Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH MENGENAL SISTEM PEMILU DALAM PERSPEKTIF DEMOKRASI

Disusun oleh: Fuji Aotari Wahyu Anggraeni, 1106022534 Garini Katia Yunita, Gery Fathurrachman, Gessy Rachmadia, Hanry Ichfan Adityo, 1106055936 1106055860 1106006070 1106002570

Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester Mata Kuliah Hukum Tata Negara Semester Genap Tahun Akademik 2011/2012

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA 2012

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demokrasi1 merupakan pemerintahan oleh rakyat. Ia merupakan sistem yang tegak di atas prinsip kedaulatan rakyat dimana rakyatlah dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.2 Demokrasi memiliki dua nilai pokok yang melekat yaitu: kebebasan (liberty) dan kesederajatan (equality), kebebasan disini berarti kebebasan yang bertanggung jawab serta bergerak dalam batas-batas konstitusi, hukum dan etika.3 Sedangkan kesederajatan mencakup lapangan hukum, ekonomi, sosial, dan politik. Demokrasi termasuk model yang tepat untuk mengelola kehidupan kenegaraan. Robert Dahl mencatat beberapa kelebihan demokrasi dibandingkan dengan rezim politik lain, yaitu: Pertama, demokrasi menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik; Kedua, demokrasi menjamin bagi warga negara sejumlah hak asasi yang tidak dapat diberikan oleh sistem-sistem yang tidak demokratis; Ketiga, demokrasi menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas sebagai warga negara daripada alternatif lain yang memungkinkan; Keempat, demokrasi membantu orang-orang untuk melindungi kepentingan pokok mereka; Kelima, hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi orang-orang untuk menggunakan kebebasan menentukan nasibnya sendiri, yaitu untuk hidup di

bawah hukum yang mereka pilih sendiri; Keenam, hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan
1

tanggung

jawab

moral;

Ketujuh,

demokrasi

membantu

That form of government in which the sovereign power resides in andis exercised by the whole body of free citizens; as distinguished from a monarchy, aristocracy, or oligarchy. According to the theory of a pure democracy, every citizen should participate directly in the business of governing, and the legislative assembly should comprise the whole people. But the ultimate lodgment of the sovereignty being the distinguishing feature, the introduction of the representative system does not remove a government from this type. However, a government of the latter kind is sometimes specifically described as a representative democracy. (Blacks Law Dictionary) 2 Moh. Kusnardi dan harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara di Indonesia. cet. keenam. (Jakarta: Dian Rakyat, 1989). hlm 328. 3 H. Didik Sukriono, S.H., M.Hum dalam Jurnal Konstitusi Pusat Kajian Konstitusi Universitas Kanjuruhan Malang, vol II.

perkembangan manusia lebih total daripada alternatif lain yang memungkinkan; Kedelapan, hanya pemerintah yang demokratis yang dapat membantu

perkembangan kadar persamaan politik yang relatif tinggi; Kesembilan, negaranegara demokrasi perwakilan modern tidak pernah berperang satu sama lain; Kesepuluh, negara-negara dengan pemerintahan yang demokratis cenderung lebih makmur daripada negara-negara dengan pemerintahan yang tidak demokratis.4 Salah satu perwujudan dari demokrasi ialah dilaksanakannya pemilihan umum. Di dalam
5

International Commission of Jurist, bangkok tahun 1965,

dirumuskan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas merupakan salah satu syarat dari enam syarat dasar bagi negara demokrasi perwakilan di bawah rule of law. Selanjutnya juga dirumuskan definisi tentang suatu pemerintahan demokrasi bedasarkan perwakilan, yaitu: suatu bentuk

pemerintahan dimana warga negara melaksanakan hak yang sama tetapi melalui wakil-wakil yang dipilih dan bertanggung jawab kepada mereka melalui proses pemilihan-pemilihan yang bebas.6 Sistem pemilihan ialah seperangkat metode yang mengatur warga negara memilih para wakilnya. Peserta pemilihan umum dapat bersifat kelembagaan atau perorangan calon wakil rakyat. Dapat tergolong perorangan apabila yang dicalonkan adalah bersifat pribadi. 7 Dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti DPR atau DPRD, sistem pemilihan ini bisa berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih kedalam suatu kursi di lembaga legislatif atau parlemen. Namun, ketika pemilihan itu terjadi pada seorang calon anggota legislatif, sistem pemilihan itu bisa berwujud seperangkat metode untuk menentukan seorang pemenang bedasarkan jumlah suara yang

Robert Dahl, dalam didik Supriyanto, Melihat Pemilu dari Berbagai Sisi, www.panwaslulampung.blogspot.com/2008/11/berita-pemilu-nasionaldaerah-kpu_03.html. 5 One at which the officers to be elected are such as belong to the general government (Blacks Law Dictionary). 6 Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 2000). hlm. 1. 7 Lihat mengenai ketentuan calon peserta pemilu, baik itu calon anggota DPR, DPD, DPRD, maupun bagi calon presiden dan wakil presiden dalam UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No. 23 Tahun 2003.

diperolehnya. Dalam bahasa sederhana, sistem pemilihan ini pada dasarnya berkaitan dengan cara pemberian suara, perhitungan suara dan pembagian kursi.8 Dalam makalah ini secara khusus akan membahas mengenai sistem pemilu beserta kebijakan-kebijakan yang lahir terkait dengan penerapan sistem pemilu di Indonesia.

1.2

PERUMUSAN MASALAH Dalam makalah yang berjudulMengenal Sistem Pemilu Dalam Perspektif

Demokrasi di Indonesia ini, permasalahan yang akan dibahas adalah: 1.Bagaimanakah substansi pemilu sebagai parameter demokrasi ? 2.Apa sajakah sistem pemilu yang berlaku di Negara-negara Demokrasi ? 3.Bagaimanakah kebijakan pemilihan umum di Indonesia ?

1.3

METODE PENULISAN Makalah disusun menggunakan metode studi kepustakaan, yaitu dengan

mengumpulkan sumber penulisan dari berbagai literatur, media internet serta bahan-bahan pustaka lainnya.

Valina Singka Subekti, 1998. Electoral Law Reformas A Prerequisite to Create democratization in Idonesia. Makalah yang sisampaikan pada International Conference tentang Towards Structural for Democratization in Indonesia: problems and Prospects, Jakarta.

BAB II PEMBAHASAN

2.1

Demokrasi Istilah demokrasi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu demos

(rakyat) dan kratos/kratein (pemerintahan).

Secara sederhana, demokrasi

didefinisikan sebagai suatu sistem pemerintahan dengan mengikutsertakan rakyat.9 Di mana setiap warga negara mempunyai suara dalam pelaksanaan kekuasaan dan ikut ambil bagian secara nyata.10 Lebih jauh dari itu, demokrasi dikatakan sebagai spirit (ide) dan institusionalisasi dari prinsip-prinsip kebebasan dan kesamaan dengan segala deritatifnya menuju persetujuan politik melalui kedaulatan suara mayoritas yang dimasukkan dalam kerangka yuridis. 11 Jiwa dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat, di mana keduanya bagai dua sisi mata uang dan selalu diperbincangkan hampir bersamaan. Hal ini dikarenakan dalam demokrasi kedaulatan rakyat diakui. Samuel P. Huntington (1997) menyatakan sebuah sistem politik sudah dapat ikatakan demokratis bila para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan berkala, dan di dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara.12 2.2 Teori Kedaulatan Rakyat Apa itu kedaulatan? Secara etimologi, kata kedaulatan berarti superioritas belaka, tapi ketika diterapkan dalam negara, kata tersebut berarti superioritas dalam arti khusus, yaitu superioritas yang mengisyaratkan adanya kekuasaan untuk membuat hukum (law-making power).13 Jika kekuasaan

Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2001), hlm.82 10 John Stuart Mill, On Liberty (Perihal Kebebasan), Diterjemahkan oleh Alex Lanur, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. xx 11 Hendra Nurthjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm.83. 12 Samuel. P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta: Grafiti, 1997) hlm.5-6. 13 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung:Penerbit Binacipta,1966), hal. 94

dikonstruksikan dalam kerangka yuridis, maka kekuasaan disebut sebagai kedaulatan.14 Sehingga kedaulatan adalah kekuasaan dalam perspektif yuridis. Dari segi perkembangan logis historis, terdapat lima teori dengan pendekatan absolut. Salah satu dari lima teori tersebut adalah teori kedaulatan rakyat.Menurut sejarah hukum, teori kedaulatan rakyat muncul sebagai reaksi atas teori kedaulatan raja yang telah ada sebelumnya. Jean Jacques Rousseau, seorang ahli hukum yang dikenal sebagai bapak teori kedaulatan rakyat, menciptakan teori fiksi mengenai perjanjian masyarakat (kontrak sosial) dalam bukunya yaitu Du Contract Social. Beliau mengungkapkan bahwa manusia dalam masyarakat telah mengadakan perjanjian masyarakat (kontrak sosial) yang bertujuan untuk membentuk suatu badan (pemerintah) yang diserahi kekuasaan untuk menyelenggarakan ketertiban dalam masyarakat, dan untuk memaksa siapa saja yang melanggar peraturan yang telah dibuat. 15 2.3 Pemilu Cukup banyak pengertian mengenai pemilihan umum. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan pemilihan umum sebagai proses, cara perbuatan memilih yang dilakukan serentak oleh seluruh rakyat suatu negara. Dieter Nohler (2008), seorang ahli hukum, mengartikan pemilihan umum dalam dua pengertian; dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, pemilihan umum adalah ...segala proses yang berhubungan dengan hak pilih, administrasi pemilihan dan perilaku pemilih. Sedangkan pengertian dalam arti sempit adalah ...cara dengan mana pemilih dapat mengekspresikan pilihan politiknya melalui pemberian suara, di mana suara tersebut ditransformasikan menjadi kursi di parlemen atau pejabat publik. Ben Reilly (1999) mengatakan pada intinya pemilihan umum dirancang untuk memenuhi tiga hal,di mana ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tiga hal tersebut adalah :
14

Soehino, SH., Ilmu Negara, cet.1, (Yogyakarta:Liberty,1986),hal.79 dalam Moh. Kusnadi dan Bintan R.Saragih, Ilmu Negara, cet.3, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 1988), hal.163. 15 Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-Negara Lain, (Malang:Nusa media, 2007), hlm.28.

1. Menerjemahkan jumlah suara yang diperoleh dalam pemilihan umum menjadi kursi-kursi di badan legislatif; 2. Sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab atau janji-janji wakil yang telah mereka pilih;16 3. Memberikan intensif kepada mereka yang memperebutkan kekusaan untuk menyusun imbauan kepada para pemilih dengan cara berbeda-beda. Sebelum menguraikan mengenai berbagai jenis pemilihan umum, patut diingat bahwa suatu sistem pemilihan umum memiliki dua tujuan. Dieter Roth menulis dalam bukunya dua tujuan sistem pemilihan umum yaitu : (1) untuk menentukan mayoritas yang layak memerintah dan (2) untuk sedapat mungkin mewujudkan dalam lembaga perwakilan sebagaimana yang ada dalam partai. Seperti apapun sistem yang dipilih, ia akan berkecenderungan pada salah satu dari dua tujuan di atas. Prof. Jimly Asshiddiqie (2006) mengelompokkan sistem pemilihan umum menjadi dua macam, yaitu : 1. Sistem pemilihan mekanis.Dalam sistem pemilihan mekanis, rakyat dipandang sebagai massa individu yang menyandang hak dan memiliki satu suara dalam pemilihan. Sistem pemilihan mekanis lebih umum dibanding sistem pemilihan organis. 2. Sistem pemilihan organis. Dalam sistem pemilihan organis, rakyat dipandang sebagai massa individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan genealogis, fungsi tertentu, lapisan sosial, dan lembagalembaga sosial. Sehingga persekutuan-persekutuan itulah yang diutamakan sebagai penyandang dan pengendali hak pilih. 17

16

Joko J. Prihatmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, (Semarang:LP21 Press, 2003), hlm.28. 17 Jimli Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hlm.179-180.

2.4

Sistem Pemilu

A. Sistem pemilihan organis Merupakan sistem pemilihan yang menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup. Masyarakat adalah suatu organisme yang terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalite organisme itu. Persekutuan-persekutuan tersebutlah yang mengatur dan mengendalikan

kepentingan-kepentingan individu didalamnya. Dalam merumuskan kepentingan, persekutuan membentuk dewan atau majelis yang terdiri dari orang-orang yang matang secara ideologis, berpengalaman, dapat dipercaya, tidak tercela, tidak pernah menghianati rakyat yang tergabung dalam persekutuan. B. Sistem pemilihan mekanis Sistem pemilihan mekanis dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu sistem pemilu distrik (single member constituency) dan sistem pemilu

berimbang/proporsional (multi member constituency). 1. Sistem pemilu distrik Sistem pemilu distrik adalah sistem yang ditentukan berdasar pada kesatuan geografis dimana setiap geografis/distrik hanya dapat memilih seorang wakil saja. Jumlah distrik yang dibagi sama dengan jumlah anggota parlemen. Dimana dalam satu daerah pemilihan hanya memilih satu wakil (the winner take all atau zero sum game) atau single member constituency. Sistem ini adalah sistem pemilihan paling tua dan didasarkan pada satu kesatuan daerah pemilihan (distrik). Setiap daerah pemilihan hanya memiliki satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Jumlah dewan perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah daerah pemilihan. Calon Anggota DPRD dalam satu daerah pemilihan (distrik) yang memperoleh suara terbanyak atau menang berhak untuk duduk di dewan perwakilan rakyat mewakili rakyat di daerah pemilihannya. Seberapapun selisih kemenangannya. Sedangkan suara-suara pemilih yang ditujukan kepada calon lain akan tetapi tidak menang (kalah) dalam pemilihan umum dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi. Kelemahan:

Kurang memperhitungan parpol-parpol kecil dan kelompok minoritas, apalagi jika kelompok minoritas tersebar di beberapa daerah pemilihan ;

Kurangnya keterwakilan karena suara-suara yang tidak memilih calon yang menang akan hilang dan tidak diperhitungkan sama sekali. Jika suara yang hilang mencapai jumlah besar akan diprotes karena dianggap tidak adil oleh kelompok-kelompok yang merasa dirugikan ;

Wakil rakyat terpilih akan cenderung lebih memperhatikan rakyat di distriknya dibandingkan dengan distrik-distrik lain.

Kelebihan Wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk di daerah pemilihan, sehingga hubungannya dengan penduduk lebih erat. Faktor

personalitas dan kepribadian seseorang merupakan aktor penting ; Lebih mendorong penyatuan parpol-parpol karena kursi yang diperebutkan hanya satu. Sehingga akan terjadi penyederhanaan parpol-parpol tanpa adanya paksaan ; Berkurangnya parpol dan meningkatkan kerjasama atau koalisi antara parpol-parpol sehingga mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil ; 2. Sistem pemilu proporsional Dalam sistem pemilu ini satu daerah pemilihan dapat memilih beberapa wakil atau multi member constituency. Secara mendasar jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu kelompok atau parpol adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Negara dianggap sebagai suatu daerah pemilihan yang besar, dan untuk keperluan teknis administratif terbagi ke dalam beberapa daerah pemilihan yang besar. Dimana setiap daerah pemilihan memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam daerah pemilihan tersebut. Dalam sistem ini setiap suara dihitung. Suara lebih suatu parpol dalam suatu daerah pemilihan dapat ditambahkan pada jumlah suara yang diterima oleh parpol itu dalam daerah pemilihan lain untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memperoleh kursi tambahan. Sistem ini sering dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain diantaranya sistim daftar (list system). Dimana

setiap parpol mengajukan satu daftar calon dan pemilih memilih salah satu daftar dari parpol. Dengan demikian pemilih memilih satu partai dengan daftar calon yang diajukan untuk berbagai macam kursi yang diperebutkan. Sistem pemilu proporsinal yaitu suatu sistem dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. Jumlah kursi yang diperoleh sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh b. Wilayah negara dibagi-bagi kedalam daerah-daerah tetapi batas batasnya lebih besar daripada batas sistem distrik c. Kelebihan suara dari jatah satu kursi bisa dikompensasikan dengan kelebihan daerah lain d. Terkadang, dikombinasikan dengan sistem daftar (list system), dimana daftar calon disusun berdasarkan peringkat Kelemahan Mempermudah fragmentasi dan timbulnya partai-partai baru; Wakil lebih terikat dan loyal dengan partai dari pada rakyat atau daerah yang diwakilinya; Banyaknya partai bisa mempersulit terbentuknya pemerintah stabil.

Kelebihan Bersifat representatif dalam arti setiap suara diperhitungkan dan tidak ada suara yang hilang ; Golongan minoritas seberapapun kecilnya, dapat menempatkan wakilnya dalam parlemen. Struktur masyarakat yang heterogen umumnya lebih tertarik dengan sistem ini karena dianggap lebih menguntungkan bagi masing-masing golongan.

2.5

Kebijakan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia Politik hukum dapat diartikan sebagai kebijakan negara tentang hukum

yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan di dalam negara. Bentuknya dapat berupa pembentukan hukum-hukum baru atau pencabutan dan penggantian hukum-hukum lama untuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain kebijakan Negara tentang hukum termasuk hukum pemilu dimungkinkan untuk membentuk hukum yang baru atau mengganti hukum yang lama sebagai

upaya menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Demikian pula dilihat dari segi daya laku norma sebuah norma hukum ada yang berlaku sekali selesai (einmahlig) dan berlaku terus menerus (dauerhaftig). Sehubungan hal ini dikaitkan dengan undang-undang pemilu di Indonesia, apakah ketika dibentuk bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat atau kebutuhan elit-elit politik memenuhi dahaga kekuasaan, sehingga norma hukum yang dituangkan kedalam undang-undang pemilu dimaksudkan untuk berlaku secara terus menerus atau berlaku satu kali lima tahun seusia dengan masa jabatan DPR? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya kita pelajari pembentukan undang undang pemilu khususnya setelah reformasi. Undang-undang tentang Pemilihan Umum yaitu UU No. 4 Tahun 2000 merupakan undang-undang perubahan atas UU No. 3 Tahun 1999. Dengan electoral threshold sebanyak 2% dari suara sah nasional, berdasarkan Electoral Threshold hanya 6 parpol yang berhak pemilu tahun 2004 yaitu: PDIP, GOLKAR, PKB, PPP, PAN, dan PBB. Tetapi dari segala macam aspirasi dan berbagai alasan pertimbangan ditambah dengan konfigurasi politik, terutama di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat, maka banyak muncul partai baru ditambah dengan partai lama dengan mengubah namanya, sehingga jumlah partai bertambah lagi sehingga menjadi 24 partai. Selanjutnya Tahun 2003 kembali katanya ingin menyerderhanakan partai melalui UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD. Undang-undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum digantikan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 merumuskan Electoral Threshold sebanyak 3 % dari suara sah nasional. Dari penerapan Electoral Threshold sebanyak 3 % hanya 7 parpol yang berhak pemilu 2009, yakni GOLKAR, PDIP, PKB, PPP,PAN, Partai Demokrat dan PKS. Meskipun sudah ditetapkan, keinginan untuk mengganti hal yang sudah disepakti terus berlanjut, sehingga lahirnya UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD. Berbeda dengan Undang-undang Pemilu terdahulu, UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD tidak lagi menggunakan Electoral Threshold (ambangbatas perolehan kursi) tapi Parliamentary Threshold (ambang batas perolehan suara), sehingga apabila parpol tidak memenuhi suara sah secara

nasional 2,5%, maka parpol yang bersangkutan tidak berhak mendapatkan kursi di parlemen (DPR). Dengan menggunakan Parliamentary Threshold, penyerderhaan parpol dapat dilakukan, paling tidak dari 38 parpol yang menjadi peserta Pemilu 2009, partai politik sampai tulisan ini dibuat yang berhak menduduki kursi DPR periode 2009 s.d 2014 adalah Partai Demokrat, PDIP, Partai GOLKAR, PKS, PKB, PPP, PAN, GERINDRA, dan HANURA. Pertanyaan yang timbul, apakah dengan diubahnya electoral threshold menjadi parliamentary threshold tujuan undang-undang penyederhanaan parpol sudah direalisasikan? Jawabannya sulit, karena: pertama, mudahnya pembentukan partai politik, sebagaimana yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik bahwa Partai politik didirikan dan dibentuk olehsekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang Warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akte notaris. Dari ketentuan itu terlihat bahwa pembentukan partai politik mudah dilakukan karena cukup mengumpulkan 50 (lima puluh) orang, meskipun masih ditambah dengan persyaratan lainnya. Kedua, mudahnya pembentukan parpol mendorong setiap orang atau kelompok orang untuk mendirikan partai politik. Oleh karena itu, di masa depan perlu diupayakan adanya kenaikan jumlah warga negara yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun untuk mendirikan partai politik paling sedikit 250 (dua ratus lima puluh) orang. Hampir sebagian besar partai politik menghadapi masalah sentralisasi yang terlalu kuat dalam organisasi partai, antara lain ditandai oleh sentralisasi dalam pengambilan keputusan di tingkat pengurus pusat (DPP) dan pemimpin partai. Hal ini membuat kepengurusan partai politik di daerah sering kali tidak menikmati otonomi politik dan harus rela menghadapi berbagai bentuk intervensi dari pengurus pusat partai. Dalam kaitan ini, penyempurnaan sistem kepartaian dalam rangka mendukung penguatan sistem pemerintahan presidensial dan perwakilan, perlu diatur ketentuan yang mengarah pada terbentuknya sistem multipartai sederhana, agar tercipta pelembagaan partai yang efektif dan kredibel, serta terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan penguatan basis dan struktur kepartaian. Meskipun ada parliamentary threshold, mengingat DPR dengan kedudukan, tugas dan fungsi yang kuat membuka peluang perubahan UU No. 10

tahun 2008 menjadi undang-undang sesuai dengan kepentingan untuk mencari, mempertahankan dan menambah kekuasaan dengan alasan sebagaimana yang pernah dilakukannya terhadap UU No 3 tahun 1999 sebagai berikut bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang undang Nomor 3 Tahun 1999 sudah tidak sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat, karena itu perlu diganti atau bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum serta adanya perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat, maka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Alasan ini diperkuat karena besarnya kekuasaan DPR dalam menentukan kebijakan negara yang dituangkan dalam undang undang termasuk UndangUndang Pemilu berkaitan dengan eksistensi dari DPR itu sendiri, bahkan bukan dapat berimplikasi kepada penyelenggaraan negara lainnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sofi an Effendi sebagai berikut Sebagai warga bangsa kita menyaksikan dan merasakan berbagai perkembangan yang menghawatirkan dalam kehidupan kenegaraan setelah UUD hasil 4 kali amandemen dilaksanakan. Kekuasaan legislatif yang too strong ternyata telah berkembang menjadi salah satu faktor penyebab lambannya pelaksanaan berbagai kebijakan dan program eksekutif yang pernah dijanjikan selama masa kampanye Calon Presiden dan Wakil Presiden.

BAB III PENUTUP

3.1

Kesimpulan Demokrasi sebagai pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat memiliki

nilai kebebasan dan kesederajatan. Wlaupun bebas, namun kebebasan tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan dan harus bergerak dalam batas konstitusi, hukum, dan etika serta kesederajatan berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat. Sebagai pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat, demokrasi dijadikan sebagai spirit (ide) dan institusionalisasi dari prinsip-prinsip kebebasan dan kesamaan untuk menciptakan suatu bentuk pemerintahan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Karena jiwa dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat, keduanya sering dianalogikan bagai dua sisi mata uang dan selalu diperbincangkan hampir bersamaan. Hal ini dikarenakan dalam demokrasi kedaulatan rakyat diakui. Pemilihan umum merupakan salah satu pencerminan dari adanya negara demokrasi karena dalam pemilihan umum setiap rakyat dibebaskan untuk memilih siapa saja dari calon pemimpin yang ada. Hal ini didukung dengan semboyan pemilihan umum "LUBER JURDIL" (Langsung Umum Bebas Rahasia Jujur Adil). Terdapat beberapa sistem yang digunakan dalam pemilihan umum yang masing-masing berbeda satu sama lainnya dan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Di Indonesia sendiri, pengaturan tentang pemilu telah beberapa kali mengalami perubahan. perubahan-perubahan ini dimaksudkan untuk

menyesuaikannya dengan kebutuhan masyarakat dimana setiap perubahannya mengupayakan untuk perubahan yang menuju kearah yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA Buku Al Marsudi, Subandi. 2001. Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Stuart Mill, John. 2005. On Liberty (Perihal Kebebasan), Diterjemahkan oleh Alex Lanur. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Nurthjahjo, Hendra. 2006. Filsafat Demokrasi. Jakarta: Bumi Aksara P. Huntington, Samuel. 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Grafiti F. Isjwara. 1966. Pengantar Ilmu Politik. Bandung : Penerbit Binacipta Asshiddiqie, Jimly. 2011. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. cet ke-3. Jakata: Rajawali Pers. Azed, Abdul Bari. 2000. Sistem-Sistem Pemilihan Umum. Kampus UI Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ibrahim, Moh. Kusnardi dan Harmaily. 1998. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PSHTN-FHUI. Suny, Ismail. 1970. Sistem Pemilihan Umum yang Menjamin Hak-Hak Demokrasi Warga Negara, dalam himpunan karangan dan tulisan Ismail Suny

mengenal Pemilihan Umum, dihimpun oleh Harmaily Ibrahim. __________. 2009. Jurnal Konstitusi Pusat Kajian Konstitusi Universitas Kanjuruhan Malang. Penerbit Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Radjab, Dasril. 2009. Jurnal Konstitusi P3KP Fakultas Hukum Universitas Jambi Vol II. Penerbit Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. __________. 2012. www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1c.pdf di akses pada Minggu, 06 Mei 2012. __________.2012.http://herlambangperdana.files.wordpress.com/2008/06/herlam bang-sistem-pemilu.pdf di akses pada Minggu, 06 Mei 2012.

Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003. Republik Indonesia, Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Anda mungkin juga menyukai