Anda di halaman 1dari 61

ORGAN DAN FUNGSI KEKUASAAN NEGARA

(Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah Konstitusi)


Dosen Pengampu: Drs. Syaiful M., M.Si
Rinaldo Adi Pratama, S.Pd, M.Pd

Disusun Oleh
Kelompok 3

Dea Kusniar (1913033015)


Siti Yuti’ah (1913033019)
Meta Iskarina (1913033023)
Nadira Febri Faradila (1913033032)
M.Fajar Maulana (1913033049)
Novita Rahmawati (1953033005)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami haturkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Peranan Walisanga Dalam Penyebaran Islam
Ddi Nusantara. Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam
penyusunan makalah ini, maka penyusun mengucapkan banyak terimakasih
kepada:
1. Orang tua, saudara, dan seluruh keluarga yang telah mencurahkan doa dan
semangat kepada kami
2. Bapak Drs. Syaiful M., M.Si dan Rinaldo Adi Pratama, S.Pd, M.Pd yang
telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini.
3. Teman teman yang telah banyak membantu dan memberi dukungan
khususnya teman teman dari Program Studi Pendidikan Sejarah 2019.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna.Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari semua
pihak.Dan apabila kesalahan kata atau penulisan, penulis mohon maaf yang
sebesar besarnya.

Bandar Lampung, Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………….………………………………….i

KATA PENGANTAR......................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................2

C. Tujuan Penulisan..........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pembatasan Kekuasaan Negara..................................................................4

2.2 Cabang Lembaga Legislatif........................................................................23

2.3 Cabang Lembaga Yudisial..........................................................................30

2.4 Cabang Lembaga Eksekutif........................................................................41

2.5 Perkembangan Organisasi Negara..............................................................50

BAB III PENUTUP..........................................................................................55

DAFTAR PUSTAKA

i
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Suatu negara dapat dikatakan berjalan dengan baik, apabila di suatu negara
tersebut terdapat suatu wilayah atau daerah teritorial yang sah, yang mana
didalamnya terdapat suatu pemerintahan yang sah diakui dan berdaulat, serta
diberikan kekuasaan yang sah untuk mengatur para rakatnya.1Kekuasaan yang
sah, artinya bahwa pemerintah yang berdaulat, adalah merupakan representasi dari
seluruh rakyat dan menjalankan kekuasaan atas kehendak rakyat. Kekuasaan
adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili,
mengurus, dan lain sebagainya) sesuatu. Dalam hal inipemerintah menjalankan
kekuasaan atas kehendak rakyat, artinya bahwa berdasarkan konsensus yang
tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, telah disepakati kepada pemerintah untuk memerintah, mewakili dan
mengurus urusan pemerintahan (Efi, Endah, dan Tri, 2016 : 329).

Dalam teori organ, negara dipandang sebagai suatu organisme. Lembaga-


lembaga negara yang ada dalam suatu negara dikenal dengan alat perlengkapan
negara (Die Staatsorgane). Alat perlengkapan negara dibentuk untuk menjalankan
fungsi-fungsi negara. Pelaksanaan fungsi-fungsi, seperti wetgeving (legislatif),
uitvoering (eksekutif), dan rechtspraak (yudikatif), menentukan persyaratan yang
berbeda-beda kepada organ-organ (badan-badan atau lembaga-lembaga) tersebut,
sehubungan dengan kehidupan masyarakat yang intern dan ekstern.

Berdasarkan beberapa pengertian yang diperoleh dari Kamus Besar Bahasa


Indonesia (untuk lembaga), Kamus Hukum Fockema Andreae (untuk orgaan) dan
pendapat Hans Kelsen (untuk organ), serta Black’s Law Dictionary (untuk body),
HAS Natabaya mengambil kesimpulan bahwa istilah badan (body), organ (organ
atau orgaan), dan lembaga mempunyai makna yang esensinya kurang lebih sama.

4
Oleh karena itu, untuk bidang hukum, ketiganya dapat digunakan untuk
menyebutkan suatu organisasi yang tugas dan fungsinya menyelenggarakan
pemerintahan negara, yaitu “organ negara”, “badan negara” atau “lembaga
negara”. Namun demikian ditekankan perlunya konsistensi penggunaan istilah
agar tidak digunakan dua istilah untuk maksud yang sama (Refly, dkk, 2004 :63)
dalam jurnal (Noviyanto, 2016 :147).

Lembaga negara dalam menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara perlu


dibatasi, agar tidak sewenang-wenang, tidak tumpang tindih kewenangan dan
tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu lembaga, maka perlu adanya suatu
pembagian atau pemisahan kekuasaan. Hal ini dimaksudkan semata-mata untuk
menjamin hak-hak asasi para warganya agar tidak diperlakukan sewenang-
wenang oleh penguasa. Hal ini senada dengan ungkapan dari Lord Acton “power
tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” (manusia yang
mempunyai kekuasaan cenderung menyalah-gunakan, tetapi manusia yang
mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya). Oleh karena
itu, kekuasaan harus dibagi-bagi atau dipisah-pisah agar tidak disalah gunakan
(Widayati, 2015 : 68-69) dalam jurnal (Efi, Endah, dan Tri, 2016 : 329).

Pembagian atau pemisahan kekuasaan sering di kenal dengan istilah “Trias


Politica”. Konsep Trias Politica dikemukakan oleh Montesquieu (Filsuf Preancis -
1748), di mana Trias Politicaberasal dari bahasa Yunani “Tri” yanberarti tiga,
“As” yang berarti poros/pusat, dan “Politica” yang berarti kekuasaan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa


permasalahan sebagai berikut.

1. Apa sajakah cabang kekuasaan Legislatif?

2. Apa sajakah cabang kekuasaan Yudisial?

3. Apa sajakah cabang kekuasaan Eksekutif?

5
4. Bagaimana perkembangan organisasi Negara?

1.3 Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui cabang lembaga Legislatif.

2. Untuk mengetahui cabang lembaga Yudisial.

3. Untuk mengetahui cabang lembaga Eksekutif.

4. Untuk mengetahui perkembangan organisasi Negara.

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pembatasan Kekuasaan Negara

1. Fungsi-fungsi Kekuasaan Negara

Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut the rule
of law atau dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya
ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan
itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusi-
onalisme modern. Oleh karena itu, konsep negara hukum juga disebut sebagai
negara konstitusional atau constitutional state, yaitu negara yang dibatasi oleh
konstitusi. Dalam konteks yang sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan
rakyat disebut pula dengan istilah constitutional democracy yang dihubungkan
dengan pengertian negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum. Dalam empat
ciri klasik negara hukum Eropa Kontinental yang biasa disebut rechtsstaat,
terdapat elemen pembatasan kekuasaan sebagai salah satu ciri pokok negara
hukum (Jimly Asshiddiqqie, 2006 : 11).

Ide pembatasan kekuasaan itu dianggap mutlak harus ada, karena


sebelumnya semua fungsi kekuasaan negara terpusat dan terkonsentrasi di tangan
satu orang, yaitu di tangan Raja atau Ratu yang memimpin negara secara turun
temurun. Bagaimana kekuasaan negara itu dikelola sepenuhnya tergantung kepada
kehendak pribadi sang raja atau ratu tersebut tanpa adanya kontrol yang jelas agar
kekuasaan itu tidak menindas atau meniadakan hak-hak dan kebebasan rakyat.

Bahkan, ketika kekuasaan Raja itu berhimpit pula dengan paham teokrasi
yang menggunakan prinsip kedaulatan Tuhan, maka doktrin kekuasaan para raja
ber- kembang menjadi semakin absolut. Suara dan kehendak raja identik dengan
suara dan kehendak Tuhan yang ab- solut dan tak terbantahkan. Dalam sejarah,
kekuasaan Tuhan yang menyatu dalam kemutlakan kekuasaan Raja ini dapat
ditemukan dalam semua peradaban umat ma- nusia, mulai dari peradaban Mesir,

7
peradaban Yunanidan Romawi kuno, peradaban Cina, India, serta pengala- man
bangsa Eropa sendiri di sepanjang sejarah masa laluhingga munculnya gerakan
sekularisme yang memisah- kan secara tegas antara kekuasaan negara dan
kekuasaan gereja.

Upaya untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan itu tidak


berhenti hanya dengan munculnya gerakan pemisahan antara kekuasaan raja dan
kekuasa- an pendeta serta pimpinan gereja. Upaya pembatasan kekuasaan juga
dilakukan dengan mengadakan pola-pola pembatasan di dalam pengelolaan
internal kekuasaan negara itu sendiri, yaitu dengan mengadakan pembedaan dan
pemisahaan kekuasaan negara ke dalam beberapa fungsi yang berbeda-beda
(Jimly Asshiddiqqie, 2006 : 13).

Berkaitan dengan fungsi Negara dalam pengelolaan pemerintahan dapat


dilihat melalui pemikiran para ahli. John Lockemisalnya, mengemukakan bahwa
pada dasarnya fungsi Negara itu dapat diamati pada tiga hal yaitu: Fungsi
Legislatif (fungsi pembuat undang-undang dan peraturan), Fungsi Eksekutif
(untuk melaksanakan peraturan), dan Fungsi Federatif (fungsi untuk mengurusi
urusan luar negeri dan urusan perang dan damai) (Soetomo, 1986 :37) dalam
jurnal (Usman, 2015 :134).

Pandangan John Locke yang dielaborasi oleh Soetomo di atas,


menegaskan bahwa fungsi mengadili merupakan bagian dari tugas eksekutif.
Teori John Locke tersebut kemudian disempurnakan oleh Montesquieu dengan
membagi negara itu ke dalam tiga fungsi yaitu: 1) fungsi Legislasi, membuat
undang-undang. 2) fungsi Eksekutif, melaksanakan undang-undang dan 3) fungsi
Yudikatif, untuk mengawasi agar semua peraturan ditaati (fungsi mengadili), yang
lebih populer dengan teori trias politika.

Fungsi Federasi dalam pandangan Montesquieu dimasukkan menjadi satu


dengan fungsi eksekutif, dan fungsi mengadili dijadikan fungsi yang berdiri
sendiri. Hal ini dapat dipahami karena tujuan Montesquieu dalam
memperkenalkan trias politika adalah untuk kebebasan berpolitik yang hanya

8
dapat dicapai dengan kekuasaan mengadili (lembaga Yudikatif yang berdiri
sendiri).

Terlepas dari pandangan di atas, Rousseau yang juga salah seorang


ahliketatanegaraan mengatakan bahwa fungsi utama sebuah negara yang paling
menonjol adalah fungsi melaksanakan pemerintahan atau melaksanakan
undangundang (Mucshan, 1996:1) dalam jurnal (Usman, 2015 : 135).

Fungsi melaksanakan pemerintahan atau undang-undang sebagaimana


yang dimaksudkan Rousseau tersebut, dalam perkembangannya, masyarakat tidak
mungkin melaksanakan pemerintahan, melainkan hanya sebagai pemegang
kedaulatan. Dalam hubungan ini rakyat menyerahkan hak tersebut kepada
penguasa dalam rangka melaksanakan fungsi pemerintahan atau melaksanakan
undangundang. Jalan pikiran demikian dapat dipahami karena pemerintah
merupakan suatu badan di dalam negara yang tidak berdiri sendiri, melainkan
bertumpuk kepada kedaulatan rakyat. Dan pemerintahan yang ideal adalah
pemerintahan atau penguasa yang dalam melaksanakan fungsinya harus dapat
memahami kehendak dan aspirasi masyarakatnya. Dalam pengertian lain bahwa
ada suatu kewajiban bagi penguasa untuk selalu mengupayakan agar kepentingan
rakyat terpenuhi.

Pandangan di atas, sejalan dengan pemikiran Mr. R. Kranenburk, yang


mengemukakan bahwa negara pada hakikatnya adalah suatu organisasi kekuasaan
yang dibangun oleh sekelompok manusia yang disebut dengan bangsa. Sebab
prinsip utama terjadinya sebuah negara adalah adanya sekelompok manusia yang
disebut bangsa dengan berkesadaran untuk membangun suatu organisasi.
Organisasi yang dibangun itu bertujuan untuk memelihara kepentingan manusia
tersebut. Dari perspektif ini, nampak dengan jelas, bahwa fungsi negara adalah
menyelenggarakan kepentingan bersama dari anggota sekelompok yang
dinamakan bangsa (Usman, 2015 : 135).

Jika pandangan itu kemudian dikaitkan dengan teori-teori kenegaraan,


dapat ditemukan beberapa fungsi negara yang bersifat universal, yaitu adanya
kewajiban suatu negara untuk mewujudkan mepentingan masyarakat atau yang

9
lebih tepat dikatakan kepentingan umum, tanpa melihat kepada bentuk atau sistem
pemerintahan yang dibangun oleh negara yang bersangkutan. Fungsi negara yang
dimaksud yakni:

1.Fungsi Regular (regular function) atau fungsi pengaturan.

Setiap negara harus melaksanakan fungsi utamanya yaitu pengaturan yang


merupakan motor penggerak jalannya roda pemerintahan. Dalam arti, tanpa
adanya pelaksanaan fungsi dimaksud, maka secara dejure negara itu tidak ada.
Sebab melaksanakan fungsi tersebut akibatnya secara langsung dirasakan oleh
masyarakat secara keseluruhan (H.Bohari, 1992 : 6-7) dalam jurnal
(Usman,2015 : 135).

Fungsi regular ini meliputi:

1) Fungsi politik (political fungtion). Fungsi ini merupakan kewajiban negara


yang pertama kali muncul setelah negara tersebut lahir. Aspek yang
termasuk dalam fungsi ini adalah: Pertama, pemeliharaan ketenangan dan
ketertiban. Tujuan dari pelaksanaan fungsi ini adalah dalam rangka
menanggulangi tindakan baik secara preventif maupun secara represif
terhadap ganggyan yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Kedua,
pertahanan dan keamanan (security). Pelaksanaan fungsi ini diperuntukkan
terhadap ancaman dan agresi dari pihak luar yang membahayakan
eksistensi negara itu sendiri.
2) Fungsi diplomatik (diplomatical function). Sebagai manusia tidak
mungkin bisa hidup tanpa berhubungan dengan manusia lain, demikian
pula halnya dengan negara. Negara tidak akan dapat hidup secara
sempurna tanpa berhubungan dengan negara yang lain. Inilah yang
merupakan hakikat dari fungsi diplomatic. Negara berhubugan dengan
negara lain atas dasar persahabatan yang bertanggung jawab, bukan atas
dasar penjajahan. Masing-masing negara akan saling menghormati
kedaulatan masing-masing pihak, sehingga dapat dihindari terjadinya
expliotasi kepentingan.

10
3) Fungsi yuridis (legal function). Dalam pelaksanaan fungsinya, negara
harus dapat menjamin adanya rasa keadilan dalam masyarakat. Dalam
konteks ini Negara berkewajiban untuk mengatur tata cara bernegara dan
bermasyarakat, agar supaya dapat terhindari adanya konflik-konflik yang
terjadi di dalam masyarakat. Setelah permasalahan yang terjadi dalam
masyarakat, maupun negara itu sendiri harus dapat dikembalikan kepada
hukum yang berlaku, dan segala tindakan pemerintah harus berlandaskan
atas aturan main yang sudah diatur oleh kaidah-kaidah hukum.

4) Fungsi administrasi (administrative function). Fungsi ini mengharuskan


agar negara berkewajiban menata birokrasinya, demi mewujudkan tujuan
sebuah negara. Penataan birokrasi dimaksud bukan atas dasar kemauan
negara sematamata, akan tetapi selalu bersumber pada aturan hukum yang
telah ditetapkan sebelumnya (Usman, 2015 : 136).

2. Fungsi Pembangunan (developing function).

Pembangunan pada hakikatnya merupakan perobahan yang terencana,


dilakukan secara terus menerus untuk menuju pada suatu perbaikan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Tujuan negara dimaksud tercantum dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, seecara tegas dikemukakan bahwa “untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia serta seluruh tumpa darah Indonesia untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia (Simorangkir dan Mang Rengsay, 1982) dalam
jurnal (Usman, 2015 : 136). Semangat inilah yang kemudian melandasi
pengelolaan negara dan pemerintahan, untuk mencapai kebaikan dan
kesejahteraan bersama.

Dalam konteks kesejahteraan yang menjadi kata kunci dari tujuan negara,
rakyat harus benar-benar merasakan hasil-hasil pembangunan termasuk
pembangunan demokrasi. Demokrasi yang makna harfiayahnya adalah
pemerintahan rakyat, mengandung arti, rakyat secara bersama-bersama
memerintah di negaranya masing-masing, baik secara langsung ataupun tidak

11
langsung, dengan martabat dan hak semua warganegara yang menjadi bagian dari
rakyat adalah setara. Dalam negara yang diperintah oleh rakyat, yang martabat
dan hak semua warganegara adalah sama, nilai tertinggi yang harus dijadikan
ukuran dari kemajuan negara tersebut adalah perwujudan keadilan bagi rakyat
seluruhnya.

Keadilan bagi semua harus menjadi semboyan dari semua pejuang


demokrasi. Dan keadilan dalam negara demokrasi adalah keadilan berdasarkan
martabat manusia. Suatu negara demokrasi dikatakan adil, kalau semua penduduk
di Negara tersebut mendapatkan hak-haknya, mendapatkan kesempatan
mengembangkan diri dengan akal dan nuraninya, dan mendapatkan kesempatan
menjalankan tugas alamiahnya sebagai manusia (Usman, 2015 : 137).

Negara harus secara serius menegakkan keadilan, karena penegakkan


keadilan adalah fungsi utama negara. Dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, walaupun pererkonomian masyakat belum maju, kalau negara mampu
menegakkan keadilan, rakyat akan setia kepada negara dan tahan hidup menderita
dalam berjuang mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan maju. Tetapi dalam
negara yang kaya raya sekalipun, ketidakadilan akan menyakiti hati rakyat, dan
akan mendapat perlawanan. Rakyat akan menolak semua bentuk ketidakadilan.
Keadilan adalah yang utama dan terutama, tanpa keadilan yang lain kehilangan
makna. Tuntutan atas keadilan inilah yang membuat hampir semua bangsa-bangsa
di dunia sekarang ini menetapkan demokrasi sebagai sistem kenegaraannya,
demokrasi adalah satu-satunya tatanan kenegaraan yang mengakui martabat
manusia, dan pengakuan ini adalah dasar dari keadilan. Oleh karena itu, bagian
akhir dari Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara tegas
menyebutkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam konteks keadilan ini, negara boleh saja tidak makmur, tetapi negara
harus adil, karena kemakmuran suatu negara adalah hasil kerja masyakat, tetapi
kekuasaan penegakan keadilan sepenuhnya telah diserahkan kepada negara.
Rakyat telah mempercayakan fungsi penegakan keadilan kepada negara sejak

12
pembentukannya. Oleh karena itu negara harus adil, dan kalau tidak, negara akan
kehilangan kepercayaan dari masyarakat (Usman, 2015 : 137).

2. Pembagian Dan Pemisahan Kekuasaan Negara

Seperti diuraikan di atas, persoalan pembatasan ke kuasaan (limitation of


power) berkaitan erat dengan te- ori pemisahan kekuasaan (separation of power)
dan te ori pembagian kekuasaan (division of power atau distribution of power).
Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) atau
pembagian kekuasaan dianggap berasal dari Montesquieu dengan trias politica-
nya. Namun dalam perkembangannya, banyak versi yang biasa dipakai oleh para
ahli berkaitan dengan peristilahan pemisahan dan pembagian kekuasaan ini.

Sebenarnya, konsep awal mengenai hal ini dapat ditelusuri kembali dalam
tulisan John Locke, “Second Treaties of Civil Government” (1690) yang
berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukumtidak boleh
dipegang sendiri oleh mereka yang menerap- kannya. Oleh sarjana hukum
Perancis, Baron de Montes- quieu (1689-1755), yang menulis berdasarkan hasil
penelitiannya terhadap sistim konstitusi Inggris, pemikiran John Locke itu
diteruskannya dengan mengembangkan konsep trias politica yang membagi
kekuasaan negara dalam 3 (tiga) cabang kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Pandangan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan rujukan
doktrin separation of power di zaman sesudahnya (Jimly Asshiddiqqie, 2006 : 15).

Istilah “pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indo- nesia merupakan


terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga
fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan
dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri
urusan masing-masing. Kekuasaan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga
legislatif, kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan
demikian pula kekuasaan yudikatif hanya dilakukan oleh cabang kekuasaan
yudisial. Sehingga pada intinya, satu organ hanya dapat memiliki satu fungsi, atau
sebaliknya satu fungsi hanya dapat dijalankan oleh satu organ.Menurut

13
Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois (1748) yang kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan “The Spirit of Laws”

Banyak sekali pro dan kontra yang timbul di kala- ngan para sarjana
mengenai pandangan Montesquieu di lapangan ilmu politik dan hukum.Oleh
karena itu, dengan menyadari banyaknya kritik terhadap teori trias politica
Monstesquieu, para ahli hukum di Indonesia se- ringkali menarik kesimpulan
seakan-akan istilah pemi- sahan kekuasaan (separation of power) yang dipakai
oleh Montesquieu itu sendiri pun tidak dapat dipergu- nakan. Kesimpulan
demikian terjadi, karena penggunaan istilah pemisahan kekuasaan itu biasanya
diidentikkan dengan teori trias politica Montesquieu, dan seolah-olah istilah
pemisahan kekuasaan itu hanya dipakai oleh Montesquieu. Padahal, istilah
pemisahan kekuasaan itu sendiri konsep yang bersifat umum, seperti halnya
konsep pembagian kekuasaan juga dipakai oleh banyak sarjana dengan
pengertian-pengertian yang berbeda-beda satu dengan yang lain.

Sebagai sandingan atas konsep pemisahan keku- asaan (separation of


power), para ahli biasa menggu- nakan pula istilah pembagian kekuasaan sebagai
terje- mahan perkataan division of power atau distribution of power. Ada pula
sarjana yang justru menggunakan istilah division of power itu sebagai genus,
sedangkan separation of power merupakan bentuk species-nya. Bahkan, misalnya,
Arthur Mass membedakan pengertian pembagian kekuasaan (division of power)
tersebut ke dalam 2 (dua) pengertian, yaitu: capital division of power, dan
territorial division of power. Pengertian yang pertama bersifat fungsional,
sedangkan yang kedua bersifat kewilayahan atau kedaerahan (Jimly Asshiddiqqie,
2006 : 17).

Separation of power diartikan oleh O. Hood Phillips dan yang lainnya


sebagai the distribution of the various powers of government among different
organs.Dengan perkataan lain, kata separation of power diidentikkan dengan
distribution of power. Oleh karena itu, istilah-istilah separation of powers,
division of powers, distribution of powers, dan demikian pula istilah-istilah
pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan, sebenarnya mempunyai arti

14
yang sama saja, tergantung konteks pengertian yang dianut. Misalnya, dalam
konstitusi Amerika Serikat, kedua istilah separation of power dan division
ofpower juga sama-sama digunakan. Hanya saja, istilah division of power itu
digunakan dalam konteks pembagian kekuasa- an antara federal dan negara
bagian, atau yang menurut pengertian Arthus Mass yang terkait dengan pengertian
territorial division of powers. Sedangkan, istilah separation of powers dipakai
dalam konteks pembagian keku- asaan di tingkat pemerintahan federal, yaitu
antara legislature, the executive, dan judiciary. Pembagian yang terakhir inilah
yang disebut oleh Arthur Mass sebagai capital division of power.

Dengan demikian, dapat dibedakan penggunaan istilah pembagian dan


pemisahan kekuasaan itu dalam dua konteks yang berbeda, yaitu konteks
hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal atau vertikal. Dalam konteks yang
vertikal, pemisahan kekuasaan atau pem- bagian kekuasaan itu dimaksudkan
untuk membedakan antara kekuasaan pemerintahan atasan dan kekuasaan
pemerintahan bawahan, yaitu dalam hubungan antara pemerintahan federal dan
negara bagian dalam negara federal (federal state), atau antara pemerintah pusat
dan pemerintahan daerah provinsi dalam negara kesatuan (unitary state).

Perspektif vertikal versus horizontal ini juga dapat dipakai untuk


membedakan antara konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dianut
di Indonesia sebelum perubahan UUD 1945, yaitu bahwa kedaulatan atau
kekuasaan tertinggi dianggap berada di tangan rakyat dan dijelmakan dalam
Majelis Permusya- waratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara. Sistem yang
dianut oleh UUD 1945 sebelum perubahan itu dapatdianggap sebagai pembagian
kekuasaan (division of power) dalam konteks pengertian yang bersifat vertikal.
Sedangkan sekarang, setelah Perubahan Keempat, sistemyang dianut oleh UUD
1945 adalah sistim pemisahan ke- kuasaan (separation of power) berdasarkan
prinsip checks and balances. Oleh sebab itu, istilah division of power, distribution
of power, dan separation of power sebenarnya dapat saja dipertukarkan maknanya
satu sama lain. Misalnya, Arthur Mass menggunakan istilah division of power
sebagai genus yang terbagi menjadi capitaldivision of power dan territorial
division of power. Seperti juga dinyatakan oleh John Alder, “There are several

15
aspects of the separation of powers doctrine which are not entirely
consistent”.Namun demikian, istilah pemisahan kekuasaan (separation of powers)
itu sendiri sudah biasa digunakan di kalangan para ahli, tidak saja dalam
pengertian yang mutlak seperti dalam pandangan Montesquieu, tetapi mencakup
pula pengertian-pengertian baru yang berkembang dalam praktik selama abad ke-
20 yang sedikit banyak mencakup juga pengertian-pengertian yang kadang-
kadang terdapat pula istilah division of powers ataupun distribution of powers.
Untuk membatasi pengertian separation of powersitu, dalam bukunya
Constitutional Theory,14 G. Marshall Membedakan ciri-ciri doktrin pemisahan
kekuasaan (separation of powers) itu ke dalam 5 (lima) aspek, yaitu:

1) differentiation;

2) legal incompatibility of office holding;

3) isolation, immunity, independence;

4) checks and balances;

5) coordinate status and lack of accountability.

Pertama, doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu bersifat


membedakan fungsi-fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial.
Legislator membuat aturan, eksekutor melaksanakannya, sedang- kan pengadilan
menilai konflik atau perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan aturan itu dan
menerapkan norma aturan itu untuk menyelesaikan konflik atau perselisihan.
Kedua, doktrin pemisahan kekuasaan menghendaki orang yang menduduki
jabatan di lembaga legislatif tidak boleh merangkap pada jabatan di luar cabang
legislatif. Meskipun demikian, dalam praktik sistempemerintahan parlemen, hal
ini tidak diterapkan secara konsisten. Para menteri pemerintahan kabinet di
Inggris justru dipersyaratkan harus berasal dari mereka yang du-duk sebagai
anggota parlemen (Jimly Asshiddiqqie, 2006 : 24).

Ketiga, doktrin pemisahan kekuasaan juga menentukan bahwa masing-masing


organ tidak boleh turut campur atau melakukan intervensi terhadap kegiatan or-

16
gan yang lain. Dengan demikian, independensi masing- masing cabang kekuasaan
dapat terjamin dengan sebaik- baiknya. Keempat, dalam doktrin pemisahan
kekuasaan itu, yang juga dianggap paling penting adalah adanya prinsip checks
and balances, di mana setiap cabang mengendalikan dan mengimbangi kekuatan
cabang-cabang kekuasaan yang lain. Dengan adanya perimbangan yang saling
mengendalikan tersebut, diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan di
masing-masing organ yang bersifat independen itu. Kemudian yang terakhir,
kelima, adalah prinsip koordinasi dan kesederajatan, yaitu semua organ atau
lembaga (tinggi) negara yang menjalankan fungsi legislatif, eksekutif, dan
yudisial mempunyai kedudukan yang sederajat dan mem- punyai hubungan yang
bersifat coordinatif, tidak bersifat subordinatif satu dengan yang lain.Dalam
pengalaman ketatanegaraan Indonesia, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation
of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu
secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral
dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan
sistim supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala
trias politica Montesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945,16
Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias
politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan ala Montesquieu, melainkan
menganut sistim pembagian kekuasaan.

Namun demikian, sekarang setelah UUD 1945 me- ngalami empat kali
perubahan, dapat dikatakan bahwa sistim konstitusi kita telah menganut doktrin
pemisahan kekuasaan itu secara nyata. Beberapa bukti mengenai hal ini antara
lain adalah:

1) Adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.


Bandingkan saja antara ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum
perubahan dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945
setelah perubahan. Kekuasaan untuk mem- bentuk undang-undang yang
sebelumnya berada di tangan Presiden, sekarang beralih ke Dewan Perwa-
kilan Rakyat;

17
2) Diadopsikannya sistim pengujian konstitusional atas undang-undang
sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi.Sebelumnya tidak
dikenal adanya mekanisme semacam itu, karena pada pokoknya undang-
undang tidak dapat diganggu gugat di mana
hakim dianggap hanya dapat menerapkan undang- undang dan tidak boleh
menilai undang-undang;

3) Diakuinya bahwa lembaga pelaku kedaulatan rakyat itu tidak hanya


terbatas pada MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara
langsung atau tidak lang- sung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
Presiden, anggota DPR, dan DPD sama-sama dipilih se- cara langsung
oleh rakyat dan karena itu sama-sama merupakan pelaksana langsung
prinsip kedaulatan rakyat;

4) Dengan demikian, MPR juga tidak lagi berstatus sebagai lembaga


tertinggi negara, melainkan meru- pakan lembaga (tinggi) negara yang
sama derajatnya dengan lembaga-lembaga (tinggi) negara lainnya, seperti
Presiden, DPR, DPD, MK, dan MA;

5) Hubungan-hubungan antar lembaga (tinggi) negara itu bersifat saling


mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.

Dari kelima ciri tersebut di atas, dapat diketahui bahwa UUD 1945 tidak
lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat
vertikal, tetapi juga tidak menganut paham trias politica Montesquieu yang
memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial secara
mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan saling mengendalikan satu sama lain.
Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan
keempat adalah sistim pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and
balances. Kalaupun istilah pemisahan kekuasaan (separation of power) itu hendak
dihindari, sebenarnya, kita dapat saja menggunakan istilah pembagian kekuasaan
(division of power) seperti yang dipakai oleh Arthur Mass, yaitu capital division
of power untuk pengertian yang bersifat horizontal, dan territorial division of
power untuk pengertian yang bersifat vertikal.Akan tetapi, perlu dicatat bahwa

18
mengenai istilah “pembagian” itu telah dipergunakan oleh Pasal 18 ayat (1) UUD
1945 untuk pengertian pembagian dalam konteks pengertian yang bersifat vertikal
atau territorial division of power. Pasal 18 ayat (1) tersebut berbunyi:“Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten,
dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-
undang”. Artinya, dalam wadah NKRI terdapat provinsi-pro- vinsi yang
merupakan daerah-daerah bagiannya, dan di tiap-tiap daerah provinsi terdapat
pula kabupaten-kabu- paten dan kota yang merupakan daerah-daerah bagian dari
provinsi-provinsi tersebut. Adanya konsep daerah bagian ini terkait erat dengan
kek

.ecewaan umum terhadap penerapan ketentuan Undang-undang Nomor 22


Tahun 1999 yang menganggap pola hubungan antar pemerintahan pusat dan
provinsi serta kabupaten/kota di seluruh Indonesia sebagai hubungan yang tidak
hierarkis, melainkan bersifat horizontal. Ekses-ekses yang timbul sebagai akibat
ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang demikian itu,
menyebabkan banyaknya Bupati dan Walikota yang seolah-olah tidak mau tunduk
di bawah koordinasi Gubernur selaku Kepala Pemerintah Daerah Provinsi (Jimly
Asshiddiqqie, 2006 : 25).

Untuk mengatasi hal itu, maka ketika rancangan Perubahan Kedua UUD 1945
dibahas pada tahun 2000, ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 tersebut dengan
sengaja menggunakan istilah “... dibagi atas daerah- daerah provinsi, dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota...”. Dengan penggunaan istilah
ini,ingin ditegaskan bahwa hubungan antara pusat dan daerah, dan antara provinsi
dan kabupaten/kota kembali bersifat hierarkis vertikal. Dengan demikian, UUD
1945 secara sadar menggunakan istilah “pembagian” itu dalam konteks
pengertiannya yang bersifat vertikal, sehingga konsep pembagian kekuasaan
(division of power) haruslah diartikan sebagai pembagian dalam konteks
pengertian yang bersifat vertikal pula.

19
Oleh karena itu, maka untuk pengertian pembagian kekuasaan dalam
konteks pengertian yang bersifat hori- zontal atau seperti yang diartikan oleh
Arthur Mass dengan capital division of power, haruslah diartikan seba- gai
pemisahan kekuasaan (separation of power), meskipun bukan dalam pengertian
trias politica Montesquieu. Dengan perkataan lain, saya menganjurkan orang
tidak perlu ragu-ragu menggunakan istilah pemisahan keku- asaan berdasarkan
prinsip checks and balances untuk menyebut sistim yang dianut oleh UUD 1945
pasca Perubahan Keempat, asalkan tidak dipahami dalam konteks pengertian trias
politica Montesquieu (Jimly Asshiddiqqie, 2006 : 26).

3. Desentralisasi Dan Dekonsentralisasi

Di samping terkait dengan persoalan pemisahan kekuasaan (separation of


power) dan pembagian kekuasaan (division of power), pembatasan kekuasaan
juga dikaitkan dengan desentralisasi dan dekonsentrasi kekuasaan. Menurut
Hoogerwarf, desentralisasi merupakan pengakuan atau penyerahan wewenang
oleh badan-badan publik yang lebih tinggi kepada badan-badan publik yang lebih
rendah kedudukannya untuk secara mandiri dan berdasarkan kepentingan sendiri
meng- ambil keputusan di bidang pengaturan (regelendaad) dan di bidang
pemerintahan (bestuursdaad). Sementara itu, menurut Dennis A. Rondinelli, John
R. Nellis, dan G. Shabbir Cheema mengatakan: “Decentralization is the transfer
of planning, decision making, or administrative authority from the central
government to its field organizations, local govern- ment, or non-gevernmental
organizations”.

Menurut ketiga sarjana ini, desentralisasi merupakan pembentukan atau


penguatan unit-unit pemerintah- an “sub-nasional” yang kegiatannya secara
substansial berada di luar jangkauan kendali pemerintahan pusat (the creation or
strengthening of sub-national units of government, the activities of which are
substantially outside the direct control of central government).Jika
dikelompokkan, desentralisasi itu dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) kelompok
besar, yaitu (1) dekonsentrasi yang merupakan ambtelijke decentralisatie atau

20
desentralisasi administratif, dan (2) desentralisasi politik atau staatskundige
decentralisatie (Jimly Asshiddiqqie, 2006 : 27).

Dalam hubungannya dengan bidang kajian hukum administrasi negara dan


hukum tata negara, desentralisasi administratif itu dapat kita namakan sebagai
desentralisasi ketatausahanegaraan, sedangkan staatskundige decentralisatie
merupakan desentralisasi ketatanegaraan. Dalam ambtelijke decentralisatie,
terjadi pelimpahan ke- kuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat atas kepada
alat perlengkapan negara tingkat bawahannya guna melancarkan pelaksanaan
tugas pemerintahan. Sedangkan, dalam staatskundige decentralisatie terjadi
pelimpahan kekuasaan di bidang perundang-undangan dan di bidang
pemerintahan (regelende en besturende bevoegheiden) kepada unit-unit
pemerintahan daerah otonom. Namun, secara umum, pengertian desentralisasi itu
sendiri biasanya dibedakan dalam 3 (tiga) pengertian, yaitu:
1) Desentralisasi dalam arti dekonsentrasi;
2) Desentralisasi dalam arti pendelegasian kewenangan;
3) Desentralisasi dalam arti devolusi atau penyerahan fungsi dan kewenangan;

Desentralisasi dalam pengertian dekonsentrasi merupakan pelimpahan


beban tugas atau beban kerja dari pemerintah pusat kepada wakil pemerintah
pusat di daerah tanpa diikuti oleh pelimpahan kewenangan untuk mengambil
keputusan. Sebaliknya, desentralisasi dalam arti pendelegasian kewenangan
(transfer of authority) berisi penyerahan kekuasaan untuk mengambil keputus- an
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau unit organisasi
pemerintahan daerah yang berada di luar jangkauan kendali pemerintah pusat.
Sementara itu, desentralisasi dalam arti devolusi merupakan penyerahan fungsi
pemerintahan dan kewenangan pusat kepada pemerintahan daerah. Dengan
penyerahan itu, pemerintah daerah menjadi otonom dan tanpa dikontrol
olehpemerintah pusat yang telah menyerahkan hal itu kepada daerah (Jimly
Asshiddiqqie, 2006 : 28).

21
Pada hakikatnya, desentralisasi itu sendiri dapat dibedakan dari segi
karakteristiknya, yaitu:
1) Desentralisasi teritorial (territorial decentralization),

Yaitu penyerahan urusan pemerintahan atau pelim- pahan wewenang


untuk menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan dari pemerintah yang lebih
tinggi kepada unit organisasi pemerintah yang lebih rendah berdasarkan aspek
kewilayahan;

2).Desentralisasi fungsional (functional decentralization)

Yaitu penyerahan urusan-urusan pemerintahan atau pelimpahan wewenang


untuk menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan dari pemerintah yang lebih
tinggi kepada unit-unit pemerintah yang lebih rendah berdasarkan aspek tujuannya
(seperti Subak di Bali);

3).Desentralisasi politik (political decentralization)

Yaitu pelimpahan wewenang yang menimbulkan hak untuk mengurus diri


kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerahyang
dipilih oleh rakyat. Ini terkait juga dengan desentralisasi teritorial;

4). Desentralisasi budaya (cultural decentralization)

Yaitu pemberian hak kepada golongan-golongan tertentu untuk


menyelenggarakan kegiatan kebudaya- annya sendiri. Misalnya, kegiatan
pendidikan oleh kedutaan besar negara asing, otonomi nagari dalam
menyelenggarakan kegiatan kebudayaannya sendiri, dan sebagainya. Dalam hal
ini sebenarnya tidak termasuk urusan pemerintahan daerah;

5) Desentralisasi ekonomi (economic decentralization)

Yaitu pelimpahan kewenangan dalam penyelenggara- an kegiatan


ekonomi;

6).Desentralisasi administratif (administrative decentralization)

22
Yaitu pelimpahan sebagian kewenangan kepada alat-alat atau unit
pemerintahan sendiri di daerah. Pengertiannya identik dengan dekonsentrasi.

Keenam karakteristik desentralisasi tersebut dapat dikaitkan dengan tujuan


dan manfaat yang dapat diperoleh dengan diterapkannya kebijakan desentralisasi
dan dekonsentrasi yang pada pokoknya merupakan kebijakan yang diperlukan
untuk mengatasi kecenderungan terja- dinya penumpukan kekuasaan di satu pusat
kekuasaan. Di samping itu, dengan kebijakan desentralisasi dan dekonsentrasi
juga diharapkan dapat terwujud fungsi-fungsi kekuasaan negara yang efektif dan
efisien, serta terjaminnya manfaat-manfaat lain yang tidak dapat diharapkan dari
sistim pemerintahan yang terlalu terkonsentrasi dan bersifat sentralistis (Jimly
Asshiddiqqie, 2006 : 29).

Oleh karena itu, ada beberapa tujuan dan manfaat yang biasa dinisbatkan
dengan kebijakan desentralisasi dan dekonsentrasi itu, yaitu:

1) Dari segi hakikatnya, desentralisasi dapat mencegah terjadinya


penumpukan (concentration of power) dan pemusatan kekuasaan
(centralised power) yang dapat menimbulkan tirani;

2) Dari sudut politik, desentralisasi merupakan wahana untuk


pendemokratisasian kegiatan pemerintahan;

3) Dari segi teknis organisatoris, desentrali-sasi dapat menciptakan


pemerintahan yang lebih efektif dan efisien;

4) Dari segi sosial, desentralisasi dapat membuka peluang partisipasi dari


bawah yang lebih aktif dan berkembangnya kaderisasi kepemimpinan
yang bertanggung jawab karena proses pengambilan keputusan tersebar di
pusat-pusat kekuasaan di seluruh daerah;

5) Dari sudut budaya, desentralisasi diselenggarakan agar perhatian dapat


sepenuhnya ditumpahkah kepada kekhususan-kekhususan yang terdapat di
daerah, sehingga keanekaragaman budaya dapat terpelihara dan sekaligus

23
didayagunakan sebagai modal yang mendorong kemajuan pembangunan
dalam bidang-bidang lainnya;

6) Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, karena pemerintah daerah


dianggap lebih banyak tahu dan secara langsung berhubungan dengan
kepentingan di daerah, maka dengan kebijakan desentralisasi,
pembangunan ekonomi dapat terlaksana dengan lebih tepat dan dengan
biaya yang lebih murah.

Kegiatan desentralisasi menurut Cohen dan Peterson dapat dikaitkan dengan


sistem klasifikasi. Desentralisasi dapat dilihat sebagai konsep dan sebagai alat
untuk pembangunan yang berkembang sangat dina- mis dalam teori dan praktik.
Oleh karena itu, desentralisasi juga dapat dipahami secara lebih luas melalui
berbagai pendekatan. Pertama, dari segi historis, konsep dan corak desentralisasi
itu sendiri terus berkembang dari waktu ke waktu, sehingga oleh sebab itu,
pengertian dan pemahaman baku tentang desentralisasi juga terus berkembang.
Kedua, konsep desentralisasi juga biasa dibedakan dari segi desentralisasi
teritorial versus desentralisasi fungsional. Ketiga, desentralisasi juga dapat dilihat
dari pendekatan produksi, yaitu fungsi produksi dan penetapan barang dan jasa,
serta pengiriman barang dan jasa

Namun, keempat, menurut Berkeley, desentralisasi itu dapat dibedakan dalam


8 (delapan) bentuk. Kedelapan bentuk desentralisasi itu adalah:

1. devolusi

2. devolusi fungsional

3. organisasi permasalahan

4. dekonsentrasi prefectoral

5. dekonsentrasi ministerial

6. delegasi kepada unit-unit otonom

7. kedermawanan,

24
8. marketisasi.

Di samping itu, kelima, desentralisasi juga dipandang tidak hanya sekedar


memindahkan tanggung jawab, kekuasaan personil, dan resources. Lebih dari itu,
dengan desentralisasi, unit-unit pemerintahan di daerah yaitu

1. Dibentuk oleh badan perwakilan rakyat sehingga menjadi legal unit tersendiri
di depan pengadilan

2. Berada dalam wilayah tertentu dengan unsur masyarakatnya didukung oleh


kebersamaan dan kesadaran akan adanya unit pemerintahan dimaksud

3. Diurus atau dipimpin oleh pejabat yang dipilih di tingkat lokal

4. Berwenang membuat kebijakan dan peraturan daerah

5. Berwenang memungut pajak

6. Memiliki kewenangan mengelola anggaran sendiri, penggajian, dan sistem


keamanan.

Keenam, dari segi tujuannya, desentralisasi dapat pula dibedakan untuk


tujuan politik, tujuan perhubungan, tujuan pasar, dan tujuan administratif.
Sedangkan dari segi sifatnya, desentralisasi yang bertujuan administratif tersebut
dapat dibedakan lagi dalam tiga jenis, yaitu dekonsentrasi, devolusi, dan delegasi
(Jimly Asshiddiqqie, 2006 : 32).

2.2 Cabang Kekuasaan Legislatif

Badan legislatif adalah lembaga yang legislate atau membuat undang-


undang. Anggota-anggotanya dianggap mewakili rakyat maka dari itu badan ini
sering dipakai ialah parlemen. Menurut teori yang berlaku, maka rakyatlah yang
berdaulat, rakayt yang berdaulat ini mempunyai suatu kemauan (yang oleh
Rousseau disebut Volonte Generale atau General Will). Dewan perwakilan rakyat
dianggap merumuskan kemauan rakyat atau kemauan umum ini dengan jalan
menentukan kebijaksanaan umum (public policy) yang mengikat seluruh

25
masyarakat. Undang-undang yang dibuatnya mencerminkan kebijaksanaan-
kebijaksaan itu dapat dikatakan bahwa ia merupakan badan yang membuat
keputusan yang menyangkut kepentingan umum. Tidak dari semula Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai wewenang untuk menentukan kebijaksanaan
umum dan membuat undang-undang. Parlemen Inggris yang merupakan dewan
perwakilan rakyat tertua didunia, mula-mula hanya bertugas mengumpulkan dana
untuk memungkinkan raja membiayai kegiatan pemerintahan serta peperangan.
Akan tetapi lambat laun setiap penyerahan dana (semacam pajak) disertai tuntutan
agar pihak raja menyerahkan pula beberapa hak dan privilege sebagai imbalan.
Dengan demikian secara berangsur-angsur parlemen berhasil bertindak sebagai
badan yang membatasi kekuasaan raja yang tadinya berkekuasaan absolute
(absolutisme).

Dengan berkembangnya gagasan bahwa kedaulatan adalah di tangan


rakyat, maka dewan perwakilan rakyat menjadi badan yang berhak
menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menentukan kebijaksanaan umum
dan menuangkannya dalam undang-undang. Dalam pada itu badan eksekutif
hanya merupakan penyelenggara dari kebijaksaan umum itu. Rousseau yang
merupakan pelopor dari gagasan kedaulatan rakyat, tidak menyetujui adanya
badan perwakilan, tetapi mencita-cita kan suatu bentuk demokrasi langsung
(seperti terdapat di jenewa dalam masa hidup Rousseau), dimana rakayat secara
langsung merundingkan serta memutuskan soal-soal kenegaraan dan politik. Akan
tetapi dewasa ini demokrasi langsung seperti yang diingkan oleh Rousseau
dianggap tidak praktis, dan hanya di pertahankan dalam bentuk khusus dan
terbatas seperti referendum, plebsit, dan sebagainya. Boleh dikatakan bahwa
dalam negara modern dewasa ini rakyat menyelenggarakan kedaulatan yang
dimilikinya melalui wakil-wakil yang dipilihnya secara berkala. Dewan
perwakilan rakyat dinegara demokratis disusun sedemikian rupa sehingga ia
mewakili mayoritas dari rakyat dan pemerintah bertanggung jawab kepadanya.
Untuk meminjam perumusan C.F Strong Demokrasi adalah suatu sistem
pemerintahan dalam mana mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut
serta atas dasar sistem perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah akhirnya

26
mempertanggung jawabkan tindakan-tindakannya kepada mayoritas itu. Negara
demokratis didasari oleh sistem perwakilan demokratis yang menjamin kedaulatan
rakyat (Budiardjo, 1972: 173-174).

Susunan Badan Legislatif

Jumlah anggota Badan Legislatif berbeda sekali ada yang jumlahnya banyak,
seperti Uni Soviet (1300 anggota), ada yang jumlahnya kecil, seperti di Pakistan
pada masa Demokrasi dasar (150 anggota). Begitu pula dasar keanggotaan mereka
beraneka ragam sifatnya:

a. Turun-temurun (sebagian Majelis Tinggi Inggris)


b. Ditunjuk (senat Kanada)
c. Dipilih, baik secara langsung maupun tidak langsung

Dalam negara modern langsung pada umumnya anggota bada legislatif dipilih
dalam pemilihan umum dan berdasarkan sistem kepartaian. Perwakilan semacam
ini bersifat politik. Akan tetapi sistem ini tidak menutup kemungkinan beberapa
orang anggota dipilih tanpa ikatan pada sesuatu partai, tetapi sebagai orang
Independent. Perwakilan (representation) adalh konsep bahwa seseorang atau
suatu kelompok mempunyai kemmapuan atau kewajiban untuk bicara dan
bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota dewan
perwakilan rakyat pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Hal ini
dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political representation). Sekalipun
azas perwakilan politik telah menjadi sangat umum, akan tetapi ada beberapa
kalangan yang merasa bahwa partai politik dan perwakilan yang berdasarkan
kesatuan-kesatuan politik semata-mata, mengabaikan kepentingan-kepentingan
dan kekuatan-kekuatan lain yang ada didalam masyarakat.

Beberapa negara telah mencoba untuk mengatasi persoalan ini dengan


mengikutsertakan wakil dari golongan-golongan yang dianggap memerlukan
perlindungan khusus. Misalnya, India mengangkat beberapa orang wakil dari
golongan Anglo-Indian sebagai anggota majelis rendah, sedangkan beberapa
wakil dari kalangan kebudayaan, kesusateraan dan pekerjaan sosial diangkat

27
menjadi anggota majelis tinggi. Di dewan perwakilan rakyat Pakistan dalam masa
demokrasi dasar disediakan beberapa kursi untuk golongan wanita dan untuk
orang-orang yang berjasa di berbagai bidang, misalnya bekas penjabat tinggi
seperti gubernur atau menteri, dan dari kalangan kebudayaan, ilmu pengetahuan,
profesi-profesi (seperti:pengacara, dan sebgainya). Umumnya boleh dikatakan
bahwa pengangkatan wakil-wakil dari berbagai golongan fungsionil dan
minoritas dimaksudkan sebagai sekedar koreksi terhadap azas perwakilan politik.
Disamping itu terdapat bahwa dibeberapa negara azas perwakilan politik
diragukan kewajarannya dan diusahakan agar diganti atau sekurang-kurangnya
dilengkapi dengan azas perwakilan fungsional. Dianggap bahwa negara modern
dikuasai oleh bermacam-macam kepentingan ekonomis, yang dalam sistem
perwakilan politik sama sekali tidak dihiraukan dan tidak dilibatkan dalam proses
politik.

Dianjurkan supaya si pemilih mendapat kesempatan untuk memilih dalam


golongan ekonomis atau profesi di mana ia bekerja, dan tidak semata-mata
menurut golongan politiknya, seperti halnya dalam sistem perwakilan politik.
Golongan yang gigih memperjuangkan pandangan ini antara lain Guild Socialists.
Bermacam-macam cara telah digunakan untuk mengatasi masalah lain. Misalnya
di Irlandia, berdasrkan undang-undang dasar 1937, wakil-wakil golongan
fungsionil dipilih dan kedudukan dalam senat. Di republic Prancis ke IV pada
tahun 1946 didirikan suatu majelis khusus di luar dewan perwakilan rakayat, yaitu
Majelis Ekonomi, yang berhak memperbincangkan rancangan undang-undang
yang menyangkut soal ekonomi. Akan tetapi, badan ini tidak mempunyai
wewenang untuk mengambil keputusan, dan hanya memainkan peranan sebagai
penasehat dewan perwakilan rakyat, tetapi kepada pemerintah. Anggotanya
ditunjuk oleh pemerintah dari bermacam-macam golongan ekonomi, sosial,
profesi, dan bidang keahlian lain.

Sistem-sistem pemilihan

a. Sistem Distrik

28
Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan
atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut
distrik karena kecilnya daerah yang diliput) mempunyai satu wakil dalam
dewan perwakilan rakyat. Untuk keperluan itu negara dibagi dalam
sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam dewan perwakilan
rakyat ditentukan oleh jumlah distrik.
b. Sistem perwakilan berimbang
Sistem ini dimaksud untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari
sistem distrik. Gagasan pokok adalah bahwa jumlah kursi yang diperoleh
oleh sesuatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang
diperolehnya (Budiardjo, 1972:177-178).

Sistem Satu Majelis dan Sistem Dua Majelis

Ada negara dimana badan Legislatif terbagi dalam dua majelis (bi-
kemeralisme), sedangkan di beberapa negara lain hanya berdiri dari satu majelis
(uni-kameralisme). Boleh dikatakan bahwa semua negara federal memakai sistem
dua majelis oleh karena satu diantaranya mewakili kepentingan negara bagian
khususnya (India, Amerika Serikat, Uni Soviet, Republik Indonesia Serikat).
Negara kesatuan yang memakai sistem dua majelis biasanya terdorong oleh
pertimbangan bahwa satu majelis dapat mengimbangi dan membatasi kekuasaan
oleh karena mudah dipengaruhi oleh situasi politik. Bagaimanapun juga, majelis
tambahan biasanya disusun sedemikian rupa sehingga wewenangnya kurang
daripada badan yang mewakili rakyat. Badan yang mewakili rakyat umumnya
disebut Majelis Rendah (Lower House) sedangkan mejlis lainnya disebutkan
Majelis Tinggi (Upper House atau Senat).

a. Majelis Tinggi
Anggota Majelis Tinggi dapat ditentukan bermacam-macam dasar:
1. Turun-temurun (Inggris).
2. Ditunjuk (Inggris, Kanada).
3. Dipilih (India, Amerika Serikat, Uni Soviet, Filipina).

29
Majelis Tinggi Inggris (House of Lords) merupakan satu-satunya majelis dimana
sebagian anggotanya berkedudukan turun-temurun. Diasamping itu ada anggota
yang pada waktu tertentu ditunjuk berdasarkan jasanya kepada msyarakat
(misalnya, Ny. Churchill sesudah suaminya meninggal) dalam hal mana
keanggotaan tidak turun-temurun. Begitu pula di Kanada, penunjukan anggota
Senat sering didasarkan jasanya terhadap masyarakat atau kepada partai yang
sedang berkuasa.

Dalam negara yang anggota majelis tinggi dipilih, kita menjumpai bahwa
masa jabatan anggota majelis tinggi lebih lama daripada masa jabatan anggota
majelis rendah, seperti di India, Amerika Serikat, Filipina. Dalam keadaan
semacam ini tidak mustahil kedua majelis itu pada suatu waktu berlainan
komposisinya, dalam arti bahwa majelis rendah dikuasai oleh partai lain. Hal ini
dapat menghambat kelancaran pekerjaan. Hal ini telah menimbulkan kecaman
bahwa adanya majelis tinggi tidak demokratis, oleh karena tidak selalu
mencerminkan konstelasi kekuasaan yang sebenarnya. Kecaman lain yang
dilontarkan ialah bahwa adanya dua majelis akan menghambat kelancaran
pembahasan perundang-undangan. Maka dari itu sering terdapat bahwa wewenang
majelis tinggi adalah kurang daripada wewenang majelis rendah. Biasanya yang
mempunyai wewenang untuk menjatuhkan kabinet hanya majelis rendah. Hanya
di Amerika Serikat saja majelis tinggi (Senat) mempunyai kekuasaan yang lebih
besar daripada majelsi rendah.

b. Majelis Rendah
Biasanya semua anggota dipilih dalam pemilihan umum dianggap sebagai
majelis yang terpenting. Biasanya masa jabatan sudah ditentukan (Amerika
Serikat 2 tahun, Filipina 2 tahun). Di Inggris dan India masa jabatan maksimal 5
tahun, akan tetapi sewaktu-waktu dapat dibubarkan atas anjuran perdana menteri
untuk diadakan pemilihan baru. Wewenang majelis rendah biasanya lebih besar
daripada wewenang majelis tinggi, kecuali di Amerika Serikat. Wewenang ini
tercermin baik di bidang legislative maupunn dibidang pengawasan (kontrol).
Dinegara-negara yang memakai sistem parlemnter, seperti Inggris dan India,
majelis ini dapat menjatuhkan cabinet. Dalam sistem presindensil, seperti

30
Amerika Serikat dan Filipina, majelis rendah tidak mempunyai wewenang ini
(Budiardjo, 1972:182).

Fungsi Badan Legislatif

Diantara fungsi badan legislatif yang paling penting adalah:

1. Menentukan policy (kebijaksanaan) dan membuat undang-undang. Untuk


itu dewan perwakilan rrakyat diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan
amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh
pemerintah, dan hak budget.
2. Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga suapay semua tindakan
badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan-kebijkasanaan yang telah
ditetapkan untuk menyelenggarakan tugas ini, badan perwakilan rakyat
diberi hak-hak kontrol khusus.

` Disamping itu terdapat banyak badan legislatif yang menyelenggarakan


beberapa fungsi lain seperti misalnya mengesahkan perjanjian-perjanjian
internasional yang dibuat oleh badan eksekutif. Perlu dicatat bahwa beberapa
badan legislatif (antara lain Amerika Serikat) mempunyai wewenang untuk
menuntut dan mnegadili penjabat tinggi, termasuk presiden. Di Prancis badan
legislatif berwenang menuntut penjabat tinggi termasuk presiden dan menteri-
menteri, akan tetapi pengadilan tinggilah yang mengadili (Budiardjo, 1927:183).

Fungsi Legislatif

Menurut teori yang berlaku maka tugas utama dari badan legislatif terletak
di bidang perundang-undangan. Untuk membahas rancangan undang-undang
sering di bentuk paniti-panitia yang berwewenang untuk memanggil menteri atau
penjabat lainnya untuk diminta keterangan seperlunya. Di beberapa negara seperti
Amerika Serikat dan Perancis, panitia legislatif ini sangat berkuasa, tetapi
dinegara lain seperti Inggris, panitia-panitia ini hanya merupakan panitia teknis
saja. Biasanya siding-sidang panitia legislatif diadakan secar tertutup, kecuali di
Amerika Serikat dimana dapat ditentukan bahwa sidang panitia terbuka untuk
umum. Akan tetapi dewasa ini telah menjadi gejala umum bahwa titik berat di

31
bidang legislatif banyak berbergeser ke tangan badan eksekutif. Mayoritas dari
perundang-undangan di rumuskan dan dipersiapkan oleh badan eksekutif,
sedangkan badan legislatif tinggal membahas. Lagi pula undang-undang yang di
buat atas inisiatif badan legislatif sedikit sekali jumlahnya dan jarang menyangkut
kepentingan umum. Hal ini tidak mengherankan sebab dalam negara modern
badan eksekutif bertanggungjawab atas peningkatan taraf kehidupan rakyat dank
arena itu harus memainkan peranan yang aktif dalam mengatur semua aspek
kehidupan masyarakat. Dan kepemimpinannya tercermin dalam perundang-
undangan yang dipersiapkannya. Dalam tugas ini di bantu oleh para ahli serta
sarana-sarana lainnya dalam masing-masing kementerian yang memang
merupakan syarat mutlak untuk merumuskan syarat mutlak untuk merumuskan
rancangan undang-undangnya dikeahlian anggota-anggotanya lebih terbatas,
sekalipun dibeberapa negara anggota badan legislatif di bantu staf administrasi
dan research yang baik. Akan tetapi dibidang keuangan, kekuasan badan legislatif
masih tampak jelas. Rancangan anggaran belanja diajukan kebadan legislatif oleh
badan eksekutif, akan tetapi badan legislatif mempunyai hak untuk mengadakan
amandemen, dan dalam hal ini menentukan seberapa jauh anggaran pemerintah
dan dengan demikian seluruh program kegiatan pemerintahan dapat disetujui.
Jadi, badan legislatiflah yang menentukan berapa dan dengan cara bagaimana
uang rakyat dipergunakan. Dalam negara di mana badan eksekutif memainkan
peranan yang dominan, badan legislatif biasanya tidak akan terlalu banyak
mengubah rancangan anggaran belanja, akan tetapi dalam negara di mana badan
legislatif merupakan badan yang kuat, badan legislatif dapat saja mengadakan
banyak perubahan, termasuk mengurangi anggaran yang akan dipergunakan.
Congress Amerika Serikat, misalnya akhir-akhir ini sering mengurangi bantuan
ekonomi untuk negara-negara yang sedang berkembang (Budiardjo, 1972:183-
184).

2.3 Cabang Kekuasaan Yudisial

1. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman

32
Kekuasaan kehakiman merupakan pilar ketiga dalam sistim kekuasaan
negara modern. Dalam bahasa Indonesia, fungsi kekuasaan yang ketiga ini
seringkali disebut cabang kekuasaan "yudikatif", dari istilah Belanda judicatief.
Dalam bahasa Inggris, di samping istilah legislative, executive, tidak dikenal
istilah judicative, sehingga untuk pengertian yang sama biasanya dipakai istilah
judicial, judiciary, ataupun judicature. Dalam sistem negara modern, cabang
kekuasaan kehakiman atau judiciary merupakan cabang yang diorganisasikan
secara tersendiri. Oleh karena itu, dikatakan oleh John Alder, "The principle of
separation of powers is particuarly important for the judiciary". (Jimly
Assihiddiqqie, 2006:44)

Bahkan, boleh jadi, karena Montesquieu sendiri adalah seorang hakim


(Perancis), maka dalam bukunya, "L'Esprit des Lois", ia mengimpikan pentingnya
pemisahan kekuasaan yang ekstrim antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif,
dan terutama kekuasaan yudisial. Baik di negara-negara yang menganut tradisi
civil law maupun common law, baik yang menganut sistim pemerintahan
parlementer maupun presidentil, lembaga kekuasaan kehakiman selalu bersifat
tersendiri. Di negara yang menganut sistim parlementer, terdapat percampuran
antara fungsi legislatif dan eksekutif. Di Inggris, misalnya, untuk menjadi menteri
seseorang justru dipersyaratkan harus berasal dari anggota parlemen.

Parlemen dapat membubarkan kabinet melalui mekanisme mosi tidak


percaya. Sebaliknya, pemerintah juga dapat membubarkan parlemen dengan cara
mempercepat pemilihan umum. Akan tetapi, meskipun demikian, cabang
kekuasaan kehakiman atau judiciary tetap bersifat independen dari pengaruh
cabang-cabang kekuasaan lainnya. Pemisahan kekuasaan juga terkait erat dengan
independensi peradilan. Prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu
menghendaki bahwa para hakim dapat bekerja secara independen dari pengaruh
kekuasaan eksekutif dan legislatif. Bahkan, dalam memahami dan menafsirkan
undang-undang dasar dan undang-undang, hakim harus independen dari pendapat
dan bahkan dari kehendak politik para perumus undang- undang dasar dan
undang-undang itu sendiri ketika perumusan dilakukan. (Jimly Asshiddiqqie,
2006:45).

33
Meskipun anggota Parlemen dan Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat
mencerminkan kedaulatan rakyat dalam menentukan kebijakan kenegaraan, tetapi
kata akhir dalam memahami maksudnya tetap berada di tangan para hakim.Lagi
pula, sebagai buatan manusia, hukum dan peraturan perundang-undangan
seringkali memang tidak sempurna. Kadang-kadang, ada undang-undang yang
agak kabur perumusannya dan membuka kemungkinan banyak penafsiran
mengenai pengertian-pengertian yang terkandung di dalamnya. Akibatnya,
peraturan yang demikian itu menyebabkan terjadinya kebingungan dan
ketidakpastian yang luas. Karena itu, diperlukan hakim yang benar-benar dapat
dipercaya untuk memutuskan hal tersebut sebagai solusi akhir.

Untuk itu, diperlukan pula pengaturan mengenai tipe manusia yang seperti
apa yang seharusnya diangkat menjadi hakim. Banyak sekali komentar dan
pandangan negatif terhadap hakim mengenai sejauh mana hakim dapat bekerja
dengan objektif, dan apakah tidak mungkin terjadi bahwa hakim yang
dikonstruksikan sebagai manusia bebas dan tidak berpihak kecuali kepada
kebenaran tidak akan "bias". Apakah benar bahwa seorang hakim baik secara
sadar ataupun tidak sadar tidak akan dipengaruhi oleh sikap prejudice yang
disebabkan oleh latar belakang sosial dan politik kehidupannya sendiri dalam
memutus setiap perkara, di mana untuk itu ia diharapkan bersikap objektif dan
imparsial. Sikap "bias" itu sendiri kadang-kadang dipengaruhi pula oleh cara
hakim sendiri memahami atau memandang kedudukan dan fungsinya itu.
Misalnya, dalam memutus sesuatu perkara, pastilah ada. yang pihak senang dan
ada pihak tidak senang, termasuk dalam perkara yang bersangkutan dengan
pertentangan antara negara dengan warga negara. (Jimly Asshiddiqqie, 2006:45-
46).

Dalam hal demikian apakah hakim akan tetap dapat bersikap netral atau
akan merasa menjadi hero bagi rakyat dalam menghadapi negara. Dalam kegiatan
bernegara, kedudukan hakim pada pokoknya bersifat sangat khusus. Dalam
hubungan ke- pentingan yang bersifat triadik (triadic relation) antara negara
(state), pasar (market), dan masyarakat madani (civil society), kedudukan hakim
haruslah berada di tengah. Demikian pula dalam hubungan antara negara (state)

34
dan warga negara (citizens), hakim juga harus berada di antara keduanya secara
seimbang. Jika negara dirugikan oleh warga negara, karena warga negara
melanggar hukum negara, maka hakim harus memutuskan hal itu dengan adil.

Jika warga negara dirugikan oleh keputusan-keputusan negara, baik melalui


perkara tata usaha negara maupun perkara pengujian peraturan, hakim juga harus
memutusnya dengan adil. Jika antar- warga negara sendiri atau pun dengan
lembaga-lembaga negara terlibat sengketa kepentingan perdata satu sama lain,
maka hakim atas nama negara juga harus memutusnya dengan seadil-adilnya pula.
Oleh karena itu, hakim dan kekuasaan kehakiman memang harus ditempatkan
sebagai cabang kekuasaan yang tersendiri. Oleh sebab itu, salah satu ciri yang
dianggap penting dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische
rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional
democracy) adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak
berpihak (independent and impartial).

Apapun sistem hukum yang dipakai dan sistim pemerintahan yang dianut,
pelaksanaan the principles of independence and impartiality of the judiciary
haruslah benar-benar dijamin di setiap negara demokrasi konstitusional
(constitutional democracy). Lembaga peradilan tumbuh dalam sejarah umat
manusia dimulai dari bentuk dan sistemnya yang sederhana. Lama-lama bentuk
dan siştim peradilan berkembang menjadi semakin kompleks dan modern.

Oleh karena itu, seperti dikemukakan oleh Djokosoetono, ada empat tahap
dan sekaligus empat macam rechts-praak yang dikenal dalam sejarah, yaitu:

1. Rechtspraak naar ongeschreven recht (hukum adat), yaitu pengadilan yang


didasarkan atas ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti pengadilan
adat.
2. Rechtspraak naar precedenten, yaitu pengadilan yang didasarkan atas
prinsip presedent atau putusan-putusan hakim yang terdahulu, seperti yang
dipraktikkan di Inggris
3. Rechtspraak naar rechtsboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas
kitab-kitab hukum, seperti dalam praktik dengan pengadilan agama (Islam)

35
yang menggunakan kompendium atau kitab-kitab ulama ahlussunnah wal-
jama'ah atau kitab-kitab ulama syi’ah dan
4. Rechtspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas
ketentuan undang-undang atau pun kitab undang-undang. Pengadilan
demikian ini merupakan penjelmaan dari paham hukum positif atau
moderne wetgeving yang mengutamakan peraturan perundang-undangan
yang bersifat tertulis (schreven welgeving).

Pengadilan adalah lembaga kehakiman yang menjamin tegaknya keadilan


melalui penerapan undang-undang (wet en wetboeken) dimaksud. Strukturnya
dapat bertingkat-tingkat sesuai dengan sifat perkara dan bidang hukum yang
terkait. Ada perkara yang cukup diselesaikan melalui peradilan pertama dan
sekaligus terakhir, ada pula perkara yang diselesaikan dalam dua tingkat, dan ada
pula perkara yang diselesaikan dalam tiga tahap, yaitu tingkat pertama, tingkat
banding, dan tingkat kasasi. (Jimly Asshiddiqqie, 2006:46-49).

Dalam sistim peradilan di Indonesia dewasa ini, terdapat 4 (empat)


lingkungan peradilan, yang masing- masing mempunyai lembaga lembaga
pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Pada tingkat kasasi,
semuanya berpuncak pada Mahkamah Agung (MA). Pengadilan tingkat pertama
dan kedua dalam keempat lingkungan peradilan tersebut adalah:
1) Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) dalam lingkungan
peradilan umum
2) Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dalam
lingkungan peradilan agama
3) Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara dalam lingkungan peradilan tata usaha negara dan
4) Pengadilan Militer (PM) dan Pengadilan Tinggi Militer dalam lingkungan
peradilan militer. (Jimly Asshiddiqqie, 2006:49).

Di samping itu, dewasa ini, dikenal pula beberapa pengadilan khusus, baik yang
bersifat tetap ataupun Ad Hoc, diantaranya yaitu:

36
1. Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM)
2. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
3. Pengadilan Niaga
4. Pengadilan Perikanan
5. Pengadilan Anak
6. Pengadilan Hubungan Kerja Industrial
7. Pengadilan Pajak
8. Mahkamah Syar'iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
9. Pengadilan Adat di Papua.

Pengadilan HAM, Pengadilan Tipikor, Pengadilan Niaga, Pengadilan


Perikanan, Pengadilan Anak, serta Pengadilan Hubungan Industrial termasuk ke
dalam lingkungan peradilan umum, sedangkan Pengadilan Pajak dapat
digolongkan termasuk lingkungan peradilan tata usaha negara. Untuk Mahkamah
Syar'iyah digolongkan pada Peradilan Agama, sedangkan Pengadilan Adat juga
pada Peradilan Umum juga. Di samping itu ada pula, badan-badan quasi
pengadilan yang berbentuk komisi-komisi yang bersifat ad hoc.

Misalnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran


Indo- nesia (KPI), Komisi Banding Merek, dan sebagainya. Semua lembaga
pengadilan Ad Hoc dan quasi pengadilan sebagaimana disebutkan di atas
mempunyai kedudukan yang khusus dalam sistem hukum Indonesia, dan dapat
saja selalu berubah di masa yang akan datang, baik itu bertambah maupun
berkurang, Akan tetapi yang jelas. kesemuianya berfungsi untuk menjamin agar
hukum dan keadilan dapat ditegakkan dan diwujudkan dengan sebaik-baiknya.
(Ali Zaidan, 2009:18)

2. Beberapa Prinsip Pokok Kehakiman

Secara umum dapat dikemukakan ada 2 (dua) prinsip yang biasa


dipandang sangat pokok dalam sistim peradilan, yaitu (1) the principle of judicial
independence, dan (2) the principle of judicial impartiality. Kedua prinsip ini
diakui sebagai prasyarat pokok sistem di semua negara yang disebut hukum
modern atau modern constitutional state. Prinsip independensi itu sendiri antara

37
lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara yang dihadapinya.

Di samping itu, independensi juga tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai


hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir,
sistim penggajian, dan pemberhentian para hakim. Sementara itu, prinsip kedua
yang sangat penting adalah prinsip ketidakberpihakan (the principle of im-
partiality). Bahkan oleh O. Hood Phiflips dan kawan- kawan mengatakan, "The
impartiality of the judiciary is recognized as an important, if not the most
important element, in the administration of justice".

Dalam praktik, ketidakberpihakan atau impartiality itu sendiri mengandung


makna dibutuhkannya hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial (to be
impartial), tetapi juga terlihat bekerja secara imparsial (to appear to be impartial).
Namun, di samping kedua prinsip tersebut, dari perspektif hakim sendiri
berkembang pula pemikiran mengenai prinsip-prinsip lain yang juga dianggap
petinggi. Misalnya, dalam forum international Judicial Conference di Bangalore,
India, 2001, berhasil disepakati draft kode etik dan perilaku hakim sedunia yang
kemudian disebut The Bangalore Draft. (Jimly Asshiddiqqie, 2006:52).

Selanjutnya, setelah mengalami revisi dan penyempurnaan berkali- kali, draft


ini akhirnya diterima luas oleh berbagai kalangan hakim di dunia sebagai
pedoman bersama dengan sebutan resmi The Bangalore Principles of Judicial
Conduct. Dalam The Bangalore Principles itu, tercantum adanya 6 (enam) prinsip
penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, yaitu prinsip-
prinsip independence, impartiality, integrity, propriety, equality, dan competence
and diligence.

1) Independensi (Independence Principle)

Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan,


dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum. Independensi melekat
sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan
keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi pengadilan

38
sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya. Independensi
hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik
sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari berbagai kpengaruh yang berasal
dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi dengan halus,
dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik atau
ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok
atau golongan, dengan ancaman penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan
imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi atau
bentuk lainnya.

2) Ketidak berpihakan (Impartiality Principle)

Ketidak berpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi


hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap
perkara yang diajukan kepadanya. Ketidakberpihakan mencakup sikap netral,
menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait dengan perkara, dan
tidak mengutamakan salah satu pihak mana pun, disertai penghayatan yang
mendalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan
perkara. Prinsip ketidakberpihakan senantiasa melekat dan harus tercermin dalam
setiap tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan
keputusan, sehingga pu- tusan pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai
solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat
luas pada umumnya. (Jimly Asshiddiqqie, 2006:53)

3) Integritas (Integrity Principle)

Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan


keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat
negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup
sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai
ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk-rayu, godaan jabatan,
kekayaan, popularitas, ataupun godaan- godaan lainnya. Sedangkan,
keseimbangan kepribadian mencakup keseimbangan ruhaniah dan jasmaniah atau

39
mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan
emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya.

4) Kepantasan dan Kesopanan (Propriety Principle)

Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan


kesusilaan antarpribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai
pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya,
yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan dan kepercayaan. Kepantasan
tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan
kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, tata
busana, tata suara, atau kegiatan tertentu.

Sedangkan, kesopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak


merendahkan orang lain dalam pergaulan antarpribadi, baik dalam tutur kata lisan,
tulisan, atau bahasa tubuh, dalam bertindak, bekerja, dan bertingkah laku ataupun
dalam bergaul dengan sesama hakim, dengan karyawan atau pega- wai
pengadilan, dengan tamu, dengan pihak-pihak dalam persidangan atau pihak-
pihak lain yang terkait dengan perkara. (Jimly Asshiddiqqie, 2006:54).

5) Kesetaraan (Equality Principle)

Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama


terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa
membeda- bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras,
warna kulit, jenis kelamin, status perkawi- nan, kondisi fisik, status sosial-
ekonomi, umur, pandangan politik, ataupun alasan-alasan lain yang serupa.
Prinsip kesetaraan ini secara esensial melekat dalam sikap setiap hakim untuk
senantiasa memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai
dengan kedudukannya masing-masing dalam proses peradilan.

6) Kecakapan dan Keseksamaan (Competence and Dili- gençe Principle)

Kecakapan dan keseksamaan hakim merupakan pra-syarat penting dalam


pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam

40
kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan
pengalaman dalam pelaksanaan tugas.

Sedangkan, keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim yang


menggambarkan kecermatan, kehati-hatian ketelitian, ketekunan, dan
kesungguhan dalam pelaksa- naan tugas profesional hakim. Keenam prinsip etika
hakim itu dapat dijadikan oleh hakim Indonesia untuk merumuskan sendiri kode
etik yang berlaku di Indonesia. Dalam hubungan ini, Mahkamah Konstitusi telah
menetapkan Kode Etik Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi No. 07/PMK/2005.50 3. (Jimly Asshiddiqqie, 2006:55).

3. Struktur Organisasi Kehakiman

Dalam struktur organisasi kekuasaan kehakiman, terdapat beberapa fungsi


yang dilembagakan secara internal dan eksternal. Terkait dengan jabatan-jabatan
kehakiman itu, terdapatpula pejabat-pejabat hukum yaitu:

a) pejabat penyidik
b) pejabat penuntut umum, dan
c) advokat yang juga diakui sebagai penegak hukum.

Di lingkungan pejabat penyidik, terdapat (i) polisi, (ii) jaksa, (iii) penyidik
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan (iv) penyidik pegawai negeri sipil,
yang dewasa ini di Indonesia berjumlah kurang lebih 52 macam. Mereka yang
menjalankan fungsi penuntutan adalah (i) jaksa penuntut umum, dan (ii) Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara itu, dalam lingkungan internal
organisasi pengadilan, dibedakan dengan tegas adanya 3 (tiga) jabatan yang
bersifat fungsional, yaitu (i) hakim, (ii) panitera, dan (iii) pegawai administrasi
lainnya. Ketiga nya perlu dibedakan dengan tegas, karena memiliki kedudukan
yang berbeda dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara. (Jimly
Asshiddiqqie, 2006:56).

Hakim adalah pejabat negara yang menjalankan kekuasaan negara di


bidang yudisial atau kehakiman. Sementara itu, panitera adalah pegawai negeri
sipil yang menyandang jabatan fungsional sebagai administratur perkara yang

41
bekerja berdasarkan sumpah jabatan untuk menjaga kerahasiaan setiap perkara.
Sedangkan, pegawai administrasi biasa adalah pegawai negeri sipil yang tunduk
pada ketentuan kepegawainegerian pada umumnya. Independensi hakim dalam
menjalankan tugas kehakimannya pada pokoknya terletak dalam diri setiap hakim
itu sendiri.

Hakim tidak bertanggung jawab kepada Ketua Majelis Hakim, kepada


Ketua Mahkamah Agung, ataupun kepada Ketua Mahkamah Konstitusi. Hakim
memutus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan karena itu bertanggung
jawab langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang wajib diyakini dan diimani
oleh setiap Hakim Indonesia sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa. Panitera sebagai
pejabat fungsional di bidang administrasi tunduk dan bertanggungjawab kepada
Ketua Mahkamah, Ketua Pengadilan, atau kepada Ketua Majelis Hakim dalam
bidang administrasi perkara. Akan tetapi, dari segi administrasi kepegawaian
tunduk kepada Sekretaris Mahkamah Agung atau Sekretaris Jenderal Mahkamah
Konstitusi.

Oleh karena itu, di lingkungan pengadilan, ada tiga pejabat yang


memegang tampuk kepemimpinan, yaitu (i) Ketua pengadilan yang bersangkutan,
(ii) Panitera, dan (iii) Sekretaris yang kadang-kadang dirangkap oleh Panitera. Di
lingkungan Mahkamah Konstitusi dan demikian pula di Mahkamah Agung, ketiga
jabatan ini dipisahkan secara tegas. Pada Mahkamah Konstitusi, terdapat
kedudukan Sekretaris Jenderal yang bertanggung jawab di bidang administrasi
umum dengan status sebagai Pejabat Eselon IA, dan ada pula Panitera yang
bertanggung jawab di bidang administrasi peradilan dengan status sebagai Pejabat
yang disetarakan dengan Eselon IA.

Dengan demikian, kedua pejabat penunjang ini tidak saling tumpang tindih
tanggung jawabnya dalam mendukung kelancaran pelaksanaan tugas hakim.
Pemisahan kedua jabatan administrasi penunjang ini jelas diatur dalam Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam
perkembangan selanjutnya, pemisahan serupa juga dilakukan di lingkungan
Mahkamah Agung. Bahkan organisasi struktural di lingkungan Mahkamah Agung

42
lebih besar dan lebih kompleks, mengingat sebagian fungsi administrasi
kehakiman yang sebelumnya ditangani oleh Pemerintah c.q. Departemen
Kehakiman, sekarang beralih penanganannya oleh Mahkamah Agung di bawah
manajemen satu atap. (Jimly Asshiddiqqie, 2006:57-58).

Pemerintah tidak lagi berwenang menangani masalah administrasi


pembinaan hakim dan sebagainya. Oleh karena itu, pemisahan jabatan Panitera
dan Sekretaris menjadi semakin penting untuk dilakukan di lingkungan
Mahkamah Agung. Sekretaris bertindak menjadi semacam "Menteri Kehakiman"
masa lalu yang dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Ketua
Mahkamah Agung. Sedangkan, Panitera tetap menangani administrasi perkara
sebagaimana biasanya. Tugas Sekretaris Mahkamah Agung sangat kompleks,
sehingga oleh karena itu diberi kewenangan untuk mengkoordinasikan
pelaksanaan tugas beberapa Direktur Jenderal yang diadakan khusus di
lingkungan Mahkamah Agung. Dengan demikian, pembinaan organisasi badan-
badan peradilan di seluruh Indonesia berada di bawah tanggung jawab
administratif Sekretaris Mahkamah Agung. (Jimly Assiddiqqie, 2006:59).

2.4 Cabang Kekuasaan Eksekutif

Kekuasaan “Eksekutif” adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-


undang. Kekuasaan melaksanakan undang-undang dipegang oleh Kepala Negara.
Kepala Negara tentu tidak dapat dengan sendirinya menjalankan segala undang-
undang ini. Oleh karena itu, kekuasaan dari kepala Negara dilimpahkan
(didelegasikan) kepada pejabat-pejabat pemerintah/Negara yang bersama-sama
merupakan suatu badan pelaksana undang-undang (Badan Eksekutif). Badan
inilah yangberkewajiban menjalankan kekuasaan Eksekutif (Miriam
Budiaro,1997:210)

Dalam sistem pemerintahan presidensial, kekuasaan eksekutif dipegang


oleh presiden dan dibantu oleh menteri-menteri atau biasa disebut dengan istilah
kabinet. Secara seerhana, tugas badan eksekutif meliputi pelaksanaan undang-
undang yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif. Dalam perkembangan
negara modern, wewenang badan eksekutif jauh lebih luas daripada hanya

43
melaksanakan Undang-Undang Dasar, bahkan dalam negara modern badan
eksekutif sudah mengganti badan legislatif sebagai pembuat kebijakan yang
utama.

1. Masa jabatan presiden dan wakil presiden ditentukan lebih pasti, misalnya
4 tahun atau 5 tahun, sehingga presiden dan wakil presiden tidak dapat
diberhentikan di tengah masa jabatannya karena alasan politik. Di
beberapa Negara masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi
dengan jelas seperti di Indonesia yang hanya dapat menjabat selama 2
periode. Kabinet berada dibawah presiden dan bertanggungjawab kepada
presiden. Hal ini dipengaruhi oleh konsep sistem presidensial yang
mengedepankan fungsi presiden sebagai badan eksekutif dalam
pelaksanaan kebijakan untuk mencapai kehidupan masyarakat yang
sejahtera. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusi negara
merupakan landasan pelaksanaan sistem presidensil yang dengan jelas
menyatakan bahwa presiden sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan. Sistem pemerintahan Presidensil memiliki beberapa
karakteristik yang mendasar yaitu :

2. Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen karena presiden tidak


dipilih oleh parlemen. Ini merupakan implikasi dari sistem pemilihan
langsung terhadap presiden. Presiden hanya dapat diberhentikan apabila
ada pelanggaran hukum.

3. Presiden dipilih secara langsung ataupun melalui perantara tertentu yang


tidak bersifat perwakilan permanent sebagaimana hakikat lembaga
permanen.

4. Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala Negara.

5. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen demikian juag sebaliknya.

6. Tanggung jawab pemerintahan berada di pundak presiden. Karena itu,


presiden yang berwewenang membentuk pemerintahan, menyususn
kabinet, serta pejabat-pejabat public (Hanta,2010:14-15).

44
Sebelum amandemen UUD 1945, sebagaimana disebutkan dalam pasal 6
bahwa presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dengan suara terbanyak. Namun setelah amandemen, pemilihan presiden dan
wakil presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A ayat 1). Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 kedudukan presiden mencakup sebagai kepala
Negara sekaligus menjadi kepala pemerintahan. Kekuasaan presiden sebagai
kepala pemerintahan atau eksekutif terbagi sebagai berikut:

1. Kekuasaan eksekutif (Pasal 4 ayat 1)


Dalam UUD 1945 pasal 4 ayat 1 dengan jelas menyatakan bahwa Presiden
Republik Indonesia sebagai kepala pemerintahan, sehingga jelas bahwa presiden
memiliki kedudukan sah sebagai lembaga eksekutif.

2. Kekuasaan Administratif (Pasal 15)


Pada pasal 15 disebutkan bahwa presiden member gelar dan tanda-tanda jasa
kehormatan secara administratif.

3. Kekuasaan Legislatif (Pasal 5, Pasal 20 ayat 2 dan 4, serta Pasal 22 ayat 1)


Presiden menjadi pelaksana undang-undang sekaligus juga merancang
undang-undang dengan persetujuan DPR. Untuk beberapa ketentuan, presiden
juga memiliki wewenang untuk mengeluarkan peraturan seperti penetapan
Peraturan pemerintah (PP) dan penetapan Peraturan undang-undang (PERPU).

4.Kekuasaan Yudikatif (Pasal 14)


Pada pasal 14 UUD 1945 disebutkan bahwa presiden memberi grasi,
amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Pada ayat 1 Presiden memberi grasi dan
rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, dan pada
ayat 2 Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam pemberian grasi dan rehabilitasi,
presiden secara tidak langsung memiliki fungsi kehakiman. Grasi merupakan
dihapuskannya sanksi hukuman terhadap narapidana demikian juga rehabilitasi
merupakan pemulihan nama baik seseorang yang rusak akibat putusan pengadilan

45
5. Kekuasaan Militer (Pasal 10, 11, 12)
Dalam UUD 1945 pasal 10 jelas menyatakan bahwa presiden memegang
kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, laut, dan udara. Pasal 11 ayat 1 berbunyi
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Pasal 12 berisi Presiden
menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang-undang.

6. Kekuasan Diplomatik (Pasal 11 dan 13)

Seperti telah disebutkan di atas, dalam pasal 11 ayat 1 selain menyatakan


perang, presiden memiliki wewenang untuk melakukan perdamaian dan perjanjian
dengan Negara lain. Dan pada pasal 11 ayat 2 disebutkan Presiden dalam
membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara,
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
denganpersetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam pasal 13 ayat 1 Presiden
mengangkat duta dan konsul. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa dalam mengangkat
duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Selanjutnya pada ayat 3 disebutkan bahwa Presiden menerima penempatan duta
negara lain dengan menperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden memberikan pemberitahuan sebelumnya kepada DPR dalam penerimaan
duta besar Negara lain sehingga DPR dapat memberikan pertimbangan
(Jimly,2009:50).

Di luar dari konteks kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan


sebagaimana disebutkan di atas, presiden juga memiliki kekuasaan sebagai kepala
Negara yaitu:

1. Memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan


Angkatan Laut.

2. Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara


lain dengan persetujuan DPR.

46
3. Dalam membuat perjanjian lainnya yang menimbulkan akibat luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan / atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU harus
dengan persetujuan DPR.

4. Menyatakan kondisi bahaya, Ketentuan dan akibat kondisi bahaya


ditetapkan dengan UU.

5. Mengangkat Duta dan Konsul, Dalam mengangkat Duta, memperhatikan


pertimbangan DPR.

6. Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan


pertimbangan DPR.

7. Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan


Mahkamah Agung (MA).

8. Memberi abolisi dan amnesti dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

9. Memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur
dengan Hukum.

10. Membentuk dewan pertimbangan yang bertugas member nasehat dan


pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dengan Undang-
Undang.

11. Membahas Rancangan Undang-Undang untuk mendapatkan persetujuan


bersama DPR.

12. Mengkonfirmasi Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama


DPR untuk menjadi UU.
13. Dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan
Peraturan Pemerintah sebagai pengganti UU.

13. Mengajukan RUU APBN untuk dibahas bersama DPR dengan


memperhatikan pertimbangan DPD.

47
14. Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang telah dipilih oleh
DPR atas dasar pertimbangan DPD.

15. Menetapkan Calon Hakim Agung yang diusulkan Komisi Yudisial dan
telah mendapat persetujuan DPR untuk menjadi Hakim Agung.

16. Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan


persetujuan DPR.

17. Menetapkan dan mengajukan anggota hakim konstitusi (Zamroni,2015:5-


11)

Sistim Pemerintahan

Cabang kekuasaan eksekutif adalah cabang kekuasaan yang memegang


kewenangan administrasi pemerintahan negara yang tertinggi. Dalam hubungan
ini, di dunia dikenal adanya 3 (tiga) sistem pemerintahan negara, yaitu sistem
pemerintahan presidentil, sistem pemerintahan parlementer atau sistim kabinet,
dan sistem campuran. Sistem pemerintahan itu dikatakan bersifat parlementer
apabila (a) sistem kepemimpinannya terbagi dalam jabatan kepala negara dan
kepala pemerintahan sebagai dua jabatan yang terpisah, dan (b) jika sistem
pemerintahannya ditentukan harus bertanggung jawab kepada parlemen, sehingga
dengan demikian (c) kabinet dapat dibubarkan apabila tidak mendapat dukungan
parlemen, dan sebaliknya (d) parlemen juga dapat dibubarkan oleh pemerintah,
apabila dianggap tidak dapat memberikan dukungan kepada pemerintah
(Jimly,2006:59).

Sistem pemerintahan itu dikatakan bersifat presidentil apabila (a)


kedudukan kepala negara tidak terpisah dari jabatan kepala pemerintahan, (b)
kepala negara tidak bertanggung jawab kepada parlemen, melainkan langsung
bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya, (c) Presiden sebaliknya juga
tidak berwenang membubarkan parlemen, (d) kabinet sepenuhnya bertanggung
jawab kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara atau
sebagai administrator yang tertinggi. Dalam sistim presidentil, tidak dibedakan
apakah Presiden adalah kepala negara atau kepala pemerintahan. Tetapi yang ada

48
hanya Presiden dan Wakil Presiden saja dengan segala hak dan kewajib- annya
atau tugas dan kewenangannya masing-masing.Sementara itu, dalam sistem
campuran, terdapat ciri-ciri presidentil dan ciri-ciri parlementer secara ber-
samaan dalam sistem pemerintahan yang diterapkan. Sistem campuran ini
biasanya oleh para ahli disebut sesuai dengan kebiasaan yang diterapkan oleh
masing- masing negara. Misalnya, sistem yang dipraktikkan di Perancis biasa
dikenal oleh para sarjana dengan sebutan hybrid system. Kedudukan sebagai
kepala negara dipegang oleh Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, tetapi
juga ada kepala pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang
didukung oleh parlemen seperti dalam sistem parlementer yang biasa. Oleh karena
itu, sistem Perancis ini dapat pula kita sebut seba- gai sistim quasi-parlementer
(Jimly,2006:60).

Dalam sistem pemerintahan di berbagai negara yang menganut sistem


campuran itu, kadang-kadang ciri presidentilnya memang lebih menonjol, tetapi
ada pula negara yang ciri parlementernyalah yang lebih menonjol. Apabila ciri
presidentilnya yang lebih menonjol, maka sistim demikian dapat kita sebut
sebagai sistim quasi presidentil. Misalnya, sebelum UUD 1945 diubah pertama
kali pada tahun 1999, UUD 1945 dikatakan menganut sistim pemerintahan
presidentil. Akan tetapi, di samping itu, sistem yang diterapkan tetap mengandung
ciri parlementernya, yaitu dengan adanya MPR yang berstatus sebagai lembaga
tertinggi negara, tempat kemana Presiden harus tunduk dan bertanggung jawab.
Oleh karena itu, sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 sebelum
perubahan itu adalah sistim quasi- presidentil, karena ciri presidentilnya tetap
lebih menonjol, meskipun terdapat pula ciri parlementer. Akan tetapi, apabila ciri
parlementernya yang lebih menonjol, maka sistem demikian lebih tepat disebut
quasi parlementer, sebagaimana yang telah dipraktikkan di negara Perancis
(Jimly,2006:61).

Kementerian Negara

Dalam sistem pemerintahan kabinet atau parle- menter, Menteri tunduk


dan bertanggung jawab kepada parlemen. Sedangkan dalam sistem presidentil,

49
para menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam sistem
parlementer jelas sekali bahwa kedudukan menteri adalah bersifat sentral. Perdana
Menteri sebagai menteri utama, menteri koordinator, atau menteri yang
memimpin para menteri lainnya dalam kabinet adalah kepala pemerintahan, yaitu
yang memimpin pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan secara operasional sehari-
hari. Kinerja pemerintahan sepenuhnya berada di tangan para menteri yang
dipimpin oleh seorang Perdana Menteri itu. Dikarenakan sangat kuatnya
kedudukan para menteri, parlemen pun dapat dibubarkan oleh mereka.Sebaliknya,
kabinet juga dapat dibubarkan oleh parlemen apabila mendapat mosi tidak
percaya dari parlemen. Demikianlah perimbangan kekuatan di antara kabinet dan
parlemen dalam sistem pemerintahan parlementer.

Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, maka dalam sistem


presidentil, kedudukan menteri sepenuhnya tergantung kepada Presiden. Para
menteri diangkat dan diberhentikan serta bertanggung jawab kepada Presiden.
Meskipun demikian, dalam pelaksanaan tugasnya, tentu saja, para menteri itu
membutuhkan dukungan parlemen agar tidak setiap kebijakannya “dijegal” atau
“diboikot” oleh parlemen. Namun demikian, secara umum, dapat dikatakan bahwa
para menteri dalam sistem pemerintahan presidentil itu mempersyaratkan
kualifikasi yang lebih teknis profesional daripada politis seperti dalam sistim
parlementer. Dalam sistem presidentil, yang bertanggung jawab adalah Presiden,
bukan Menteri, sehingga sudah seharusnya nuansa pekerjaan para menteri dalam
sistem presidentil itu bersifat lebih profesional daripada politis.Oleh sebab itu,
untuk diangkat menjadi menteri seharusnya seseorang benar-benar memiliki
kualifikasi teknis dan profesional untuk memimpin pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan berdasarkan prinsip meritokrasi. Sistem pemerintahan presidentil
lebih menuntut kabinetnya sebagai zaken-kabinet daripada kabinet dalam sistim
parlementer yang lebih menonjol sifat politisnya (Jimly,2006:62)

Oleh karena itu, dalam menetapkan seseorang diangkat menjadi menteri,


sudah seharusnya Presidendan Wakil Presiden lebih mengutamakan persyaratan
teknis kepemimpinan daripada persyaratan dukungan politis.Hal itu dipertegas
lagi oleh kenyataan bahwa dalam sistem pemerintahan presidentil, menteri itu

50
sendiri adalah pemimpin yang tertinggi dalam kegiatan pemerintahan di
bidangnya masing-masing. Oleh karena dalam jabatan Presiden dan Wakil
Presiden tergabung fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus,
maka tentunya Presiden dan Wakil Presiden tidak mungkin terlibat terlalu
mendetil dalam urusan-urusan operasional pemerintahan sehari-hari. Bahkan,
untuk kepentingan koordinasi, terbukti pula diperlukan adanya jabatan menteri
senior, seperti para Menteri Koordinator. Artinya, untuk melakukan fungsi
koordinasi teknis saja, Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak dapat lagi terlalu
diharapkan efektif.

Oleh karena itu, jabatan menteri untuk masing- masing bidang


pemerintahan tersebut memang seharus- nya dipercayakan penuh kepada para
menteri yang kom- peten di bidangnya masing-masing. Itulah sebabnya dalam
Penjelasan UUD 194555 yang diberlakukan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dinyatakan
bahwa menteri itu bukanlah pejabat tinggi negara yang biasa. Menteri itu adalah
pemimpin pemerintahan yang sesungguhnya dalam bidangnya masing-masing.
Oleh karena jabatan Presiden dan Wakil Presiden sendiri sebagian fungsinya
bersifat simbolik, maka fungsi kepemimpinan dalam arti teknis memang
seharusnya berada di pundak para menteri. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa para
menterilah yang sesungguhnya merupakan pemimpin pemerintahan yang riel dan
operasional dalam pengertian sehari-hari. Bahkan, dapat diidealkan bahwa
perbedaan kualitas antara sifat-sifat kepemimpinan Pre- siden dan para Menteri
dalam proses pemerintahan adalah bahwa Presiden dan Wakil Presiden adalah pe
mimpin pemerintahan dalam arti politik. Sedangkan, para menteri merupakan
pemimpin pemerintahan dalam arti teknis (Jimly,2006:63).

Siapa yang akan diangkat menjadi menteri, tentu sepenuhnya merupakan


kewenangan Presiden untuk menentukannya. Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) UUD
1945 menyatakan, “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”, “Menteri-
menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”, “Setiap menteri
membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”. Akan tetapi, Pasal 17 ayat (4)
menentukan pula bahwa “Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran

51
kementerian negara diatur dalam undang-undang”. Maksudnya ialah, meskipun
mengenai orangnya merupakan kewenangan mutlak Presiden, tetapi mengenai
struktur organisasinya harus diatur dalam undang-undang. Dengan demikian,
organisasi kementerian negara itu tidak dapat seenaknya diadakan, diubah, atau
dibubarkan hanya oleh pertimbangan keinginan atau kehendak pribadi seorang
Presiden belaka. Semua hal yang berkenaan dengan organisasi kementerian
negara itu haruslah diatur dalam undang-undang. Artinya, perubahan,
pembentukan, atau pembubaran organisasi ke- menterian negara harus diatur
bersama oleh Presiden bersama-sama para wakil rakyat yang duduk di lembaga
Dewan Perwakilan Rakyat. Itulah esensi dari ketentuan bahwa hal tersebut harus
diatur dalam undang-undang. Selain itu, dalam cabang kekuasaan eksekutif ini,
terdapat pula cakupan bidang kekuasaan yang sangat luas, termasuk kekuasaan
pemerintahan daerah (local government).

Fungsi pemerintahan daerah itu terdapat di tingkat provinsi dan di tingkat


kabupaten kota. Di samping itu, ada pula aspek-aspek pemerintahan desa yang
juga perlu dibahas tersendiri. Oleh karena luasnya cakupan materi yang
terkandung di dalam persoalan kekuasaan pemerintahan eksekutif itu, maka dalam
buku ini hal tersebut sengaja belum dibahas. Sebab, persoalan hukum yang
menyangkut bidang pemerintahan eksekutif itu sudah berkaitan dengan materi
pokok dalam studi hukum tata negara dan hukum administrasi negara, sehingga
oleh sebab itu harus dibahas secara khusus dalam buku Hukum Tata Negara yang
bukan bersifat pengantar seperti buku ini ( Jimly,2006:64).

2.5 Perkembangan Organisasi Negara

1. Liberalisasi Negara Kesejahteraan dan Perubahan Kelembagaan Negara

Sejak dasawarsa 70-an abad ke-XX, muncul gelombang liberalisasi


politik, ekonomi, dan kebudayaan di seluruh dunia. Di bidang politik, muncul
gerakan demo- kratisasi dan hak asasi manusia. Dalam tulisannya, “Will More
Countries Become Democratic?” (1984), Samuel Huntington menggambarkan
adanya tiga gelombang besar demokrasi sejak revolusi Amerika Serikat 1776.
Gelombang pertama berlangsung sampai dengan tahun 1922 yang ditandai oleh

52
peristiwa-peristiwa besar di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia.
Setelah itu, gerakan demokratisasi mengalami backlashdengan munculnya
fasisme, totalitarianisme, dan stalin-isme, terutama di Jerman (Hitler), Italia
(Musolini), Rusia (Stalin), dan Jepang. Gelombang Kedua terjadi sejak
berakhirnya Perang Dunia Kedua, fasisme dan totalitarianisme berhasil
dihancurkan, pada saat yang sama muncul pula dekolo- nisasi besar-besaran,
menumbangkan imperialisme dan kolonialisme. Oleh karena itu, dikatakan bahwa
Perang Dunia II berakhir bukan hanya dengan kemenangan ne- gara pemenangnya
sendiri, melainkan dimenangkan oleh ide demokrasi, baik di negara-negara
pemenang Perang Dunia Kedua itu sendiri maupun di negara-negara yang kalah
perang dan semua negara bekas jajahan di seluruh dunia, terutama di benua Asia
dan Afrika. Namun, gelombang kedua ini mulai terhambat sejak tahun 1958
dengan munculnya fenomena rezim bureaucratic authoritarianism di seluruh
dunia. Backlash kedua ini timbul karena dinamika internal yang terjadi di masing-
masing negara yang baru merdeka yang memerlukan konsolidasi kekuasaan yang
tersentralisasi dan terkon- sentrasi di pusat-pusat kekuasaan Negara (Jimly,2006 :
65).

Gejala otoritarianisme berlangsung beberapa dekade, sebelum akhirnya


ditembus oleh gelombang demo- krasi ketiga, sejak tahun 1974, yaitu dengan
munculnya gelombang gerakan pro-demokrasi di Eropa Selatan seperti di Yunani,
Spanyol, dan Portugal, dilanjutkan oleh negara-negara Amerika Latin seperti di
Brazil dan Argentina. Gelombang ketiga ini berlangsung pula di Asia, se- perti di
Filipina, Korea Selatan, Thailand, Burma, dan Indonesia. Terakhir, puncak
gelombang demokrasi melanda pula negara-negara Eropa Timur dan Uni
Sovietyang kemudian berubah dari rezim komunis menjadi demokrasi. Sementara
itu, gelombang perubahan di bidang ekonomi juga berlangsung sangat cepat sejak
tahun 1970-an. Penggambaran mengenai terjadinya Mega Trends seperti yang
ditulis oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene memperlihatkan dengan jelas
bagai- mana negara-negara intervensionis di seluruh dunia dipaksa oleh keadaan
untuk mengurangi campur tangan- nya dalam urusan-urusan bisnis. Sejak tahun
1970, terjadi gelombang privatisasi, deregulasi, dan debirokra-tisasi besar-besaran

53
di Inggris, Perancis, Jerman, Je- pang, dan Amerika Serikat. Bahkan hampir ra di
dunia dipaksa oleh keadaan untuk mengadakan privatisasi terhadap berbagai
badan usaha yang sebelum- nya dimiliki dan dikelola oleh negara.Di bidang
kebudayaan, juga serupa dengan gelom- bang perubahan di bidang politik dan
ekonomi. Dengan meningkatnya perkembangan teknologi transportasi, ko-
munikasi, telekomunikasi, dan informasi, dunia semakin berubah menjadi satu,
dan semua aspek kehidupan me- ngalami proses globalisasi. Cara berpikir umat
manusia dipaksa oleh keadaan mengarah kepada sistem nilai yang serupa.
Bahkan, dalam persoalan selera musik, selera makanan, dan selera berpakaian pun
terjadi proses pe- nyeragaman dan hubungan saling pengaruh mempenga- ruhi
antarnegara. Sementara itu, sebagai respons terha- dap gejala penyeragaman itu,
timbul pula fenomena perlawanan budaya dari berbagai tradisi lokal di setiap
negara, sehingga muncul gelombang yang saling bersitegang satu sama lain,
antara globalisasi versus lokalisasi, sehingga secara berseloroh melahirkan istilah
baru yang dikenal dengan glokalisasi (Jimly,2006 : 66)

Perubahan-perubahan itu menuntut respons yang lebih adaptif dari


organisasi negara dan pemerintahan. Semakin demokratis dan berorientasi pasar
dari suatu negara, maka semakin organisasi negara itu harus me- ngurangi
perannya dan membatasi diri untuk tidak men- campuri dinamika urusan
masyarakat serta pasar yang mempunyai mekanisme kerjanya sendiri. Dengan
perkataan lain, konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) yang sebelumnya
mengidealkan perluasan tanggung jawab negara ke dalam urusan- urusan
masyarakat dan pasar, pada masa kini dituntut untuk melakukan liberalisasi
dengan mengurangi peran untuk menjamin efisiensi dan efektifitas pelayanan
umum yang lebih memenuhi harapan rakyat. Jika dibandingkan dengan
kecenderungan selama abad ke-20, dan terutama sesudah Perang Dunia Ke-
dua,59 ketika gagasan welfare state atau negara kesejahteraan sedang tumbuh
sangat populer di dunia, hal ini jelas bertolak belakang. Sebagai akibat
kelemahan- kelemahan paham liberalisme dan kapitalisme klasik, pada abad ke-
19 muncul paham sosialisme yang sangat populer dan melahirkan doktrin welfare
state sebagai re- aksi terhadap doktrin nachwachtaersstaat yang mendalilkan

54
doktrin the best government is the least government. Dalam paham negara
kesejahteraan, adalah tang- gung jawab sosial negara untuk mengurusi nasib orang
miskin dan yang tak berpunya. Oleh karena itu, negara dituntut berperan lebih,
sehingga format kelembagaan organisasi birokrasinya juga menjangkau kebutuhan
yang lebih luas. Begitu luasnya bidang-bidang yang mesti ditangani oleh
pemerintahan welfare state, maka dalam perkembangannya kemudian muncul
sebutan intervensionist state (Jimly,2006 : 67).

Dalam bentuknya yang paling ekstrim muncul pula rezim negara-negara


komunis pada kutub yang sangat kiri. Semua urusan ditangani sendiri oleh
birokrasi negara sehingga ruang kebebasan dalam kehidupan masyarakat (civil
society) menjadi sangat sempit. Akibatnya, birokrasi negara kesejahteraan di
hampir seluruh dunia mengalami inefisiensi. Di satu sisi, bentuknya terus
berkembang menjadi sangat besar, dan cara kerjanyapun menjadi sangat lamban
dan sangat tidak efisien. Di pihak lain, kebebasan warga negara menjadi
terkungkung, dan ketakutan terus menghantui warga negara. Sementara itu,
karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika kehidupan
nasional, regional, dan internasional yang cenderung berubah, aneka aspirasi ke
arah perubahan meluas pula di setiap negara di dunia, baik di bidang ekonomi
maupun politik. Tuntutan aspirasi itu pada pokoknya mengarah kepada aspirasi
demokratisasi dan pengurangan peranan negara di se- mua bidang kehidupan,
seperti yang tercermin dalam gelombang ketiga demokratisasi (Jimly,2006 : 69).

Di Inggris, gejala perkembangan organisasi nonelected agencies ini telah


muncul sejak sebelum diperkenalkannya kebijakan reorganisasi antara tahun
1972- 1974. Pemerintahan lokal di Inggris sudah biasa bekerja dengan
menggunakan banyak ragam dan bentuk organisasi yang disebut joint committees,
boards, dan sebagainya, untuk tujuan mencapai prinsip economies of scale dalam
rangka peningkatan pelayanan umum. Misalnya, dalam pengoperasian transportasi
bus umum, dibentuk kelembagaan tersendiri yang disebut boardatau authority.
Sebagian besar badan-badan baru itu bersifat ad hoc yang menurut John Alder
biasa dipakai sebagai: “a method of dispersing power or as a method of

55
concentrating power in the hands of central govern- ment nominees without the
safeduard of parliamentary or democratic accountability (Jimly,2006 : 74).

Dalam perkembangannya sampai sekarang, pemerintah Inggris terus


menciptakan beraneka ragam lembaga baru yang sangat kuat kekuasaannya dalam
urusan- urusan yang sangat spesifik. Misalnya, pada mulanya dibentuk Regional
Hospital Board dan kemudian pada tahun 1974 menjadi Area and Regional Health
Authorities. New Town Development Corporation juga dibentuk untuk maksud
menyukseskan program yang diharapkan akan menghubungkan kota-kota satelit
di sekitar kota- kota metropolitan seperti London dan lain-lain. Demikian pula
untuk program pembangunan perdesaan, dibentuk pula badan-badan otoritas yang
khusus me- nangani Rural Development Agencies di daerah-daerah Mid-Wales
dan the Scottish Highlands. Perkembangan yang terjadi di negara-negara lain
kurang lebih juga sama dengan apa yang terjadi di Inggris. Sebabnya ialah karena
berbagai kesulitan ekono- mi dan ketidakstabilan akibat terjadinya berbagai
perubahan sosial dan ekonomi memaksa banyak negara melakukan
eksperimentasi kelembagaan (institutional expe- rimentation) melalui berbagai
bentuk organ pemerintahan yang dinilai lebih efektif dan efisien, baik di tingkat
nasional atau pusat maupun di tingkat daerah atau lokal. Perubahan-perubahan itu,
terutama terjadi pada non-elected agencies yang dapat dilakukan secara lebih
fleksibel dibandingkan dengan elected agenciesseperti parlemen. Tujuannya tidak
lain adalah untuk menerapkan prinsip efisiensi agar pelayanan umum (public
services) dapat benar-benar efektif. Untuk itu, birokrasi dituntut berubah menjadi
slimming down bureau- cracies yang pada intinya diliberalisasikan sedemikian
rupa untuk memenuhi tuntutan perkembangan di era liberalisme baru
(Jimly,2006 : 75).

56
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut the rule
of law atau dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya
ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan
itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham
konstitusionalisme modern. Lembaga negara dalam menjalankan kekuasaan-
kekuasaan negara perlu dibatasi, agar tidak sewenang-wenang, tidak tumpang
tindih kewenangan dan tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu lembaga,
maka perlu adanya suatu pembagian atau pemisahan kekuasaan. Hal ini
dimaksudkan semata-mata untuk menjamin hak-hak asasi para warganya agar
tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa. Hal ini senada dengan
ungkapan dari Lord Acton “power tends to corrupt, but absolute power corrupts
absolutely” (manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalah-gunakan,
tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan
menyalahgunakannya).

Fungsi Federasi dalam pandangan Montesquieu dimasukkan menjadi satu


dengan fungsi eksekutif, dan fungsi mengadili dijadikan fungsi yang berdiri
sendiri. Hal ini dapat dipahami karena tujuan Montesquieu dalam
memperkenalkan trias politika adalah untuk kebebasan berpolitik yang hanya
dapat dicapai dengan kekuasaan mengadili (lembaga Yudikatif yang berdiri
sendiri). Jika pandangan itu kemudian dikaitkan dengan teori-teori kenegaraan,
dapat ditemukan beberapa fungsi negara yang bersifat universal, yaitu adanya
kewajiban suatu negara untuk mewujudkan mepentingan masyarakat atau yang
lebih tepat dikatakan kepentingan umum, tanpa melihat kepada bentuk atau sistem
pemerintahan yang dibangun oleh negara yang bersangkutan.

57
Di samping terkait dengan persoalan pemisahan kekuasaan (separation of
power) dan pembagian kekuasaan (division of power), pembatasan kekuasaan
juga dikaitkan dengan desentralisasi dan dekonsentrasi kekuasaan. Menurut
Hoogerwarf, desentralisasi merupakan pengakuan atau penyerahan wewenang
oleh badan- badan publik yang lebih tinggi kepada badan-badan publik yang lebih
rendah kedudukannya untuk secara mandiri dan berdasarkan kepentingan sendiri
meng- ambil keputusan di bidang pengaturan (regelendaad) dan di bidang
pemerintahan (bestuursdaad).

58
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Asshiddiqqie, Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara jilid II. Jakarta :
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Bohari, H.1992.Hukum Anggaran.Jakarta:Raja Grafindo.

Budhiarjo, Miriam.1972.Dasar-Dasar Ilmu Politik.Jakarta:PT Gramedia Pustaka


Utama

Muchsan.1996.Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Pemerintah Dan


Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia.Yogyakarta:Liberty.

Simongkir & Rengsay, Mang.1982. Undang-Undang Dasar


1945.Jakarta:Jembatan

Soetomo.1986.Ilmu Negara.Surabaya:Usaha Nasional.

Widayati.2015. Rekontruksi Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem


Ketatanegaraan.Yogyakarta: Genta Publishing.

Yuda, Hanta.2010. Presidensialisme Setengah Hati. Jakarta: PT.Gramedia.

Sumber Jurnal:

Efi, dkk.Penerapan Konsep TriasPolitica Dalam Sistem Pemerintahan Republik


Indonesia : Studi Komparatif Atas Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Sebelum Dan Sesudah Amandemen.Jurnal Dinamika Sosial Budaya. Vol.
18, No. 2. Tahun 2016. Hal 329. Diakses pada tanggal 10/03/2020.
Dilaman https://journal.usm.ac.id/index.php/jdsb/article/view/580.

M. Novianto Hantoro.Klasifikasi Jabatan Dalam Kelembagaan Negara


Permasalahan Kategori Pejabat Negara.Jurnal Negara Hukum.Vol. 7, No.
2. Tahun 2016. Hal 147. Diakses pada tabggal 11/03/2020. Dilaman
https://jurnal.dpr.go.id/index.php/hukum/article/view/929/546.

59
Usman.Negara Dan Fungsinya (Telaah Atas Pemikiran Politik).Al-daulah. Vol. a,
No. 1. Tahun 2015. Diakses pada tanggal 10/03/2020. Dilaman
http://journal.uinalauddin.ac.id/index.php/al_daulah/article/download/1506
/145.

Zaidan, Ali. Kekuasaan Kehakiman daam Negara Hukum yang Demokratis.


Jurnal Yuridis Vo.9 No.11, 2009

Zamroni.2015. Kekuasaan Presiden dalam Mengeluarkan PERPPU. Direktorat


Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementrian Hukum dan HAM.
Vol.12, No.3. Diakses pada 16-03-2020 di laman web: http://e-jurnal.
Peraturan..gp.id/index.php/jli/article/view/410/290.

60

Anda mungkin juga menyukai