Jilid I Jilid I
273 274
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
as they are inconsistent with the provisions of this Part, notulen rapat, catatan-catatan pribadi peserta rapat,
shall, to the extent of such inconsistency, be void”. tulisan-tulisan peserta rapat yang tersedia baik dalam
bentuk tulisan ilmiah maupun komentar tertulis yang
2) Teori penafsiran gramatikal atau interpretasi bahasa pernah dibuat, otobiografi yang bersangkutan, hasil
(what does it linguistically mean?) wawancara yang dibuat oleh wartawan dengan yang
Penafsiran yang menekankan pada makna teks bersangkutan, atau wawancara khusus yang sengaja
yang di dalamnya kaidah hukum dinyatakan. Pernafsiran dilakukan untuk keperluan menelaah peristiwa yang
dengan cara demikian bertolak dari makna menurut bersangkutan. Penafsiran kedua, mencari makna yang
pemakaian bahasa sehari-hari atau makna teknis-yuridis dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan masa lampau.
yang lazim atau dianggap sudah baku. 367 Menurut Dalam pencarian makna tersebut juga kita merujuk
Visser’t Hoft di negara-negara yang menganut tertib pendapat-pendapat pakar dari masa lampau, termasuk
hukum kodifikasi, maka teks harfiah undang-undang pula merujuk kepada norma-norma hukum masa lalu
sangat penting. Namun, penafsiran gramatikal saja di- yang masih relevan.369
anggap tidak mencukupi, apalagi jika mengenai norma
yang hendak ditafsirkan itu sudah menjadi perdebatan. 4) Teori penafsiran sosiologis (what does social context
368
of the event to be legally judged)
Konteks sosial ketika suatu naskah dirumuskan
3) Teori penafsiran historis (what is historical dapat dijadikan perhatian untuk menafsirkan naskah
background of the formulation of a text) yang bersangkutan. Peristiwa yang terjadi dalam masya-
Penafsiran historis mencakup dua pengertian: (i) rakat acapkali mempengaruhi legislator ketika naskah
penafsiran sejarah perumusan undang-undang; dan (ii) hukum itu dirumuskan. Misalnya, pada kalimat “dipilih
penafsiran sejarah hukum. Penafsiran yang pertama, secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-
memfokuskan diri pada latar belakang sejarah perumu- Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Gubernur,
san naskah. Bagaimana perdebatan yang terjadi ketika Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
naskah itu hendak dirumuskan. Oleh karena itu yang di- pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota di-
butuhkan adalah kajian mendalam tentang notulen- pilih secara demokratis.”
367
Ph. Visser’t Hoft, Penemuan Hukum, judul asli Rechtsvinding, diterje- 5) Teori penafsiran sosio-historis (asbabunnuzul dan
mahkan oleh B. Arief Sidharta, (Bandung: Laboratorium Hukum FH Univ. asbabulwurud, what does the social context behind
Parahiayangan, 2001), hal. 25. the formulation of the text)
368
Ibid., hal. 26. Misalnya, basis sistem ekonomi sosialis Cina, seperti dalam
Art. 6 ayat (1) Konstitusi Cina: (1) “The basis of the socialist economic Berbeda dengan penafsiran sosiologis, penafsiran
system of the People's Republic of China is socialist public ownership of the sosio-historis memfokuskan pada konteks sejarah ma-
means of production, namely, ownership by the whole people and collective syarakat yang mempengaruhi rumusan naskah hukum.
ownership by the working people”; dan makna dari sistem kepemilikan Misalnya, ide persamaan dalam teks konstitusi Republik
publik, seperti dalam Art 6 ayat (2) “The system of socialist public ownership
supersedes the system of exploitation of man by man; it applies the principle
369
of from each according to his ability, to each according to his work”. Ibid., hal. 29.
275 276
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
V Perancis,370 ide ekonomi kekeluargaan dalam Pasal 33 7) Teori penafsiran teleologis (what does the articles
UUD 1945, dan ide Negara Kekaisaran Jepang.371 would like to achieve by the formulated text).
Penafsiran ini difokuskan pada penguraian atau
6) Teori penafsiran filosofis (what is philosophical formulasi kaidah-kaidah hukum menurut tujuan dan
thought behind the ideas formulated in the text) jangkauannya. Tekanan tafsiran pada fakta bahwa pada
Penafsiran dengan fokus perhatian pada aspek filo- kaidah hukum terkandung tujuan atau asas sebagai lan-
sofis. Misalnya, ide negara hukum dalam konstitusi dasan dan bahwa tujuan dan atau asas tersebut mempe-
Republik V Perancis Article 66: “No person may be ngaruhi interpretasi. Dalam penafsiran demikian juga
detained arbitrarily”. Ide negara hukum dalam Pasal 1 diperhitungkan konteks kenyataan kemasyarakatan yang
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo- aktual.373
nesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum. Contoh lain lagi adalah 8) Teori penafsiran holistik.
rumusan ide demokrasi terpusat (centralized demo- Penafsiran ini mengaitkan suatu naskah hukum
cracy) dalam Konstitusi Cina. 372 dengan konteks keseluruhan jiwa dari naskah tersebut.
Misalnya, The individual economy 374 dalam Article 11
ayat (1) Konstitusi Cina:
277 278
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
exercises guidance, supervision and control over the bagai pandangan para sarjana mengenai ragam metode
private sector of the economy”. penafsiran itu, perlu kita himpun dan kita sarikan seba-
gaimana mestinya.
9) Teori penafsiran holistik tematis-sistematis (what is
the theme of the articles formulated, or how to un- Selain ke-9 teori penafsiran tersebut di atas, dapat
destand the articles systematically according to the pula dikemukakan adanya pendapat Utrecht mengenai
grouping of the formulation) metode penafsiran undang-undang:
Dalam hal ini, misalnya, regular election dalam
Article 68 dan 69 Konstitusi Amerika Serikat: 1) Penafsirkan menurut arti kata atau istilah (taalkun-
dige interpretasi)
”Regular elections to the National Assembly shall be
Hakim wajib mencari arti kata dalam undang-
held within sixty days prior to the expiration of the
term of the current Asembly. Procedures for elections to undang dengan cara membuka kamus bahasa atau me-
the National Assembly shall be prescribed by law. The minta keterangan ahli bahasa. Kalaupun belum cukup.
date of elections shall be fixed by Presidential decree. hakim harus mempelajari kata tersebut dalam susunan
The first session of a newly elected National Assembly kata-kata kalimat atau hubungannya dengan peraturan-
shall convene on the second Thursday following the peraturan lainnya. Cara penafsiran ini, menurut Utrecht,
election of at least two thirds of the total number of yang pertama ditempuh atau usaha permulaan untuk
Deputies. Until the election of the President of the menafsirkan.375
National Assembly, its meetings shall be chaired by the
Deputy who is most senior in age.” 2) Penafsiran historis (historische interpretatie)
“The regular sessions of the National Assembly shall
Cara penafsiran historis ini, menurut Utrecht, 376
convene twice per year from the second Monday of
September to the second Wednesday of December and dilakukan dengan (i) menafsirkan menurut sejarah
from the first Monday of February to the second hukum (rechtshistorische interpretatie), dan; (ii) menaf-
Wednesday of June. The sittings of the National sirkan menurut sejarah penetapan suatu ketentuan
Assembly shall be open to the public. Closed door (wetshistorische interpretatie). Penafsiran menurut seja-
sittings may be convened by a resolution of the Natio- rah, menurut Utrecht, merupakan penafsiran luas atau
nal Assembly.” mencakup penafsiran menurut sejarah penetapan. Kalau
penafsiran menurut sejarah penetapan dilakukan dengan
Di samping itu, dalam perkembangan pemikiran cara mencermati laporan-laporan perdebatan dalam pe-
dan praktik penafsiran hukum di dunia akhir-akhir ini, rumusannnya, surat-surat yang dikirim berkaitan dengan
telah berkembang pula berbagai corak dan tipe baru kegiatan perumusan, dan lain-lain, sedangkan penafsiran
dalam penafsiran hukum dan konstitusi di berbagai
negara. Oleh karena itu, pendapat-pendapat yang biasa
kita diskusikan di berbagai fakultas hukum di tanah air 375
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh
juga perlu memperhatikan dinamika perkembangan di Moh. Saleh Djindang, cet. XI, PT. (Jakarta: Ichtiar Baru, 1983), hal. 208.
376
Pendapat Utrecht ini sangat mirip dengan pendapat Visser”t Hoft yang
dunia ilmu hukum pada umumnya. Oleh sebab itu, ber- pada nantinya akan diuraikan secara tersendiri.
279 280
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
377 380
Utrecht, Op. Cit., hal. 209 Ibid., hal. 216.
378 381
Ibid., hal. 210-211. Ibid., hal. 217.
379 382
Ibid., hal. 212-213. Ph. Visser’t Hoft, Op. Cit.
281 282
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
283 284
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
Penafsiran ini dilakukan karena ada perubahan 8) Interpretasi Ekstensif, menafsirkan dengn melebihi
pandangan masyarakat dan situasi kemasyarakatan. batas hasil penafsiran gramatikal;
Makna yang diberikan kepada suatu norma bersifat men- 9) Interpretasi Otentik, penafsiran yang hanya boleh di-
dobrak perkembangan setelah dibelakukannya hukum lakukan berdasarkan makna yang sudah jelas dalam
tertentu. Salah satu ciri penting penafsiran ini ialah pe- undang-undang;
ngabaian maksud pembentuk undang-undang. Makna 10) Interpretasi Interdisipliner, menggunakan logika pe-
obyektif atau aktual maupun subyektif dari suatu norma nafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum;
sama sekali tidak berperan lagi. 11) Interpretasi Multidisipliner, menafsirkan dengan
menggunakan tafsir ilmu lain di luar ilmu hukum.
Jazim Hamidi, dengan mengutip pendapat Sudikno
Mertokusumo, A. Pitlo, Achmad Ali, dan Yudha Bhakti, Ronald Dworkin mempunyai pendapat yang ber-
mencatat sebelas macam metode penafsiran hukum, beda lagi mengenai soal ini. Dworkin mengidentifikasi-
yaitu:383 kan adanya ada 6 (enam) model interpretasi dalam ilmu
1) Interpretasi Garamatikal, menafsirkan kata-kata da- hukum,384 yaitu:
lam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah
hukum tata bahasa; 1) Creative interpretation
2) Interpretasi Historis, yaitu penafsiran sejarah un- Menurut Dworkin, interpretasi kreatif hanya ter-
dang-undang dan sejarah hukum; hadap kasus khusus dari interpretasi conversational. 385
3) Interpretasi Sistematis, menafsirkan undang-undang Penafsiran ini dimaksudkan untuk mengungkap maksud
sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang- penyusun atau maksud-maksud dalam tulisan. Misalnya,
undangan; novel atau tradisi tertentu masyarakat yang biasanya di-
4) Interpretasi Sosiologis atau Teleologis, makna un- ungkapkan masyarakat dalam percakapan sehari-hari.
dang-undang dilihat berdasarkan tujuan kemasyara- Bahwa interpretasi kreatif hanya untuk kasus khusus
katannya, sehingga penafsiran dapat mengurangi ke- penafsiran lisan.386 Interpretasi kreatif bukanlah sekedar
senjangan antara sifat positif hukum dengan kenya- menangkap makna dalam percakapan melainkan meng-
taan hukum; konstruksikan atau menyusun makna. 387 Penafsiran
5) Interpretasi Komparatif, menafsirkan dengan cara
membandingkan berbagai sistem hukum;
6) Interpretasi Futuristik, menafsirkan undang-undang
384
Ronald Dworkin, Law’s Empire, (Cambridge, Massachusetts, London,
dengan cara melihat pula RUU yang sedang dalam England: The Belknap Press of Harvard University Press, 1986).
385
Ibid., hal. 51.
proses pembahasan; 386
Ibid., ”Creative interpretation aims to decipher the authors’ purposes or
7) Interpretasi Restriktif, membatasi penafsiran berda- intentions in writing particular novel or maintaining a particular social
sarkan kata yang maknanya sudah tertentu; tradition, just as we aim in conversation to grasp a friend’s intentions in
speaking as he does. … that creative interpretation is only a special case of
conversational interpretaion”.
383 387
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, cet. I, (Yogyakarta: UII Press Ibid., hal. 52, “…that creative interpretation is not conversational but
2005), hal. 53-57. constructive”
285 286
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
kreatif dalam pandangan konstruktif adalah interaksi tahap diinterpretasikan, yaitu penafsir menjustifikasi un-
antara maksud dan tujuan.388 sur-unsur pokok praktik. Justifikasi tidak perlu semua
harus sesuai bagi penafsir. Namun yang terpenting pe-
2) Artistic interpretation nafsir mampu melihat dirinya sendiri sebagai penafsir
Menemukan maksud penulis bukanlah persoalan praktis, dan menemukan suatu yang baru. Ketiga, setelah
yang mudah, sebab kita harus berupaya memahami tahap penafsiran, penafsir menyesuaikan pendirian-nya
maksud melalui pemaknaan ungkapan kesadaran men- tentang praktik sebenarnya atau menyelesaikan.391
tal. Penafsiran artistik tidak selalu bermaksud mengiden-
tifikasikan beberapa jenis kesadaran pikiran dalam 5) Literal interpretation
menggunakan pengaruhnya terhadap pikiran penyusun Pendapat berbeda diperdebatkan bagi teori legislasi
ketika dia mengatakan, menulis, atau melakukan se- yang lebih dikenal dewasa ini. Hal ini kadang-kadang di-
suatu. 389 Maksud (intention) selalu lebih kompleks dan sebut sebagai teori penafsiran literal, walaupun tidak se-
problematikal (complex and problematical matter). cara khusus menjelaskan gambar. Penafsiran literal ber-
tujuan bahwa kata-kata dalam UU diberikan apabila kita
3) Social interpretation menyebutnya makna yang tidak sesuai dengan konteks-
Penafsiran praktik sosial dan kerja seni secara nya. Artinya, makna kita berikan kalau kita tidak memi-
esensialitas lebih menekankan pada maksud daripada liki informasi khusus tentang konteks yang mereka guna-
penyebab. Penafsiran praktik sosial tidak dimaksudkan kan atau maksud-maksud dari penulis. Metode inter-
menemukan apa yang dilakukan warga masyarakat, me- pretasi ini mensyaratkan bahwa tidak ada ketergantu-
lainkan ada berbagai faktor baik ekonomi atau psikologi ngan konteks dan kualifikasi-kualifikasi tersembunyi di-
dari suatu perbuatan dengan fokus pengamatan pada buat terhadap bahasa umum.392
suatu lingkungan yang dekat dengan apa yang mereka
lakukan.390
391
Ibid., hal. 66, “Second, there must be an interpretive stage at which the
4) Constructive interpretation interpreter settles on some general justification for the main elements of the
practice identified at the preinterpretive stage.…The justification need not
Pertama, tahap pra-penafsiran di mana aturan-atu- fit every aspect or feature of the standing practice, but it must fit enough
ran dan batasan-batasan yang digunakan untuk membe- for the interpreter to be able to see himself as interpreting that practice, not
rikan isi tentatif dari praktik yang diperkenalkan. Kedua, inventing a new one. Finally, there must be a postinterpretive or reforming
stage, at which he adjusts his sense of what the practice ‘really’ requires
so as better to serve the justification he accepts at the interpretive stage.”
388 392
Ibid., “Creative interpretation, on the constructive view, is a matter of Ibid , hal. 17-18, “The dissenting opinion, written by Judge Gray, argued
interaction between purpose and object”. for a theory of legislation more popular then than it is now. This is some-
389
Ibid., hal. 55. times called a theory of ‘literal’ interpretation, though that is not a parti-
390
Ibid., hal. 51, “For the interpretation of social practices and works of cularly illuminating description. It proposes that the words of a statute be
art is essentially concerned with purposes rather than mere causes. The citi- given what we might better call their acontextual meaning, that is, the
zens of courtesy do not aim to find, when they interpret their practice, the meaning we would assign them if we had no special information about the
various economic or psychological or phsycological determinants of their context of their use or the intentions of their author. This method of inter-
corvergent behavior.” pretation requires that no context-dependent and unexpressed qualications
287 288
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
289 290
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
hari atau makna teknis-yuridis yang sudah dilazimkan.396 5) Metode Penafsiran Otentik
Menurut Visser’t Hoft, di negara-negara yang menganut Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau
tertib hukum kodifikasi, teks harfiah undang-undang di- officiele interpretatie), menurut Utrecht, merupakan pe-
nilai sangat penting. Namun, penafsiran gramatikal saja nafsiran sesuai dengan tafsir yang dinyatakan oleh pem-
tidak cukup jika tentang hal yang ditafsirkan itu sudah buat undang-undang (legislator) dalam undang-undang
menjadi perdebatan.397 itu sendiri.400 Misalnya, arti kata yang dijelaskan dalam
pasal atau dalam penjelasannya. Menurut Sudikno dan
3) Metode Penafsiran Restriktif Pitlo, penafsiran yang demikian hanya boleh dilakukan
Pitlo dan Sudikno mengartikan penafsiran ini seba- berdasarkan makna yang sudah jelas dalam undang-
gai kegiatan menafsirkan dengan cara membatasi penaf- undang.
siran sesuai dengan kata yang maknanya sudah tertentu.
Jika suatu norma hukum yang sederhana sudah diru- 6) Metode Penafsiran Sistematik
muskan secara jelas atau expresis verbis, maka tidak di- Metode ini menafsirkan menurut sistem yang ada
perlukan lagi untuk menerapkan metode-metode penaf- dalam hukum (systematische interpretatie, dogmatische
siran yang bersifat kompleks. Cukuplah kiranya hal ter- interpretatie) itu sendiri. Artinya, menafsirkan dengan
sebut dipahami dengan maknanya yang sudah jelas memperhatikan naskah-naskah hukum lain. Jika yang
itu.398 ditafsirkan adalah pasal dari suatu undang-undang, ma-
ka ketentuan-ketentuan yang sama apalagi satu asas da-
4) Metode Penafsiran Ekstensif lam peraturan lainnya juga harus dijadikan acuan. 401
Menurut Pitlo dan Sudikno, hasil penafsiran ini Dalam penafsiran ini, sebagaimana telah diuraikan sebe-
melebihi hasil penafsiran gramatikal. Penalaran yang di- lumnya, makna formulasi sebuah kaidah hukum atau
gunakan dalam metode ekstensif ini merupakan kebali- makna dari sebuah istilah yang ada di dalamnya ditetap-
kan dari penalaran dalam metode restriktif. Penafsiran kan lebih jauh dengan mengacu pada hukum sebagai
restriktif bersifat membatasi, sedangkan penafsiran eks- sistem. Langkah yang dilakukan yaitu dengan mencari
tensif bersifat memperluas, sehingga penafsiran dilaku- makna kata-kata yang terdapat di dalam suatu peraturan
kan tidak hanya terbatas kepada makna teknis dan gra- yang ada kaitannya dan melihat pula pada kaidah-kaidah
matikal kata-kata yang terkandung dalam suatu rumusan lainnya. Menurut Visser’t, dalam sebuah sistem hukum
norma hukum yang bersangkutan.399 yang menitikberatkan pada kodifikasi, maka merujuk
pada sistem undang-undang atau kitab undang-undang
merupakan hal biasa. Perundang-undangan adalah se-
buah sistem. Ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya
saling berhubungan sekaligus saling berhubungan ter-
sebut menentukan makna. Akan tetapi dalam tatanan
396
Visser’t Hoft, Op. Cit., hal. 25.
397
Ibid., hal. 26.
398 400
Hamidi, Op. Cit. Utrecht, Op. Cit., hal. 217.
399 401
Ibid. Ibid., hal. 212-213.
291 292
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
hukum yang tidak terkodifikasi, merujuk pada sistem di- masuk surat-menyurat yang berhubungan dengan pe-
mungkinkan sepanjang karakter sistematis dapat di- nyusunan suatu undang.404
asumsikan (diandaikan).402
8) Metode Penafsiran Historis dalam arti Luas
7) Metode Penafsiran Sejarah Undang-undang Metode penafsiran dengan sejarah hukum, menu-
Metode ini mendasarkan diri pada makna historis rut pendapat Utrecht, mencakup dua pengertian, yaitu (i)
yang terkandung dalam perumusan undang-undang itu penafsiran sejarah perumusan undang-undang seperti
sendiri (what is historical background of the formula- yang sudah diuraikan di atas; dan (ii) penafsiran sejarah
tion of a text). Penafsiran Sejarah Undang-undang ini hukum itu sendiri, yaitu melalui penafsiran sejarah hu-
salah satu metode penafsiran sejarah dalam arti sempit, kum yang bertujuan mencari makna yang dikaitkan
yaitu penafsiran dengan merujuk pada sejarah penyusu- dengan konteks kemasyarakatan masa lampau.405 Dalam
nannya, membaca risalah, catatan pembahasan oleh arti sempit, yaitu metode penafsiran sejarah undang-
komisi-komisi, dan naskah-nakah lain yang berhubu- undang sudah diuraikan di atas. Sedangkan pada bagian
ngan dengan pembahasan termasuk surat-menyurat ini diuraikan mengenai metode penafsiran historis dalam
yang berkaitan dengan penyusunan suatu undang. arti luas.
Menurut Utrecht, penafsiran sejarah undang-undang Dalam hal ini, untuk mencari dan menemukan
memfokuskan diri pada latar belakang sejarah peru- makna historis suatu pengertian normatif dalam undang-
musan naskah, dan bagaimana peredebatan yang terjadi undang, penafsir juga harus merujuk pendapat-pendapat
ketika naskah itu hendak dirumuskan.403 pakar dari masa lampau. Termasuk pula merujuk kepada
Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah kajian hukum-hukum masa lalu yang relevan. Menurut Utrecht,
mendalam tentang notulen-notulen rapat, catatan-cata- penafsiran dengan cara demikian dilakukan dengan me-
tan pribadi peserta rapat, tulisan-tulisan peserta rapat nafsirkan suatu naskah menurut sejarah hukum (rechts-
yang tersedia baik dalam bentuk tulisan ilmiah maupun historische interpretatie). Penafsiran historis demikian
komentar tertulis yang pernah dibuat, otobiografi yang itu dilakukan pula dengan menyelidiki asal usul naskah
bersangkutan, hasil wawancara yang dibuat oleh warta- dari sistem hukum yang pernah diberlakukan, termasuk
wan dengan yang bersangkutan, atau wawancara khusus pula meneliti asal naskah dari sistem hukum lain yang
yang sengaja dilakukan untuk keperluan menelaah pe- masih diberlakukan di negara lain. 406 Bagi hakim,
ristiwa yang bersangkutan. Menurut Hoft, penafsiran menurut Scholten, makna penafsiran historis berdasar-
sejarah undang-undang merupakan penafsiran dengan kan kebutuhan praktik. Pada umumnya yang terpenting
merujuk pada sejarah penyusunannya, membaca risalah, bagi hakim ialah mengetahui maksud pembuat naskah
catatan pembahasan oleh komisi-komisi, dan naskah- hukum pada waktu ditetapkan. Hukum bersifat dinamis,
naskah lain yang berhubungan dengan pembahasan ter- dan perkembangan hukum mengikuti perkembangan
404
Ph. Visser’t Hoft, Op.Cit.
402 405
Ph. Viser’t Hoft, Op.Cit. Utrecht, Op.Cit.
403 406
Utrecht, Op.Cit. Ibid., hal. 209.
293 294
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
masyarakat. Oleh karena itu, makna yang dapat 9) Metode Penafsiran Sosio-Historis
diberikan kepada suatu kata dalam naskah hukum posi- Metode ini menyangkut penafsiran sosio-historis
tif sekarang berbeda dengan maknanya pada waktu dite- (asbab al-nuzul dan asbab al-wurud), yaitu berkenaan
tapkan. Oleh sebab itu pula penafsiran menurut sejarah dengan persoalan what does the social context behind
hakikatnya hanya merupakan pedoman saja.407 the formulation of the text. Berbeda dari penafsiran
Akan tetapi, penafsiran historis tidak hanya historis, dalam penafsiran sosio-historis ini, dipertim-
menelaah risalah sebagai story perumusan naskah, tetapi bangkan pula berbagai konteks perkembangan masya-
juga menelaah sejarah sosial, politik, ekonomi dan social rakat yang melahirkan norma yang hendak ditafsirkan
event lainnya ketika rumusan naskah tersebut dibahas. itu dengan seksama. Di pihak lain, berbeda pula dengan
Artinya, penafsiran historis bisa merambah ke penafsian penafsiran sosiologis, penafsiran sosio-historis ini lebih
sosio-historis baik dari aspek sosial, ekonomi, politik, memusatkan perhatian pada konteks sejarah masyarakat
dan kejadian-kejadian penting yang memberi nuansa ke- yang mempengaruhi rumusan naskah ketika norma hu-
pada sebuah naskah hukum. Misalnya, ketika Pasal 33 kum yang bersangkutan terbentuk di masa lalu.
UUD 1945 dirumuskan, suasana anti kolonialisme se-
dang marak, sehingga penolakan terhadap yang berlatar 10) Metode Penafsiran Sosiologis
belakang liberalisme dan kapitalisme sangat kuat dan Metode penafsiran sosiologis (sociological inter-
sangat logis terjadi ketika itu. pretation) ini mendasarkan diri pada penafsiran yang
Latar belakang yang sama juga dapat menjadi bersifat sosiologis (what does social context of the event
sebab mengapa hak asasi manusia sangat kurang dirinci to be legally judged). Konteks sosial ketika suatu naskah
dalam rumusan UUD 1945 versi aslinya. Memang benar dirumuskan dapat dijadikan perhatian untuk menafsir-
bahwa hak asasi manusia ada kaitannya dengan indi- kan naskah. Peristiwa yang terjadi dalam masyarakat
vidualisme yang menjadi basis paham liberalisme ekono- acapkali mempengaruhi legislator ketika sebuah naskah
mi, politik, dan kapitalisme dalam bidang ekonomi. Akan hukum dirumuskan.
tetapi, ketika Pasal 33 ditafsirkan pada tahun 2005 atau
50 tahun kemudian apakah konteks sosio-historis tahun 11) Metode Penafsiran Teleologis
1945 harus ditanggalkan? Sepanjang kekuatan argumen- Metode penafsiran teleologis memusatkan perha-
tasi dapat menunjukkan bahwa liberalisme memang tian pada persoalan, apa tujuan yang hendak dicapai oleh
terbukti benar-benar mengancam sistem ekonomi nasio- norma hukum yang ditentukan dalam teks (what does
nal dalam sistem ekonomi global, maka apapun alasan- the articles would like to achieve). Penafsiran ini di-
nya liberalisme ekstrim harus ditolak dan prinsip pe- fokuskan pada penguraian atau formulasi kaidah-kaidah
nguasaan negara harus dipertahankan dengan penye- hukum menurut tujuan dan jangkauannya. Tekanan taf-
suaian di sana-sini. siran pada fakta bahwa pada kaidah hukum terkandung
tujuan atau asas sebagai landasan dan bahwa tujuan dan
atau asas tersebut mempengaruhi interpretasi. Dalam
407
Ibid., hal. 210-211.
295 296
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
297 298
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
jelas sekali bahwa Article 68 Konstitusi Amerika Serikat yang harus diberikan kepada norma hukum yang ditaf-
mengatur mengenai tema yang berkenaan dengan pro- sirkan haruslah bersifat mendobrak perkembangan se-
sedur penyelenggaraan pemilihan umum. telah dibelakukannya suatu norma hukum tertentu. Sa-
lah satu ciri penting metode penafsiran ini ialah diabai-
14) Metode Penafsiran Antisipatif atau Futuristik kannya maksud asli pembentuk undang-undang (the
Metode penafsiran ini dilakukan dengan cara me- original intent) dari keharusan untuk dijadikan refe-
rujuk suatu rancangan undang-undang yang sudah rensi. Makna obyektif atau aktual maupun subyektif dari
mendapat persetujuan bersama, tetapi belum disahkan suatu norma sama sekali tidak dianggap berperan lagi.
secara formil. Kemungkinan lain juga dapat terjadi, mi- Semua itu dianggap tidak lagi relevan dengan kebutuhan
salnya, suatu rancangan undang-undang sudah disiap- nyata untuk menegakkan keadilan di lapangan.
kan untuk dibahas atau sedang dibahas dalam parlemen,
tetapi diperkirakan ada materi-materi tertentu yang di- 16) Metode Penafsiran Komparatif
nilai sudah pasti lolos untuk pada saatnya disahkan men- Pitlo dan Sudikno mengartikan penafsiran ini se-
jadi norma hukum yang mengikat. Jika hakim di bagai kegiatan menafsirkan dengan cara membanding-
pengadilan melihat ke depan (forward looking) atau kan dengan berbagai sistem hukum. Perbandingan dapat
antisipatif dan futuristik, ia dapat menerapkan norma- dilakukan untuk maksud memahami hukum sendiri atau
norma hukum yang belum berlaku secara formil itu dapat pula dimaksudkan untuk menemukan prinsip-
dalam memeriksa dan memutus sesuatu kasus yang prinsip yang berlaku umum dari objek-objek yang diper-
untuk tujuan mewujudkan keadilan yang nyata mem- bandingkan. Dengan demikian, perbandingan dapat di-
butuhkan referensi yang bersifat futuristik tersebut. lakukan antar dua objek atau antar banyak objek. Di
Dengan cara demikian, maka para hakim dapat melihat samping itu, perbandingan dapat dilakukan dengan cara
nilai-nilai keadilan dengan kacamata yang memandang membandingkan unsur-unsur yang sama dan/atau
jauh ke masa yang akan datang. Dengan kata lain, hakim unsur-unsur yang berlainan dari objek-objek yang diper-
dapat menilai dan menerapkan suatu norma hukum yang bandingkan satu sama lain. Hasil dari proses perban-
ada dengan menafsirkannya dari sudut pandang hukum dingan itu pada akhirnya adalah untuk diterapkan dalam
baru. menyelesaikan suatu kasus atau permasalahan hukum
dengan seadil-adilnya dan setepat-tepatnya.411
15) Metode Penafsiran Evolutif-Dinamis
Istilah penafsiran yang demikian digunakan oleh 17) Teori Penafsiran Filosofis
Visser’t Hoft dikarenakan bahwa metode penafsiran evo- Penafsiran filosofis memusatkan perhatian pada
lutif-dinamis ini dilakukan karena adanya perubahan segi what is the underlying philosophical thought yang
pandangan dalam dinamika kehidupan masyarakat. 410 terkandung dalam perumusan teks hukum yang ditaf-
Situasi dan kondisi kemasyarakatan secara luas mengala- sirkan. Penafsiran ini mempunyai fokus perhatian pada
mi perubahan yang mendasar. Oleh karena itu, makna aspek filosofis yang terkandung dalam norma hukum
410 411
Visser’t Hoft, Op.Cit. Jazim Hamidi, Op. Cit.
299 300
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
yang hendak ditafsirkan. Misalnya, ide negara hukum kasus-kasus yang tidak memerlukan pendekatan interdi-
dalam Konstitusi Republik V Perancis Art. 66: “No per- siplin yang menyeluruh, melainkan cukup dengan meng-
son may be detained arbitrarily”. Tidak seorangpun gunakan bantuan penafsiran menurut suatu cabang ilmu
yang dapat ditahan hanya didasarkan atas kebijaksanaan di luar ilmu hukum. Misalnya, suatu pembuktian untuk
penguasa. Demikian pula ide negara hukum dalam Pasal menentukan seseorang bersalah atau tidak yang semata-
1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara Indone- mata tergantung kepada penafsiran yang terdapat dalam
sia adalah Negara Hukum”, ide demokrasi terpusat ilmu kedokteran. Untuk menerapkan suatu norma hu-
dalam Konstitusi Cina (democratic centralism), dan lain kum terhadap kasus yang konkrit tergantung kepada
sebagainya. Ide-ide yang dirumuskan itu tidak dapat di- penafsiran menurut ilmu kedokteran, sehingga penaf-
pahami hanya dengan pendekatan biasa, melainkan siran tersebut dapat dikatakan dilakukan dengan meng-
harus dimengerti secara mendalam, yaitu pada latar be- gunakan tafsir ilmu lain di luar ilmu hukum. Metode
lakang filosofis tumbuhnya ide negara hukum itu sendiri penafsiran yang demikian inilah yang disebut sebagai
dalam sejarah perkembangan umat manusia, baik yang penafsiran multidisiplin, bukan interdisiplin seperti yang
terkait dengan konsep rule of law maupun dengan kon- sudah diuraikan di atas.
sep rechtsstaat.
20) Metode Penafsiran Kreatif (Creative Interpretation)
18) Metode Penafsiran Interdisipliner Menurut Dworkin, interpretasi kreatif (creative
Menurut Pitlo dan Sudikno, menggunakan logika interpretation) dapat digunakan, tetapi hanya terhadap
penafsiran dengan mengunakan bantuan banyak cabang kasus khusus dari interpretasi conversational. Penafsi-
ilmu pengetahuan, banyak cabang ilmu hukum sendiri, ran ini dimaksudkan untuk mengungkap maksud penyu-
ataupun dari banyak metode penafsiran, juga dianjurkan. sun atau maksud-maksud dalam tulisan. Misalnya, novel
Metode ini dianggap penting, karena banyak kasus yang atau tradisi tertentu masyarakat yang biasanya diung-
kompleks yang tidak dapat dipecahkan jika kita hanya kapkan masyarakat dalam percakapan sehari-hari. Bah-
mendekatinya dari satu sudut pandang saja. Apalagi, wa interpretasi kreatif hanya untuk kasus khusus pe-
untuk tujuan mewujudkan keadilan, kadang-kadang per- nafsiran lisan. Interpretasi kreatif bukanlah sekedar me-
masalahan yang dihadapi sangat kompleks sifatnya dan nangkap makna dalam percakapan melainkan meng-
memerlukan pendekatan-pendekatan yang interdisiplin. konstruksikan atau menyusun makna. Penafsiran kreatif
Oleh karena itu, metode penafsiran demikian disebut se- dalam pandangan konstruktif adalah interaksi antara
bagai metode penafsiran interdisipliner.412 maksud dan tujuan.413
412 413
Ibid. Dworkin, Op. Cit.
301 302
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
hana. Oleh karena itu, berupaya untuk memahami suatu makna yang diucapkan oleh orang lain dalam berbagai
maksud, dilakukan melalui pemaknaan ungkapan kesa- peristiwa yang secara tepat untuk makna dalam masyara-
daran mental. Penafsiran artistik tidak selalu bermaksud kat, misalnya sopan-santun. Sutandyo dalam salah satu
mengidentifikansikan beberapa jenis kesadaran pikiran tulisannya semiotika, mengemukakan tentang the semio-
dalam menggunakan pengaruhnya terhadap pikiran pe- tic jurisprudence. Semiotika mengkaji tentang tanda-
nyusun ketika dia mengatakan, menulis, atau melakukan tanda kebahasaan yang tidak lain dari hasil konsep-
sesuatu. Dalam hal ini, maksud selalu lebih kompleks tualisasi oleh subjek-subjek atau intersubjek.
dan problematikal.414
Dalam hubungannya dengan penafsiran, dapat
22) Metode Penafsiran Konstruktif dikemukakan pula pendapat Jerzy Wroblewski yang me-
Metode penafsiran konstruktif ini, menurut Dwor- ngembangkan meta-teori rasionalistik dan relativistik
kin, dapat dilakukan dengan tiga tahap. Pertama, tahap mengenai penafsiran dan implementasi undang-undang
pra-penafsiran dimana aturan-aturan dan batasan-bata- (legal statutes), yaitu teori tentang interpretasi atau teori
san yang digunakan untuk memberikan isi tentatif me- tentang ideologi-ideologi penafsiran undang-undang.415
ngenai praktik yang diperkenalkan. Kedua, adalah tahap Dalam penafsiran dikenal pula adanya tipe-tipe
interpretasi sendiri, di mana penafsir menjustifikasi argumen-argumen yang digunakan, (MacCormick and
unsur-unsur pokok yang timbul dari praktik. Justifikasi Summers, 1991), yaitu:416
tidak perlu semua harus sesuai bagi penafsir. Menjadi sa- 1) The argument from ordinary meaning, atau meng-
ngat penting dalam hal ini, bahwa mampu melihat diri- gunakan argumen makna umum yang berlaku dalam
nya sendiri sebagai penafsir praktis dan menemukan masyrakat;
suatu yang baru. Ketiga, setelah tahap penafsiran, penaf- 2) The argument from technical meaning, atau meng-
sir menyesuaikan pendiriannya tentang praktik sebenar- gunakan argumen teknis yang dipakai dalam istilah-
nya atau menyelesaikan. istilah teknis;
3) The argument from contextual-harmonization;
23) Metode Penafsiran Konversasional. 4) The argument from precedent;
Metode ini sebenarnya agak berada di luar kebiasa- 5) The argument from analogy;
an penafsiran yang biasa digunakan. Penafsiran konver- 6) The argument from relevant principles of law;
sasional (conversational interpretation) ini bukan di- 7) The argument from history;
maksudkan untuk menjelaskan suara seseorang. Penaf- 8) The argument from purpose;
siran ini menandai makna dalam menjelaskan motif- 9) Substantive reasons;
motif dan maksud-maksud mengenai makna yang dira- 10) The argument from intention.
sakan pembicara, dan menyimpulkan sebagai pernyataan
tentang maksud pembicara dalam mengatakan apa yang
415
dia perbuat. Penafsir hendak menemukan maksud atau Jerzy Wroblewsky, dalam Aleksander Peczenik, “Kinds of Theory of
Legal Argumentation”, http://www. ivr2003.net/Peczenik_Argumenta-
tion.htm.
414 416
Ibid. Aleksander Peczenik, Op. Cit.
303 304
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
William Eskrige dalam bukunya mengembangkan practice is the theory that puts legal practice in its ‘best
teori dinamika penafsiran undang-undang (dynamic light’. By ‘best light’ Dworkin means a measure of de
theory of statutory interpretation) dengan menyatakan, desirability or goodness: the true theory of legal prac-
“…that statutory interpretation changes in response to tice, says Dworkin, potrays the practice at its most
desireable. Now why would that be the case? What’s
new political aligments, new interpreters, and new ideo-
between the desirability of a theory and its truth?”.
logies”. Sementara Aulis Aarnio mengatakan, tugas
dogmatik hukum adalah menginterpretasikan dan men-
Terlepas dari segala macam metode atau teori
sistematisasi norma-noma hukum (The tasks of legal
penafsiran di atas, suatu hal yang perlu menjadi per-
dogmatic are interpretation and systematization of
hatian serius adalah bahwa hukum, baik yang tertulis
legal norms). Dua kebutuhan pokok dalam penafsiran
maupun tidak tertulis, adalah konsep yang berasal dari
hukum, menurutnya, adalah rasionalitas dan aksepta-
kata-kata yang dahulunya diucapkan oleh satu, dua, atau
bilitas. Sistematisasi bermaksud melakukan reformulasi
lebih banyak orang yang kemudian disusun dalam kali-
norma-norma hukum dalam pengungkapan abstrak da-
mat. Tiap-tiap perkataan itu di dalamnya mengandung
lam hubungannya terhadap konsep-konsep dasar.
beberapa atau bahkan banyak makna, sehingga hukum
Sistematisasi adalah pembawa tradisi hukum.
dalam konteks norma sesungguhnya adalah simbol-
Dikatakan oleh Aulis Aarnio, interpretasi adalah aktivitas
simbol atau tanda-tanda yang disusun sedemikian rupa
hermenutik yang menjustifikasi dalam hubungannya
dalam bentuk pasal yang dituangkan dalam rumusan
terhadap audien hukum, yang dikarakterisasikan sebagai
undang-undang dasar, undang-undang, atau peraturan-
esensia secara relativistik dalam pengertian mengakui
peraturan tertulis lainnya.
kemungkinan perselisihan tentang evaluasi. Dworkin
Hukum yang tertulis dalam batas-batas tertentu
mengatakan:
dapat ditelusuri maksudnya, meskipun adakalanya keti-
“The adjudicative principle of integrity instructs judges
to identify legal rights and duties, so far as possible, on ka harus diterapkan pada suatu kasus dalam banyak
the assumption that they were all created by a single situasi dan kondisi sosial ternyata tidak mudah. Korupsi,
author — the community personified – expressing a misalnya, adalah kata yang memerlukan kecermatan
coherent conception of justice and fairness. […] Accor- dalam penerapannya meskipun sudah jelas rumusannya.
ding to law as integrity, propositions of law are true if Demikian pula kata “jasa” dalam konteks hukum, apakah
they figure in or follow from the priciples of justice, orang yang menerima imbalan atas jasanya membantu
fairness, and procedural due process that provide the memperkenalkan kepada panitera kepala di pengadilan
best contructive interpretation of the community’s legal dapat dianggap terlibat dalam kejahatan, jikalau ternyata
practice”. orang diperkenalkan itu kemudian menyuap penitera
tersebut.
Selanjutnya Dworkin mengatakan pula: Dalam penerapan hukum selain penafsiran, seperti
“Law as integrity […] holds that people have as legal
telah diuraikan sebelumnya, dikenal pula kegiatan pe-
rights whatever rights are sponsored by the priciples
that provide the best justification of legal practice as a nemuan hukum atau metode konstruksi. Metode ini
whole. Dworkin claim’s … that the true theory of legal digunakan ketika juris (hakim, penuntut umum, dan
305 306
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I Jilid I
307 308