Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KODE ETIK PSIKOLOGI


Tentang:
BAB X PSIKOLOGI FORENSIK

Disusun Oleh:
Kelompok VIII
Adek Putri 1815040098
Utari Khairunnissa 1815040127
Dilla Mardiana 1815040147
Tristania 1815040152

Dosen Pengampu:
Nira Gusfika, M. Psi., Psikolog

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
1443 H/ 2021 M

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
pemakalah mengucapkan segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah
memberikan pemakalah kemudahan dalam menyelesaikan makalah yang berjudul
“BAB X PSIKOLOGI FORENSIK”.
Shalawat dan salam tidak lupa pemakalah sampaikan kepada baginda
Muhammad SAW yang telah memperjuangkan dan menegakkan Dinullah yang
menjadi rahmat bagi makhluk semesta.
Pemakalah sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan pemakalah dan para pembaca. Demi
kesempurnaan makalah ini diharapkan saran dan kritikan dari berbagai pihak yang
menemukan kelemahan-kelemahan dari makalah ini yang tidak lepas dari berbagai
kekurangan, meskipun telah disusun dengan upaya yang optimal.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih pada pihak yang telah membantu
menyusun dan membuat makalah ini dari awal sampai dengan akhir. semoga Allah
SWT senantiasa meridhoi, memudahkan segala urusan kita semua. Aamiin.

Padang, 24 September 2021

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................2

DAFTAR ISI................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang…..........................................................................................................4

Rumusan Masalah.........................................................................................................4

Tujuan..........................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

Kode Etik Psikologi Bab X Psikologi Forensik............................................................6

BAB III PENUTUP

Kesimpulan..................................................................................................................12

Saran............................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................13

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Psikolog tau iluwan psikologi saat terjun kemasyarakat untuk


mengabdikan ilmu yang dimiliki atau untuk menjalankan profesinya harus
memiliki aturan-aturan untuk bekerja secara normative. Aturan yang
mengikuti tersebut berguna untuk mengontrol apa yang dilakukan oleh
seorang psikolog dan ilmuwan psikologi. Oleh karena itu dalam dunia
psikologi khususnya di Indonesia maka disusunlah Kode Etik Psikologi yang
mengatur secara keseluruhan bagimana seorang psikolog dan ilmuwan
psikologi dalam bekerja, melakukan penelitian, mempublikasikan penelitian,
memberikan layanan, mengatasi situasi klien, assesmen, intervensi, konseling
dll.
Kode etik di Indonesia disusun pada tahun 1979 sejak kogres 1 ikatan
sarjana psikologi Indonesia (HIMPSI, 2010:131) dan sudah mengalami
mengenai evaluasi untuk mengikuti perkembangan zaman dan kondisi
lingkungan masyarakat yang selalu mengalami perubahan.
Psikologi bab IX yang membahas mengenai penelitian dan publikasi
yang dilakukan oleh seorang psikolog dan ilmuwan psikologi. Diberitakan
dimedia bahwa seorang professor psikologi dari Belanda telah bertahun-tahun
melakukan pemalsuan dan melakukan publikasi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa isi pasal 56 Bab X?
2. Apa isi pasal 57 Bab X?
3. Apa isi pasal 58 Bab X?
4. Apa isi pasal 59 Bab X?
5. Apa isi pasal 60 Bab X?
6. Apa isi pasal 61 Bab X?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui isi dari pasal 56 Bab X
2. Untuk mengetahui isi dari pasal 57 Bab X
3. Untuk mengetahui isi dari pasal 58 Bab X
4. Untuk mengetahui isi dari pasal 59 Bab X
5. Untuk mengetahui isi dari pasal 60 Bab X
6. Untuk mengetahui isi dari pasal 61 Bab X
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pasal 56 : Hukum dan Komitmen terhadap Kode Etik
1. Psikologi forensik merupakan bidang psikologi yang berhubungan atau
dapat diaplikasikan dalam bidang hukum, khususnya peradilan pidana.
2. Ilmuan psikologi forensik melakukan sebuah kajian atau penelitian yang
terkait dengan aspek-aspek psikologis manusia dalam prose hukum,
terkhusus pada peradilan pidana. Sedangkan psikolog forensik merupakan
seorang psikolog yang tugasnya memberikan layanan profesional
psikologi yang berhubungan dengan permasalahan hukum, terkhusus pada
peradilan agama.
3. Psikolog dan/ atau ilmuan psikologi yang menjalani tugas psikologi
forensik wajib memiliki kompetensi sesuai dengan tanggung jawab yang
dimilikinya, memahami hukum di Indonesia dan impllikasinya terhadap
peran tanggung jawab, wewenang dan hak mereka.
4. Psikolog dan/ atau ilmuan psikologi sadar bahwa adanya kemungkinan
konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan informasi dan pendapat,
dengan keharusan mengikuti hukum yang ditetapkan yang ditetapkan
sesuai sistem hukum yang berlaku. Psikolog dan/ atau ilmuan psikologi
berupaya untuk menyelesaikan konflik ini dengan menunjukkan komitmen
terhadap kode etik dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi
konflik ini dengan cara-cara yang dapat diterima.
B. Pasal 57: Kompetensi
Praktik psikologi forensik adalah penanganan kasus psikologi forensi
terutama yang membutuhkan keahlian dalam pemeriksaan psikologis
seseorang yang terlibat kasus peradilan dalam menegakan kebenaran dan
keadilan. Psikolog dan/atau Ilmuan Psikologi yang melakukan praktek
psikologi forensik harus memiliki kompetensi sesuai dengan standar psikologi
forensik,
memahami sistem hukum di Indonesia dan mendasarkan pekerjaannya pada
kode etik spikologi.
Praktik Psikologi forensik yang meliputi pelaksanaan asesmen,
evaluasi psikologis, penegakan diagnosa, konslultasi dan terapi psikologi serta
intervensi psikologi dalam kaitannya dengan proses hukum ( misalnya,
evaluasi psikologis bagi perilaku atau korban kriminal, sebagai saksi ahli,
evaluasi kompetensi untuk hak pengasuhan anak, program assesment,
konsultasi dan terapi di lembaga permasyarakatan) hanya dapat dilakukan
oleh psikolog. Dalam menjalankan tanggung jawabnya psikolog harus
mendasarkan pada standar pemeriksaan psikologi yang baku sesuai kode etik
psikologi yang terkait dengan asesmen, dan intervensi.
Ilmuan psikologi forensik dalam melakukan kajian/penelitian yang
terkait dengan aspek-aspek psikologis manusia dalam proses hukum wajib
memiliki pemahaman terkait dengan sistem hukum di Indonesia dan bekerja
berdasarkan kode etik psikologi terutama yang berkaitan dengan penelitian.

Contoh kasus :
Dalam melakukan asesmen, psikolog tidak mempraktikan alat tes
dengan benar dan tidak sesuai prosedur yang ada, sehingga hasil asesmen
yang didapatkan salah.

C. Pasal 58: Tanggung Jawab, Wewenang dan Hak


Psikolog dan/atau Ilmuan psikologi forensik yang melakukan praktik
psikologi forensik sesuai dengan kompetensinya memiliki tanggungjawab
membantu proses peradilak pidana, dalam kasus yang ditanganinya sehingga
tercapai penegakan kebenaran dan keadilan. Dalam rangka mencegah
kebenaran dan keadilan maka psikolog dan/atau ilmuan psikologi forensik
melakukan pekerjaannya dengan berdasarjan azas profesionalitas serta
memperhatikan kode etik psikologi.
Psikolog forensi memiliki wewenang memberikan laporan atau lisan
mengenai hasil penenmuan forensik, atau membuat pernyataan karakter
psikologi seseorang, hanya sesudah ia melakukan pemeriksaan terhadap
pribadi bersangkutan sesuai standar prosedur pemeriksaan psikologi untuk
mendukung pernyataan atau kesimpulannya. Bila tidak dilakukan pemeriksaan
menyeluruh karena keadaan tidak memungkinkan, Psikolog menjelaskan
batasan yang ada, serta melakukan langkah-langkah untuk membatasi
implikasi dan kesimpulan atau rekomendasi yang dibuatnya.
Psikolog dan/atau ilmuan osikologi forensi yang dalam menjalankan
pekerjaan di bidang psikologi sudah menjalankan tanggung jawabnya sesuai
dengan standar, maka memiliki hak untuk mendapatkan perindungan dari
Himpsi jika ia mendapatkan masalah terkait dengan hukum.
Contoh :
Pihak psikolog menolak membantu menyelesaikan kasus yang
berhubungan dengan pidana. Hasil pemeriksaan psikologis yang tidak
sebenarnya atau hasil yang diberikan tidak berdasarkan hasil pemeriksaan
psikologis.

D. Pasal 59 : Pernyataan Sebagai Saksi atau Saksi Ahli


1. Psikolog dalam memberikan kesaksian sebagai saksi atau saksi ahli harus
bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan dalam
menyusun hasil penemuan psikologi forensik atau membuat pernyataan
dari karakter psikologi seseorang berdasarkan standar pemeriksaan
psikologi.
2. Bila kemungkinan terjadi konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan
pendapat dan keharusan mengikuti aturan hukum yang ditetapkan dalam
kasus di pengadilan, psikolog berusaha menyelesaikan konflik ini dengan
menunjukkan komitmen terhadap Kode Etik dan mengambil langkah-
langkah untuk mengatasi konflik dengan cara-cara yang bisa diterima.
3. Bila kemungkinan ada lebih dari satu saksi atau saksi ahli psikolog, maka
psikolog tersebut harus memegang teguh prinsip hubungan profesional
sesuai dengan pasal 19 buku kode etik ini.
4. Bila harus memberikan kesaksian, atau menyampaikan pendapat selaku
saksi atau saksi ahli yang melakukan pemeriksaan, sejauh memang
diizinkan oleh hukum yang berlaku di Indonesia, Psikolog/Ilmuwan
Psikologi harus tetap dapat bersikap profesional dalam memberikan
pandangan serta menjaga atau meminimalkan terjadinya konflik antara
berbagai pihak.
5. Bila terdapat lebih dari satu saksi atau saksi ahli psikolog di pengadilan
dan bila kemungkinan terjadi konflik antar psikolog dalam suatu proses
peradilan yang ditanganinya, maka psikolog dapat meminta HIMPSI untuk
membantu penyelesaian masalah dengan memberikan kesempatan untuk
menyelesaikan permasalahan berdasarkan standar pemeriksaan psikologi
dan kaidah ilmiah psikologi.
6. Bila terdapat lebih dari Satu saksi atau saksi ahli yang berasal dari
psikolog dan ahli profesi lain dan bila kemungkinan terjadi konflik antara
psikolog dengan profesi lain tersebut maka psikolog dapat meminta
Himpsi menyelesaikan masalahnya dengan mendiskusikannya dengan
organisasi profesi dimana profesi lain tersebut bernaung.

Contoh kasus :
Psikolog tidak memberikan kesaksian sebenarnya berdasarkan
pemeriksaan Psikologis.

E. Pasal 60: Peran Majemuk dan Professional Psikolog dan Ilmuwan


Psikologi
Pasal ini menjelaskan mengenai hubungan majemuk dan professional.
Para psikolog forensic hendaklah menghindari adanya hubungan yang
majemuk. Bila peran majemuk terpaksa dilakukan kejelasan masing-masing
peran harus ditegaskan sejak awal dan tetap berpegang teguh pada azas pro-
fesionalitas, obyektivitas serta mencegah dan meminimalkan kesalahpahaman.
Hal-hal yang harus diperhatikan bila peran majemuk terpaksa dilakukan:
1. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi meng-hindar untuk melakukan peran
majemuk dalam hal forensik, apalagi yang dapat menimbulkan konflik.
Bila peran majemuk terpaksa dilakukan, misalnya sebagai konsultan atau
ahli serta menjadi saksi di pengadilan, kejelasan masing-masing peran
harus ditegaskan sejak awal bagi Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi,
serta pihak-pihak terkait, untuk mempertahankan profesionalitas dan
objektivitas, serta mencegah dan meminimalkan kesalahpahaman pihak-
pihak lain sehubungan dengan peran ma-jemuknya.
2. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menjalin hubungan profesional
sebelumnya dengan orang yang menjalani pemeriksaan tidak terhalangi
untuk memberi kesaksian, atau menyampaikan pendapatnya selaku saksi
ahli yang melakukan pemeriksaan, sejauh diijinkan oleh aturan hukum
yang berlaku. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus tetap dapat
bersikap profesional dalam memberikan pan-dangan serta menjaga atau
meminimalkan terjadinya konflik antara berbagai pihak.
3. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mempunyai kewajiban untuk memahami
dan menjalankan pekerjaan sesuai dengan kode etik dan pene-rapannya.
Kurang dipahaminya kode etik tidak dapat menjadi alasan untuk
mempertahankan diri ketika melakukan kesalahan atau pelanggaran
Contoh Kasus :
Psikolog tidak memberitahukan atau memberikan penjelasan
sebelumnya kalau ia merupakan saksi ahli atau konsultan dalam sebuah kasus
forensic.

F. Pasal 61: Pernyataan Melalui Media Terkait dengan Psikologi Forensik


a) Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi yang me-lakukan layanan psikologi
dapat memberikan pernyataan pada publik melalui media dengan
mempertimbangkan hal-hal berikut:
Hanya psikolog yang melakukan pe-meriksaan psikologi terhadap kasus
hukum yang ditanganinya yang dapat memberikan pernyataan di media
tentang kasus tesebut.
b) Psikolog dapat membuat pernyataan di media tentang suatu gejala yang
terjadi di masyarakat. Jika ia tidak melakukan pemeriksaan psikologis
maka hal ini harus dinyatakan pada media dan pernyataan yang
disampaikan bersifat umum dan didasarkan pada kaidah prinsip psikologi
sesuai dengan teori dan/atau aliran yang diikuti. Pernyataan di media harus
mempertimbangkan kepentingan masyarakat, hak subjek yang diperiksa
(seperti azas praduga tak bersalah pada pemeriksaan psikologis pelaku,
atau hak untuk tidak dipublikasikan), dan telah mempertimbangkan
batasan kerahasiaan sesuai dengan pasal 24 buku Kode Etik ini.
Contoh kasus :
Psikolog menyuruh asistennya yang bukan psikolog (tamatan S1)
untuk memberikan sebuah pernyataan kepada media.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Pada BAB X buku kode etik psikologi indonesia ini terdiri dari pa kosal 56
sampai dengan pasal 61. Pada Bab X ini membahas mengenai Psikologi
Forensik. Dimana penjelasan pada masing-masing pasal yaitu pada pasal 56
terdiri dari 4 butir mengenai Hukum dan Komitmen terhadap Kode etik. Pasal
57 terdiri dari 3 butir mengenai Kompetensi, selanjutnya pasal 58 terdiri dari 3
butir tentang tanggung jawab, wewenang, dan hak. Pasal 59 terdiri dari 6 butir
mengenai pernyataaan sebagai saksi atau saksi ahli. Pasal 60 terdiri dari 3
butir mengenai peran majemuk dan profesional majemuk dan profesional
psikolog dan atau ilmuan psikologi. Dan yang terakhir pasal 61 mengenai
pernyataan melalui media terkait dengan psikologi forensik.

B. SARAN
Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah pengetahuan
pembaca dan disarankan kepada seorang psikolog atau ilmuwan psikologi
harus mematuhi kode etik yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Himpunan Psikologi Indonesia. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta:
Pengurus Pusat Psikologi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai