Anda di halaman 1dari 19

Makalah Kode Etik Psikologi

Psikologi Forensik
Sebagai Tugas Mata Kuliah Kode Etik

Dosen pengampu:
Ratih Agustin Rachmaningrum, S.Psi., M.Si.

Disusun oleh:
KELOMPOK 7

Sabna Hendri Junior 21090000175


Adhella Putri Anugrahi 21090000180
Kharisma Nirmala W.P 21090000184
Angel Rupa Kasturi 21090000218

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MERDEKA MALANG
2024

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
karunia-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah kode etik psikologi ”Psikologi Forensik”. Sholawat dan
salam tetaplah kita curahkan kepada baginda Rasulullah SAW yang syafa’atnya kita nantikan
kelak.
Penulisan makalah ini sebagai tugas mata kuliah Kode Etik makalah kode etik psikologi
”Psikologi Forensik” ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan laporan ini.
Terlepas dari semua itu, kami sebagai penulis makalah kode etik psikologi ”Psikologi
Forensik” masih memerlukan penyempurnaan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Kami menerima segala saran dan kritik yang membangun dari dosen dan pembaca
akan sangat berharga bagi kami untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas penulisan di
masa depan.

Malang, 22 Maret 2024

Penulis

2
DAFTAR ISI

Cover ................................................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 4
A. Latar Belakang .......................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 4
C. Tujuan ....................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 6
A. Pasal 56 Hukum dan Komitmen terhadap Kode Etik .................................................. 6
B. Pasal 57 Kompetensi ................................................................................................. 7
C. Pasal 58 Tanggung Jawab, Wewenang dan Hak ......................................................... 8
D. Pasal 59 Pernyataan Sebagai Saksi atau Saksi Ahli .................................................... 9
E. Pasal 60 Peran Majemuk dan Profesional Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi ...... 11
F. Pasal 61 Pernyataan Melalui Media Terkait dengan Psikologi Forensik ................... 13
G. Studi Kasus dan Analisa Kasus ................................................................................ 14
BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 17
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 18

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Psikologi forensik Psikologi forensik adalah cabang psikologi yang berkaitan dengan
aplikasi pengetahuan dan metode psikologi untuk keperluan hukum dan pengadilan.
Psikologi forensik melibatkan berbagaimacam aplikasi, seperti penilaian psikologis
terhadap terdakwa, saksi ahli dalam sidang pengadilan, serta konseling dan intervensi
bagi korban kekerasan.
Menurut Dewi dkk (2109), Psikologi forensik memiliki peran penting dalam sistem
hukum modern, karena dapat memberikan wawasan tentang proses mental dan perilaku
manusia yang berkaitan dengan kejahatan, serta membantu menentukan kebijakan
publik dan peraturan hukum yang lebih efektif dan adil. Secara khusus, psikologi
forensik dapat membantu memahami alasan di balik perilaku kriminal, memberikan
penilaian tentang kemampuan mental individu dalam berurusan dengan hukum, dan
membantu korban dalam pemulihan pasca kekerasan.
Dalam hal ini, psikologi forensik beroperasi dalam berbagai bidang, seperti
kriminologi, psikologi hukum, psikologi kriminal, psikologi investigasi, dan psikologi
korban kekerasan.Berbagai teori dan metode telah dikembangkan dalam psikologi
forensik, termasuk psikologi perkembangan, psikometri, neuropsikologi, psikologi
sosial, dan psikologi klinis.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja hukum komitmen kode etik psikologi forensik?


2. Apa saja kompetensi terhadap kode etik psikilogi forensik?
3. Apa saja Mengetahui tanggung jawab, hak dan wewenang seorang ilmuwan
psikolog forensik?
4. Bagaimana cara seorang psikolog forensik memeberikan pernyataan sebagai
saksi?
5. Bagaiamna peran majemuk dan profesional seorang ilmuwan forensik dalam
psikologi forensik?
6. Bagaimana seorang psikolog forensik memberikan pernyataan melalau media
terkait psikologi forensik?

4
C. Tujuan

Psikologi forensik memiliki tujuan untuk mengetahui pengertian dari psikologi


forensik, serta apa yang menjadi hak, kewajiban dan wewenang dari ahli psikolg forensi
dalam menangani suatu kasus psikolog dalam pengadilan dan membantu proses hukum
dan peradilan dengan memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang perilaku
manusia dan proses mental yang mempengaruhi tindak kriminal.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pasal 56 Hukum dan Komitmen terhadap Kode Etik

(1) ’’Psikologi forensik adalah bidang psikologi yang berkaitan dan/atau diaplikasikan
dalam bidang hukum, khususnya peradilan pidana’’

Menjelaskan tentang pentingnya komitmen terhadap kode etik dalam psikologi


forensik, dimana psikologi forensik merupakan ilmu psikologi yang diterapkan
dalam bidang hukum dan peradilan . yang mempunyai tujuan untuk memberikan
sebuah pemahaman tentang aspek psikologis pada suatu kasus hukum.

(2) “Ilmuwan psikologi forensik melakukan kajian/ penelitian yang terkait dengan
aspek -aspek psikologis manusia dalam proses hukum, khususnya peradilan pidana.
Psikolog forensik adalah psikolog yang tugasnya memberikan bantuan profesional
psikologi berkaitan dengan permasalahan hukum, khususnya peradilan pidana“

Menjelaskan bahwa psikolog forensic harus mendapat pelatihan dan kualifikasi


yang memadai dan berkomitmen untuk memperbaharui pengetahuan dan
keterampilanya secara teratur. Psikolog forensik bertanggung jawab dalam
memberikan laporan dan kesaksian di pengadilan serta memerlukan keahlian
khusus dan pemahaman yang lebih mendalam tentang aspek psikologis dalam kasus
hukum.

(3) “Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menjalankan tugas psikologiforensik


wajib memiliki kompetensi sesuai dengan tanggung jawab yangdijalaninya,
memahami hukum di Indonesia dan implikasinya terhadapperan tanggung jawab,
wewenang dan hak mereka”

Menjelaskan bahwa dalam konteks psikologi forensik seorang psikolog harus


mampu memahami dan mengenali sumber ketidakpastian dalam penilaian
psikologis serta mampu memberikan keterangan yang jujur ,obyektif dan tidak
memihak pada pihak manapum dalam konteks hukum

6
(4) “Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari adanya kemungkinan konflik
antara kebutuhan untuk menyampaikan informasi dan pendapat, dengan keharusan
mengikuti hukum yang ditetapkan sesuai sistem hukum yang berlaku. Psikolog
dan/atau ilmuwan Psikologi berusaha menyelesaikan konflik ini dengan
menunjukkan komitmen terhadap kode etik dan mengambil langkah-langkah untuk
mengatasi konflik ini dalam cara-cara yang dapat diterima”

Menjelaskan bahwa psikolog harus menjagakerahasiaan informasi yang diperoleh


dalam praktik psikologi forensik kecuali jika diizinkan oleh hukum ataupun jika
terdapat ancaman yang serius terhadapkeselamatan publik ataupun individu tertentu

B. Pasal 57 Kompetensi

(1) “Praktik psikologi forensik adalah penanganan kasus psikologi forensikterutama


yang membutuhkan keahlian dalam pemeriksaan psikologisseseorang yang terlibat
kasus peradilan pidana, yang bertujuan membantuproses peradilan dalam
menegakkan kebenaran dan keadilan. Psikologdan/atau Ilmuwan Psikologi yang
melakukan praktik psikologi forensikharus memiliki kompetensi sesuai dengan
standar psikologi forensik,memahami sistem hukum di Indonesia dan mendasarkan
pekerjaannya padakode etik psikologi”

Menjelaskan bahwa psikologi forensik harus dilakukan untuk orang yang sudah
memiliki kompetensi di bidang psikologi ataupun memiliki sertifikat pendidikan
pelatihan di bidang psikologi forensik yang digunanakan dalammembantu
menyelesaikan masalah masalah hukum seperti tindakan kekerasan ,kasus kriminal
ataupun masalah keluarga dimana dalam paraktiknya harus memberikan kesaksian
yang jelas akurat di pengadilan dan juga etika profesionayang kuat dan pemahaman
yang jelas tentang peran dan tanggung jawab sebagai psikolog forensik

(2) “Praktik Psikologi forensik yang meliputi pelaksanaan asesmen,


evaluasipsikologis, penegakan diagnosa, konsultasi dan terapi psikologi
sertaintervensi psikologi dalam kaitannya dengan proses hukum (misalnya evaluasi
psikologis bagi pelaku atau korban kriminal, sebagai saksi ahli,evaluasi kompetensi
untuk hak pengasuhan anak, program asesmen,konsultasi dan terapi di lembaga

7
pemasyarakatan) hanya dapat dilakukan oleh psikolog. Dalam menjalankan
tanggung jawabnya psikolog harus mendasarkan pada standar pemeriksaan
psikologi yang baku sesuai kodeetik psikologi yang terkait dengan asesmen, dan
intervensi.”

Menjelaskan bahwa ahli psikologi forensik harus memberikan pendapat ahli yang
dapat membantu pengadilan dalam memahami faktor psikologis yang berkaitan
dengan kasus kasus yang terjadi serta memberikanrekomendasi atau saran
mengenai cara cara untuk menangani faktor psikologisseperti dalam hal rehabilitasi
ataupun perawatan kesehatan mental serta ahli psikologi forensik juga diharapkan
memiliki kompetensinynh memadai dalam bidang psikologi forensik dan memiliki
integritas dan etika profesi yang tinggi

(3) "Ilmuwan psikologi forensik dalam melakukan kajian/penelitian yangterkait


dengan aspekaspek psikologis manusia dalam proses hukum wajibmemiliki
pemahaman terkait dengan sistem hukum di Indonesia dan bekerjaberdasarkan
kode etik psikologi terutama yang terkait dengan penelitian”

Menjelaskan bahwa ahli psikolohi forensik harus memberikankesimpulan dan juga


rekomendasibyang jelas dan dapat dipahami oleh non- ahliyang didasarkan pada
hasil penilaian dan analisis hanh dilakukan oleh ahli psikolog terhadap data data
yang diperoleh selama proses evaluasi berlangsung.

C. Pasal 58 Tanggung Jawab, Wewenang dan Hak

(1) “Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi forensik yang melakukan praktik psikologi
forensik sesuai dengan kompetensinya memiliki tanggung jawab membantu proses
peradilan pidana, dalam kasus yang ditanganinya sehingga tercapainya penegakan
kebenaran dan keadilan. Dalam rangka menegakkankebenaran dan keadilan maka
psikolog dan/atau ilmuwan psikologi forensik melakukan pekerjaannya dengan
berdasarkan azas profesionalitas sertamemperhatikan kode etik psikologi.”

Menjelaskan bahwa seorang psikolog/ahli psikologi forensik harusmemiliki


tanggung jawab berdasarkan asas profesionalitas untuk membantu proses peradilan

8
pidana, dan tetap berpegang teguh pada kode etik psikologi untukmenegakkan
kebenaran dan keadilan.

(2) ’’Psikolog forensik memiliki wewenang memberikan laporan tertulis atau lisan
mengenai hasil penemuan forensik, atau membuat pernyataan karakter psikologi
seseorang, hanya sesudah ia melakukan pemeriksaan terhadappribadi bersangkutan
sesuai standar prosedur pemeriksaan psikologi, untuk mendukung pernyataan atau
kesimpulannya. Bila tidak dilakukan pemeriksaan menyeluruh karena keadaan
tidak memungkinkan, Psikolog menjelaskan keterbatasan yang ada, serta
melakukan langkah-langkah untuk membatasi implikasi dari kesimpulan atau
rekomendasi yang dibuatnya”

Menjelaskan bahwa Ppsikologi forensik berwenang memberikan laporan secara


tertulis atau lisan mengenai hasil penelitian forensiknya, hanya setelah ia
memeriksa para pihak sesuai dengan prosedur pemeriksaan psikologi untuk
mendukung pernyataan atau kesimpulannya. Dan jika pemeriksaan tidak dilakukan
secara menyeluruh karena keadaan tidak memungkinkan, psikolog akan
menjelaskan keterbatasan atau hambatan yang ada

(3) Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi forensik yang dalam menjalankanpekerjaan


di bidang psikologi sudah menjalankan tanggung jawabnya sesuai dengan standar,
maka memiliki hak untuk mendapat perlindungan dari Himpsi jika ia mendapatkan
masalah terkait dengan hukum

Menjelaskan bahwa apabila psikolog/ahli psikologi forensik telah menjalankan


tanggung jawabnya dengan baik dan sudah sesuai dengan standar,maka ketika
mendapat masalah hukum yang berkaitan dengan pekerjaannya, akan mendapatkan
perlindungan dan bantuan dari Himpsi ketika mendapat masalah mengenai hukum
tersebut.

D. Pasal 59 Pernyataan Sebagai Saksi atau Saksi Ahli

(1) “Psikolog dalam memberikan kesaksian sebagai saksi ataupun saksi ahliharus
bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan dalammenyusun hasil

9
penemuan psikologi forensik atau membuat pernyataan darikarakter psikologi
seseorang berdasarkan standar pemeriksaan psikologi.”

Menjelaskan bahwa psikolog bisa memberikan kesaksian sebagai saksi ataupun


ahlisaksi yang bertujuan untuk menegakkan kebenaran serta keadilan atau bisa
jugamembuat pernyataan mengenai karakter psikologi dari seseorang
berdasarkanstandar pemeriksaan psikologi.

(2) “Bila kemungkinan terjadi konflik antara kebutuhan untuk menyampaikanpendapat


dan keharusan mengikuti aturan hukum yang ditetapkan dalamkasus di pengadilan,
psikolog berusaha menyelesaikan konflik ini denganmenunjukkan komitmen
terhadap Kode Etik dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi konflik
dengan cara-cara yang bisa diterima.”

Menjelaskan bahwa jika kemungkinan terjadi konflik saat psikolog meyampaikan


pendapat dan atau menjadi keharusan mengikuti hukum yang telah ditetapkan
dalam pengadilan. Maka psikolog harus mengambil langkah-langkah untuk
mengatasi konflik tersebut dengan cara yang bisa diterima serta menunjukkan
komitmen terhadap kode etik yang telah berlaku.

(3) ”Bila kemungkinan ada lebih dari satu saksi atau saksi ahli psikolog, makapsikolog
tersebut harus memegang teguh prinsip hubungan profesionalsesuai dengan pasal
19 buku kode etik ini”

Menjelaskan bahwa jika ada lebih dari satu saksi ahli psikolog, maka psikolog
tersebut harus memegang teguh prinsip hubungan profesional sesuai pasal 19 pada
kode etik.

(4) ”Bila harus memberikan kesaksian, atau menyampaikan pendapat selaku saksi atau
saksi ahli yang melakukan pemeriksaan, sejauh memang diizinkan oleh hukum
yang berlaku di Indonesia; Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus tetap dapat
bersikap profesional dalam memberikan pandangan serta menjaga atau
meminimalkan terjadinya konflik antara berbagai pihak.”

10
Menjelaskan bahwa psikolog dapat menyampaikan pendapat selaku saksi ahli yang
melakukan pemeriksaan namun harus tetap secara profesional dalam memberikan
pendapat dan menjaga agar tidak terjadi adanya konflik antar berbagai pihak.

(5) ”Bila terdapat lebih dari satu saksi atau saksi ahli psikolog di pengadilan danbila
kemungkinan terjadi konflik antar psikolog dalam suatu proses peradilan yang
ditanganinya, maka psikolog dapat meminta Himpsi untuk membantu penyelesaian
masalah dengan memberikan kesempatan untuk menyelesaikan permasalahan
berdasarkan standar pemeriksaan psikologi dan kaidah ilmiah psikologi.”

Menjelaskan bahwa jika terjadi suatu konflik di pengadilan dikarenakan terdapat


lebihdari satu saksi ahli psikolog yang menangani proses kasus di pengadilan maka
psikolog dapat meminta Himpsi untuk membantu menyelesaikan masalah
berdasarkan standar pemeriksaan psikologi dan kaidah ilmiah psikologi.

(6) ”Bila terdapat lebih dari Satu saksi atau saksi ahli yang berasal dari psikologdan
ahli profesi lain dan bila kemungkinan terjadi konflik antara psikolog dengan
profesi lain tersebut maka psikolog dapat meminta Himpsi menyelesaikan
masalahnya dengan mendiskusikannya dengan organisasi profesi dimana profesi
lain tersebut bernaung.”

Menjelaskan bahwa jika terjadi konflik di pengadilan karena ada lebih dari satu
saksiahli yang berasal dari psikolog dan ahli profesi lainnya, maka psikolog dapat
meminta himpsi menyelesaikan masalahnya dengan mendiskusikan dengan
organisasi profesi tersebut.

E. Pasal 60 Peran Majemuk dan Profesional Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menghindari untuk menjalankan peran


majemuk. Bila peran majemuk terpaksa dilakukan kejelasan masing-masing peran
harus ditegaskan sejak awal dan tetap berpegang teguh pada azas
profesionalitas,obyektivitas serta mencegah dan meminimalkan kesalahpahaman. Hal-
hal yang harusdiperhatikan bila peran majemuk terpaksa dilakukan:

11
(1) “Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghindar untuk melakukan
peranmajemuk dalam hal forensik, apalagi yang dapat menimbulkan konflik.
Bilaperan majemuk terpaksa dilakukan, misalnya sebagai konsultan atau ahliserta
menjadi saksi di pengadilan, kejelasan masing-masing peran harusditegaskan sejak
awal bagi Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, sertapihak -pihak terkait, untuk
mempertahankan profesionalitas danobjektivitas, serta mencegah dan
meminimalkan kesalahpahaman pihak -pihak lain sehubungan dengan peran
majemuknya.”

Menjelaskan bahwa psikolog harus menghindari kejadian peran majemuk dalam


pemeriksaan forensik. Yang dimaksud peran majemuk ialah jika psikolog yang
awalnya mereka menjadi konsultan atau ahli di pengadilan namun harus menjadi
saksi maka psikolog harus ditegaskan sejak awal terkait peran yang di lakukan
untuk psikolog mempertahankan profesionalnya dan objektivitasnya agar dapat
mencegah selisih paham antara pihak yang berhubungan dengan peran
majemuknya.

(2) ”Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menjalin hubungan profesional


sebelumnya dengan orang yang menjalani pemeriksaan tidak terhalangi untuk
memberi kesaksian, atau menyampaikan pendapatnya selaku saksi ahli yang
melakukan pemeriksaan, sejauh diijinkan oleh aturan hukum yang berlaku.
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus tetap dapat bersikap profesional dalam
memberikan pandangan serta menjaga atau meminimalkan terjadinya konflik antara
berbagai pihak.”

Menjelaskan bahwa psikolog diharuskan secara profesional melakukan


pemeriksaan terhadap orang yang beliau periksa walaupun sebelumnya mereka
terjalin hubungan khusus. Psikolog juga diharuskan bersikap profesional dalam
memberikan pandangan serta menjaga dan meminimalisirkan terjadinya kejadian
konflik antar berbagai pihak.

(3) “Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mempunyai kewajiban untuk memahamidan


menjalankan pekerjaan sesuai dengan kode etik dan penerapannya. Kurang

12
dipahaminya kode etik tidak dapat menjadi alasan untuk mempertahankan diri
ketika melakukan kesalahan atau pelanggaran.”

Menjelaskan bahwa ilmuwan psikolog atau psikolog diwajibkan memiliki


pemahaman serta dapat menjalankan pekerjaannya sebagai ilmuwan psikolog
forensik sesuaidengan kode etik yang ada dan penerapannya. Namun, jika psikolog
tersebut melakukan kesalahan dalam melakukan pekerjaannya dikarenakan kurang
memahami kode etik maka psikolog tidak dapat menjadikan alasan tersebut untuk
mempertahankan dirinya

F. Pasal 61 Pernyataan Melalui Media Terkait dengan Psikologi Forensik

Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi yang melakukan layanan psikologi dapat


memberikan pernyataan pada publik melalui media dengan mempertimbangkan hal-hal
berikut:
a) ”Hanya psikolog yang melakukan pemeriksaan psikologi terhadap kasus hukum
yang ditanganinya yang dapat memberikan pernyataan di media tentang kasus
tesebut”

Menjelaskan bahwa Hanya psikolog yang boleh melakukan pemeriksaan


psikologi terhadapkasus hukum yang ditangininya serta sebagai pihak yang
berhak memberikan penyataan di hadapan media mengenai kasus yang di
tanganinya.

b) Psikolog dapat membuat pernyataan di media tentang suatu gejala yang terjadi
di masyarakat. Jika ia tidak melakukan pemeriksaan psikologis maka hal ini
harus dinyatakan pada media dan pernyataan yang disampaikan bersifat umum
dan didasarkan pada kaidah prinsip psikologi sesuai dengan teori dan/atau
aliran yang diikuti. Pernyataan di media harus mempertimbangkan kepentingan
masyarakat, hak subjek yang diperiksa (seperti azas praduga tak bersalah pada
pemeriksaan psikologis pelaku, atau hak untuk tidak dipublikasikan), dan telah
mempertimbangkan batasan kerahasiaan sesuai dengan pasal 24 buku Kode
Etik ini.

13
Menjelaskan bahwa Psikolog dapat membuat pernyataan ke media mengenai
gejala yangterjadi di kalangan masyarakat tetapi jika psikolog tidak melakukan
pemeriksaan psikologis maka hal yang perlu disampaikan ke media itu
merupakan pernyataan yang bersifat umum yang berdasarkan pada kaidah
prinsip psikologi sesuai dengan teoriatau aliran yang diikuti. Pernyataan yang
diberikan ke media harusmempertimbangkan beberapa aspek seperti,
kepentingan masyarakat, hak dari subjekyang diperiksa apakah yang
bersangkutan ingin mempublikasikan hasil pemeriksaan psikologisnya atau
tidak, serta telah mempertimbangkan batasan rahasia sesuai pada pasal 24
dalam buku kode etik.

G. Studi Kasus dan Analisa Kasus

Tercatat banyak kasus pembunuhan dengan cara mutilasi. Antara lain, kasus mutilasi
dengan tersangka Verry Idham Henryansyah alias Ryan (34) di wilayahhukum Polres
Jakarta Selatan, dengan korban seorang laki-laki, Heri Santoso, yang dipotong
tubuhnya menjadi tujuh bagian dan jasadnya dimasukkan ke dalam koperdan tas. Selain
itu, yang terjadi pada 17 Januari 2008 dengan korban Atikah Setyani, cewek hamil
empat bulan yang dipenggal kekasihnya bernama Zaky di kamar Hotel Bulan Mas,
Koja, Jakarta Utara. Lalu pada 17 Maret 2008, muncul kasus di BekasiTimur, namun
hingga sekarang belum terungkap, dengan korban wanita yang dipotong menjadi 10
bagian dan mayatnya dimasukkan dalam kardus, ditemukan didepan kantor Primkoti
Margahayu.

Melihat banyaknya kasus mutilasitersebut, tentu dalam penanganannya harus jeli dan
melihatnya dari berbagai aspek atau faktor. Menurut kriminolog Prof Ronny Rahman
Nitibaskara, dalam menyelesaikan kasus kejahatan kriminolog tidak mengenal faktor
penyebab tunggal (single factor caution), tapi dijawab oleh aneka faktor (multiple factor
caution). Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah dari aspek psikologi pelakunya.
Menurut teori psikoanalisis, tidak terpecahkannya konflik yang dihasilkandalam
trauma sejak masa kanak-kanak mengakibatkan ketidakteraturan kepribadian (mentaly
disorder) dan tingkah laku agresif kepada seseorang.

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai aparat penegak hukum seperti


diamanahkandalam Undang-Undang (UU) 2/2002, sudah seharusnya dapat
menegakkan hukumsebagaimana mestinya secara adil. Untuk memenuhi rasa keadilan
bagi masyarakat yang sedang berurusan dengan hukum, seperti kasus mutilasi, Polri
harus dapat melakukan tindakan, baik penyidikan tindak, pidana baik dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di luar KUHP. Dalam tataran itu,
dibutuhkan suatu kemampuan melihat, mengidentifikasi, menganalisis, dan menangani

14
kasus mutilasi dengan memperhatikan kondisi psikis atau kejiwaan pelakunya. Akan
lebih optimal lagi apabila penyidik Polri bekerja sama dan berkoordinasi dengan
psikiater dan psikolog dalam mendalami latar belakang atau penyebab pelaku
melakukan tindak kejahatannya. Dengan demikian, bantuan atau masukan dari psikiater
dan psikolog menjadi pertimbangan bagi polisi. Untuk membantu proses penyelidikan
dan penyidikan tersebut, penyidik Polri selain memperoleh bantuan dari psikiater dan
psikolog dapat mudah menangani kasus mutilasi tersebut dengan dan atau dari (segi)
ilmu psikologi forensik.

Contoh kasus mutilasi yang dilakukan oleh Ryan, dengan bukti terakhir di temukannya
lima mayat oleh gabungan penyidik Polda Metro Jaya dan Polda Jawa Timur baru-baru
ini di rumah orangtuanya, menarik sekali kalau kita melihat dari kacamata psikologi
forensik. Menurut pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, pembunuhan
berantai sadis (mutilasi), bagi pelakunya adalah untuk mendapatkan fantasi atau sensasi
yang luar biasa dengan melihat korbannya meninggal atau detik -detik terakhir korban
mengembuskan nafasnya (mati perlahan-lahan). Bila dikaitkan dengan ilmu psikologi
forensik, kasus mutilasi dengan tersangka Ryan & mdash; menurut Reza tidak ada
kaitannya dengan orientasi seksual. Masyarakat awam dianggap terlalu berlebihan
dalam menilai bila mengaitkan pelaku dengan homo seksual seorang Ryan.

Psikopat, adalah sebutan dari masyarakat awam untuk pelaku mutilasi seperti Ryan itu.
Dari segi fisik, memang sosok Ryan tidak terlihat psikopat, karena sikap/tingkah laku
yang ditampilkannya di masyarakat menunjukkan pribadi yang santun, biasa, dan
cerdas. Menurut hipotesis atau dugaan Reza, tindakan sadis dengan mutilasi tersebut
dilakukan dengan tahapan-tahapan untuk mencari tingkat fantasi yang maksimal
(terpuaskan). Kalau merasa belum puas dengan tindakannya, pelaku akan mencari cara
yang lebih sadis.

Pelaku melakukan tindakan abnormal tersebut tidak terlepas dari beberapa faktor lain;
di antaranya faktor pemicu (terjadinya sesaat, sebelum mutilasi tersebut dilakukan) dan
faktor trauma yang mendalam atau peristiwa luar biasa (kekerasan) yang dialami pelaku
semasa kecil dalam keluarga dan lingkungan. Trauma mendalam yang terjadi secara
berulang-ulang, menyebabkan penumpukan beban, sehingga pelaku mempunyai sifat
benci, keras, dan mudah tersinggung. Akibatnya, mudah melakukan tindakan sadis
(mutilasi).

Menurut pakar psikologi forensik dari AS, Dr Heirr, penelitian tentang sifat psikopat
yangada sangat minim sekali, sangat sulit, dan mustahil, karena pengidap psikopat
dapat memiliki sifat itu dengan tindakan hubungan yang manipulatif dan tidak mudah
dideteksi. Hal tersebut disebabkan oleh karena sifat pengidap psikopat secara lahiriah
atau fisik tidak tampak dari sikap yang hangat, cerdas, dan biasa. Dalam kaitan itu,
pihak kepolisian dalam menangani kasus mutilasi yang dilakukan oleh Ryan disarankan
oleh pakar psikologi forensik Reza Indargiri Amriel melakukan beberapa tindakan.
Diantaranya, dari kacamata psikologi, pihak kepolisian hendaknya meminta bantuan

15
psikiater atau psikolog untuk mediagnosis secara mendalam dan komprehensif
kejiwaan dari pelaku. Psikologi sebagai suatu seni dapat menggunakan proffiling (jati
diri pelaku) dalam menelusuri latar belakang pembunuhan pelaku dari sisi kejiwaan
atau penyakit yang diderita. Lalu, polisi mencermati keterangan pelaku yang selalu
berubah dengan kondisi psikologis seperti yang ada pada diri Ryan sekarang ini.

Selain itu, mencermati apakah pelaku sadar atau tidak saat membunuh korban.
Mengecek kondisi psikologis pelaku, apakah memiliki kepribadian ganda dan
gangguan kepribadian disosiatif atau tidak. Mencermati modus operandi yang sama,
yang dilakukan pelaku dalam menghabisi korban lainnya dan motif dari aksinya
tersebut. Lalu juga lebih mencermati tanda tangan (signature) pelaku.Tugas psikologi
forensik mengungkap suatu kasus dalam penyelidikan dan penyidikan, tidak bisa
dipisahkan. Berkait dengan kasus mutilasi tersebut, dapat kitaidentifikasi pelakunya:
apakah mengidap kelainan kepribadian (psikopat) atau tidak Juga memberikan
gambaran tentang profil pelaku kejahatan sadis (mutilasi) yangterjadi di Bekasi Timur,
yang belum terungkap, sehingga polisi dapat lebihmemfokuskan usaha pencarian
pelaku tindak kejahatan tersebut.

Adapun tugas psikologi forensik di dalam penyidikan, menurut psikolog


YustiProbowati, adalah mengetahui kondisi psikologis tersangka melalui proses
asesmenmental tersangka. Yaitu, mendeteksi ada tidaknya keterbatasan intelektual
terdakwa.Psikolog mendeteksi kondisi intelektualitas tersangka tindak pidana, dalam
rangkamemperlancar proses penyidikan kepolisian. Melakukan asesmen kondisi
berisiko dan berbahaya dari tersangka, agar psikolog mendapatkan gambaran
kemungkinan adanyakondisi berisiko dan berbahaya dari tersangka selama dalam
proses penyidikankepolisian. Melakukan asesmen kompetensi mental tersangka
(competency/insanity),dengan tujuan untuk mendeteksi apakah tersangka memiliki
kompetensi mental (sakit jiwa) atau tidak. Mendeteksi kondisi sobriety (uji ini untuk
mendukung kecurigaan polisi saat interogasi, apakah pelaku dipengaruhi oleh obat-
obatan atau tidak; dan apa pun hasil pemeriksaannyatidak dihentikan. Selain itu,
membantu mendapatkanketerangan tentang motivasi tersangka yang sebenarnya.

Dalam contoh kasus diatas, psikologi forensik memiliki kewajiban yang jelas dengan
perundang-undangan yang relevan sesuai pada pasal 56 Hukum dan Komitmen
ilmuwan psikolog/psikolog terhadap Kode Etik dan kondisi psikologis di wilayah
hukum. Selain itu,adalah penting bahwa psikolog melakukan atau memiliki kompetensi
atau tanggung jawabdan evaluasi berhubungan deskripsi gejala atau diagnosis penyakit
mental untuk kapasitasfungsional hukum yang digariskan dalam hukum. Psikologi
forensik menguji kompetensiseseorang untuk diadili dengan harus mengingat bahwa
penentuan kesehatan mental relatif penting dilakukan terhadap tuntutan kasus tertentu
sesuai dengan pasal 58 Tanggung Jawab, Wewenang dan Hak ilmuwan
psikolog/psikolog dalam kasus psikologi forensik

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Psikologi forensik adalah cabang psikologi yang berkaitan dengan aplikasi


pengetahuan dan metode psikologi untuk keperluan hukum dan pengadilan.
Psikologi forensik melibatkan berbagai macam aplikasi, seperti penilaian psikologis
terhadap terdakwa, saksi ahli dalam sidang pengadilan, serta konseling dan intervensi
bagi korban kekerasan.

Psikologi forensik memiliki peran penting dalam sistem hukum modern, karena dapat
memberikan wawasan tentang proses mental dan perilaku manusia yang berkaitan
dengan kejahatan, serta membantu menentukan kebijakan publik dan peraturan hukum
yang lebih efektif dan adil. Secara khusus, psikologi forensik dapat membantu
memahami alasan di balik perilaku kriminal, memberikan penilaian tentang
kemampuan mental individu dalam berurusan dengan hukum, dan membantu korban
dalam pemulihan pasca-kekerasan.

Dengan demikian upaya pembuktian secara ilmuwan psikolog forensik pada setiap
kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian pemeriksaan kasus-
kasus yang merupakan tindak pidana ini, dilakukan dengan teliti dan waspada.

17
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, L. K., Darmawan, V. D., & Nurmalasari, F. (2019). Psikologi forensik dankontribusinya dalam
sistem peradilan pidana. Jurnal Ilmiah Psikologi, 18(2), 167-174

Himpunan psikologi Indonesia. 2010. Kode etik psikologi Indonesia

18
19

Anda mungkin juga menyukai