Anda di halaman 1dari 20

KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL REFERAT

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA SEPTEMBER 2020


PROVINSI SULAWESI TENGGARA
KEPANITERAAN KLINIK FK UHO

PSIKOLOGI FORENSIK

Oleh:
Sitti Marwah Sara Bitu, S.Ked. (K1A113057)
Siti Musayada Dawua, S.Ked. (K1A114043)
Muhammad Idris, S.Ked. (K1A114115)

Pembimbing:
Dr. dr. Annisa Anwar Muthaher., SH., M.Kes., Sp.F

BAGIAN KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


RS BHAYANGKARA KENDARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : 1. Sitti Marwah Sara Bitu, S.Ked (K1A113057)

2. Siti Musayada Dawua, S.Ked (K1A114043)

3. Muhammad Idris, S.Ked (K1A114115)

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Referat : Psikologi Forensik

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepanitraan klinik pada Bagian

Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, September 2020

Mengetahui,

Pembimbing

Dr. dr. Annisa Anwar Muthaher., SH., M.Kes., Sp.F

i
PSIKOLOGI FORENSIK
Sitti Marwah Sara Bitu, Siti Musayada Dawua, Muhammad Idris, Annisa Anwar
Muthaher

I. Pendahuluan

Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan atas hukum, tidak

berdasarkan atas kekuasaan belaka yang mana penjelasan tersebut juga

tercantum didalam UUD 1945. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa

hukum memiliki peran yang penting dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara. Hukum memiliki peran sebagai control social untuk mewujudkan

masyarakat yang adil, tertib dan damai sejahtera. Dengan kata lain segala

perihal perilaku baik didalamnya pemerintah, swasta dan tentunya warga

Negara Indonesia dalam melaksanakan tindakan-tindakan apapun harus

dilandasi oleh hukum atau harus dapat dipertanggung jawabkan secara

hukum. Namun faktanya hukum tersebut belumlah mampu berperan

maksimal, sehingga belum mampu menciptakan rasa yang adil, ketertiban,

dan kedamaian secara optimal. Masalah utama didalam hukum adalah pada

pembuatan hukum dan penegakannya.1

Oleh karena itu dalam penegakannya hukum memiliki batasan-

batasan dalam penerapannya, maka dibutuhkan berbagai macam ilmu

pendukung lain sebagai penunjang dalam penerapan penegakkan hukum.

Salah satu ilmu yang dapat menunjang penerapan penegakkan hukum

tersebut adalah psikologi forensik.1

Psikologi forensik adalah bagian dari sains forensik (forensic

science) yang semakin berperan penting dalam proses penegakan hukum.

1
Namun di Indonesia peran dari ilmu ini belum begitu signifikan. Psikologi

forensik berusaha mengungkap bukti-bukti yang berkaitan dengan mengapa

seseorang melakukan kejahatan dari perspektif ilmu perilaku. Kontribusi

psikologi dalam bidang forensik mencakup area kajian yang luas termasuk

membuat kajian tentang profil para pelaku kejahatan, mengungkap dasar-

dasar neuropsikologik, genetik, dan proses perkembangan perilaku, saksi

mata, deteksi kebohongan, menguji kewarasan mental, kekerasan domestik

dll.2

II. Definisi

Psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu psyke yang artinya

adalah jiwa dan logos yang artinya ilmu pengetahuan. Namun demikian

menurut Walgito bahwa para ahli bahwa para ahli kurang sependapat dengan

pengertian psikologi tersebut sama dengan ilmu jiwa. Karena ilmu jiwa di sini

menurut Gerungan (dalam Walgito) adalah ilmu jiwa yang meliputi segala

pemikiran, pengetahuan, segala spekulasi mengenai jiwa itu sendiri. Karena

ilmu jiwa itu belum tentu psikologi, tetapi psikologi itu selalu ilmu jiwa, serta

dalam mempelajari psikologi harus dari sudut ilmu. Psikologi berusaha

memahami bagaimana manusia berfikir (think), merasa (feel), dan bertindak

(act).2

Pengertian forensik berasal dari bahasa Yunani, yaitu forensic yang

bermakna debat atau perdebatan. Forensik di sini adalah bidang ilmu

pengetahuan yang digunakan untuk membantu proses penegakan keadilan

melalui proses penerapan ilmu atau sains. Xena mengatakan bahwa forensic

2
adalah sebuah penerapan dari berbagai ilmu pengetahuan untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk sebuah sistem hukum yang mana

hal ini mungkin terkait dengan tindak pidana.3

Psikologi forensik merupakan penelitian dan teori psikologi yang

berkaitan dengan efek-efek dari factor kognitif, afektif, dan perilaku terhadap

proses hukum. Beberapa akibat dari kehilafan manusia yang mempengaruhi

berbagai aspek dalam bidang hukum adalah penilaian yang bias,

ketergantungan pada stereotip,ingatan yang keliru,dan keputusan yang salah

atau tidak adil. Karena adanya keterkaitan antara psikolog dan hukum, para

psikolog sering diminta bantuannya sebagai saksi ahli dan konsultan diruang

sidang.2

Dijelaskan di atas bahwa psikologi juga memiliki bidang khusus hal-

hal berkaitan dengan hukum, yaitu psikologi forensik. Sebelumnya,

psikologi di Indonesia hanya mengenal lima bidang, yaitu psikologi

perkembangan, industri, pendidikan, sosial, dan klinis. Padahal di Eropa dan

Amerika Serikat bidang psikologi sampai bidang psikologi forensik.

Psikologi forensik mulai tampak dan kelihatan ketika awal tahun 2000 dan

berkembang sampai saat ini. 2

Dalam perkembangannya, psikologi forensic belum mendapat

defenisi yang jelas. Otto dan Ogloff (2014) menyebutkan bahwa walaupun

bidang ini sudah berkembang selama lebih dari 40 tahun, namun belum ada

defenisi dan batasan yang jelas mengenai kajian psikologi forensic.

Walaupun demikian, beberapa pakar tetap mencoba memberi defenisi dan

3
batasan tentang konsep psikologi forensic untuk membantu para pembelajar

dalam memahami bidang ini. Bartol dan Bartol (1987) memberikan batasan

tentang kajian psikologi forensic yaitu : 4

“ketika kita melihat psikologi forensic secara luas, ini mencakup :

(1) upaya penelitian yang meneliti aspek perilaku manusia yang berkaitan

langsung dengan aspek hukum dan (2) praktek psikologi professional yang

berkaitan langsung dengan aspek hukum pidana dan perdata.

Ronald Roesch sebagaimana dikutip oleh Brigham (1999) juga

memberikan defenisi bahwa psikologi forensic mencakup area atau bidang

kerja dimana seorang psikologis berpraktek dalam ruang kajian system

hukum. Defenisi ini mungkin terlihat sempit karena hanya memusatkan

fokusnya pada psikologi forensic klinik. Namun, hal ini bisa dilihat secara

luas sebagai bagian dari system praktik dokter secara klinis pada system

hukum dan peran konseling secara luas pada masyarakat. 4

American Psychological Association (2013) memberikan defenisi

tentang psikologi forensic bahwa psikologi forensic mengacu pada praktek

professional oleh psikolog yang bekerja pada sub disiplin psikologi ( klinis,

perkembangan, social dan kognitif) yang diterapkan dalam model

pengetahuan ilmiah atau praktek yang bersifat khusus yang membantu

menangani masalah hukum dan administrasi. 4

Sedangkan perbedaan dari Psikologi forensik dan psikiatri forensik

adalah, Psikologi forensik berusaha mengungkap bukti-bukti yang berkaitan

dengan mengan seseorang melakukan kejahatan dari prespektif, jadi dalam

4
hal ini psikologi forensik dia lebih fokus ke psikososial pelaku atau korban

sedangkan psikiatri forensik subspesiali ilmu kedokteran jiwa yang

menelaah mental manusia dan berfungsi membantu hukum dan peradilan

atau disebut pula aplikasi psikiatri untuk evaluasi kepentingan hukum, jadi

psikiatri forensik dia selain meneah mental manusia, psikitri forensik dia

memberikan diagnosis dan psikofarmaka terkait gangguan jiwa tersebut.2

III. Sejarah Psikologi Forensik

Dibanding bidang kajian lain dari psikologi, psikologi forensik

memiliki sejarah yang relatif singkat. Dari sisi akademik, Hugo

Münsterberg, seorang profesor dan direktur Laboratorium Psikologi di

Harvard pada awal abad ke-20, dari tahun 1900-1920, dikenal sebagai

pelopor psikologi forensik. Pada tahun 1908, beliau menerbitkan bukunya

yang berjudul On the Witness Stand yang isinya menguraikan topik-topik

berikut: distorsi memori atau ingatan (memory distortions), akurasi saksi

mata (eyewitness accuracy), pengakuan (confessions), sugestibilitas

(suggestibility), hipnosis (hypnosis), deteksi kejahatan (crime detection),

dan pencegahan kejahatan (the prevention of crime). Ketujuh topik ini

merupakan hal yang dibicarakan dalam psikologi forensic. 5

Sedangkan, dari sisi penerapannya, Cesare Lombroso, seorang

kriminolog dari Italia (1836-1909), dikenal sebagai bapak kriminologi

modern karena beliau mencari tahu dan memahami sebab-sebab seseorang

melakukan tindakan kriminal dari perspektif biologis. Di Amerika Serikat,

seorang dokter bernama William Healy dan stafnya seorang psikolog yang

5
bernama Grace M. Fernald, mendirikan Juvenile Psychopathic Institute pada

tahun 1909 yang kemudian menegaskan pentingnya sebab-sebab yang

mendasari kriminalitas. Pada awal tahun 1900-an, Sigmund Freud sedang

mengembangkan teorinya mengenai kepribadian dan tulisan-tulisannya

tentang psikopatologi memengaruhi pemikiran mengenai penyebab perilaku

kriminal. 5

Kemudian pada tahun 1964, Hans. J. Eysenck, seorang psikolog

kepribadian yang terkemuka, menerbitkan bukunya yang berjudul Crime

and Personality, di mana beliau mengusulkan teori biososial mengenai

kejahatan, yang dipandang sebagai teori teruji pertama tentang perilaku

kriminal yang diusulkan oleh seorang psikolog. Empat tahun kemudian,

berdirilah American Psychology-Law Society (AP-LS), yang disusul

penerbitan jurnal AP-LS yang berjudul Law and Human Behavior.Tahun

1980, terbentuklah divisi baru American Psychological Associaton (APA),

yaitu Divisi 41 yang dikenal sebagai ‘Psychology and Law’. Akhirnya pada

tahun 2001, APA resmi menetapkan psikologi forensik sebagai suatu

disiplin ilmu dalam psikologi. 5

Psikologi forensik di Indonesia mulai tampak penerapannya di

Indonesia pada awal tahun 2000 ketika pada tahun 2003, dalam kasus

Sumanto pemakan mayat asal Purbalingga. Psikolog menyatakan bahwa

Sumanto menderita gangguan jiwa sehingga ditempatkan di bangsal khusus

penderita penyakit jiwa, yaitu Bangsal Sakura Kelas III. Namun demikian,

ia tetap diajukan ke sidang pengadilan dan dinyatakan bersalah.

6
Pada 3 November 2007, terbentuklah Asosiasi Psikologi Forensik

(APSIFOR) di Jakarta, yang merupakan asosiasi ke-13 di HIMPSI

(Himpunan Psikologi Indonesia). Karena psikologi forensik di Indonesia

masih relatif baru, maka sangat diperlukan sosialisasi untuk meningkatkan

peran bidang psikologi ini dalam proses hukum di Indonesia.

IV. Peran Psikologi Forensik

Dalam praktik psikologi forensik dibutuhkan spesialisasi dalam tiga

bidang ilmu, yaitu: 6

1. Klinis (misalnya: dalam diagnosis, pengobatan, tes psikologi,

epidemiologi kesehatan mental).

2. Forensik (misalnya: gaya respon, etika forensik, alat dan teknik untuk

menilai gejala-gejala yang berhubungan dengan hukum).

3. Hukum (misalnya: pengetahuan tentang hukum dan sistem hukum,

pengetahuan tentang di mana dan bagaimana untuk mendapatkan

informasi hukum yang relevan).

Psikolog forensik mengkaji masalah psikologis dan pertanyaan

yang timbul dalam proses hukum. Masalah hukum ini dapat dibagi

menjadi dua kategori utama, yaitu:

1. Sipil: berkaitan dengan litigasi sipil, misalnya gugatan pribadi antara

dua pihak, kompensasi pekerja, komitmen sipil, penentuan hak asuh

anak.

7
2. Pidana/Kriminal: berkaitan dengan kriminalitas dan kenakalan,

misalnya kewarasan pada saat pelanggaran, kompetensi untuk diadili,

pelepasan tuntutan remaja dalam pengadilan dewasa.

Psikologi forensik berkaitan dengan sub disiplin ilmu psikologi

lain, seperti, psikologi kognitif, psikologi fisiologi, psikologi sosial, dan

psikologi perkembangan. Psikolog forensik dapat bekerja di penjara, pusat

rehabilitasi, departemen kepolisian, gedung pengadilan, firma hukum,

instansi pemerintah atau praktik swasta. Jika dilihat dari proses tahapan

penegakan hukum, psikologi berperan dalam empat tahap, 1) pencegahan

(deterrent), 2) penanganan (pengungkapan dan penyidikan), 3) pemidanaan

dan 4) pemenjaraan. Pada tahap pecegahan psikologi dapat membantu

aparat penegak hukum memberikan sosialisasi dan pengetahuan ilmiah

kepada masyarakat bagaimana cara mencegah tindakan criminal. Misalkan,

psikologi memberikan informasi mengenali pola perilaku criminal, dengan

pemahaman tersebut diharapkan masyarakat mampu mencegah perilaku

criminal. Pada tahap penanganan, yaitu ketika tindak criminal telah terjadi,

psikologi dapat membantu polisi dalam mengidentifikasi pelaku dan motif

pelaku sehingga polisi dapat mengungkap pelaku kejahatan. Misalkan

dengan teknik criminal profiling dan geographical profiling. 7

Criminal profiling merupakan salah satu cara atau teknik

investigasi untuk menggambarkan profil pelaku criminal, dari segi

demografi (umur, tinggi, suku), psikologis ( motif, kepribadian), modus

operandi, dan setting tempat kejadian. Geographical profiling yaitu suatu

8
teknik investigasi yang menekan pengenalan terhadap karakteristik daerah,

pola tempat, setting kejadian tindakan criminal, yang bertujuan untuk

memperdiksi tempat tindakan criminal dan tempat tinggal pelaku criminal

sehingga pelaku mudah ditemukan. Pada tahap pemindanaan, psikolog

memberikan penjelasan mengenai kondisi psikologis pelaku kejahatan

sehingga hakim menjatuhkan hukuman (pemidanaan) sesuai dengan alat

bukti dan mempertimbangkan motif/kondisi psikologis pelaku kejahatan.

Pemidanaan adalah memperbaiki kerusakan individual dan social yang

diakibatkan tindak pidana. 7

Ada beberapa teori yang terkait dengan tujuan pemidanaan.

Pertama, teori retributive (balas dendam), teori ini mengatakan bahwa setiap

orang harus bertanggung jawab atas perilakunya, akibatnya dia harus

menerima hukuman yang setimpal. Kedua, teori relatif (tujuan). Teori ini

bertujuan untuk mencegah orang melakukan perbuatan jahat. Teori ini

sering disebut dengan teori deterrence (pencegahan). Ada dua jenis teori

relatif, yaitu teori pencegahan dan teori penghambat. Teori pencegahan

dibagi dua, yaitu pencegahan umum, efek pencegahan sebelum tindak

pidana dilakukan, misalnya melalui ancaman dan keteladanan, dan

pencegahan spesial, efek pencegahan setelah tindak pidana dilakukan.

Sementara teori penghambatan, yaitu bahwa pemidanaan bertujuan untuk

mengintimidasi mental pelaku agar pada masa datang tidak melakukannya

lagi. Ketiga, behaviouristic, teori ini berfokus pada perilaku. Teori ini dibagi

dua, yaitu incapacitation theory, pemidanaan harus dilakukan agar pelaku

9
tidak dapat berbuat pidana lagi dan rehabilitation theory, yaitu pemidanaan

dilakukan untuk memudahkan melakukan rehabilitasi. 7

Penilaian atau evaluasi karakteristik non-neuropsikologis juga

merupakan tugas dari psikolog forensik. Sangatlah penting untuk diketahui

sampai tingkat apakah seorang pelaku kriminal dapat digolongkan

“psikopatik”, karena akan berdampak pada pemvonisan; apakah terdakwa

dinyatakan tidak kompeten untuk diadili atau menerima keringanan

hukuman karena kegilaan sementara. Adapun ciri-ciri psikopati, yaitu:

tindakan impulsif, kurangnya rasa bersalah dan penyesalan, pembohongan

kompulsif dan manipulatif, dan adanya keinginan yang berkelanjutan untuk

melanggar peraturan-peraturan sosial. 7

V. Aplikasi Penerapan Psikologi Forensik

Aplikasi penerapan psikologi forensik di dalam proses penegakan

hukum pidana, dapat dimulai pada fase pra-ajudikasi atau penyidikan

khususnya dalam menentukan kemampuan bertanggung jawab pelaku dan

atau korban tindak pidana yang diduga menderita gangguan jiwa,

kemampuan seseorang dalam memberikan kesaksian. Pada fase ajudikasi

atau pemeriksaan di pengadilan, hakim berwenang meminta keterangan

psikolog forensik sebagai ahli dalam menentukan ada atau tidaknya

gangguan jiwa terdakwa; dan pada fase purna-ajudikasi keterangan ahli

psikolog forensic dapat dimanfaatkan dalam pelaksanaan sanksi yang

diputuskan oleh hakim. Namun demikian, peranan psikolog pada umumnya

dalam menunjang bekerjanya sanksi, dalam prakteknya belum mendapatkan

10
perhatian yang baik di Indonesia, padahal aplikasi psikologi dalam hukum,

memiliki prospek penunjang penerapan sanksi di dalam hukum pidana. 8

Selain ini Psikologi forensic juga melakukan otopsi psikologi, baik

terhadap pelaku maupun korban. Otopsi psikologi bertujuan merekonstruksi

keadaan emosional, kepribadian, pikiran, dan gaya hidup almarhum. Otopsi

psikologi akan membantu polisi dalam menyimpulkan kemungkinan korban

dibunuh atau bunuh diri. 8

Secara umum dalam proses praktik dan penelitian dalam psikologi

forensic, ada 5 bidang besar yang menjadi bagian dalam praktik pelaksanaan

psikologi forensic. Adapun kelima bidang tersebut adalah : 4

- Psikologi keamanan public. Bidang ini merupakan penelitian dan

penerapan tentang ilmu psikologi dalam upaya membantu proses

penegakan hukum dan keamanan masyarakat. Psikolog yang

bekerja pada bidang ini bertugas pada 4 sektor yakni penilaian,

intervensi klinik, bantuan operasional dan konsultasi organisasi.

- Psikologi hukum. Bidang ini merupakan kajian yang memberi

gambaran tentang relasi yang berdekatan antara hukum dan

psikologi. Secara umum psikologi hukum berkaitan dengan

penelitian dan penerapan tentang ilmu perilaku dan ilmu social

untuk membantu penyelesaian masalah criminal dan sengketa di

pengadilan

- Psikologi forensic keluarga. Bidang ini lahir sebagai jawaban atas

meningkatnya masalah keluarga dalam ranah hukum.

11
Pendampingan psikologi menjadi penting sebab keluarga

merupakan tempat pendidikan pertama bagi setiap anggota

keluarga dan membutuhkan penanganan yang khas dalam

penyelesaian masalahnya.

- Psikologi kenakalan dan kejahatan. Bidang ilmu ini berkembang

sebagai jawaban atas system kenakalan remaja dan dewasa dalam

kehidupan social. Bidang ini berfokus pada bagaimana perilaku

antisosial sebagai bagian dari system kenakalan dibentuk,

dipertahankan dan dimodifikasi

- Sekolah psikologi forensic. Bidang ini merupakan lembaga yang

membantu para dokter dan mahasiswa dalam gabungan ilmu

pendidikan, kesehatan dan ilmu hukum .

VI. Tugas Pokok Psikologi Forensik9

Beberapa tugas psikolog forensik:

1. Pada Pelaku kejahatan

a. Interogasi, bertujuan agar pelaku mengakui kesalahannya (Sarjana

Psikologi yg di rekrut oleh kepolisian, polisi yg mendapat pelatihan

dari psikolog forensik, atau psikolog yang diundang oleh kepolisian).

b. Criminal profiling, Psikolog forensik dapat membantu polisi melacak

pelaku dengan menyusun profil kriminal pelaku.. Cth: pelaku sodomi,

yang 85% diprofiling sbg korban dimasa kecilnya.

c. Psikolog forensik juga dapat melakukan asesmen untuk memberikan

gambaran tentang kondisi mental pelaku.

12
2. Pada korban

Kasus dengan trauma yang berat menolak untuk menceritakan kejadian

yang dialaminya. Psikolog forensik dapat membantu polisi dalam

melakukan penggalian informasi. Cth: Pada anak-anak/wanita korban

kekerasan dibutuhkan pendekatan khusus agar korban merasa nyaman dan

terbuka. Cth: korban JI.

3. Psikolog forensik dapat melakukan otopsi psikologi

Cth: kasus-kasus pembunuhan yang diikuti bunuh diri oleh pelaku, atau

pelaku bunuh diri yang meninggalkan pesan, membutuhkan pengumpulan

data yang lebih rumit dan banyak pertimbangan Seorang psikolog dapat

menyusun otopsi psikologis berdasarkan sumber bukti tidak langsung

yaitu catatan yang ditinggalkan oleh almarhum, data yang diperoleh dari

teman, keluarga korban atau teman kerja. Tujuan otopsi psikologi adalah

merekonstruksi keadaan emosional, kepribadian, pikiran, dan gaya hidup

almarhum. Otopsi psikologi akan membantu polisi dalam menyimpulkan

kemungkinan korban dibunuh atau bunuh diri.

4. Pada Saksi

Proses peradilan pidana tergantung pada hasil investigasi terhadap saksi,

karena baik polisi, jaksa dan hakim tidak melihat langsung kejadian

perkara. Penelitian menemukan hakim dan juri di Amerika menaruh

kepercayaan 90% terhadap pernyataan saksi, padahal banyak penelitian

yang membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan saksi banyak yang

bias.

13
5. Restukturisasi kognitif

Kesalahan berpikir merupakan penyebab tindakan kejahatan. Pemikiran

yang irrasional dan desktruktif dapat mendorong timbulnya gangguan

emosi dan tingkah laku. Sehingga program psikologi diharapkan lebih

diarahkan pada pendekatan berbasis perspektif kognitif.

6. Wawancara dengan pendekatan kognitif

Bertujuan meningkatkan proses retrieval yg akan meningkatkan kuantitas-

kualitas informasi dgn cara membuat saksi/korban relaks- kooperatif.

Hasil: Teknik wawancara kognitif menghasilkan 25-35% lebih banyak dan

akurat dibanding Teknik wawancara standar kepolisian. Psikolog forensik

dapat melakukan pelatihan Teknik investigasi saksi pada polisi.

7. Pada pengadilan

Peran psikolog forensik dalam peradilan pidana di pengadilan, dapat

sebagai saksi ahli, bagi korban (misal kasus KDRT, kasus dengan korban

anak-anak seperti perkosaan, dan penculikan anak), dan bagi pelaku

dengan permasalahan psikologis. Cth: Mental retarded, pedophilia, dan

psikopat.

8. Pada pengadilan

Ada beberapa faktor diluar kepribadian yang turut mempengaruhi putusan

hakim terkait latar belakang terdakwa dan juga saksi: Suku bangsa, jenis

kelamin, kecantikan/ketampanan, usia, status sosial/ekonomi, dan

religiusitas. Psikolog forensik juga dapat bekerja untuk pengacara dalam

memberikan masukan terkait dengan jawaban-jawaban yang harus

14
diberikan kliennya agar tampak meyakinkan. Sebelum persidangan yang

sesungguhnya, psikolog merancang kalimat, ekspresi dan gaya yang akan

ditampilkan terdakwa agar ybs tidak mendapat hukuman yang berat. Cth:

Angelina Sondakh.

9. Pada Lapas

Banyak kasus psikologi yang terjadi pada narapidana maupun petugas LP.

Misal pada kasus percobaan bunuh diri narapidana tidak tertangani scra

baik krna tidak setiap lapas memiliki psikolog (minimnya pengetahuan

sipir thd kondisi psikis warga napi). Pemahaman petugas lapas kurang

baik terkait dengan rehabilitasi psikologis sehingga mereka seringkali

memberikan hukuman dengan tujuan dapat mengurangi perilaku negatif

narapidana (seperti berkelahi, berbohong). Psikolog forensic dibutuhkan

dalam rangka melakukan asesmen-intervensi pada narapidana.

10. Kepolisian

Pembuktian persidangan dipengadilan melainkan sebagai suatu proses

yang harus dilewati pada saat meneriksaan di kepolisaan dalam proses

penyidikan, dalam proses interograsi bertujuan agar pelaku mengakui

keselahannya, teknik lama yang digunakan polisi adalah dengan

melakukan kekerasan fisik, banyak mendapatkan kecaman karena orang

yang tidak bersalah dapat mengakui kesalahan akibat tidak tahan akan

kekerasan fisik yang diterimanya. Teknik interograsi dengan

menggunakan teori psikologi dapat digunakan misalnya dengan teknik

maksimalisasi dan minimalisasi. Melakukan asesmen terhadap

15
kepangkatan polisi. Psikolog forensik dapat memberi pelatihan kepada

polisi tentang teknik interogasi yang menggunakan prinsip psikologi.

VII. Pengadilan dan Sistem Hukum di Indonesia9

1. Lembaga yang terlibat di dalam sistem peradilan di Indonesia

a. Kepolisian (polisi)

SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan). BAP (Berita

Acara Kepolisian) berkas lengkap yang mengandung semua fakta dan

bukti terkait dengan kasusnya 3 minggu setelah SPDP.

b. Kejaksaan (jaksa)

Menilai BAP (patut diajukan/pengadilan atau tidak/polisi)

c. Kehakiman (hakim)

d. Memutuskan suatu perkara (vonis)

2. Dasar Hukum Pidana

a. Pancasila, UUD, Tap. MPR, UU, PP, Kepres, Peraturan2 pelaksanaan

b. Hukum material (meterieel recht): hukum tatanegara, tata usaha,

dagang, pidana, perdata, dsb.

c. Pidana dasar hukumnya adalah: KUHAP, KUHP, dll.

 CONTOH KUHP: Pasal 340 dari KUHP “Barangsiapa dengan

sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan

nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana,

dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau

penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”

16
 CONTOH KUHAP: Pasal 110 KUHAP tentang peranan polisi &

jaksa “Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan,

penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada

penuntut umum”

3. Jalannya Sidang

a. Hakim ditunjuk oleh ketua pengadilan

b. Kejaksaan bertanggungjawab utk menghadirkan terdakwa (transport,

dsb)

c. Jaksa membacakan surat dakwaan

d. Terdakwa duduk di tengah; setelah selesai duduk di sebelah pembela

e. Jaksa dan penasehat hukum duduk berhadapan

f. Saksi dari penuntut umum dihadirkan (disumpah) & memberikan

kesaksian, hakim aktif probing

g. Tanggapan terdakwa/pengacara

h. Pengacara menghadirkan saksi (disumpah)

i. Jaksa mempersiapkan dan membacakan tuntutan (rekomendasi sanksi)

j. Terdakwa/pengacara membacakan pembelaan (saling menanggapi)

k. Vonis hakim

DAFTAR PUSTAKA

17
1. Agung IV. Kontribusi Psikologis dalam Penegakkan Hukum di Indonesia.
Bungan Rampai Psikologis: Kontribusi Psikologis untuk Bangsa keIslaman
dan ke Indonesiaan. 2012
2. Muluk H. Kajian dan Aplikasi Forensik dalam Prespektif Psikologi. Jurnal
Sosioteknologi. 12 Agustus 2013.
3. Maramis MR. Peran Ilmu Forensik Dalam Penyelesaian Kasus Kejahatan
Seksual Dalam Dunia Maya. Jurnal Ilmu Hukum. 2015. Vol. 2: No.7.
4. Bartol, CR., Bartol AM. 2018. Introduction to Forensic Psychology. Fifth
Edition. SAGE Publications: United States of America
5. Ramsland K. 2018. The Psycology of Death Investigations Behavioral
Anaylsis for Psycologycal Autopsy and Criminal Profiling. Taylor & Francis
Group. London, New York.
6. Meilela A. Perkembangan Psikologi Forensik di Indonesia. Seminar Kongres
dan Workshop Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia. Semarang. 16-17
November 2011.
7. Darma IMW. Psikologi Forensik Sebagai Salah Satu Proses Pemidanaan.
Binamulia Hukum. 2019. Vol.8. No.2.
8. Ohaiwutun T. Ilmu Kedokteran Forensik Interaksi dan Dependensasi Hukum
Pada Ilmu Kedokteran.
9. Budisetyani, dkk. Bahan Ajar Psikologi Forensik. 2016. Program Studi
Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

18

Anda mungkin juga menyukai