Disusun Oleh
Kelompok 3
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………….………………………………….i
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
i
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Suatu negara dapat dikatakan berjalan dengan baik, apabila di suatu negara
tersebut terdapat suatu wilayah atau daerah teritorial yang sah, yang mana
didalamnya terdapat suatu pemerintahan yang sah diakui dan berdaulat, serta
diberikan kekuasaan yang sah untuk mengatur para rakatnya.1Kekuasaan yang
sah, artinya bahwa pemerintah yang berdaulat, adalah merupakan representasi dari
seluruh rakyat dan menjalankan kekuasaan atas kehendak rakyat. Kekuasaan
adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili,
mengurus, dan lain sebagainya) sesuatu. Dalam hal inipemerintah menjalankan
kekuasaan atas kehendak rakyat, artinya bahwa berdasarkan konsensus yang
tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, telah disepakati kepada pemerintah untuk memerintah, mewakili dan
mengurus urusan pemerintahan (Efi, Endah, dan Tri, 2016 : 329).
4
Oleh karena itu, untuk bidang hukum, ketiganya dapat digunakan untuk
menyebutkan suatu organisasi yang tugas dan fungsinya menyelenggarakan
pemerintahan negara, yaitu “organ negara”, “badan negara” atau “lembaga
negara”. Namun demikian ditekankan perlunya konsistensi penggunaan istilah
agar tidak digunakan dua istilah untuk maksud yang sama (Refly, dkk, 2004 :63)
dalam jurnal (Noviyanto, 2016 :147).
5
4. Bagaimana perkembangan organisasi Negara?
1.3 Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut.
6
BAB II
PEMBAHASAN
Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut the rule
of law atau dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya
ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan
itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusi-
onalisme modern. Oleh karena itu, konsep negara hukum juga disebut sebagai
negara konstitusional atau constitutional state, yaitu negara yang dibatasi oleh
konstitusi. Dalam konteks yang sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan
rakyat disebut pula dengan istilah constitutional democracy yang dihubungkan
dengan pengertian negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum. Dalam empat
ciri klasik negara hukum Eropa Kontinental yang biasa disebut rechtsstaat,
terdapat elemen pembatasan kekuasaan sebagai salah satu ciri pokok negara
hukum (Jimly Asshiddiqqie, 2006 : 11).
Bahkan, ketika kekuasaan Raja itu berhimpit pula dengan paham teokrasi
yang menggunakan prinsip kedaulatan Tuhan, maka doktrin kekuasaan para raja
ber- kembang menjadi semakin absolut. Suara dan kehendak raja identik dengan
suara dan kehendak Tuhan yang ab- solut dan tak terbantahkan. Dalam sejarah,
kekuasaan Tuhan yang menyatu dalam kemutlakan kekuasaan Raja ini dapat
ditemukan dalam semua peradaban umat ma- nusia, mulai dari peradaban Mesir,
7
peradaban Yunanidan Romawi kuno, peradaban Cina, India, serta pengala- man
bangsa Eropa sendiri di sepanjang sejarah masa laluhingga munculnya gerakan
sekularisme yang memisah- kan secara tegas antara kekuasaan negara dan
kekuasaan gereja.
8
dapat dicapai dengan kekuasaan mengadili (lembaga Yudikatif yang berdiri
sendiri).
9
lebih tepat dikatakan kepentingan umum, tanpa melihat kepada bentuk atau sistem
pemerintahan yang dibangun oleh negara yang bersangkutan. Fungsi negara yang
dimaksud yakni:
10
3) Fungsi yuridis (legal function). Dalam pelaksanaan fungsinya, negara
harus dapat menjamin adanya rasa keadilan dalam masyarakat. Dalam
konteks ini Negara berkewajiban untuk mengatur tata cara bernegara dan
bermasyarakat, agar supaya dapat terhindari adanya konflik-konflik yang
terjadi di dalam masyarakat. Setelah permasalahan yang terjadi dalam
masyarakat, maupun negara itu sendiri harus dapat dikembalikan kepada
hukum yang berlaku, dan segala tindakan pemerintah harus berlandaskan
atas aturan main yang sudah diatur oleh kaidah-kaidah hukum.
Dalam konteks kesejahteraan yang menjadi kata kunci dari tujuan negara,
rakyat harus benar-benar merasakan hasil-hasil pembangunan termasuk
pembangunan demokrasi. Demokrasi yang makna harfiayahnya adalah
pemerintahan rakyat, mengandung arti, rakyat secara bersama-bersama
memerintah di negaranya masing-masing, baik secara langsung ataupun tidak
11
langsung, dengan martabat dan hak semua warganegara yang menjadi bagian dari
rakyat adalah setara. Dalam negara yang diperintah oleh rakyat, yang martabat
dan hak semua warganegara adalah sama, nilai tertinggi yang harus dijadikan
ukuran dari kemajuan negara tersebut adalah perwujudan keadilan bagi rakyat
seluruhnya.
Dalam konteks keadilan ini, negara boleh saja tidak makmur, tetapi negara
harus adil, karena kemakmuran suatu negara adalah hasil kerja masyakat, tetapi
kekuasaan penegakan keadilan sepenuhnya telah diserahkan kepada negara.
Rakyat telah mempercayakan fungsi penegakan keadilan kepada negara sejak
12
pembentukannya. Oleh karena itu negara harus adil, dan kalau tidak, negara akan
kehilangan kepercayaan dari masyarakat (Usman, 2015 : 137).
Sebenarnya, konsep awal mengenai hal ini dapat ditelusuri kembali dalam
tulisan John Locke, “Second Treaties of Civil Government” (1690) yang
berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukumtidak boleh
dipegang sendiri oleh mereka yang menerap- kannya. Oleh sarjana hukum
Perancis, Baron de Montes- quieu (1689-1755), yang menulis berdasarkan hasil
penelitiannya terhadap sistim konstitusi Inggris, pemikiran John Locke itu
diteruskannya dengan mengembangkan konsep trias politica yang membagi
kekuasaan negara dalam 3 (tiga) cabang kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Pandangan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan rujukan
doktrin separation of power di zaman sesudahnya (Jimly Asshiddiqqie, 2006 : 15).
13
Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois (1748) yang kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan “The Spirit of Laws”
Banyak sekali pro dan kontra yang timbul di kala- ngan para sarjana
mengenai pandangan Montesquieu di lapangan ilmu politik dan hukum.Oleh
karena itu, dengan menyadari banyaknya kritik terhadap teori trias politica
Monstesquieu, para ahli hukum di Indonesia se- ringkali menarik kesimpulan
seakan-akan istilah pemi- sahan kekuasaan (separation of power) yang dipakai
oleh Montesquieu itu sendiri pun tidak dapat dipergu- nakan. Kesimpulan
demikian terjadi, karena penggunaan istilah pemisahan kekuasaan itu biasanya
diidentikkan dengan teori trias politica Montesquieu, dan seolah-olah istilah
pemisahan kekuasaan itu hanya dipakai oleh Montesquieu. Padahal, istilah
pemisahan kekuasaan itu sendiri konsep yang bersifat umum, seperti halnya
konsep pembagian kekuasaan juga dipakai oleh banyak sarjana dengan
pengertian-pengertian yang berbeda-beda satu dengan yang lain.
14
yang sama saja, tergantung konteks pengertian yang dianut. Misalnya, dalam
konstitusi Amerika Serikat, kedua istilah separation of power dan division
ofpower juga sama-sama digunakan. Hanya saja, istilah division of power itu
digunakan dalam konteks pembagian kekuasa- an antara federal dan negara
bagian, atau yang menurut pengertian Arthus Mass yang terkait dengan pengertian
territorial division of powers. Sedangkan, istilah separation of powers dipakai
dalam konteks pembagian keku- asaan di tingkat pemerintahan federal, yaitu
antara legislature, the executive, dan judiciary. Pembagian yang terakhir inilah
yang disebut oleh Arthur Mass sebagai capital division of power.
15
aspects of the separation of powers doctrine which are not entirely
consistent”.Namun demikian, istilah pemisahan kekuasaan (separation of powers)
itu sendiri sudah biasa digunakan di kalangan para ahli, tidak saja dalam
pengertian yang mutlak seperti dalam pandangan Montesquieu, tetapi mencakup
pula pengertian-pengertian baru yang berkembang dalam praktik selama abad ke-
20 yang sedikit banyak mencakup juga pengertian-pengertian yang kadang-
kadang terdapat pula istilah division of powers ataupun distribution of powers.
Untuk membatasi pengertian separation of powersitu, dalam bukunya
Constitutional Theory,14 G. Marshall Membedakan ciri-ciri doktrin pemisahan
kekuasaan (separation of powers) itu ke dalam 5 (lima) aspek, yaitu:
1) differentiation;
16
gan yang lain. Dengan demikian, independensi masing- masing cabang kekuasaan
dapat terjamin dengan sebaik- baiknya. Keempat, dalam doktrin pemisahan
kekuasaan itu, yang juga dianggap paling penting adalah adanya prinsip checks
and balances, di mana setiap cabang mengendalikan dan mengimbangi kekuatan
cabang-cabang kekuasaan yang lain. Dengan adanya perimbangan yang saling
mengendalikan tersebut, diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan di
masing-masing organ yang bersifat independen itu. Kemudian yang terakhir,
kelima, adalah prinsip koordinasi dan kesederajatan, yaitu semua organ atau
lembaga (tinggi) negara yang menjalankan fungsi legislatif, eksekutif, dan
yudisial mempunyai kedudukan yang sederajat dan mem- punyai hubungan yang
bersifat coordinatif, tidak bersifat subordinatif satu dengan yang lain.Dalam
pengalaman ketatanegaraan Indonesia, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation
of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu
secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral
dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan
sistim supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala
trias politica Montesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945,16
Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias
politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan ala Montesquieu, melainkan
menganut sistim pembagian kekuasaan.
Namun demikian, sekarang setelah UUD 1945 me- ngalami empat kali
perubahan, dapat dikatakan bahwa sistim konstitusi kita telah menganut doktrin
pemisahan kekuasaan itu secara nyata. Beberapa bukti mengenai hal ini antara
lain adalah:
17
2) Diadopsikannya sistim pengujian konstitusional atas undang-undang
sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi.Sebelumnya tidak
dikenal adanya mekanisme semacam itu, karena pada pokoknya undang-
undang tidak dapat diganggu gugat di mana
hakim dianggap hanya dapat menerapkan undang- undang dan tidak boleh
menilai undang-undang;
Dari kelima ciri tersebut di atas, dapat diketahui bahwa UUD 1945 tidak
lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat
vertikal, tetapi juga tidak menganut paham trias politica Montesquieu yang
memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial secara
mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan saling mengendalikan satu sama lain.
Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan
keempat adalah sistim pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and
balances. Kalaupun istilah pemisahan kekuasaan (separation of power) itu hendak
dihindari, sebenarnya, kita dapat saja menggunakan istilah pembagian kekuasaan
(division of power) seperti yang dipakai oleh Arthur Mass, yaitu capital division
of power untuk pengertian yang bersifat horizontal, dan territorial division of
power untuk pengertian yang bersifat vertikal.Akan tetapi, perlu dicatat bahwa
18
mengenai istilah “pembagian” itu telah dipergunakan oleh Pasal 18 ayat (1) UUD
1945 untuk pengertian pembagian dalam konteks pengertian yang bersifat vertikal
atau territorial division of power. Pasal 18 ayat (1) tersebut berbunyi:“Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten,
dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-
undang”. Artinya, dalam wadah NKRI terdapat provinsi-pro- vinsi yang
merupakan daerah-daerah bagiannya, dan di tiap-tiap daerah provinsi terdapat
pula kabupaten-kabu- paten dan kota yang merupakan daerah-daerah bagian dari
provinsi-provinsi tersebut. Adanya konsep daerah bagian ini terkait erat dengan
kek
Untuk mengatasi hal itu, maka ketika rancangan Perubahan Kedua UUD 1945
dibahas pada tahun 2000, ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 tersebut dengan
sengaja menggunakan istilah “... dibagi atas daerah- daerah provinsi, dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota...”. Dengan penggunaan istilah
ini,ingin ditegaskan bahwa hubungan antara pusat dan daerah, dan antara provinsi
dan kabupaten/kota kembali bersifat hierarkis vertikal. Dengan demikian, UUD
1945 secara sadar menggunakan istilah “pembagian” itu dalam konteks
pengertiannya yang bersifat vertikal, sehingga konsep pembagian kekuasaan
(division of power) haruslah diartikan sebagai pembagian dalam konteks
pengertian yang bersifat vertikal pula.
19
Oleh karena itu, maka untuk pengertian pembagian kekuasaan dalam
konteks pengertian yang bersifat hori- zontal atau seperti yang diartikan oleh
Arthur Mass dengan capital division of power, haruslah diartikan seba- gai
pemisahan kekuasaan (separation of power), meskipun bukan dalam pengertian
trias politica Montesquieu. Dengan perkataan lain, saya menganjurkan orang
tidak perlu ragu-ragu menggunakan istilah pemisahan keku- asaan berdasarkan
prinsip checks and balances untuk menyebut sistim yang dianut oleh UUD 1945
pasca Perubahan Keempat, asalkan tidak dipahami dalam konteks pengertian trias
politica Montesquieu (Jimly Asshiddiqqie, 2006 : 26).
20
desentralisasi administratif, dan (2) desentralisasi politik atau staatskundige
decentralisatie (Jimly Asshiddiqqie, 2006 : 27).
21
Pada hakikatnya, desentralisasi itu sendiri dapat dibedakan dari segi
karakteristiknya, yaitu:
1) Desentralisasi teritorial (territorial decentralization),
22
Yaitu pelimpahan sebagian kewenangan kepada alat-alat atau unit
pemerintahan sendiri di daerah. Pengertiannya identik dengan dekonsentrasi.
Oleh karena itu, ada beberapa tujuan dan manfaat yang biasa dinisbatkan
dengan kebijakan desentralisasi dan dekonsentrasi itu, yaitu:
23
didayagunakan sebagai modal yang mendorong kemajuan pembangunan
dalam bidang-bidang lainnya;
1. devolusi
2. devolusi fungsional
3. organisasi permasalahan
4. dekonsentrasi prefectoral
5. dekonsentrasi ministerial
7. kedermawanan,
24
8. marketisasi.
1. Dibentuk oleh badan perwakilan rakyat sehingga menjadi legal unit tersendiri
di depan pengadilan
25
masyarakat. Undang-undang yang dibuatnya mencerminkan kebijaksanaan-
kebijaksaan itu dapat dikatakan bahwa ia merupakan badan yang membuat
keputusan yang menyangkut kepentingan umum. Tidak dari semula Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai wewenang untuk menentukan kebijaksanaan
umum dan membuat undang-undang. Parlemen Inggris yang merupakan dewan
perwakilan rakyat tertua didunia, mula-mula hanya bertugas mengumpulkan dana
untuk memungkinkan raja membiayai kegiatan pemerintahan serta peperangan.
Akan tetapi lambat laun setiap penyerahan dana (semacam pajak) disertai tuntutan
agar pihak raja menyerahkan pula beberapa hak dan privilege sebagai imbalan.
Dengan demikian secara berangsur-angsur parlemen berhasil bertindak sebagai
badan yang membatasi kekuasaan raja yang tadinya berkekuasaan absolute
(absolutisme).
26
mempertanggung jawabkan tindakan-tindakannya kepada mayoritas itu. Negara
demokratis didasari oleh sistem perwakilan demokratis yang menjamin kedaulatan
rakyat (Budiardjo, 1972: 173-174).
Jumlah anggota Badan Legislatif berbeda sekali ada yang jumlahnya banyak,
seperti Uni Soviet (1300 anggota), ada yang jumlahnya kecil, seperti di Pakistan
pada masa Demokrasi dasar (150 anggota). Begitu pula dasar keanggotaan mereka
beraneka ragam sifatnya:
Dalam negara modern langsung pada umumnya anggota bada legislatif dipilih
dalam pemilihan umum dan berdasarkan sistem kepartaian. Perwakilan semacam
ini bersifat politik. Akan tetapi sistem ini tidak menutup kemungkinan beberapa
orang anggota dipilih tanpa ikatan pada sesuatu partai, tetapi sebagai orang
Independent. Perwakilan (representation) adalh konsep bahwa seseorang atau
suatu kelompok mempunyai kemmapuan atau kewajiban untuk bicara dan
bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota dewan
perwakilan rakyat pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Hal ini
dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political representation). Sekalipun
azas perwakilan politik telah menjadi sangat umum, akan tetapi ada beberapa
kalangan yang merasa bahwa partai politik dan perwakilan yang berdasarkan
kesatuan-kesatuan politik semata-mata, mengabaikan kepentingan-kepentingan
dan kekuatan-kekuatan lain yang ada didalam masyarakat.
27
menjadi anggota majelis tinggi. Di dewan perwakilan rakyat Pakistan dalam masa
demokrasi dasar disediakan beberapa kursi untuk golongan wanita dan untuk
orang-orang yang berjasa di berbagai bidang, misalnya bekas penjabat tinggi
seperti gubernur atau menteri, dan dari kalangan kebudayaan, ilmu pengetahuan,
profesi-profesi (seperti:pengacara, dan sebgainya). Umumnya boleh dikatakan
bahwa pengangkatan wakil-wakil dari berbagai golongan fungsionil dan
minoritas dimaksudkan sebagai sekedar koreksi terhadap azas perwakilan politik.
Disamping itu terdapat bahwa dibeberapa negara azas perwakilan politik
diragukan kewajarannya dan diusahakan agar diganti atau sekurang-kurangnya
dilengkapi dengan azas perwakilan fungsional. Dianggap bahwa negara modern
dikuasai oleh bermacam-macam kepentingan ekonomis, yang dalam sistem
perwakilan politik sama sekali tidak dihiraukan dan tidak dilibatkan dalam proses
politik.
Sistem-sistem pemilihan
a. Sistem Distrik
28
Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan
atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut
distrik karena kecilnya daerah yang diliput) mempunyai satu wakil dalam
dewan perwakilan rakyat. Untuk keperluan itu negara dibagi dalam
sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam dewan perwakilan
rakyat ditentukan oleh jumlah distrik.
b. Sistem perwakilan berimbang
Sistem ini dimaksud untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari
sistem distrik. Gagasan pokok adalah bahwa jumlah kursi yang diperoleh
oleh sesuatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang
diperolehnya (Budiardjo, 1972:177-178).
Ada negara dimana badan Legislatif terbagi dalam dua majelis (bi-
kemeralisme), sedangkan di beberapa negara lain hanya berdiri dari satu majelis
(uni-kameralisme). Boleh dikatakan bahwa semua negara federal memakai sistem
dua majelis oleh karena satu diantaranya mewakili kepentingan negara bagian
khususnya (India, Amerika Serikat, Uni Soviet, Republik Indonesia Serikat).
Negara kesatuan yang memakai sistem dua majelis biasanya terdorong oleh
pertimbangan bahwa satu majelis dapat mengimbangi dan membatasi kekuasaan
oleh karena mudah dipengaruhi oleh situasi politik. Bagaimanapun juga, majelis
tambahan biasanya disusun sedemikian rupa sehingga wewenangnya kurang
daripada badan yang mewakili rakyat. Badan yang mewakili rakyat umumnya
disebut Majelis Rendah (Lower House) sedangkan mejlis lainnya disebutkan
Majelis Tinggi (Upper House atau Senat).
a. Majelis Tinggi
Anggota Majelis Tinggi dapat ditentukan bermacam-macam dasar:
1. Turun-temurun (Inggris).
2. Ditunjuk (Inggris, Kanada).
3. Dipilih (India, Amerika Serikat, Uni Soviet, Filipina).
29
Majelis Tinggi Inggris (House of Lords) merupakan satu-satunya majelis dimana
sebagian anggotanya berkedudukan turun-temurun. Diasamping itu ada anggota
yang pada waktu tertentu ditunjuk berdasarkan jasanya kepada msyarakat
(misalnya, Ny. Churchill sesudah suaminya meninggal) dalam hal mana
keanggotaan tidak turun-temurun. Begitu pula di Kanada, penunjukan anggota
Senat sering didasarkan jasanya terhadap masyarakat atau kepada partai yang
sedang berkuasa.
Dalam negara yang anggota majelis tinggi dipilih, kita menjumpai bahwa
masa jabatan anggota majelis tinggi lebih lama daripada masa jabatan anggota
majelis rendah, seperti di India, Amerika Serikat, Filipina. Dalam keadaan
semacam ini tidak mustahil kedua majelis itu pada suatu waktu berlainan
komposisinya, dalam arti bahwa majelis rendah dikuasai oleh partai lain. Hal ini
dapat menghambat kelancaran pekerjaan. Hal ini telah menimbulkan kecaman
bahwa adanya majelis tinggi tidak demokratis, oleh karena tidak selalu
mencerminkan konstelasi kekuasaan yang sebenarnya. Kecaman lain yang
dilontarkan ialah bahwa adanya dua majelis akan menghambat kelancaran
pembahasan perundang-undangan. Maka dari itu sering terdapat bahwa wewenang
majelis tinggi adalah kurang daripada wewenang majelis rendah. Biasanya yang
mempunyai wewenang untuk menjatuhkan kabinet hanya majelis rendah. Hanya
di Amerika Serikat saja majelis tinggi (Senat) mempunyai kekuasaan yang lebih
besar daripada majelsi rendah.
b. Majelis Rendah
Biasanya semua anggota dipilih dalam pemilihan umum dianggap sebagai
majelis yang terpenting. Biasanya masa jabatan sudah ditentukan (Amerika
Serikat 2 tahun, Filipina 2 tahun). Di Inggris dan India masa jabatan maksimal 5
tahun, akan tetapi sewaktu-waktu dapat dibubarkan atas anjuran perdana menteri
untuk diadakan pemilihan baru. Wewenang majelis rendah biasanya lebih besar
daripada wewenang majelis tinggi, kecuali di Amerika Serikat. Wewenang ini
tercermin baik di bidang legislative maupunn dibidang pengawasan (kontrol).
Dinegara-negara yang memakai sistem parlemnter, seperti Inggris dan India,
majelis ini dapat menjatuhkan cabinet. Dalam sistem presindensil, seperti
30
Amerika Serikat dan Filipina, majelis rendah tidak mempunyai wewenang ini
(Budiardjo, 1972:182).
Fungsi Legislatif
Menurut teori yang berlaku maka tugas utama dari badan legislatif terletak
di bidang perundang-undangan. Untuk membahas rancangan undang-undang
sering di bentuk paniti-panitia yang berwewenang untuk memanggil menteri atau
penjabat lainnya untuk diminta keterangan seperlunya. Di beberapa negara seperti
Amerika Serikat dan Perancis, panitia legislatif ini sangat berkuasa, tetapi
dinegara lain seperti Inggris, panitia-panitia ini hanya merupakan panitia teknis
saja. Biasanya siding-sidang panitia legislatif diadakan secar tertutup, kecuali di
Amerika Serikat dimana dapat ditentukan bahwa sidang panitia terbuka untuk
umum. Akan tetapi dewasa ini telah menjadi gejala umum bahwa titik berat di
31
bidang legislatif banyak berbergeser ke tangan badan eksekutif. Mayoritas dari
perundang-undangan di rumuskan dan dipersiapkan oleh badan eksekutif,
sedangkan badan legislatif tinggal membahas. Lagi pula undang-undang yang di
buat atas inisiatif badan legislatif sedikit sekali jumlahnya dan jarang menyangkut
kepentingan umum. Hal ini tidak mengherankan sebab dalam negara modern
badan eksekutif bertanggungjawab atas peningkatan taraf kehidupan rakyat dank
arena itu harus memainkan peranan yang aktif dalam mengatur semua aspek
kehidupan masyarakat. Dan kepemimpinannya tercermin dalam perundang-
undangan yang dipersiapkannya. Dalam tugas ini di bantu oleh para ahli serta
sarana-sarana lainnya dalam masing-masing kementerian yang memang
merupakan syarat mutlak untuk merumuskan syarat mutlak untuk merumuskan
rancangan undang-undangnya dikeahlian anggota-anggotanya lebih terbatas,
sekalipun dibeberapa negara anggota badan legislatif di bantu staf administrasi
dan research yang baik. Akan tetapi dibidang keuangan, kekuasan badan legislatif
masih tampak jelas. Rancangan anggaran belanja diajukan kebadan legislatif oleh
badan eksekutif, akan tetapi badan legislatif mempunyai hak untuk mengadakan
amandemen, dan dalam hal ini menentukan seberapa jauh anggaran pemerintah
dan dengan demikian seluruh program kegiatan pemerintahan dapat disetujui.
Jadi, badan legislatiflah yang menentukan berapa dan dengan cara bagaimana
uang rakyat dipergunakan. Dalam negara di mana badan eksekutif memainkan
peranan yang dominan, badan legislatif biasanya tidak akan terlalu banyak
mengubah rancangan anggaran belanja, akan tetapi dalam negara di mana badan
legislatif merupakan badan yang kuat, badan legislatif dapat saja mengadakan
banyak perubahan, termasuk mengurangi anggaran yang akan dipergunakan.
Congress Amerika Serikat, misalnya akhir-akhir ini sering mengurangi bantuan
ekonomi untuk negara-negara yang sedang berkembang (Budiardjo, 1972:183-
184).
32
Kekuasaan kehakiman merupakan pilar ketiga dalam sistim kekuasaan
negara modern. Dalam bahasa Indonesia, fungsi kekuasaan yang ketiga ini
seringkali disebut cabang kekuasaan "yudikatif", dari istilah Belanda judicatief.
Dalam bahasa Inggris, di samping istilah legislative, executive, tidak dikenal
istilah judicative, sehingga untuk pengertian yang sama biasanya dipakai istilah
judicial, judiciary, ataupun judicature. Dalam sistem negara modern, cabang
kekuasaan kehakiman atau judiciary merupakan cabang yang diorganisasikan
secara tersendiri. Oleh karena itu, dikatakan oleh John Alder, "The principle of
separation of powers is particuarly important for the judiciary". (Jimly
Assihiddiqqie, 2006:44)
33
Meskipun anggota Parlemen dan Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat
mencerminkan kedaulatan rakyat dalam menentukan kebijakan kenegaraan, tetapi
kata akhir dalam memahami maksudnya tetap berada di tangan para hakim.Lagi
pula, sebagai buatan manusia, hukum dan peraturan perundang-undangan
seringkali memang tidak sempurna. Kadang-kadang, ada undang-undang yang
agak kabur perumusannya dan membuka kemungkinan banyak penafsiran
mengenai pengertian-pengertian yang terkandung di dalamnya. Akibatnya,
peraturan yang demikian itu menyebabkan terjadinya kebingungan dan
ketidakpastian yang luas. Karena itu, diperlukan hakim yang benar-benar dapat
dipercaya untuk memutuskan hal tersebut sebagai solusi akhir.
Untuk itu, diperlukan pula pengaturan mengenai tipe manusia yang seperti
apa yang seharusnya diangkat menjadi hakim. Banyak sekali komentar dan
pandangan negatif terhadap hakim mengenai sejauh mana hakim dapat bekerja
dengan objektif, dan apakah tidak mungkin terjadi bahwa hakim yang
dikonstruksikan sebagai manusia bebas dan tidak berpihak kecuali kepada
kebenaran tidak akan "bias". Apakah benar bahwa seorang hakim baik secara
sadar ataupun tidak sadar tidak akan dipengaruhi oleh sikap prejudice yang
disebabkan oleh latar belakang sosial dan politik kehidupannya sendiri dalam
memutus setiap perkara, di mana untuk itu ia diharapkan bersikap objektif dan
imparsial. Sikap "bias" itu sendiri kadang-kadang dipengaruhi pula oleh cara
hakim sendiri memahami atau memandang kedudukan dan fungsinya itu.
Misalnya, dalam memutus sesuatu perkara, pastilah ada. yang pihak senang dan
ada pihak tidak senang, termasuk dalam perkara yang bersangkutan dengan
pertentangan antara negara dengan warga negara. (Jimly Asshiddiqqie, 2006:45-
46).
Dalam hal demikian apakah hakim akan tetap dapat bersikap netral atau
akan merasa menjadi hero bagi rakyat dalam menghadapi negara. Dalam kegiatan
bernegara, kedudukan hakim pada pokoknya bersifat sangat khusus. Dalam
hubungan ke- pentingan yang bersifat triadik (triadic relation) antara negara
(state), pasar (market), dan masyarakat madani (civil society), kedudukan hakim
haruslah berada di tengah. Demikian pula dalam hubungan antara negara (state)
34
dan warga negara (citizens), hakim juga harus berada di antara keduanya secara
seimbang. Jika negara dirugikan oleh warga negara, karena warga negara
melanggar hukum negara, maka hakim harus memutuskan hal itu dengan adil.
Apapun sistem hukum yang dipakai dan sistim pemerintahan yang dianut,
pelaksanaan the principles of independence and impartiality of the judiciary
haruslah benar-benar dijamin di setiap negara demokrasi konstitusional
(constitutional democracy). Lembaga peradilan tumbuh dalam sejarah umat
manusia dimulai dari bentuk dan sistemnya yang sederhana. Lama-lama bentuk
dan siştim peradilan berkembang menjadi semakin kompleks dan modern.
Oleh karena itu, seperti dikemukakan oleh Djokosoetono, ada empat tahap
dan sekaligus empat macam rechts-praak yang dikenal dalam sejarah, yaitu:
35
yang menggunakan kompendium atau kitab-kitab ulama ahlussunnah wal-
jama'ah atau kitab-kitab ulama syi’ah dan
4. Rechtspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas
ketentuan undang-undang atau pun kitab undang-undang. Pengadilan
demikian ini merupakan penjelmaan dari paham hukum positif atau
moderne wetgeving yang mengutamakan peraturan perundang-undangan
yang bersifat tertulis (schreven welgeving).
Di samping itu, dewasa ini, dikenal pula beberapa pengadilan khusus, baik yang
bersifat tetap ataupun Ad Hoc, diantaranya yaitu:
36
1. Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM)
2. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
3. Pengadilan Niaga
4. Pengadilan Perikanan
5. Pengadilan Anak
6. Pengadilan Hubungan Kerja Industrial
7. Pengadilan Pajak
8. Mahkamah Syar'iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
9. Pengadilan Adat di Papua.
37
lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara yang dihadapinya.
38
sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya. Independensi
hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik
sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari berbagai kpengaruh yang berasal
dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi dengan halus,
dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik atau
ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok
atau golongan, dengan ancaman penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan
imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi atau
bentuk lainnya.
39
mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan
emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya.
40
kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan
pengalaman dalam pelaksanaan tugas.
a) pejabat penyidik
b) pejabat penuntut umum, dan
c) advokat yang juga diakui sebagai penegak hukum.
Di lingkungan pejabat penyidik, terdapat (i) polisi, (ii) jaksa, (iii) penyidik
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan (iv) penyidik pegawai negeri sipil,
yang dewasa ini di Indonesia berjumlah kurang lebih 52 macam. Mereka yang
menjalankan fungsi penuntutan adalah (i) jaksa penuntut umum, dan (ii) Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara itu, dalam lingkungan internal
organisasi pengadilan, dibedakan dengan tegas adanya 3 (tiga) jabatan yang
bersifat fungsional, yaitu (i) hakim, (ii) panitera, dan (iii) pegawai administrasi
lainnya. Ketiga nya perlu dibedakan dengan tegas, karena memiliki kedudukan
yang berbeda dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara. (Jimly
Asshiddiqqie, 2006:56).
41
bekerja berdasarkan sumpah jabatan untuk menjaga kerahasiaan setiap perkara.
Sedangkan, pegawai administrasi biasa adalah pegawai negeri sipil yang tunduk
pada ketentuan kepegawainegerian pada umumnya. Independensi hakim dalam
menjalankan tugas kehakimannya pada pokoknya terletak dalam diri setiap hakim
itu sendiri.
Dengan demikian, kedua pejabat penunjang ini tidak saling tumpang tindih
tanggung jawabnya dalam mendukung kelancaran pelaksanaan tugas hakim.
Pemisahan kedua jabatan administrasi penunjang ini jelas diatur dalam Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam
perkembangan selanjutnya, pemisahan serupa juga dilakukan di lingkungan
Mahkamah Agung. Bahkan organisasi struktural di lingkungan Mahkamah Agung
42
lebih besar dan lebih kompleks, mengingat sebagian fungsi administrasi
kehakiman yang sebelumnya ditangani oleh Pemerintah c.q. Departemen
Kehakiman, sekarang beralih penanganannya oleh Mahkamah Agung di bawah
manajemen satu atap. (Jimly Asshiddiqqie, 2006:57-58).
43
melaksanakan Undang-Undang Dasar, bahkan dalam negara modern badan
eksekutif sudah mengganti badan legislatif sebagai pembuat kebijakan yang
utama.
1. Masa jabatan presiden dan wakil presiden ditentukan lebih pasti, misalnya
4 tahun atau 5 tahun, sehingga presiden dan wakil presiden tidak dapat
diberhentikan di tengah masa jabatannya karena alasan politik. Di
beberapa Negara masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi
dengan jelas seperti di Indonesia yang hanya dapat menjabat selama 2
periode. Kabinet berada dibawah presiden dan bertanggungjawab kepada
presiden. Hal ini dipengaruhi oleh konsep sistem presidensial yang
mengedepankan fungsi presiden sebagai badan eksekutif dalam
pelaksanaan kebijakan untuk mencapai kehidupan masyarakat yang
sejahtera. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusi negara
merupakan landasan pelaksanaan sistem presidensil yang dengan jelas
menyatakan bahwa presiden sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan. Sistem pemerintahan Presidensil memiliki beberapa
karakteristik yang mendasar yaitu :
44
Sebelum amandemen UUD 1945, sebagaimana disebutkan dalam pasal 6
bahwa presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dengan suara terbanyak. Namun setelah amandemen, pemilihan presiden dan
wakil presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A ayat 1). Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 kedudukan presiden mencakup sebagai kepala
Negara sekaligus menjadi kepala pemerintahan. Kekuasaan presiden sebagai
kepala pemerintahan atau eksekutif terbagi sebagai berikut:
45
5. Kekuasaan Militer (Pasal 10, 11, 12)
Dalam UUD 1945 pasal 10 jelas menyatakan bahwa presiden memegang
kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, laut, dan udara. Pasal 11 ayat 1 berbunyi
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Pasal 12 berisi Presiden
menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang-undang.
46
3. Dalam membuat perjanjian lainnya yang menimbulkan akibat luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan / atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU harus
dengan persetujuan DPR.
9. Memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur
dengan Hukum.
47
14. Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang telah dipilih oleh
DPR atas dasar pertimbangan DPD.
15. Menetapkan Calon Hakim Agung yang diusulkan Komisi Yudisial dan
telah mendapat persetujuan DPR untuk menjadi Hakim Agung.
Sistim Pemerintahan
48
hanya Presiden dan Wakil Presiden saja dengan segala hak dan kewajib- annya
atau tugas dan kewenangannya masing-masing.Sementara itu, dalam sistem
campuran, terdapat ciri-ciri presidentil dan ciri-ciri parlementer secara ber-
samaan dalam sistem pemerintahan yang diterapkan. Sistem campuran ini
biasanya oleh para ahli disebut sesuai dengan kebiasaan yang diterapkan oleh
masing- masing negara. Misalnya, sistem yang dipraktikkan di Perancis biasa
dikenal oleh para sarjana dengan sebutan hybrid system. Kedudukan sebagai
kepala negara dipegang oleh Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, tetapi
juga ada kepala pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang
didukung oleh parlemen seperti dalam sistem parlementer yang biasa. Oleh karena
itu, sistem Perancis ini dapat pula kita sebut seba- gai sistim quasi-parlementer
(Jimly,2006:60).
Kementerian Negara
49
para menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam sistem
parlementer jelas sekali bahwa kedudukan menteri adalah bersifat sentral. Perdana
Menteri sebagai menteri utama, menteri koordinator, atau menteri yang
memimpin para menteri lainnya dalam kabinet adalah kepala pemerintahan, yaitu
yang memimpin pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan secara operasional sehari-
hari. Kinerja pemerintahan sepenuhnya berada di tangan para menteri yang
dipimpin oleh seorang Perdana Menteri itu. Dikarenakan sangat kuatnya
kedudukan para menteri, parlemen pun dapat dibubarkan oleh mereka.Sebaliknya,
kabinet juga dapat dibubarkan oleh parlemen apabila mendapat mosi tidak
percaya dari parlemen. Demikianlah perimbangan kekuatan di antara kabinet dan
parlemen dalam sistem pemerintahan parlementer.
50
sendiri adalah pemimpin yang tertinggi dalam kegiatan pemerintahan di
bidangnya masing-masing. Oleh karena dalam jabatan Presiden dan Wakil
Presiden tergabung fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus,
maka tentunya Presiden dan Wakil Presiden tidak mungkin terlibat terlalu
mendetil dalam urusan-urusan operasional pemerintahan sehari-hari. Bahkan,
untuk kepentingan koordinasi, terbukti pula diperlukan adanya jabatan menteri
senior, seperti para Menteri Koordinator. Artinya, untuk melakukan fungsi
koordinasi teknis saja, Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak dapat lagi terlalu
diharapkan efektif.
51
kementerian negara diatur dalam undang-undang”. Maksudnya ialah, meskipun
mengenai orangnya merupakan kewenangan mutlak Presiden, tetapi mengenai
struktur organisasinya harus diatur dalam undang-undang. Dengan demikian,
organisasi kementerian negara itu tidak dapat seenaknya diadakan, diubah, atau
dibubarkan hanya oleh pertimbangan keinginan atau kehendak pribadi seorang
Presiden belaka. Semua hal yang berkenaan dengan organisasi kementerian
negara itu haruslah diatur dalam undang-undang. Artinya, perubahan,
pembentukan, atau pembubaran organisasi ke- menterian negara harus diatur
bersama oleh Presiden bersama-sama para wakil rakyat yang duduk di lembaga
Dewan Perwakilan Rakyat. Itulah esensi dari ketentuan bahwa hal tersebut harus
diatur dalam undang-undang. Selain itu, dalam cabang kekuasaan eksekutif ini,
terdapat pula cakupan bidang kekuasaan yang sangat luas, termasuk kekuasaan
pemerintahan daerah (local government).
52
peristiwa-peristiwa besar di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia.
Setelah itu, gerakan demokratisasi mengalami backlashdengan munculnya
fasisme, totalitarianisme, dan stalin-isme, terutama di Jerman (Hitler), Italia
(Musolini), Rusia (Stalin), dan Jepang. Gelombang Kedua terjadi sejak
berakhirnya Perang Dunia Kedua, fasisme dan totalitarianisme berhasil
dihancurkan, pada saat yang sama muncul pula dekolo- nisasi besar-besaran,
menumbangkan imperialisme dan kolonialisme. Oleh karena itu, dikatakan bahwa
Perang Dunia II berakhir bukan hanya dengan kemenangan ne- gara pemenangnya
sendiri, melainkan dimenangkan oleh ide demokrasi, baik di negara-negara
pemenang Perang Dunia Kedua itu sendiri maupun di negara-negara yang kalah
perang dan semua negara bekas jajahan di seluruh dunia, terutama di benua Asia
dan Afrika. Namun, gelombang kedua ini mulai terhambat sejak tahun 1958
dengan munculnya fenomena rezim bureaucratic authoritarianism di seluruh
dunia. Backlash kedua ini timbul karena dinamika internal yang terjadi di masing-
masing negara yang baru merdeka yang memerlukan konsolidasi kekuasaan yang
tersentralisasi dan terkon- sentrasi di pusat-pusat kekuasaan Negara (Jimly,2006 :
65).
53
di Inggris, Perancis, Jerman, Je- pang, dan Amerika Serikat. Bahkan hampir ra di
dunia dipaksa oleh keadaan untuk mengadakan privatisasi terhadap berbagai
badan usaha yang sebelum- nya dimiliki dan dikelola oleh negara.Di bidang
kebudayaan, juga serupa dengan gelom- bang perubahan di bidang politik dan
ekonomi. Dengan meningkatnya perkembangan teknologi transportasi, ko-
munikasi, telekomunikasi, dan informasi, dunia semakin berubah menjadi satu,
dan semua aspek kehidupan me- ngalami proses globalisasi. Cara berpikir umat
manusia dipaksa oleh keadaan mengarah kepada sistem nilai yang serupa.
Bahkan, dalam persoalan selera musik, selera makanan, dan selera berpakaian pun
terjadi proses pe- nyeragaman dan hubungan saling pengaruh mempenga- ruhi
antarnegara. Sementara itu, sebagai respons terha- dap gejala penyeragaman itu,
timbul pula fenomena perlawanan budaya dari berbagai tradisi lokal di setiap
negara, sehingga muncul gelombang yang saling bersitegang satu sama lain,
antara globalisasi versus lokalisasi, sehingga secara berseloroh melahirkan istilah
baru yang dikenal dengan glokalisasi (Jimly,2006 : 66)
54
doktrin the best government is the least government. Dalam paham negara
kesejahteraan, adalah tang- gung jawab sosial negara untuk mengurusi nasib orang
miskin dan yang tak berpunya. Oleh karena itu, negara dituntut berperan lebih,
sehingga format kelembagaan organisasi birokrasinya juga menjangkau kebutuhan
yang lebih luas. Begitu luasnya bidang-bidang yang mesti ditangani oleh
pemerintahan welfare state, maka dalam perkembangannya kemudian muncul
sebutan intervensionist state (Jimly,2006 : 67).
55
concentrating power in the hands of central govern- ment nominees without the
safeduard of parliamentary or democratic accountability (Jimly,2006 : 74).
56
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut the rule
of law atau dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya
ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan
itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham
konstitusionalisme modern. Lembaga negara dalam menjalankan kekuasaan-
kekuasaan negara perlu dibatasi, agar tidak sewenang-wenang, tidak tumpang
tindih kewenangan dan tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu lembaga,
maka perlu adanya suatu pembagian atau pemisahan kekuasaan. Hal ini
dimaksudkan semata-mata untuk menjamin hak-hak asasi para warganya agar
tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa. Hal ini senada dengan
ungkapan dari Lord Acton “power tends to corrupt, but absolute power corrupts
absolutely” (manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalah-gunakan,
tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan
menyalahgunakannya).
57
Di samping terkait dengan persoalan pemisahan kekuasaan (separation of
power) dan pembagian kekuasaan (division of power), pembatasan kekuasaan
juga dikaitkan dengan desentralisasi dan dekonsentrasi kekuasaan. Menurut
Hoogerwarf, desentralisasi merupakan pengakuan atau penyerahan wewenang
oleh badan- badan publik yang lebih tinggi kepada badan-badan publik yang lebih
rendah kedudukannya untuk secara mandiri dan berdasarkan kepentingan sendiri
meng- ambil keputusan di bidang pengaturan (regelendaad) dan di bidang
pemerintahan (bestuursdaad).
58
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Asshiddiqqie, Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara jilid II. Jakarta :
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Sumber Jurnal:
59
Usman.Negara Dan Fungsinya (Telaah Atas Pemikiran Politik).Al-daulah. Vol. a,
No. 1. Tahun 2015. Diakses pada tanggal 10/03/2020. Dilaman
http://journal.uinalauddin.ac.id/index.php/al_daulah/article/download/1506
/145.
60