita (faktor kemajemukan sosial)
dan juga pada Negara-negara lainya.
Jadi, dapatlah kita berpedoman pada mazhab wiena yang menyatakan
hukum dan negara adalah identik, karena adalah tak lain daripada satu susunan
tingkah laku manusia dan satu ketertiban paksaan kemasyarakatan.7

F. Teori Pemidanaan
Menurut Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli
hukum terkemuka dalam hukum pidana, mengemukakan teori pemidanaan
atau penghukuman dalam hukum pidana dikenal ada tiga aliran yaitu:
1. Absolute atau vergeldings theorieen (vergelden/imbalan)
Aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari
pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar
hubungan yang dianggap sebagai pembalasan, imbalan (velgelding)
terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena kejahatan itu
menimbulkan penderitaan bagi si korban.
2. Relative atau doel theorieen (doel/maksud, tujuan)

7Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian I, (Cet. I; PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2008),


h. 67.

5
Dalam ajaran ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari
pemidanaan adalah bukan velgelding, akan tetapi tujuan (doel) dari pidana
itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan
pemidanaan itu, artinya teori ini mencari mamfaat daripada pemidanaan
(nut van de straf)
3. Vereningings theorieen (teori gabungan)
Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnnya yang kurang dapat
memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut
ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada
kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di
samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan
daripada hukum.8
Kembali berbicara mengenai tujuan pemidanaan, bahwa pada
prinsipnya  tujuan tersebut termaktub dalam berbagai teori pemidanaan
yang lazim dipergunakan. Secara garis besar, teori pemidanaan terbagi dua
dan dari penggabungan kedua teori pemidanaan tersebut lahir satu teori
pemidanaan lainnya. Adapun tiga teori pemidanaan  yang dijadikan alasan
pembenar penjatuhan pidana :
a. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien),
b. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien),
c. Teori gabungan (verenigingstheorien).
4. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).
Teori ini juga dikenal dengan teori mutlak ataupun teori imbalan
dan teori ini lahir pada akhir abad ke-18. Menurut teori-teori absolut ini,
setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana — tidak boleh tidak — tanpa
tawar-menawar.  Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan
kejahatan. Maka, pemberian pidana disini ditujukan sebagai bentuk
pembalasan terhadap orang yang telah melakukan kejahatan.9

8Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, (Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta,
2010), h. 56.
9Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, (Cet. I; Liberty, Yogyakarta, 1988),
h. 47.

6
Ada banyak filsuf dan dan ahli hukum pidana yang menganut teori
ini, diantaranya ialah Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, JJ Rousseau.
Dari banyak pendapat ahli tersebut penulis tertarik dengan pendapat yang
disampaikan Hegel mengenai argumennya terhadap hukuman bila
dikolerasikan dengan teori absolut. Dimana hukuman dipandang dari sisi
imbalan sehingga hukuman merupakan dialectische vergelding. Hal ini
memperlihatkan bahwa pembalasan (vergelding) diuraikan dengan nuansa
dialektika sebagaimana pola Hegel berfilsafat.
 Jadi, dalam teori ini pidana dapat disimpulkan sebagai bentuk
pembalasan yang diberikan oleh negara  yang bertujuan menderitakan
penjahat akibat perbuatannya. Tujuan pemidanaan sebagai pembalasan
pada umumnya dapat menimbulkan rasa puas bagi orang, yang dengan
jalan menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatan yang telah
dilakukan.
5. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien).
Lahirnya teori ini menurut penulis merupakan suatu bentuk
negasi  terhadap teori absolut (walaupun secara historis teori ini bukanlah
suatu bentuk penyempurnaan dari teori absolut) yang hanya menekankan
pada pembalasan dalam penjatuhan hukuman terhadap penjahat. Teori
yang juga dikenal dengan nama teori nisbi ini menjadikan dasar
penjatuhan hukuman pada tujuan dan maksud hukuman sehingga
ditemukan manfaat dari suatu penghukuman (nut van destraf).
Teori ini berprinsip penjatuhan pidana guna menyelenggarakan
tertib masyarakat yang bertujuan membentuk suatu prevensi kejahatan.
Wujud pidana ini berbeda-beda: menakutkan, memperbaiki, atau
mebinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum dan khusus. Prevensi umum
menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik.
Feurbach sebagai salah satu filsuf penaganut aliran ini berpendapat
pencegahan tidak usah dilakukan dengan siksasaan tetapi cukup dengan
memberikan peraturan yang sedemikian rupa sehingga bila orang setelah
membaca itu akan membatalkan niat jahatnya. Selain dengan pemberian

7
ancaman hukuman, prevensi umum (general preventie) juga dilakukan
dengan cara penjatuhan hukuman dan pelaksanaan hukuman (eksekusi).
Eksekusi yang dimaksud dilangsungkan dengan cara-cara yang kejam agar
khalayak umum takut dan tidak melakukan hal yang serupa yang
dilakukan oleh si penjahat.10
Seiring perkembangan zaman, apa yang menjadi substansi tujuan
pemidanaan sebagaimana yang terurai dalan prevensi umum menuai
kritikan. Salah satu kritikan yang paling mendasar dapat penulis
perlihatkan berdasarkan pendapat Dewey yang menyatakan :
Banyak pelaku kejahatan tidak mempertimbangkan hukuman.
Terkadang karena mereka mengalasakit jiwa ayau “feebleminded” — atau
berbuat dibawah tekanan  emosi yang berat. Terkadang ancaman hukuman
itu menjadikan mereka seolah-olah dibujuk. Banyak tahanan yang
mengemukakan reaksi kejiwaaannya dikala proses dari pelanggaran
undang-undang. Semua ini memperlihatkan bahwa sesunggyhnya hanya
sedikit yang mempertimbangkan undang-undang penghukuman.
Pada prevensi khusus, tujuan pemidanaan ditujukan kepada pribadi
si penjahat agar ia tidak lagi mengulangi perbuatan yang dilakukannya.
Van Hamel dalam hal ini menunjukkan bahwa prevensi khusus dari suatu
pidana ialah :
a. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah
penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melakukan niat
buruknya.
b. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki si terpidana.
c. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin
diperbaiki.
d. Tujuan satu-satunya pidana ialah mempertahnkan tertib hukum.
Maka dapat disimpulkan bahwa dalam teori relatif, negara dalam
kedudukannya sebagai pelindung masyarakat menekankan penegakkan

10 Sutherland & Cressey (disadur oleh Sudjono D), The Control of Crime Hukuman
dalam Perkembangan Hukum Pidana, (Cet. I; Tarsito, Bandung, 1974), h. 62.

8
hukum dengan cara cara prenventif guna menegakkan tertib hukum dalam
masyarakat.
6. Teori gabungan (verenigingstheorien).
Teori gabungan merupakan suatu bentuk kombinasi dari teori
absolut dan teori relatif yang menggabungkan sudut pembalasan dan
pertahanan tertib hukum masyarakat. Dalam teori ini, unsur pembalasan
maupun pertahanan tertib hukum masyarakat tidaklah dapat diabaikan
antara satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan penekanan atau sudut dominan dalam peleburan
kedua teori tersebut ke dalam bentuk teori gabungan, teori ini dibedakan
menjadikan tiga bentuk yaitu, teori gabungan yang menitikberatkan unsur
pembalasan, teori gabungan teori gabungan yang menitikberatkan
pertahanan tertib masyarakat, dan teori gabungan yangmemposisikan
seimbang antara pembalasan dan pertahanan tertib masyarakat.
Menurut, Wirjono Prodjodikoro, bagi pembentuk undang-undang
hukum pidana, bagi para jaksa dan hakim tidak perlu memilih salah satu
dari ketiga macam teori hukum pidana tersebut dalam menunaikan tugas.
Penulis dalam hal ini secara tegas menyatakan sepakat dengan apa yang
disampaikan Wirjono Prodjodikoro dikarenakan nilai-nilai keadilan
bukanlah didasarkan dari teori apa yang dianut melainkan berdasarkan
unsur humanis yang berkenaan dengan kondisi masyarakat dan si pembuat
(penjahat) yang diproses melalui perpaduan logika dan hati yang terlahir
dalam sebuah nurani.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Barda Nawawi Arief : bahwa
tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana tidak
terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti keseluruhannya yaitu
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu untuk
menjawab dan mengetahui tujuan serta fungsi pemidanaan, maka tidak
terlepas dari teori-teori  tentang pemidanaan yang ada.
Kembali berbicara mengenai tujuan pemidanaan, bahwa pada
prinsipnya  tujuan tersebut termaktub dalam berbagai teori pemidanaan yang
lazim dipergunakan. Secara garis besar, teori pemidanaan terbagi dua dan dari
penggabungan kedua teori pemidanaan tersebut lahir satu teori pemidanaan
lainnya. Adapun tiga teori pemidanaan  yang dijadikan alasan pembenar
penjatuhan pidana : 1) Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings
theorien), 2) Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien), dan 3) Teori
gabungan (verenigingstheorien).

B. Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan
manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah kami.

10
DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamza, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari retribusi ke


reformasi.Pradnya Paramita,  1985
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1995,
 L.J. van Apeldoorn, pengantar Ilmu hukum, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta, 2000
Darsono P, Karl Marx Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi, Diadit Media, Jakarta,
2006.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika
Aditama, Bandung, 2008

11

Anda mungkin juga menyukai