Forensik berasal dari bahasa Yunani Forensik yang berarti debat atau perdebatan. Dalam konteks keilmuan, forensik bisa diartikan sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu proses penegakan keadilan melalui penerapan ilmu dan sains. Forensik sering berhubungan dengan persoalan kejahatan atau tindak pidana. Hubungannya dengan psikiatri berkaitan dengan kasus gangguan jiwa dalam sebuah tindak pidana. Umumnya tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang yang diduga mengalami atau dalam keadaan terganggu jiwanya. Psikiatri forensik sangat berperan bagi penyidik untuk membantu dalam menemukan kebenaran material suatu kejahatan. Penyidik sangat memerlukan ilmu psikiatri forensik untuk melakukan penyidikan dan pengusutan terhadap suatu perbuatan apakah merupakan perbuatan pidana dan dapat dipertanggung jawabkan. Di indonesia perkembangan psikiatri forensik bermula pada 1970 saat dr. Wahyadi Dharmabrata dan Prof. Dr. Dr. Dadang Hawari mendapat tugas belajar ke Inggris yang betujuan untuk mempelajari Psychiatry Community. Saat Wahyadi kembali ke Indonesia, beliau terus mengembangkan psikiatri forensik yang didasarkan pada kenyataan bahwa banyak kesulitan yang dihadapi para profesional saat menangani masalah pidana.
Terbitnya Buku Pedoman Pembuatan Visum et Repertum Psychiatricum yang
mengutamakan bukan diagnosis semata, tetapi menetapkan kemampuan/ ketidakmampuan seseorang melakukan suatu tujuan secara sadar, serta menetapkan kemampuan/ ketidakmampuan seseorang dalam mengarahkan tindakannya. Artinya penentuan kemampuan pertanggungjawaban seseorang terhadap suatu perbuatan dalam sebuah kasus pidana harus disimpulkan lewat visum et repertum psychiatrum yang dilakukan oleh seorang psikiater forensik.