Anda di halaman 1dari 31

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA Referat & Laporan Kasus

FAKULTAS KEDOKTERAN July 2020

UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT : PSIKIATRI

LAPORAN KASUS : GANGGUAN PSIKOTIK AKUT DAN SEMENTARA (F29)

Disusun Oleh:

Rayhani Ichsan

XC 064182006

Residen Pembimbing :

dr. Lilik Haryani

Supervisor Pembimbing :

Dr. dr. Hj. Saidah Syamsuddin, Sp.KJ (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Rayhani Ichsan

Stambuk : XC 064182006

Judul Referat : Psikiatri Forensik

Judul Lapsus : Gangguan Psikotik Akut dan Sementara

Adalah benar telah menyelesaikan referat dan laporan kasus yang telah disetujui serta telah dibacakan
dihadapan pembimbing dan supervisor dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian ILMU
KEDOKTERAN JIWA Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Maret 2019

Supervisor Pembimbing, Residen Pembimbing,

Dr. dr. Hj. Saidah Syamsuddin, Sp. KJ (K) dr. Lilik Haryani

2
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan........................................................................................................ 2

Daftar Isi......................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................

2.1 Definisi Psikiatri Forensik............................................................................ 5

2.2 Sejarah Psikiatri Forensik............................................................................. 5

2.3 Hukum Psikiatri Forensik ............................................................................ 6

2.4 Peran Dokter Dalam Psikiatri Forensik........................................................ 7

2.5 Visum et Repertum Physiatricum ................................................................ 8

2.6 Praktik Psikiatri Forensik............................................................................. 9

BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 17

3.1 Kesimpulan................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 18

LAPORAN KASUS........................................................................................................ 19

BAB I
3
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Psikiatri Forensik adalah subspesialisasi ilmu kedokteran yang menelaah mental

manusia dan berfungsi membantu hukum peradilan. Kedokteran forensik merupakan

salah satu titik singgung ilmu hukum dan ilmu kedokteran1.

Pertanggungjawaban pidana dalam arti luas mengandung sejumlah unsur; di

antaranya toerekeningsvatbearheid (kemampuan bertanggung jawab) dari si

pelaku,suatu sikap psikis pelaku sehubungan dengan perilakunya, sengaja (dolus) atau

kelalaian (culpa), tidak ada alasan untuk menghapus pertanggungjawaban pidananya.

Dengan kata lain, bukti bahwa seseorang telah melakukan suatu perbuatan yang

melawan hukum saja tidak cukup untuk dapat menjatuhkan pidana padanya, kecuali

dapat dibuktikan bahwa ia bertanggung jawab secara pidana (criminally liable)1.

Hubungan antara suatu tindak pidana dengan kemampuan terdakwa untuk dapat

mempertanggungjawabkan perilakunya merupakan suatu unsur yang utama bagi hakim

dalam mengambil keputusan melalui pemeriksaan di pengadilan. Hal ini sesuai dengan

pasal 44 KUHP bahwa “Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit

berubah akal, tidak boleh dihukum”1.

Dalam rangka menentukan pertanggungjawaban sesuai dengan kompetensi akalnya

tersebut, maka psikiatri forensik menjadi sangat penting.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Psikiatri Forensik
Psikiatri forensik merupakan subspesialisasi ilmu kedokteran yang menelaah mental
manusia dan berfungsi membantu hukum dan peradilan.

2.2. Sejarah Psikiatri Forensik


Forensik berasal dari bahasa Yunani “Forensik” yang berarti “debat” atau
“perdebatan”. Dalam konteks keilmuan, forensik bisa diartikan sebagai sebuah bidang
ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu proses penegakan keadilan melalui
penerapan ilmu dan sains. Forensik sering berhubungan dengan persoalan kejahatan
atau tindak pidana. Hubungannya dengan psikiatri berkaitan dengan kasus gangguan
jiwa dalam sebuah tindak pidana. Umumnya tindak pidana yang dimaksud adalah
tindak pidana yang dilakukan seseorang yang diduga mengalami atau dalam keadaan
terganggu jiwanya. Psikiatri forensik sangat berperan bagi penyidik untuk membantu
dalam menemukan kebenaran material suatu kejahatan. Penyidik sangat memerlukan
ilmu psikiatri forensik untuk melakukan penyidikan dan pengusutan terhadap suatu
perbuatan apakah merupakan perbuatan pidana dan dapat dipertanggung jawabkan.
Di indonesia perkembangan psikiatri forensik bermula pada 1970 saat dr. Wahyadi
Dharmabrata dan Prof. Dr. Dr. Dadang Hawari mendapat tugas belajar ke Inggris yang
betujuan untuk mempelajari Psychiatry Community. Saat Wahyadi kembali ke
Indonesia, beliau terus mengembangkan psikiatri forensik yang didasarkan pada
kenyataan bahwa banyak kesulitan yang dihadapi para profesional saat menangani
masalah pidana.
Terbitnya Buku Pedoman Pembuatan Visum et Repertum Psychiatricum yang
mengutamakan bukan diagnosis semata, tetapi menetapkan kemampuan/
ketidakmampuan seseorang melakukan suatu tujuan secara sadar, serta menetapkan
kemampuan/ ketidakmampuan seseorang dalam mengarahkan tindakannya. Artinya
penentuan kemampuan pertanggungjawaban seseorang terhadap suatu perbuatan dalam
sebuah kasus pidana harus disimpulkan lewat visum et repertum psychiatrum yang
dilakukan oleh seorang psikiater forensik. (memanusiakan manusia)

5
2.3. Hukum Psikiatri Forensik
Psikiatri forensik didasari oleh Undang-undang Kesehatan nomor 36 tahun 2011 Pasal
150 ayat (1) dan (2):
(1)Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum (visum et
repertum psychiatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran
jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan.
(2)Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan
kesehatan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan
kompetensi sesuai dengan standar profesi.

Secara garis besar ada dua macam alat bukti dari bidang ilmu forensik yaitu
kedokteran kehakiman menentukan kepastian menyebabkan penyakit atau kematian.
Psikiatri kehakiman menentukan besar kecilnya tanggung jawab seorang dalam melanggar
hukum pidana. Sering seorang dalam perbuatan sehari-hari kelihatan masih cukup daya
pikirannya, tetapi dalam pemeriksaan psikiatri jelas menderita gangguan jiwa yang dapat
mengurangi tanggung jawabnya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana.1
Di dalam suatu perkara pidana dimana tertuduhnya disangka menderita penyakit jiwa
atau terganggu jiwanya, misalnya pembunuhan, maka disini forensik psychiatry (ilmu
kedokteran jiwa kehakiman) dengan forensik medicine (ilmu kedokteran kehakiman)
mempunyai titik pertemuannya yaitu disegi hukum terutama dalam penyelesaian kasus
perkara tersebut dalam forum peradilan.2
Dalam menentukan keadaan jiwa seseorang yang tidak sehat diperlukan keterangan
dari seorang dokter ahli jiwa. Kewajiban untuk menentukan keadaan jiwa yang tidak sehat
melalui ahli kedokteran jiwa tersebut pernah dituangkan dalam konsep rumusan KUHP tahun
1968, tetapi kemudian rumusan tersebut dihapuskan.2
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka di dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia ilmu forensik sangat dibutuhkan sebagai suatu ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk memperoleh pembuktian secara ilmiah.3 Para ahli forensik dapat memberikan
keterangan ahli (Visum et Repertum Pskiatri) untuk memperjelas suatu perkara di dalam
tahap pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum di persidangan yang diatur dalam pasal
186 KUHAP. Tujuan keterangan Visum et Repertum Pskiatri untuk memberikan kepada
hakim hasil ilmu pengetahuan dari suatu fakta sebagai bukti atas semua keadaan sebagaimana
tertuang dalam bagian pemberitaan, agar hakim dapat mengambil putusan dengan tepat. 4 Di

6
dalam pasal 44 KUHP menyatakan bahwa orang yang menderita gangguan jiwa tidak dapat
dipidana, untuk mengetahui adanya seseorang itu menderita gangguan jiwa harus diteliti oleh
psikiater, seberapa besar gangguan jiwa itu.
Pada dasarnya pengadaan visum et repertum psychiatricum diperuntukan sebagai
rangkaian hukum pembuktian tentang kualitas tersangka pada waktu melakukan perbuatan
pidana dan penentuan kemampuan bertanggungjawab bagi tersangka. Kebutuhan bantuan
kedokteran jiwa dalam kenyataanya berkembang bukan sebagai rangkaian hukum
pembuktian akan tetapi untuk kepentingan kesehatan tersangka dalam rangka penyelesaian
proses pemeriksaan perkara pidana. Bantuan kesehatan jiwa bagi si tersangka ini sangat
diperlukan selain menyangkut perlindungan hak azasi manusia juga untuk menghindarkan
hal-hal yang tidak diinginkan bagi jiwa dan raga manusia.2,5
Di dalam Pasal 15 ayat 1 menyatakan bahwa untuk kepentingan perkara – perkara
pengadilan dan umumnya untuk memberikan kesaksian ahli, maka setiap dokter yang
terdaftar pada Departemen Kesehatan dan telah mendapat izin bekerja dari Menteri
Kesehatan berwenang untuk memberikan kesaksian ahli jiwa. 6 Dalam ayat dua menyatakan
bahwa kesaksian ahli jiwa ini yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat berupa visum et
repertum psikiatrik atau keterangan dokter.

2.4. Peran Dokter dalam Psikiatri Forensik


Peran psikiatri forensik dalam sebuah proses peradilan adalah pemberi bantuan
hukum yang bersifat aktif. Peran ini akan terlaksana dengan baik jika dokter juga
menjalani fungsinya dengan baik. Terdapat perbedaan bagi dokter dalam menjalani
fungsinya sebagai dokter dengan posisi medis dan posisi legal sebagai pemberi bantuan
hukum. Dalam psikiatri forensik, kedudukan dokter tidaklah sebagai terapis tetapi
sebagai perpanjangan tangan dari petugas hukum. Posisi yang diduduki bukanlah posisi
medis tapi posisi legal. Tugasnya adalah memberi bantuan tambahan fakta-fakta
sebagai bukti, dalam upaya memenuhi kebutuhan unsur untuk pengambilan keputusan
peradilan, berdasarkan pasal 44 KUHP, tambahan unsur adanya gangguan jiwa dan
unsur tidak mampu bertanggung jawab.

Kegiatan utama psikiatri forensik adalah membuat Visum et Repertum


Psychiatrum sebagai bukti tertulis untuk proses peradilan, di mana seseorang diduga
menderita melakukan kekerasan, atau seseorang yang menderita gangguan jiwa
setelah mengalami penganiayaan fisik atau psikis. Akhir-akhir ini, jenis permintaan
7
visum et repertum berkembang pada kasus perdata, seperti pembatalan kontrak
perjanjian karena salah satu pihak menderita gangguan jiwa, pemeriksaan seseorang
yang diduga perlu untuk ditempatkan dibawah pengampunan.
Psikiatri forensik di dalam bidang hukum pidana berhubungan dengan unusr
pembuktian dalam pertanggungan jawab pidana atau untuk menentukan ada atau
tidaknya kesalahan terdakwa. Pertanggung jawaban pidana dalam ilmu pengetahuan
hukum pidana terletak di dalam batin tersangka. Pembuktian suatu kasus melalui
hukum acara pidana berusaha untuk mendekati sebanyak mungkin persesuian dengan
kebenaran. Hukum pembuktian memberika petunjuk bagaimana hakim dapat
menetapkan sesuatu hal yang cenderung kepada kebenaran. Alat bukti penting untuk
pengadilan, baik dalam hukum pidana dan perdata. Secara garis besar ada dua macam
alat bukti dari bidang ilmu forensic yaitu kedokteran kehakiman menentukan
kepastian menyebabkan penyakit atau kematian. Psikiatri kehakiman menentukan
besar kecilnya tanggung jawab seseorang dalam melanggar hukum pidana. Dalam hal
ini penelitian memfokuskan pada alat bukti di bidang ilmu forensic yaitu kedokteran
kehakiman. Setiap orang dalam perbuatan sehari-hari kelihatan masih cukup daya
pikirannya tetapi dalam pemeriksaan psikiatri jelas menderita gangguan jiwa yang
dapat mengurangi tanggung jawabnya.

Apabila yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat di pertanggung jawabkan


disebabkan adanya gangguan karena penyakit pada jiwanya maka orang itu tidak
dapat di pidana seperti yang di sebutkan dalam pasal 44 KUHP. Pasal 44 KUHP
dinyatakan “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam
tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”

2.5. Visum et Repertum Psychiatricum


Alat bukti merupakan bagian penting dalam sebuah proses peradilan. Sesuai dengan
pasal 184 ayat (1) bahwa alat bukti yang sah adalah berupa keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa (KUHP). Keterangan dokter ahli terdiri dari dua
jenis, yaitu lisan yang disampaikan dalam kesaksiannya dan keterangan tertulis berupa visum
et repertum yang dalam bidang psikiatri forensik disebut visum et repertum psychiatricum.
(psikiatri forensik). dibuat dengan tujuan:

8
 Membantu menentukan apakah terperiksa menderita gangguan jiwa dengan upaya
menegakkan diagnosis
 Membantu menegakkan kemungkinan adanya hubungan antara gangguan jiwa pada
terperiksa dengan peristiwa hukumnya, dengan menentukan kemungkinan hubungan
antara gangguan jiwa terperiksa dengan perilaku yang mengakibatkan peristiwa
hukum.
 Membantu menentukan kemampuan tanggung jawab pada terperiksa
 Membantu menentukan cakap tidaknya terperiksa bertindak dalam lalu lintas lama-
lama. (Darmabrata W. 2003. Psikiatri Forensik. Jakarta; EGC. Hlm. 1, 33-34, 36-
37.)
2.6. Praktik Psikiatri Forensik
Umumnya Visum et Repertum Psychiatricum dibuat setelah seorang dokter
melakukan pemeriksaan pada seseorang yang mengalami suatu peristiwa atau sengketa
hukum, sehingga bersifat post facto.dari hasil pemeriksaan ini kemudian dilakukan
semacam rekonstruksi ilmiah untuk mengusahakan kemungkinan korelasi antara
keadaan terperiksa dengan peristiwa hukumnya. Namun, tidak jarang hasil pemeriksaan
dipakai untuk memprediksi suatu keadaan yang belum terjadi atau bersifat pre facto.
Visum et Repertum Psychiatricum diterbitkan hanya atas suatu permintaan dan yang
berhak meminta adalah hakim, jaksa, polisi, dan yang bersangkutan (pelaku, korban,
dan walinya).
Persyaratan untuk kelengkapan pembuatan Visum et Repertum meliputi surat
permintaan pembuatan Visum et Repertum Psychiatricum dan berita acara serta
beberapa syarat tertentu dari rumah sakit. Setelah melengkapi persyaratan tersebut,
terdakwa dapat memasuki ruang perawatan dan diobservasi. Dalam hal ini status
terdakwa berubah menjadi terperiksa. Di dalam ruangan ini, terperiksa diobservasi
dalam jangka waktu tertentu.

Perihal Masalah Praktis Mengenai Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa


I. Ketentuan Umum
a. Dokter ahli Kedokteran Jiwa atau Psikiater adalah seorang dokter yang memegang
ijazah Keahlian Kedokteran Jiwa yang diakui sah di Indonesia.

9
b. Pemohon ialah pejabat atau badan/lembaga yang berwenang yang mengajukan
permintaan tertulis kepada Dokter Ahli Kedokteran Jiwa agar Dokter Ahli
Kedokteran Jiwa itu memberikan keterangan ahli perihal keadaan jiwa seseorang.
c. Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa ialah keterangan yang diberikan seorang Dokter
Ahli Kedokteran Jiwa tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana dan perdata guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ini adalah
keterangan dokter biasa, dimana rahasia jabatan harus dipegang teguh.
II. Yang Berhak Menjadi Pemohon Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa
a. Yang berhak menjadi pemohon Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa
(Visum et Repertum Psychiatricum) adalah:
− Penyidik (KUHAP Pasal 120).
− Penuntut Umum dalam hal tindak pidana khusus (KUHAP pasal 120, Pasal
284)
− Hakim pengadilan (KUHAP Pasal 180 ayat 1).
− Tersangka atau terdakwa melalui pejabat sesuai dengan tingkatan proses
pemeriksaan (KUHAP Pasal 180 ayat 1; 2,3, dan 4).
− Korban (atau tersangka) melalui pejabat sesuai dengan tingkatan proses
pemeriksaan (KUHAP Pasal 65).
− Penasihat hukum/pengacara melalui pejabat sesuai dengan tingkatan proses
pemeriksaan (KUHAP Pasal 80 ayat 1 dan 2).
b. Yang berhak menjadi pemohon Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa Lisan di
sidang pengadilan ialah hakim pengadilan. Permintaan tersebut ditujukan kepada
Dokter Ahli Kedokteran Jiwa dalam wilayah hukum dari hakim pengadilan
yang bertugas memeriksa dan mengadili perkara, kecuali bila di wilayah tersebut
tidak ada Dokter Ahli Kedokteran Jiwa. Pengaturan ini dimaksudkan agar
kemungkinan terjadinya konflik dalam keterangan Ahli Kedokteran Jiwa
Lisan dikurangi, mengingat bahwa Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa dapat
berbeda-beda sesuai dengan orientasi ilmiah dari Dokter Ahli Kedokteran Jiwa yang
memeriksa.
III. Yang Dapat/ Boleh atau Wajib Menerbitkan Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa
a. Yang dapat/boleh atau wajib menerbitkan Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa
(Visum et Repertum Psychiatricum) adalah Dokter Ahli Kedokteran Jiwa yang
bekerja pada suatu fasilitas perawatan pasien gangguan jiwa yang memenuhi syarat-

10
syarat menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, atau yang bekerja pada
lembaga khusus untuk pemeriksaan dan observasi tersangka atau terdakwa, yang
tidak berkepentingan dalam perkara yang bersangkutan dan yang tidak mempunyai
hubungan keluarga dan/ atau terikat hubungan kerja dengan tersangka atau terdakwa
atau korban atau hubungan sengketa dalam perkara hukum lainnya, seperti yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (Pidana: KUHAP
Pasal 168, Perdata: HIR Pasal 145, dan RBG Pasal 172 ayat 1 dan 2 yang berlaku di
luar Jawa).
b. Yang dapat/boleh atau wajib memberikan Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa Lisan
adalah Dokter Ahli Kedokteran Jiwa yang menerbitkan Surat Keterangan Ahli
Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum Psychiatricum) atau Dokter Ahli Kedokteran
Jiwa lain, sesuai dengan butir 3a. Seorang Dokter Ahli Kedokteran Jiwa di luar
wilayah jurisdiksi pengadilan di mana perkara itu sedang ditangani, tidak boleh
dipanggil sebagai ahli bila sudah ada Dokter Ahli Kedokteran Jiwa yang memenuhi
syarat (di luar Dokter Ahli Kedokteran Jiwa yang membuat Surat Keterangan Ahli
Kedokteran Jiwa) yang tinggal dalam wilayah tersebut.
c. Di daerah-daerah yang terpencil yang tidak mempunyai Dokter Ahli Kedokteran
Jiwa dimungkinkan dokter umum membuat Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa
(Visum et Repertum Psychiatricum) untuk kepentingan proses pengadilan, dengan
penetapan Surat Keputusan Menteri Kesehatan R.I.cq. Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kesehatan R.I. (Kakanwil Dep. Kes. R.I.). Dokter umum tersebut
bekerja pada suatu fasilitas perawatan pasien yang memenuhi syarat-syarat menurut
peraturan-peraturan yang berlaku, atau lembaga khusus untuk pemeriksaan dan
observasi tersangka atau terdakwa, yang tidak berkepentingan dalam perkara yang
bersangkutan dan yang tidak berkepentingan dalam perkara yang bersangkutan dan
yang tidak mempunyai hubungan keluarga dan/atau terikat hubungan kerja dengan
tersangka atau korban atau hubungan sengketa dalam Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku.
IV. Bentuk-Bentuk Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa
Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa ada 2 bentuk:
a. Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum Psychiatricum) yang
didahului sebutan DEMI KEADILAN (PRO JUSTITIA) yang dibuat dalam bentuk

11
menurut pedoman yang ditetapkan dan terikat pada sumpah jabatan dokter
Indonesia.
b. Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa Lisan yang dinyatakan di sidang pengadilan di
bawah sumpah.
V. Jangka Waktu Pemeriksaan
a. Dokter Ahli Kedokteran Jiwa yang melaksanakan pemeriksaan dan observasi psikiatrik
sudah harus menerbitkan Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa dalam waktu
selambat-lambatnya 14 hari terhitung mulai saat tersangka atau terdakwa berada di
tempat perawatan kecuali diperlukan waktu yang lebih panjang denga seizin instasi
sesuai dengan tingkat proses pemeriksaan.
b. Apabila dalam waktu yang dimaksud pada butir a Surat Keterangan Ahli Kedokteran
Jiwa belum dapat diterbitkan karena pemeriksaan dan observasi psikiatrik tersangka atau
terdakwa belum selesai maka Dokter Ahli Kedokteran Jiwa tersebut wajib
memberitahukan hal tersebut secara tertulis kepada instasi pemohon dan minta
perpanjangan waktu disertai alasan-alasannya.
c. Perpanjangan waktu yang dimaksud pada butir b tidak boleh lebih dari 14 hari.
d. Hakim di dalam surat penetapannya dapat menetapkan batas jangka waktu untuk
pemeriksaan dan observasi psikiatrik di luar ketentuan-ketentuan butir a dan c. (KUHAP
Pasal 26 juncto 29 ayat 2).
e. Apabila jangka waktu pemeriksaan dan observasi psikiatrik sudah habis, akan tetapi
Dokter Ahli Kedokteran Jiwa penerbit Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa belum
dapat memastikan apakah tersangka atau terdakwa menderita gangguan jiwa atau tidak,
maka:
− Dokter Ahli Kedokteran Jiwa tersebut menyatakan bahwa berhubung waktu
pemeriksaan dan observasi telah habis tetapi ia belum dapat sampai pada suatu
kesimpulan, disarankannya untuk diadakan pemeriksaan lebih lanjut untuk penerbit
Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa pada tingkat pemeriksaan yang lain.
− Dokter Ahli Kedokteran Jiwa tersebut menyatakan bahwa selama pemeriksaan dua
kali 14 hari tidak dapat ditemukan adanya tanda-tanda/gejala-gejala gangguan jiwa,
namun demikian belum dapat dipastikan bahwa tersangka atau terdakwa terganggu
jiwanya atau tidak.
VI. Pembiayaan

12
Seluruh biaya pemeriksaan dan penampungan penderita tersangka/terdakwa menjadi
beban instasi dari pejabat pemohon sesuai dengan tarif yang berlaku.
VII. Prosedur Permintaan tentang Pemeriksaan dan Penerbitan Surat Keterangan Ahli
Kedokteran Jiwa
a. Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum Psychiatricum)
− Semua permintaan tentang pemeriksaan dan penerbitan Surat Keterangan Ahli
Kedokteran Jiwa diajukan melalui pejabat sesuai dengan tingkat proses
pemeriksaan.
− Surat permintaan Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa dari pemohon ditujukan
kepada Direkur/Kepala dari fasilitas perawatan pasien gangguan jiwa dan
lembaga khusus seperti yang dimaksud sesuai dengan dengan B.3a disertai
tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan R.I.
− Dalam surat permintaan Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa tersebut perlu
disebutkan secara lengkap identitas dari tersangka atau terdakwa atau seseorang
yang terlibat dalam suatu perkara atau peristiwa hukum disertai alasan permintaan
pemeriksaan dan dibubuhi tanda tangan, nama, pangkat, jabatan serta cap instansi
pemohon, disertai salinan Berita Acara Pemeriksaan.
− Penetapan Dokter Ahli Kedokteran Jiwa yang berwenang menerbitkan Surat
Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa (B.3a) dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kesehatan R.I. secara periodik, dengan memperhatikan Consensus
tentang kemampuan-kemampuan fasilitas di daerah.
− Bila di suatu wilayah tidak ada Dokter Ahli Kedokteran Jiwa dan fasilitas tersebut
maka penetapannya dilakukan oleh Menteri Kesehatan cq. Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kesehatan R.I.
b. Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa Lisan
Permintaan Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa Lisan dilakukan oleh hakim
pengadilan dalam proses peradilan untuk keperluan penjelasan-penjelasan ilmiah
mengenai Ilmu Kedokteran Jiwa. Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa itu sendiri
bila diminta penjelasan lebih lanjut oleh Hakim, atau Ahli lain untuk memberikan
penjelasan lebih lanjut.
c. Apabila Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa sudah diterbitkan maka tersangka
atau terdakwa wajib diserahkan kembali dan diambil oleh instasi pemohon pada
kesempatan pertama.

13
d. Lainnya tersangka atau terdakwa bukan menjadi tanggung jawab fasilitas
perawatan pasien gangguan jiwa yang bersangkutan, melainkan menjadi tanggung
jawab instasi pemohon.
e. Untuk melengkapi heteroanamnesis dalam penerbitan Surat Keterangan Ahli
Kedokteran Jiwa yang memeriksa berhak meminta bantuan petugas hukum untuk
memanggil anggota keluarga dan/atau orang lain yang diperlukan.
VIII. Bentuk Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum Psychiatricum)
Bentuk Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa terlampir.

14
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS KEDOKTERAN
BAGIAN/SMF. PSIKIATRI
Sekretariat : RSUP Sanglah Denpasar – Bali 80114

Telp/Fax (0361) 228824 . E-mail : psychiatry_denpasar@yahoo.com

Demi Keadilan

Pro Justitia

VISUM ET REPERTUM PSYCHIATRICUM

Nomor :30/UN.14.2/Psikiatri/I/Visum/2013

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : dr. Nyoman Ratep, SpKJ (K)…………...……………….

Pangkat/NIP/NRP : Pembina tk I / IV b/NIP 19500330 198003 1 001............

Jabatan : Ketua Tim/ SMF Psikiatri RSUP Sanglah……………...

Alamat sarana pelayanan kesehatan jiwa : Poliklinik Jiwa RSUP Sanglah……………..……………

Atas permintaan tertulis dari :

Nama : Ambariyadi Wijaya.SH.Sik…………………………...…

Pangkat/NIP/NRP : Komisaris Polisi / NRP 77090914………………..……..

Jabatan : Penyidik ………………………………...……………….

Instansi : Polres Kota Denpasar………………………..…………..

Alamat : Jl. Gunung Sanghyang No 110 Denpasar 80117

No. Surat : B / 260 / III / 2013 / Polresta Dps……………..…...……

Tanggal : 15 Maret 2013 ………………………......……...………

Perihal : Permintaan visum at repertum psychiatrricum an.

Moh.A.I…...........................................….........................

Telah melakukan pemeriksaan dan observasi psikiatrik pada tanggal tiga puluh Maret dua ribu tiga belas terhadap :

Nama : Moh. A.I ........................................................................

Umur : 10 tahun………………………………………………….

Jenis Kelamin : Laki-laki...……………………………………………….

Agama : Islam ..........…………………………………………….

Alamat : Komplek Pertokoan Kuta Indah Permai No B6 Kuta Badung

Pendidikan : SD Kelas 2….……………………………...…..………..

Status Perkawinan : Belum Menikah……………...........……………...……..

Pekerjaan : Tidak ada...................…………………………..………

15
Status Terperiksa : …………...........................................................................

Tuduhan : Diduga telah menjadi korban dalam Kasus Kekerasan Psikis Dalam Rumah
Tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 UU RI No 23 Tahun 2004 tentang P-KDRT.

Laporan hasil pemeriksaan

1. Anamnesis diperoleh dari.............................................................................................................


a. Autoanamnesis dari terperiksa pada tanggal tiga puluh Maret dua ribu tiga belas sampai tanggal sepuluh April dua ribu tiga belas. Diperoleh
keterangan, terperiksa mengalami perubahan sikap perilaku dan emosional semenjak 2 tahun terakhir, terutama perasaan sedih semenjak terperiksa
sering melihat ayah dan ibunya bertengkar dihadapan terperiksa bersama kakaknya. Keadaan ini membuat terperiksa meluapkan dengan melamun,
menangis, malas belajar, gampang terpancing emosi, dan marah kepada ibu dan kakaknya. Tidak ada penggunaan NAPZA dan tidak ada kekerasan
maupun pelecehan seksual. Keluhan lain ada gangguan tidur, tetapi nafsu makan, merawat diri dan aktifitas sehari-hari masih baik. Terperiksa
berharap ayah ibunya tidak bertengkarlagi
Alloanamnesis ( ayah terperiksa) pada tanggal sepuluh bulan April tahun dua ribu tiga belas. Diperoleh keterangan bahwa anak terperiksa
mengalami perubahan sikap perilaku dan emosional di rumah maupun di sekolah, sejak 2 tahun terakhir, semenjak terperiksa terbiasa melihat ayah
dan ibunya bertengkar dihadapan terperiksa bersama kakaknya. Perubahan sikap perilaku dan emosionalnya meliputi : terbiasa mengucapkan kata-
kata kasar terhadap kakak, ibu, dan teman sekolahnya. Suka menggangu teman sekolah saat pelajaran sedang berlangsung, kadang berkelahi dengan
teman sekolah, tidak mau mendengar nasehat ayah, ibu dan guru di sekolah, sulit kosentrasi sehingga tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah
sehingga terperiksa pernah tinggal kelas saat kelas satu naik kekelas dua. Saat ini terperiksa senang main game online.

2. Hasil pemeriksaan dan observasi psikiatrik : ………………...……….………………………


Terperiksa tampak sesuai usia, penampilan wajar, dan nampak diam, kadang gelisah, emosional menangis,

Kesadaran baik, (sadar), kontak verbal dan viusal cukup

Sikap terhadap pemeriksa kurang kooperatif

Pembicaraan lancar, meskipun ada beberapa pertanyaan yang tidak dijawab dengan spontan

Alam perasaan sedih, serasi

Tidak ditemukan gangguan persepsi

Fungsi kognitif dalam taraf rata-rata ( berdasarkan pemeriksaan test IQ di Poliklinik URM . RSUP Sanglah pada tanggal 3 April 2013

Pengendalian impuls terganggu

Proses pikir, produktivitas cukup, kontinuitas dan asosiasi baik

Terperiksa mengalami gangguan tidur tetapi nafsu makan masih baik

Terperiksa mengalami beraktivitas yang cukup baik

Terperiksa memahami nilai dan resiko yang akan terjadi

Selama dalam pemeriksaan dan observasi psikiatri terperiksa menunjukkan sikap dan perilaku yang wajar

3. Hasil pemeriksaan fisik [yang bermakna].......................................................................................


Pemeriksaan internistik dan neurologik tidak ditemukan kelainan ................................................

4. Pemeriksaan
Penunjang ........................................................................................................................................
Skrining dengan PSC-35 score 30 dan PSC 17 score 5 pada sub skala internalisasi dapat di simpulkan kemungkinan ada gangguan perilaku. Tes
skrining depresi dengan memakai test penilaian depresi pada anak (HDRS) nilai -18, ditemukan mengalami suatu episode depresi ringan tanpa gejala
somatik, Test IQ dengan skor 101 tergolong rata-rata, Test HRS-A skor 28 menunjukan gejala kecemasan ringan. Test skala fungsi keluarga
ditemukan pada ibu skor 2,45 mengarah ke buruk. Test corner parent rating scales skor 14 ada ditemukan kecurigaan gangguan
hiperkinetik.................................………………………………………………………………….

5. Kesimpulan...........................……………………………………..……………………………...
Pada terperiksa didapatkan adanya gangguan jiwa berupa anak mengalami gangguan perilaku sebagai dampak salah perlakuan dari kedua orang
tuanya.

6. Saran...............................................................................................................................................
Terperiksa perlu mendapatkan terapi keluarga dan evaluasi di bagian psikiatri di RSUP Sanglah secara
simultan........................................................................................................

7. Penutup..........................................................................................................................................
Demikianlah Visum et Repertum Psychiatricum ini dibuat dengan mengingat sumpah sewaktu menerima
jabatan...........................................................................................................................

Denpasar,

Tanggal satu bulan Mei tahun dua ribu


tiga belas

Dokter yang memeriksa,


16
17
BAB III
KESIMPULAN
Forensik sering berhubungan dengan persoalan kejahatan atau tindak pidana.
Hubungannya dengan psikiatri berkaitan dengan kasus gangguan jiwa dalam sebuah
tindak pidana. Umumnya tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana yang
dilakukan seseorang yang diduga mengalami atau dalam keadaan terganggu jiwanya.
Psikiatri forensik sangat berperan bagi penyidik untuk membantu dalam menemukan
kebenaran material suatu kejahatan. Penyidik sangat memerlukan ilmu psikiatri
forensik untuk melakukan penyidikan dan pengusutan terhadap suatu perbuatan
apakah merupakan perbuatan pidana dan dapat dipertanggung jawabkan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka di dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia ilmu forensik sangat dibutuhkan sebagai suatu ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk memperoleh pembuktian secara ilmiah. 3 Para ahli forensik dapat
memberikan keterangan ahli (Visum et Repertum Pskiatri) untuk memperjelas suatu
perkara di dalam tahap pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum di
persidangan yang diatur dalam pasal 186 KUHAP. Tujuan keterangan Visum et
Repertum Pskiatri untuk memberikan kepada hakim hasil ilmu pengetahuan dari suatu
fakta sebagai bukti atas semua keadaan sebagaimana tertuang dalam bagian
pemberitaan, agar hakim dapat mengambil putusan dengan tepat.4
Peran psikiatri forensik dalam sebuah proses peradilan adalah pemberi
bantuan hukum yang bersifat aktif. Peran ini akan terlaksana dengan baik jika dokter
juga menjalani fungsinya dengan baik. Terdapat perbedaan bagi dokter dalam
menjalani fungsinya sebagai dokter dengan posisi medis dan posisi legal sebagai
pemberi bantuan hukum. Dalam psikiatri forensik, kedudukan dokter tidaklah sebagai
terapis tetapi sebagai perpanjangan tangan dari petugas hukum. Posisi yang diduduki
bukanlah posisi medis tapi posisi legal. Tugasnya adalah memberi bantuan tambahan
fakta-fakta sebagai bukti, dalam upaya memenuhi kebutuhan unsur untuk pengambilan
keputusan peradilan, berdasarkan pasal 44 KUHP, tambahan unsur adanya gangguan
jiwa dan unsur tidak mampu bertanggung jawab. Di dalam pasal 44 KUHP menyatakan
bahwa orang yang menderita gangguan jiwa tidak dapat dipidana, untuk mengetahui
adanya seseorang itu menderita gangguan jiwa harus diteliti oleh psikiater, seberapa
besar gangguan jiwa itu.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Darmabrata, Wahjadi. 2003. Psikiatri Forensik. Jakarta: EGC.


2. Ilmu Kedokteran Kehakiman [Online]. 2010 Jul 20 [cited 2011 Oct 31]; Available from:
URL:http://underlaw98.tripod.com/ilmu_kedokterankehakiman.htm
3. Bambang Poernomo, 1982, Seri Hukum Acara Pidana Pandangan Terhadap Azaz-
azaz Umum Hukum Acara Pidana, Liberty, Yogyakarta,
4. R. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalm aspek Hukum Acara
Pidana (Cet, 1; Semarang: Satya Wacana, 1989), hal. 46.
5. Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Cet. 1; Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
6. W. Van Geven, Kebijaksanaan Hakim, Ahli Bahasa Hartini Tranggono, Erlangga,
Jakarta, 1990, hal 35.

19
LAPORAN KASUS

GANGGUAN PSIKOTIK AKUT DAN SEMENTARA

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. AKD


Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Rappokalling Jaya I 31
Tempat/tanggal lahir : Makassar 06 Juni 1998
Agama : Islam
Suku : Bugis
Status pernikahan : Belum menikah
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Porter di bandara
No. registrasi : 00-87-47-71
Masuk RS : 23 Februari 2019

LAPORAN PSIKIATRIK

Diperoleh secara autoanamnesis dan alloanamnesis dari:

Nama : Ny. LH
Usia : 57 tahun
Agama : Islam
Suku : Bugis
Pendidikan Terakhir : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Rappokalling Jaya I 31
Hubungan dengan pasien : Ibu kandung

20
LAPORAN PSIKIATRI

I. RIWAYAT PENYAKIT
A. Keluhan utama
Gelisah
B. Riwayat gangguan sekarang
a. Keluhan dan gejala
Seorang pasien laki-laki usia 20 tahun diantar oleh keluarganya untuk
pertama kali ke rumah sakit wahidin dengan keluhan gelisah sejak 5 hari
yang lalu dan memberat dal 1 hari terakhir. 5 hari yang lalu, pasien sempat
mengamuk di kantor dan mengangkat kaki di depan bosnya dan mengatakan
mau pulang padahal pasien baru saja datang kerja. Pasien juga sering jalan
mondar mandir di dalam rumah, tertawa sendiri, dan bicara sendiri. Pasien
juga kadang-kadang masuk ke kamar dengan membanting pintu, dan
memukul meja hingga memukul orang. Pasien selalu menceritakan
masalahnya kepada teman-temannya dan teman-teman pasien sering
mengatakan pasien orang gila. Pasien juga mengatakan bahwa ia
mendengarkan suara-suara yang seakan ingin mencelakakannya, dan
mengatakan ada yang ingin menjatuhkan pasien supaya nama pasien menjadi
jelek. Pasien mengeluhkan sulit tidur, pasien sulit memulai tidur dan
terkadang terbangun di saat tidur, sehingga durasi tidur malam pasien hanya
berkisar 2 sampai 3 jam setiap hari dan bangun sekitar pukul 6 pagi.
Awal mula perubahan perilaku pasien sekitar 3 minggu yang lalu.
Pada kisaran waktu itu, pasien mulai banyak bicara padahal sebenarnya
pasien adalah orang yang pendiam. Saat itu pasien merasa kecewa dengan
temannya, pasien membantu temannya memperbaiki dan memodifikasi motor
temannya, sebab temannya adalah seorang yang dianggap tidak mampu sejak
Oktober 2018. Pasien menggunakan gajinya sendiri untuk membantu
temannya tersebut dan pasien menyuruh temannya untuk menggadai hpnya
agar biaya untuk memperbaiki motor tersebut tercukupi. Namun, bukannya
menggadai hpnya sendiri, teman pasien malah menjual hp pasien. Setelah
motor teman pasien tersebut baik, ayah temannya menjual motor tersebut,
dan pasien mengetahui hal tersebut melalui facebook. Setelah kejadian
tersebut, nafsu makan pasien berkurang.
b. Hendaya / disfungsi
- Hendaya dalam bidang social (+)
- Hendaya dalam bidang pekerjaan (+)

21
- Hendaya dalam penggunaan waktu senggang (+)
c. Faktor stressor psikososial
Pasien merasa kecewa dengan perlakuan temannya terhadap pasien, padahal
pasien sudah berniat baik ingin membantunya. Pasien juga merasa
dimanfaatkan dan tidak dihargai dengan tidak diberitahukan secara langsung
melainkan mengetahui dari social media.
d. Hubungan gangguan sekarang dengan riwayat penyakit fisik dan psikis
sebelumnya:
- Riwayat infeksi (-)
- Riwayat trauma (-)
- Riwayat kejang (-)
- Riwayat penggunaan NAPZA
1. Riwayat alkohol (+)
2. Riwayat merokok (+) 1 bungkus dalam sehari
C. Riwayat gangguan sebelumnya
- Riwayat gangguan psikiatri sebelumnya
Tidak ada

D. Riwayat kehidupan pribadi


1) Riwayat prenatal dan prenatal (0-1 tahun)
Lahir pada tahun 1998, cukup bulan, lahir normal, dibantu oleh dokter di
rumah sakit. Pasien mendapat ASI eksklusif pertumbuhan dan perkembangan
baik.
2) Riwayat kanak awal (1-3 tahun)
Perkembangan masa kanak-kanak awal pasien seperti berjalan, bicara baik,
perkembangan motoric berlangsung baik. Pasien bermain dengan teman
seusianya. Pasien adalah anak yang penurut dengan orang tua.
3) Riwayat kanak pertengahan (3-11 tahun)
Prestasi pasien di SD biasa-biasa saja. Pasien dapat bergaul dengan teman
seusianya. Perkembangan di sekolah baik.
4) Riwayat kanak akhir dan remaja (12-18 tahun)
Pasien tamat SMP dan SMA. Pasien merupakan pribadi yang pendiam.
5) Riwayat masa dewasa
a. Riwayat pekerjaan : pasien adalah seorang porter di bandara.
Menurut orang tuanya, sebelumnya pasien adalah seorang yang
menurut dengan bosnya serta rajin pergi bekerja. Pasien adalah

22
seorang yang pendiam, dan tidak terlalu bergaul dengan rekan
kerjanya.
b. Riwayat pernikahan : pasien belum menikah
c. Riwayat agama : pasien beragama Islam, dan rajin
beribadah.
E. Riwayat kehidupan keluarga
Pasien adalah anak ke lima dari lima bersaudara ( ♂,♀,♂,♀,♂). Ayah pasien
adalah seorang PNS dan ibu pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pasien dan
saudaranya di didik dengan disiplin, namun ibu pasien terkadang memanjakan pasien
dengan memenuhi kebutuhannya. Pasien dan saudaranya tinggal serumah pada masa
kecil, namun anak pertama dan kedua pasien sekarang tinggal di luar kota, mereka
hidup harmonis.

F. Situasi sekarang
Pasien tinggal bersama orang tuanya bersama kakak ke empatnya. Ayah pasien
adalah seorang PNS dan ibu pasien adalah seorang ibu rumah tangga, kakak pasien
adalah seorang pelayanan di salah satu rumah makan. Pasien bekerja sebagai porter di
bandara, pasien adalah seorang yang pekerja keras, setiap harinya pasien berangkat
kerja di pagi hari dan pulang pada malam hari.
G. Persepsi pasien tentang diri dan lingkungannya
Secara umum, pasien merasa dirinya tidak mengalami sakit jiwa, tetapi pasien
mengatakan mengalami sakit hati. Pasien kadang tampak bingung dengan penyakit
yang di deritanya dan menanyakan alasan dia di masukkan ke rumah sakit. Pasien
ingin segera pulang ke rumah dan kembali bekerja di bandara.
Pasien merasa telah dimanfaatkan oleh temannya, namun pasien mengaku telah
memaafkan temannya dan mengikhlaskan gajinya diberikan kepada temannya.
23
II. STATUS MENTAL
A. Deskripsi/umum
 Penampilan
- Penampilan umum
Seorang laki-laki tampak wajah sesuai usia (20 tahun), perawakan sedang
memakai jaket hitamdan jelana jeans panjang hitam. Perawakan diri kesan
baik.
 Kesadaran : berubah
 Aktivitas psikomotor : gelisah
 Pembicaraan : spontan, lancer, intonasi biasa
 Sikap terhadap pemeriksa : tidak kooperatif
B. Keadaan afektif (mood), perasaan, dan empati:
 Mood : iritabel
 Afek : terbatas
 Empati : tidak dapat diraba rasakan
C. Fungsi intelektual (kognitif)
1. Taraf pendidikan, pengetahuan umum, dan kecerdasan dengan pendidikan:
sesuai
2. Daya konsentrasi : kurang
3. Orientasi
- Orientasi waktu : tidak terganggu
- Orang : tidak terganggu
- Tempat : tidak terganggu
4. Daya ingat
 Jangka panjang : baik
 Jangka pendek : baik
 Jangka segera : baik
5. Pikiran abstrak : terganggu
6. Bakat kreatif : tidak ada
7. Kemampuan menolong diri sendiri : baik
D. Gangguan persepsi
 Halusinasi : halusinasi auditory, pasien mendengar suara yang ingin
mencelakakannya dan menjatuhkan namanya.
 Ilusi : tidak ada
 Depersonalisasi : tidak ada
 Derealisasi : tidak ada
24
E. Proses berpikir
1. Arus pikiran
 Produktivitas : kurang
 Kontuinitas : inkoheren
 Hendaya berbahasa : tidak ada hendaya dalam berbahasa
2. Isi pikiran
 Preokupasi : pasien selalu ingin pulang
 Gangguan isi pikiran : tidak ada
F. Pengendalian impuls : Baik
G. Daya nilai
 Norma social : terganggu
 Uji daya nilai : terganggu
 Penilaian realitas: terganggu
H. Tilikan : derajat 1 (penyangkalan total terhadap penyakitnya)
I. Taraf dipercaya : dapat dipercaya
III. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT
A. Status Internus
Keadaan umum tidak tampak sakit, gizi cukup, kesadaran compos mentis, tetapi
mengatakan masih sakit hati. Tekanan darah 100/60, nadi 88/menit, frekuensi pernapasan
22/menit, suhu tubuh 36.6C, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak iterus. Jantung, paru-
paru dan abdomen kesan dalam batas normal, ekstremitas atas dan bawah tidak ada
kelainan.
B. Status neurologis
Gejala rangsang selaput otak: kaku kuduk (-), Kernig’s sign (-)/(-), pupil bulat dan isokor
2.5mm/2.5mm, reflex cahaya (+)/(+), fungsi motoric dan sensorik keempta ekstremitas
dalam batas normal, tidak ditemukan reflex patologis.
IV. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA
Seorang laki-laki berumur 20 tahun dengan keluhan gelisah sejak 5 hari yang lalu dan
memberat ditandai dengan mengamuk dan mengancam melukai diri sendiri dan orang lain
sejak satu hari yang lalu. pasien sering mondar mandir di dalam rumah dan membanting
pintu, dan lebih mudah tersinggung dan marah. Pasien selalu diremukan bicara sendiri dan
ketawa sendiri. Pasien sering memukul meja bahkan melakukan kekerasan kepada orang lain.
Awal mula perubahan perilaku karena kekecewaan pasien terhadap temannya yang
telah pasien bantu. Sejak saat itu nafsu makan pasien berkurang dan pasien mulai gelisah dan
agresif. Pasien sebelumnya dikenal seorang yang pendiam. Pasien mendengar suara yang
ingin mencelakakannya dan menjatuhkan namanya.

25
Pasa status mental didapatkan penampilan dan kesadaran pasien yang baik, namun
aktifitas psikomotor pasien yang gelisan dan berbicara tidak jelas dan inkoheren, pasien juga
tidak kooperatif saat ditanya. Mood irritable, afek terbatas, daya konsentrasi mudah beralih,
tilikan pasien derajat 1.
V. EVALUASI MULTIAKSIAL
a) Aksis I
Berdasarkan alloanamnesis dan autoanamnesis didapatkan adanya
gejala klinis yang bermakna yaitu pasien gelisah, mengamuk, sering mondar-
mandir, kehilangan minat dan kegembiraan, tidak bisa tidur. Keadaan ini
menimbulkan adanya hendaya social, pekerjaan, dan penggunaan waktu
senggang dan distress bagi penderita, keluarga dan masyarakat sehingga
dapat digolongkan sebagai gangguan jiwa. Ada hendaya berat dalam menilai
realita yaitu keluhan halusinasi auditorik mendengar suara mengancam
dirinya sehingga digolongkan menjadi gangguan jiwa psikotik. Dari
pemeriksaan interna dan neurologi tidak ditemukan gejala organic yang
secara langsung mempengaruhi fungsi otak sehingga digolongkan sebagai
gangguan jiwa non organik.
Dari penemuan ini, (1) onset 5 hari (kurang dari 2 minggu),
(2)adanya sindrom yang khas, (3)adanya stress akut yang berkaitan, (4)tanpa
diketahui berapa lama gangguan akan berlangsung. Oleh karena itu pasien
dikategorikan Gangguan Psikotik akut dan sementara (F23) berdasarkan
PPDGJ 3

b) Aksis II
Belum bisa dimasukkan ke dalam ciri ke dalam ciri kepribadian tertentu
c) Aksis III
Tidak ada diagnose
d) Aksis IV
Masalah berkaitan dengan social: pasien merasa dikecewakan dengan temannya
sedangkan pasien berniat membantu temannya.
e) Aksis V
GAF scale 51-40 gejala berat, dissabilitas berat
VI. DAFTAR PROBLEM
 Organobiologik

26
Tidak ditemukan kelainan fisik yang bermakna, namun diduga terdapat
ketidakseimbangan neurotransmitter, maka dari itu pasien memerlukan
farmakoterapi.
 Psikologik
Ditemukan hendaya dalam kehidupan sehari-hari yang menimbulkan gejala psikis
sehingga pasien membutuhkan psikoterapi.
 Sosiologik
Ditemukan adanya hendaya sosial, hendaya pekerjaan, dan hendaya penggunaan
waktu senggang sehingga perlu di sosioterapi
VII. RENCANA TERAPI
 Farmakoterapi :
- Risperidone 2mg 1 tablet/12jam/oral
- Clozapine 25mg 1 tablet/24jam/oral/malam
 Psikoterapi :
Psikoterapi yang diberikan pasien adalah psikoterapi suportif, psikoterapi reedukatif, dan
psikoterapi rekonstruktif.
1. Psikoterapi suportif bertujuan untuk memperkuat mekanisme defens
(pertahanan) pasien terhadap stres. Perlu diadakannya terapi untuk
meningkatkan kemampuan pengendalian diri dan memberikan motivasi hidup.
2. Psikoterapi reedukatif bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan keluarga
untuk mendukung kesembuhan pasien dengan mengawasi pasien untuk minum
obat teratur.
3. Edukasi untuk menyarankan kepada keluarga untuk selalu memberikan
dukungan  kepada pasien, jangan membatasi aktivitas positif yang disukai
pasien, ajak pasien bergembira, kurangi hal-hal yang dapat meningkatkan
stresor. Berdiskusi terhadap pentingnya pasien untuk minum obat teratur dan
melakukan kontrol lagi.
VIII. PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia
2. Ad funsionem : dubia
3. Ad sanasionem : dubia
Faktor Pendukung :
 Keluarga pasien mendukung penyembuhan pasien
 Stressor jelas
 Tidak ada riwayat keluarga dengan gangguan kejiwaan
Faktor Penghambat :

27
 Pasien tidak mau minum obat
IX. FOLLOW UP
saat ini pasien tenang, sudah tidak cepat marah dan mengamuk. Namun terlihat pasien masih
sering diam dan malas menjawab pertanyaan.
Pasien diminta untuk rutin datang kontrol dan pastikan pasien meminum obatnya. Selain itu,
memantau keadaan umum pasien dan perkembangan penyakit serta efektivitas terapi dan efek
samping dari obat yang diberikan.
X. PEMBAHASAN
Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidak mampuan individu
menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi, waham atau perilaku
kacau/aneh2.
Gangguan psikotik singkat/akut didefinisikan sebagai suatu gangguan kejiwaan
yang terjadi selama 1 hari sampai kurang dari 1 bulan, dengan gejala psikosis, dan
dapat kembali ke tingkat fungsional premorbid3.
Menurut sebuah studi epidemiologi internasional, berbeda dengan skizofrenia,
kejadian nonaffective timbul psikosis akut 10 kali lipat lebih tinggi di negara
berkembang daripada di negara-negara industri. Beberapa dokter percaya bahwa
gangguan yang mungkin paling sering terjadi pada pasien dengan sosioekonomi yang
rendah, pasien dengan gangguan kepribadian yang sudah ada sebelumnya ( paling
sering adalah gangguan kepribadian histrionik, narsistik, paranoid, skizotipal, dan
ambang ), dan orang yang pernah mengalami perubahan kultural yang besar ( misalnya
imigran ).
Didalam DSM III faktor psikososial bermakna dianggap menyebabkan psikosis
reaktif singkat, tetapi kriteria tersebut telah dihilangkan dari DSM IV. Perubahan
dalam DSM IV menempatkan diagnosis gangguan psikotik singkat didalam kategori
yang sama dengan banyak diagnosis psikiatrik utama lainnya yang penyebabnya tidak
diketahui dan diagnosis kemungkinan termasuk gangguan yang heterogen3.
Penyebabnya belum diketahui secara pasti, tapi sebagian besar di jumpai pada
pasien dengan gangguan kepribadian mungkin memiliki kerentanan biologis atau
psikologis terhadap perkembangan gejala psikotik. Satu atau lebih faktor stres berat,
seperti peristiwa traumatis, konflik keluarga, masalah pekerjaan, kecelakaan, sakit
parah, kematian orang yang dicintai, dan status imigrasi tidak pasti, dapat memicu
psikosis reaktif singkat. Beberapa studi mendukung kerentanan genetik untuk
gangguan psikotik singkat3.

28
Gambaran utama perilaku, perilaku yang diperlihatkan oleh pasien yaitu :
1. Mendengar suara-suara yang tidak ada sumbernya
2. Keyakinan atau ketakutan yang aneh/tidak masuk akal
3. Kebingungan atau disorientasi
4. Perubahan perilaku; menjadi aneh atau menakutkan seperti menyendiri, kecurigaan
berlebihan, mengancam diri sendiri, orang lain atau lingkungan, bicara dan tertawa
serta marah-marah atau memukul tanpa alasan.3
5. Gejala gangguan psikotik singkat selalu termasuk sekurang kurangnya satu gejala
psikosis utama, biasanya dengan onset yang tiba-tiba, tetapi tidak selalu
memasukkan keseluruhan pola gejala yang ditemukan pada skizofrenia. Beberapa
klinisi telah mengamati bahwa gejala afektif, konfusi dan gangguan pemusatan
perhatian mungkin lebih sering ditemukan pada gangguan psikotik singkat
daripada gangguan psikotik kronis. Gejala karakteristik untuk gangguan psikotik
singkat adalah perubahan emosional, pakaian atau perilaku yang aneh, berteriak
teriak atau diam membisu dan gangguan daya ingat untuk peristiwa yang belum
lama terjadi. Beberapa gejala tersebut ditemukan pada gangguan yang
mengarahkan diagnosis delirium dan jelas memerlukan pemeriksaan organik yang
lengkap, walaupun hasilnya mungkin negative.2
Pemeriksaan status mental biasanya hadir dengan agitasi psikotik parah yang
mungkin terkait dengan perilaku aneh, tidak kooperatif, agresif fisik atau verbal, tidak
teratur berbicara, berteriak atau kebisuan, suasana hati labil atau depresi, bunuh diri,
membunuh pikiran atau perilaku, kegelisahan, halusinasi, delusi, disorientasi, perhatian
terganggu, konsentrasi terganggu, gangguan memori, dan wawasan miskin.1
Pedoman diagnostic gangguan psikotik akut dan sementara (F23) 2
 Menggunakan urutan diagnosis yang mencerminkan urutan pri6ritas yang diberikan untuk
ciri-ciri utama terpilih dari gangguan ini. Urutan prioritas yang dipakai ialah :
a) onset yang akut (dalam masa 2 minggu atau kurang = jangka waktu gejala-gejala
psikotik menjadi nyata dan mengganggu sedikitnya beberapa aspek kehidupan dan
pekerjaan sehari-hari, tidak termasuk periode prodromal yang gejalanya sering tidak
jelas) sebagai ciri khas yang menentukan seluruh kelompok;
b) adanya sindrom yang khas (berupa "polimorfik" = beraneka-ragam dan berubah
cepat, atau "schizophrenia-like" = gejala skizofrenik yang khas);
c) adanya stres akut yang berkaitan (tidak selalu ada, sehingga dispesfikasi dengan
karakter ke 5; .x0=Tanpa penyerta stres akut; .xl=Dengan penyerta btres akut).

29
Kesulitan atau problem yang berkepaqjangan tidak boleh dimasukkan sebagai surnber
stres dalam konteks ini;
d) tanpa diketahui berapa lama gangguan akan berlangsung;
 Tidak ada gangguan dalam kelompok ini yang memenurf kriteria episode manik (F30.-)
atau Episode depresif (F32.-), walaupun perubahan emosional dan gejala-gejala afektif
indiyidual dapat menonjol dari waktu ki waktu.
 Tidak ada penyebab organik, seperti traurria kapitis, delirium, atau demensia. Tidak
merupakan intoksikasi akibat penggunaan alkohol atau obat-obatan.
Pada kasus ini, pasien di berikan Risperidone 2mg 2 dd 1 dan Clozapine 25mg setiap
malam. Risperidone dan Clozapine merupakan Obat Antipsikotik Golongan 2 (APG-2). Obat
APG-2 bermanfaat untuk mengontrol gejala negative dan gejala positif. Mekanisme kerja
APG-2 adalah sebagai Serotonine-Dopamine Receptor Antagonist (SDA). Obat ini berafinitas
terhadap Dopamine D2 receptor dan Serotonin 5HT2 Receptor, sehingga bermanfaat untuk
gejala positif dan negative.
Risperidone merupakan antipsikotik golongan Bensizoxazole, pasien di berikan dosis
2mg 2x1 untuk mengambil fungsi antipsikotiknya. Efek samping Risperidone seperti demam,
otot kaku, berkeringat, tremor. Sedangkan Clozapine juga merupakan antipsikotik golongan 2
dari golongan Dibenzodiazepin, namun pasien hanya dibeikan dosis minimal yaitu 25mg 1dd
1 setiap malam, guna hanya untuk mengambil fungsi sedatifnya saja.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Bora E., Yucel M., and Pantelis C. 2009. Cognitive functioning in schizophrenia,
schizoaffective disorder and affective psychoses: meta-analytic study. British Journal of
Psychiatry, 195:475-482

2. Maslim, R. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya

3. Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. 2003. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatri. 9 th
ed. Philadelpia: Lippincott William & Wilkins.

31

Anda mungkin juga menyukai