Anda di halaman 1dari 24

ASPEK MEDIKOLEGAL FORENSIK

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kedokteran Kehakiman
Dosen Pengampu: Dr. Muchammad Fauzan Mukhlis, M.H.Kes.

Disusun oleh kelompok 4:

1. Syafa Amelia (1111190031)


2. Rinni Dwiantari (1111190041)
3. Tarina Mei Ratna Sari (1111190131)
4. Yanthi Khairani (1111190201)
5. Raden Rezsar Achmad F.A (1111190320)
6. Farah Sabila (1001220025)

Semester VII Kelas H

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah Kedokteran Kehakiman dengan judul “Aspek Medikolegal Forensik” dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kedokteran
Kehakiman. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
penjelasan singkat aspek medikolegal forensik beserta contoh kasus yang pernah terjadi.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk, maupun pedoman bagi pembaca guna menambah pengetahuan dan
pengalaman. Makalah ini penulis akui masih banyak kekurangan, oleh karena itu
penulis harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Serang, 24 Agustus 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

COVER

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.................................................................................................... 1


1.2 Identifikasi Masalah ........................................................................................... 2
1.3 Tujuan Makalah .................................................................................................. 3
1.4 Manfaat Makalah ................................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Medikolegal Forensik ......................................................................................... 4


2.1.1 Pengertian Medikolegal Forensik ........................................................ 4
2.1.2 Aspek Medikolegal Forensik ............................................................... 4
2.2 Hak dan Kewajiban Dokter Forensik ................................................................. 7
2.3 Prosedur Medikolegal Pidana Dalam KUHP/KUHAP ...................................... 9
2.4 Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Forensik ........................................... 11
2.5 Contoh Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Forensik .................... 15

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 19


3.2 Saran ................................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia, profesi seorang Dokter selain sebagai tenaga medis, juga memiliki
kewajiban untuk memberikan bantuan kepada penegak hukum. Ada spesialis tertentu dalam
hal ini yang dikenal sebagai Dokter Spesialis Forensik. Forensik adalah bidang ilmu
pengetahuan yang digunakan untuk membantu proses penegakan keadilan melalui proses
penerapan ilmu sains. Tugas ilmu kedokteran forensik adalah menentukan hubungan kausal
dalam suatu tindak pidana yang menyebabkan kecederaan atau gangguan kesehatan dan sama
sekali tidak bertujuan untuk menyembuhkan1. Dokter Forensik memiliki cara berpikir dan
cara bertindak yang berbeda dengan Dokter Umum atau Dokter Spesialis lain, dikarenakan
Dokter Forensik memiliki keahlian yang tidak berhubungan dengan masalah penyembuhan
penyakit.

Dalam rangka untuk mengupayakan keadilan di Indonesia, dibutuhkan ahli dalam


membuat visum ataupun autopsi yang mana seorang Dokter Forensik lah yang sangat
berpengaruh dalam menemukan kebenaran secara materiil. Hal tersebut dikarenakan tidak
semua ilmu pengetahuan dikuasai oleh Hakim. Keberadaan Dokter Forensik yang melakukan
pemeriksaan atas diri korban tindak pidana atau tersangka pelaku tindak pidana merupakan
suatu hal yang mutlak dan tidak dapat diabaikan karena suatu proses penyidikan haruslah
dilakukan dan didukung oleh ilmu pengetahuan.

Di dalam pemeriksaan persidangan perkara Tindak Pidana Hakim yang telah


melakukan pemeriksaan tidak membawa alat bukti yang sah ke dalam persidangan dan alat
bukti yang sah sudah tertera pada Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 yang
menyatakan bahwa seorang Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya memiliki dua alat bukti yang sah dan memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang
melakukannya. Dalam hal itu, terdapat beberapa macam alat bukti yang sah yang tertuang
dalam Pasal 184 KUHAP yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah ialah keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sehingga dalam hal ini, peran
Dokter Forensik untuk menemukan kebenaran secara materiil dalam perkara hukum pidana

1
Herkutanto, Visum et Repertum dan Pelaksanaannya, Ghalia, Jakarta, 2006, hlm. 18.
1
2

memegang peranan yang cukup penting dan dapat dijadikan pertimbangan Hakim dalam
memutuskan perkara.

Medikolegal adalah suatu ilmu terapan yang melibatkan dua aspek ilmu yaitu medico
yang berarti Ilmu Kedokteran dan Legal yang berarti Ilmu Hukum. medikolegal berpusat
pada standar pelayanan medis dan standar pelayanan operasional dalam bidang Kedokteran
dan hukum-hukum yang berlaku pada umumnya dan hukum-hukum yang bersifat khusus
seperti kedokteran dan kesehatan pada khususnya.

Hakikat Aspek Medikolegal merupakan pendekatan medikolegal dalam ilmu


pengetahuan hukum. Ini bukanlah hal baru karena dalam ilmu pengetahuan hukum sudah
lama dipelajari beberapa macam jurisprudence, di antaranya mengenai medical jurisprudence,
yang baru dalam hal ini adalah pendekatannya, khususnya terhadap masalah yang timbul
karena praktek profesi medik. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan dari segi ilmu
hukum pada umumnya karena harus masuk dalam dua pertimbangan bidang ilmu yaitu ilmu
kedokteran atau medik dan ilmu hukum. Hakikat pendekatan medikolegal ini bertolak dari
hak atas perawatan kesehatan yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas
informasi2.

Medikolegal merupakan bidang interdisipliner antara kesehatan atau kedokteran


dengan ilmu hukum. Pelayanan Medikolegal adalah bentuk pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh tenaga medis dengan menggunakan ilmu dan teknologi kedokteran atas dasar
kewenangan yang dimiliki untuk kepentingan hukum dan untuk melaksanakan peraturan
yang berlaku. Aspek Medikolegal terdiri dari:
1. Hak dan Kewajiban Pasien;
2. Hak dan Kewajiban Dokter;
3. Jaminan bahwa pelayanan medik yang diberikan dengan cara dan mutu yang dapat
dipertanggungjawabkan;
4. Sistem dan prosedur menjamin hak dan kewajiban serta menjamin tindakan yang
dilaksanakan di rumah sakit dapat diadakan evaluasinya;
5. Hak dan Kewajiban Pemilik dan Pengelola.

1.2 Identifikasi Masalah

2
Hermien Hadiati Koeswadji, 1992, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, PT Chitra Aditya Bakti, hlm.
139.
3

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah yang akan dibahas,
yaitu:
1. Apa pengertian Medikolegal Forensik dan Aspek Medikolegal Forensik?
2. Apa hak dan kewajiban Dokter Forensik?
3. Apa saja prosedur Medikolegal Pidana dalam KUHP/KUHAP?
4. Apa itu pelanggaran HAM Forensik?
5. Apa contoh kasus pelanggaran HAM Medikolegal Forensik?

1.3 Tujuan Makalah

Berdasarkan identifikasi masalah, tujuan dari makalah ini, yaitu:


1. Untuk mengetahui apa pengertian Medikolegal Forensik dan Aspek Medikolegal
Forensik;
2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban seorang Dokter Forensik;
3. Untuk mengetahui apa saja prosedur Medikolegal Pidana dalam KUHP/KUHAP;
4. Untuk mengetahui apa itu pelanggaran HAM Forensik;
5. Untuk mengetahui contoh kasus pelanggaran HAM Medikolegal Forensik.

1.4 Manfaat Makalah

1. Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis, hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi atau
masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
b. Dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penulisan yang lain sesuai dengan
bidang penelitian yang diteliti.
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi masyarakat yang
berhubungan dengan Aspek Medikolegal.
b. Diharapkan dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengetahui tentang aspek
medikolegal beserta aturannya.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Medikolegal Forensik

2.1.1 Pengertian Medikolegal Forensik

Medikolegal adalah suatu ilmu terapan yang melibatkan dua aspek ilmu yaitu medico
yang berarti ilmu kedokteran dan legal yang berarti ilmu hukum. Medikolegal berpusat pada
standar pelayanan medis dan standar pelayanan operasional dalam bidang kedokteran dan
hukum-hukum yang berlaku pada umumnya dan hukum-hukum yang bersifat khusus seperti
kedokteran dan kesehatan pada khususnya

Hakekat aspek medikolegal, merupakan pendekatan medikolegal dalam ilmu


pengetahuan hukum bukanlah merupakan hal baru, karena dalam ilmu pengetahuan hukum
sudah lama dipelajari berbagai macam jurisprudence, di antaranya mengeni medical
jurisprudence yang baru dalam hal ini adalah pendekatannya, khususnya terhadap masalah
yang timbul karena praktek profesi medik. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan dari
segi ilmu hukum pada umumnya, karena harus masuk dalam pertimbangan dua bidang ilmu,
yaitu ilmu kedokteran atau medik dan ilmu hukum. Hakekat pendekatan medikolegal ini
bertolak dari hak atas perawatan kesehatan, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri dan
hak atas informasi3.

2.1.2 Aspek Medikolegal Forensik

Medikolegal merupakan bidang interdisipliner antara kesehatan atau kedokteran


dengan ilmu hukum. Pelayanan medikolegal adalah bentuk pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh tenaga medis dengan menggunakan ilmu dan teknologi kedokteran atas dasar
kewenangan yang dimiliki untuk kepentingan hukum dan untuk melaksanakan peraturan
yang berlaku. Aspek Medikolegal:
1. Hak dan kewajiban pasien;
2. Hak dan kewajiban provider;
3. Jaminan bahwa pelayanan medik yang diberikan dengan cara dan mutu yang dapat
dipertanggungjawabkan;

3
Ibid.
4
5

4. Sistem dan prosedur menjamin hak dan kewajiban serta menjamin tindakan yang
dilaksanakan di rumah sakit dapat diadakan evaluasinya;
5. Hak dan kewajiban pemilik dan pengelola.

Aspek medikolegal sesudah diterbitkannya dalam Undang-Undang Praktek


Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004, norma disiplin menjadi hal baru yang perlu diperhatikan
dan dikaji, karena di dalam Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) ada lembaga yang disebut
sebagai Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dengan tujuan
menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran
hubungan dokter dengan pasien:
1. Hubungan Kebutuhan
2. Hubungan Kepercayaan
3. Hubungan Keprofesian
4. Hubungan Hukum

Prinsip-prinsip dasar hubungan dokter-pasien ditinjau dari segi pendekatan


medikolegal:
1. Pelayanan Kesehatan (YANKES) dalam kaitannya dengan Rekam Medik secara
umum merupakan sarana penting dalam praktek kedokteran, yang merupakan
kumpulan segala kegiatan para pelayan kesehatan yang ditulis, digambarkan atas
aktivitas terhadap pasien. Rekam medik ini sebelumnya didasari oleh suatu perjanjian
yang dsebut dengan perjanjian “terapeutik” atau transaksi “terapeutik”. Ada beberapa
hal penting yang mendasari pentingnya sebuah transaksi “terapeutik”, yaitu:
a. Para pihak dalam perjanjian (dalam hukum ada pihak-pihak yang tidak mampu
bertindak sebagai pihak dalam perjanjian)
b. Perjanjian dengan Rumah Sakit (terutama dalam penanganan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat)
c. Syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian itu sah menurut hukum.
2. Aspek Medikolegal dari Rekam Medik harus ditanda tangani oleh para pihak (pelayan
medik dan pasien)
3. Derajat YANKES yang tertuang atau tercermin dalam Rekam Medik Sebagai
rekaman yang mencerminkan setiap langkah, setiap tahapan upaya kesehatan yang
diambil dalam rangka praktek profesi medik. Rekam medik mencerminkan kerapian,
kecepatan, dan ketetapan dalam menerapkan hak dan kewajiban profesional.
6

4. Fungsi Rekam Medik sebagai dokumen hukum sebagai alat bukti berdasarkan
undang-undang yang bernilai sebagai keterangan saksi atau ahli. Rekam medik yang
secara tertulis merupakan kunci dalam suatu proses peradilan baik perdata maupun
pidana.
5. Para pihak dalam YANKES beserta hak dan kewajiban menurut etik dan hukum
meningkatnya kasus-kasus yang dihadapi oleh profesi medik ini telah memperluas
yurisdiksi peradilan, sehingga tidak jarang peradilan dihadapkan tidak saja dengan
putusan yang diperlukan oleh para pihak, tetapi juga perdamaian melalui negosiasi
para pihak.
6. Hak pasien yang merupakan hak dasar bagi bertumpunya hukum medik antara dokter
dan pasien karena transaksi terapeutik tersebut telah melahirkan hak dan kewajiban
tersebut secara timbal balik, dan apabila hak dan kewajiban ini tidak dipenuhi oleh
salah satu pihak, wajarlah apabila pihak yang lain terutama yang mersa dirugikan
menggugat atau menuntut.
7. Aspek medikolegal hubungan para pihak dalam pelayanan kesehatan tidak dapat
dilepaskan dari tanggungjawab para pihak dalam hubungan pelayanan kesehatan
tersebut.

Mekanisme kontrol dilaksanakan melalui kode etik disusun oleh lembaga profesi yang
kemudian diterima sebagai pedoman sikap dan prilaku bagi pelaksanaan profesi4. Hubungan
antara dokter dengan pasien dalam transaksi “terapeutik” didasari oleh dua macam hak asasi
manusia, dengan demikian keberadaan hubungan antara dokter dengan pasien, baik ditinjau
dari sudut hukum maupun aspek pelayanan kesehatan, tidak terlepas dari hak asasi manusia
yang melekat dalam diri manusia, khususnya hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak
untuk memperoleh pelayanan kesehatan.

Tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh dokter tidak dapat dijatuhi sanksi pidana,
apabila memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
1. Ada indikasi medis yang dilakukan untuk mencapai tujuan konkret tertentu;
2. Tindakan medis dilakukan menurut aturan dalam ilmu kedokteran;
3. Mendapatkan persetujuan dari pasien terlebih dahulu.

Jika terjadi kesalahan yang dilakukan oleh dokter, maka perbuatan tersebut tidak
menghilangkan sifat melawan hukum dalam hukum pidana. Kesalahan dokter tersebut tetap

4
Sofwan Dahlan. 2000. Hukum Kesehatan Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang. Hlm. 21
7

bisa dimintai pertanggungjawaban, meskipun tindakan medis yang dilakukan oleh dokter
telah disetujui oleh pasien atau keluarga pasien. Aspek hukum administrasi dalam melakukan
tindakan medis berhubungan dengan kewenangan dokter secara yuridis yang didasarkan pada
syarat yang harus dipenuhi yaitu untuk memiliki izin praktek dokter yang sah. Perjanjian
terapeutik merupakan inspaning verbintenis, bahwa secara berhati-hati, teliti, dan terampil
sesuai dengan ilmu pengetahuannya serta pengalamannya untuk menyembuhkan pasien.

Hal yang terpenting dalam perjanjian terapeutik adanya informasi dari kedua belah
pihak yang merupakan hak dan kewajiban masing-masing sebagai landasan untuk
melaksanakan tindakan medis. Dasar hukum perjanjian terapeutik Pasal 1233 KUHPer Dasar
Hukum hubungan dokter dengan pasien dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Karena kontrak (perjanjian terapeutik)
2. Karena undang-undang

2.2 Hak dan Kewajiban Dokter Forensik

Dalam Pasal Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


menegaskan bahwa hak seorang dokter adalah:
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar
profesi dan standar operasional prosedur;
2. Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar operasional prosedur;
3. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya;
4. Menerima imbalan jasa.

Sedangkan mengenai kewajiban dokter forensik, yaitu:


1. Mempraktekkan etika profesi spesialis forensik dan mengikuti prosedur medikolegal
serta mewujudkan tugas ataupun tanggung jawabnya sebagai spesialis forensik.
2. Menanamkan diagnosa medis forensik dan medikolegal terhadap korban hidup dan
mati, penanganan kasus sesuai dengan aspek sosioyuridis dan medikolegal, dan
mengomunikasikan keahlian yang dihasilkan kepada pihak yang berwenang, termasuk
membuat sertifikasi forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Merancang, memproses, dan mengawasi kegiatan unit kedokteran forensik dan
perawatan kamar mayat di institusi perawatan kesehatan.
4. Berperan aktif dalam tim penanganan kasus forensik dan tim etiket rumah sakit.
8

5. Bertindak sebagai pengajar dan pengawas di bidang forensik, etika, dan medikolegal
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Berperan serta secara aktif dalam mengembangkan ilmu kedokteran khususnya
bidang forensik, etika dan medikolegal melalui kepenulisan karya ilmiah yang
dipresentasikan serta disajikan ke dalam hasil penelitian.

Seorang dokter forensik telah dilatih secara khusus untuk melakukan hal-hal berikut:
1. Melakukan autopsi untuk menentukan ada atau tidaknya penyakit, cedera, atau
keracunan;
2. Mengumpulkan bukti medis, seperti bukti jejak dan sekresi, untuk
mendokumentasikan kekerasan dan untuk merekonstruksi bagaimana seseorang
menerima cedera;
3. Mengevaluasi informasi dari investigasi historis dan penegakan hukum yang
berkaitan dengan cara kematian seseorang.

Dokter forensik sangat mungkin dilibatkan ke dalam suatu kasus hukum, misalnya
kasus pidana, melalui permintaan resmi dari polisi atau jaksa untuk melakukan autopsi dan
memberikan informasi soal hasil tersebut. Selain itu, dokter forensik juga membantu proses
penyelidikan sebagai seorang ahli medis. Peranan ini akan terus berjalan selama proses
penegakan hukum, termasuk proses di dalam sidang pengadilan, atas permintaan pengadilan
dan/atau salah satu pihak terkait.

Dokter ahli forensik dapat memberikan bantuannya untuk kepentingan peradilan


dalam hal:

1. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP)


2. Pemeriksaan terhadap korban, untuk mengetahui:
a. Ada atau tidaknya penganiayaan;
b. Ada atau tidaknya kejahatan atau pelanggaran kesusilaan;
c. Usia seseorang;
d. Kepastian meninggalnya seorang bayi dalam kandungan ibu.
Semua itu, akan dijadikan landasan untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran
terhadap pasal 352, 351, 285, 292, 341, 342, 288, dan 44 KUHP Pidana.
3. Memberikan keterangan, pendapat, dan nasihat sejak pada penyidikan pertama sampai
pada sidang pengadilan.
4. Melakukan pekerjaan teknis, yaitu:
9

a. Melakukan pemeriksaan pertama di TKP;


b. Melakukan pemeriksaan terhadap korban hidup;
c. Melakukan pemeriksaan terhadap tersangka;
d. Melakukan pemeriksaan terhadap korban yang meninggal;
e. Memimpin penggalian jenazah untuk kepentingan peradilan;
f. Melakukan pemeriksaan terhadap benda-benda yang berasal atau diduga
berasal dari tubuh manusia.

2.3 Prosedur Medikolegal Pidana Dalam KUHP/KUHAP

Peraturan Medikolegal diatur dalam KUHAP. Di mana di dalamnya memuat tata


laksana bagaimana suatu perkara pidana itu harus ditangani. Penanganan kasus pidana itu
sendiri antara lain:
1. Penemuan dan Pelaporan
Penemuan dan pelaporan dilakukan oleh warga masyarakat yang melihat,
mengetahui atau mengalami suatu kejadian yang diduga merupakan suatu tindak
pidana. Pelaporan dilakukan ke pihak yang berwajib dan dalam hal ini yaitu
Kepolisian RI. Pelaporan juga bisa dilakukan melalui instansi pemerintah terdekat
seperti RT (Rukun Tetangga) atau RW (Rukun Warga). Hak dan kewajiban pelaporan
ini diatur di dalam pasal 108 KUHAP.
2. Penyelidikan
Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknnya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur oleh undang-undang. Penyelidik yang dimaksud
adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia yang tertera di dalam Pasal 4
KUHAP. Di dalam Pasal 5 KUHAP disebutkan wewenang dan tindakan yang
dilakukan oleh penyelidik:
a. Penyelidik sebagaimana dimaksud pasal 4, karena kewajibannya mempunyai
wewenang:
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
2) Mencari keterangan dan barang bukti;
3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
10

b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:


1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan;
2) Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
4) Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
c. Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan b kepada penyidik.
3. Penyidikan
Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang di atur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka.
Penyidikan dilakukan oleh penyidik yaitu pejabat polisi Negara RI dan pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
sebagaimana diatur dalam pasal 6 KUHAP. Penyidik dapat meminta bantuan seorang
ahli dan di dalam hal kejadian mengenai tubuh manusia, maka penyidik dapat
meminta bantuan dokter untuk dilakukan penanganan secara kedokteran forensik.
Kewajiban seorang dokter antara lain:
a. Melakukan pemeriksaan kedokteran forensik atas korban apabila diminta
secara resmi oleh penyidik.
b. Menolak melakukan kedokteran pemeriksaan kedokteran forensik tersebut di
atas dapat dikenai pidana penjara, selama lamanya 9 bulan.
Kewajiban untuk membantu peradilan sebagai seorang dokter forensik itu
diatur dalam Pasal 133 KUHAP di mana seperti yang disebutkan di atas penyidik
berwenang untuk mengajukan permintaan keterangan ahli pada dokter forensik atau
kedokteran kehakiman. Untuk hak dokter menolak menjadi saksi atau ahli diatur
dalam Pasal 120, 168, 170 KUHAP. Sedangkan sanksi bagi pelanggar kewajiban
dokter diatur dalam Pasal 216, 222, 224, 522 KUHP. Untuk melakukan prosedur
bedah mayat klinis, anatomis, dan transplantasi oleh seorang dokter forensik diatur
menurut peraturan pemerintah Nomor 18 Tahun 1981. Bagi seorang dokter forensik
yang membuat sebuah keterangan palsu di dalam hasil akhir pemeriksaan dikenakan
Pasal 267 KUHP dan pasal 7 KODEKI.
4. Pemberkasan Perkara
11

Dilakukan oleh penyidik, menghimpun semua hasil penyidikannya termasuk


hasil pemeriksaan kedokteran forensik yang dimintakan kepada dokter. Hasil berkas
perkara ini diteruskan ke penuntut umum.
5. Penuntutan
Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang
pengadilan.
6. Persidangan
Dalam persidangan dipimpin oleh hakim atau majelis hakim, di mana dalam
persidangan itu dilakukan pemeriksaan terhadap terdakwa, para saksi, dan juga para
ahli. Dokter dapat dihadirkan di sidang pengadilan untuk bertindak selaku saksi ahli
atau selaku dokter pemeriksa. Dokter pun berhak menolak menjadi saksi atau ahli
yang sebagaimana diatur dalam pasal 120, 168, 179 KUHAP.
7. Vonis
Vonis dijatuhkan oleh hakim dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Keyakinan pada diri hakim bahwa memang telah terjadi suatu tindak pidana
dan bahwa terdakwa memang bersalah melakukan tindak pidana tersebut;
b. Keyakinan hakim harus ditunjang oleh sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang
sah yang diatur dalam pasal 184 KUHAP (keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk, keterangan terdakwa).

2.4 Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Forensik

Paling tidak ada tiga kewajiban yang harus dilakukan oleh negara dalam hak asasi
manusia, yaitu menghormati, melindungi, dan memenuhi. Ketiga hal ini wajib dilakukan oleh
setiap negara agar negara tidak dianggap sebagai negara yang mengabaikan hak asasi
manusia. Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada diri setiap orang. Hak ini
harus dilindungi oleh negara. Perlindungan yang diberikan oleh negara sejatinya merupakan
bagian dari penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Seperti yang tertuang
dalam Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, ”semua manusia dilahirkan bebas dan
sama dalam hak dan martabat. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani, dan harus
bersikap terhadap satu sama lain dalam semangat persaudaraan.” Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia diproklamirkan sebagai standar umum pencapaian kesejahteraan bagi semua
orang dan semua bangsa.
12

Dalam perkembangan saat ini negara tidak hanya dituntut untuk menjaga keamanan,
ketertiban, dan perdamaian dunia tetapi juga keamanan bagi manusia (human security) di
manapun manusia berada. Keamanan terhadap manusia merupakan bentuk penghormatan
terhadap hak asasi manusia akan harkat dan martabatnya sehingga manusia berhak untuk
hidup dalam kebebasannya, berhak untuk mendapat perlindungan, bebas dari rasa takut,
ancaman, penyiksaan, diskriminasi, dan lain sebagainya (Anggriani, 2017: 319). Hak asasi
manusia memberikan jaminan moral dan hukum kepada individu-individu setiap manusia
untuk melakukan kontrol dan mendorong aturan-aturan dan praktik-praktik kekuasaan yang
menghormati, memastikan adanya kebebasan individu dalam berhubungan dengan negara
dan meminta negara untuk melakukan pemenuhan hak-hak dasar individu dalam
yurisdiksinya (Syafi‟i, 2012: 684).

Pelanggaran hak asasi manusia sudah banyak terjadi diberbagai negara, namun hingga
saat ini tidak terdapat pengertian tunggal mengenai konsep pelanggaran hak asasi manusia.
Sekalipun dikalangan para ahli terdapat semacam kesepakatan umum bahwa pelanggaran hak
asasi manusia dimaknai sebagai pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari
instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia. Pelanggaran terhadap hak asasi
manusia dapat berupa tindakan (by commission) dan karena pembiaran (by omission).

Dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia disebutkan pelanggaran hak asasi manusia adalah “setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian
yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut hak
asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan
tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.” Untuk membedakan
pelanggaran hak asasi manusia berat dan yang bukan didasarkan pada sifat dari kejahatan
tersebut, yaitu sistematis (systematic) dan sifat meluas (widespread). Sistematis
dikonstruksikan sebagai suatu kebijakan atau rangkaian tindakan yang telah direncanakan.
Sementara meluas merujuk pada akibat dari tindakan yang menimbulkan banyak korban dan
kerusakan yang parah secara luas.

Pelanggaran Hak Asasi Manusi berat termasuk dalam jenis perkara ilmu kedokteran
forensik. Forensik berasal dari bahasa latin „forensis‟ yang berarti dari luar, dan serumpun
dengan kata „forum‟ yang berarti tempat umum. Forensik adalah bidang ilmu pengetahuan
13

yang digunakan untuk membantu proses penegakan keadilan melalui proses penerapan ilmu
atau sains. Dalam kelompok ilmu-ilmu forensik ini dikenal antara lain ilmu fisika forensik,
ilmu kimia forensik, ilmu psikologi forensik, ilmu kedokteran forensik, ilmu toksikologi
forensik, ilmu psikiatri forensik, komputer forensik, dan sebagainya.

Ilmu Kedokteran forensik berguna untuk mengungkap pelanggaran hukum yang


terjadi karena menyangkut tubuh atau nyawa manusia. Keilmuan forensik tidak hanya
berhubungan dengan identifikasi atau pembedahan mayat saja, tetapi menyangkut masalah
sidik jari yang tertinggal atau waktu kejadian dan kematian seseorang. Peran ilmu kedokteran
forensik dalam membantu penyidik untuk menemukan kebenaran materiil pada perkara
tindak pidana masih terdapat pelanggaran aturan yang terjadi, dan juga ada yang sesuai
dengan aturan sehingga dapat membuat terang perkara pidana yang terjadi.

Aturan pelanggaran dokter forensik sudah diatur dalam Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKI) yang merupakan pedoman bagi dokter Indonesia anggota Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) dalam melaksanakan praktek kedokteran. Dalam KODEKI telah diatur
Perbuatan atau tindakan yang termasuk kategori pelanggaran itu dapat dibedakan menjadi
dua, yakni pelanggaran yang bersifat etika murni dan pelanggaran yang bersifat etikolegal.
Pelanggaran yang bersifat etika murni adalah perbuatan atau tindakan yang hanya melanggar
norma etika seperti yang diatur dalam KODEKI. Adapun pelanggaran yang bersifat
etikolegal adalah tindak atau perbuatan yang melanggar norma etika dan sekaligus memenuhi
unsur pelanggaran hukum. Di samping itu, setiap pelanggaran yang memenuhi unsur
pelanggaran hukum secara otomatis tergolong juga sebagai pelanggaran etika, tetapi sesuatu
pelanggaran etika, belum tentu melanggar hukum.

Pelanggaran etik murni:


1. Menarik imbalan yang tidak wajar
2. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya
3. Memuji diri sendiri dihadapan pasien
4. Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran yang berkesinambungan
5. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri

Pelanggaran etikolegal:
1. Pelayanan dokter di bawah standar
2. Menerbitkan surat keterangan palsu (Pasal 263 dan 267 KUHP)
3. Memberikan atau menjual obat palsu (Pasal 286 KUHP)
14

4. Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter (Pasal 322 KUHP)


5. Abortus Provocatus Criminalis (Pasal 299, 348, 349 KUHP)
6. Pelecehan seksual

Dalam upaya untuk mengimplementasikan KODEKI secara efektif, maka


ditetapkanlah Pedoman Organisasi Dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran Indonesia. Mejalis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) adalah badan otonom
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang bertanggung jawab mengkoordinasikan kegiatan internal
organisasi dalam pengembangan kebijakan, pembinaan pelaksanaan dan pengawasan
penerapan etika kedokteran, yang dibentuk secara khusus di tingkat pusat, wilayah dan
cabang untuk menjalankan tugas kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan atau
tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya dalam tingkatannya masing-masing. Adapun tujuan
ditetapkannya pedoman ini adalah sebagai aturan yang harus diikuti sebagai tata laksana
pembinaan penerapan etik kedokteran dalam pengabdian profesi dan penyelesaian dugaan
pelanggaran etik kedokteran oleh MKEK di Indonesia dalam rangka penyempurnaan
berkelanjutan praktik kedokteran yang peduli terhadap pasien atau publik.

Penanganan pelanggaran etik yang dilakukan oleh seorang dokter, dimulai setelah
adanya aduan yang diajukan pada pada MKEK. Pengaduan dapat disampaikan melalui IDI
cabang atau wilayah atau langsung ke MKEK cabang atau wilayah tempat kejadian perkara
kasus aduan tersebut. Pengaduan diajukan secara tertulis dan sekurang-kurangnya harus
memuat:
1. Identitas pengadu;
2. Nama dan alamat tempat praktik dokter dan waktu tindakan dilakukan;
3. Alasan sah pengaduan;
4. Bukti-bukti atau keterangan saksi atau petunjuk yang menunjang dugaan pelanggaran
etika tersebut.

Pasal 53 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan


menentukan bahwa dalam melakukan tugasnya, tenaga kesehatan berkewajiban mematuhi
standar profesi dan menghormati hak pasien. Dokter termasuk dalam kelompok tenaga
kesehatan sebagaimana yang ditentukan dalam penjelasan ketentuan tersebut. Salah satu
bentuk kegiatan dokter dalam melaksanakan profesinya adalah melakukan tindakan medis.
Dalam pelaksanaan tugasnya melakukan perawatan atau tindakan medis harus mengikuti
standar profesi serta menghormati hak-hak pasien. Pekerjaan profesi kedokteran dilandasi
15

oleh dua prinsip perilaku pokok, yaitu kesungguhan untuk berbuat demi kebaikan pasien, dan
tidak ada niat untuk menyakiti, mencederai, dan merugikan pasien.

2.5 Contoh Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Forensik

Kasus Pembunuhan Berencana Terhadap Brigadir J

Kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat


pada tanggal 8 Juli 2022, yang didalangi oleh Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, merupakan
kasus yang menarik perhatian publik. Hingga saat ini, jejak luka yang berada di tubuh Yosua
juga terus menjadi polemik. Hasil autopsi kedua oleh tim independen sebagai pembanding
atas autopsi dokter Rumah Sakit Polri Dr. Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur, masih
menimbulkan tanda tanya besar. Pasalnya, hasil autopsi kedua tak menunjukkan tanda-tanda
adanya kekerasan selain dari senjata api, seperti yang mereka temukan sebelumnya.

Kondisi ketika Yosua diautopsi pertama terungkap lewat foto-foto yang diambil oleh
adiknya, Brigadir Polisi Dua Mahareza Hutabarat, di Rumah Sakit Polri pada Jumat, 8 Juli
2022, malam hari. Dari keterangan sebelumnya, dalam foto-foto itu tampak luka segar
berwarna kemerahan pada hidung Yosua. Ada pula luka di kantong mata sebelah kanan, pipi
kanan, serta luka berwarna kehitaman pada bibir Yosua. Wajah Yosua yang dinyatakan
meninggal hari itu pukul 17.00 WIB terlihat kuning langsat, belum tampak pucat. Dalam
terminologi ilmu kedokteran, autopsi atau bedah mayat sendiri adalah suatu penyelidikan atau
pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat atau organ tubuh dan susunanya pada bagian
dalam setelah dilakukan pembedahan dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang,
baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal5.

Menurut versi polisi, hasil autopsi Yosua menunjukkan ia tewas dengan tujuh luka
tembakan. Itu ketika Yosua masih disebut tewas akibat adu tembak dengan Bharada Richard
Eliezer Pudihang Lumiu di rumah dinas Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Tujuh luka itu
berasal dari lima tembakan balasan yang dilesakkan Eliezer. Sebagian peluru meninggalkan
dua luka di jari Yosua, sehingga dihitung menjadi tujuh luka. Sedangkan keluarga, yang
melihat jenazah Yosua saat dikirimkan ke rumah duka di Sungai Bahar, Muaro Jambi, Jambi,
menemukan luka pada leher dan betis. Ada juga luka sayat di bawah mata, hidung, bibir, dan
bagian belakang telinga. Pundak Yosua disebut hancur, dagunya bergeser, kedua tulang

5
M. Soekry Erfan Kusuma,dkk, Ilmu kedokteran Forensik dan Medikolegal, (Surabaya: Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga,2012), hal. 200
16

rusuknya memar. Temuan lainnya adalah adanya bekas peluru di tangan dan dada Yosua,
serta dua jari tangannya juga putus.

Setelah menemukan aneka kejanggalan pada luka di tubuh Yosua, keluarga mendesak
agar dilakukan autopsi ulang oleh tim independen di luar Kepolisian. Atas dasar itu, penyidik
menunjuk dokter forensik Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Ade Firmansyah
Sugiharto untuk memimpin autopsi ulang. Autopsi kedua itu di RSUD Sungai Bahar, Muaro
Jambi, pada Rabu, 27 Juli 2022. Tim forensik ini merupakan gabungan dari tim forensik Polri,
TNI, Ikatan Dokter Forensik Indonesia (IDFI), dan perguruan tinggi. Hampir enam jam
lamanya tim tersebut melakukan autopsi ulang.

Menurut Kamarudin, pengacara Brigadir J, otak Yosua sudah pindah ke perut.


Sedangkan lidah, paru-paru, dan jantung bersatu menjadi satu bagian. Ia juga bilang terdapat
retakan-retakan dari leher mengarah ke bibir. Tulang di jari kelingking dan jari manis patah.
Ada pula memar di punggung dan di kaki sebelah kiri Yosua. Pada Bagian kaki kanan
Brigadir J ditemukan bengkok.

Empat pekan kemudian, tim forensik gabungan menyerahkan hasil autopsi ulang
jasad Brigadir J tersebut kepada Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, tepatnya pada
Senin, 22 Agustus 2022 lalu. Hasilnya cukup berbeda dengan versi pertama polisi dan
keluarga Yosua. Menurut dokter forensik Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo Ade
Firmansyah, dalam keterangannya menyebut dari hasil autopsi ulang yang dilakukan kepada
Bareskrim Polri, bahwa tidak ditemukan luka selain akibat tembakan senjata api.

Dr. Ade juga mengatakan ada lima luka tembak masuk ke tubuh Yosua dan empat
luka tembakan keluar. Satu tembakan bersarang, yaitu di tulang belakang tubuhnya. Padahal,
dalam hasil autopsi sebelumnya, disebutkan ada luka tujuh tembakan pada jasad Yosua. Dr.
Ade menjelaskan ada dua jari Yosua di tangan kiri yang patah, yaitu di kelingking dan jari
manis, yang diakibat alur lintasan peluru. Di mana peluru yang ditembakkan tersebut keluar
mengenai jarinya

Tim forensik sendiri memastikan tidak benar kabar yang mengatakan bahwa kuku
Yosua dicabut. Kabar otak pindah ke dada dan ada korban tubuh yang hilang juga dibantah
oleh Ade. Semua organ tubuh Yosua sudah dikembalikan ke tubuhnya. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa ketika autopsi dilakukan, tak ada alasan saintifik tertentu untuk
menempatkan setiap organ untuk kembali ke posisi anatomi semula. Ditambah pada kondisi
17

kematian, tak ada yang dapat menahan posisi setiap organ. Penyebabnya, organ sudah tak lagi
terhubung dengan jaringan. Jadi sangat memungkinkan organ-organ tubuh bergeser, bahkan
tercampur. Otak yang dibungkus plastik justru membantu untuk mencegah lapisan otak yang
akan luber. Tim yang mengautopsi ulang juga menjumpai tingkat kesulitan tinggi. Sebab,
kondisi jenazah Yosua sudah diformalin, membusuk, serta sulit mengidentifikasi penyebab
luka.

Selain itu, menurut Dr. Ade, kondisi jenazah pasca kematian tentu akan mengalami
perubahan-perubahan, seperti lebam, yang menandakan proses pembusukan, serta tanda
kemerahan akibat pembusukan sel darah merah. Jadi perubahan kondisi jenazah setelah
kematian, yang kadang dianggap oleh orang awam sebagai luka sebelum kematian
merupakan hal yang keliru. Dr. Ade mencontohkan memar pada bagian bawah kelopak mata
bagian kanan jenazah Yosua itu terdapat dua kemungkinan, yakni resapan darah yang
diakibatkan oleh luka tembak atau memar akibat benda tumpul.

Perbedaan hasil autopsi atau visum et repertum pertama dan kedua bisa saja terjadi
karena ada interpretasi yang berbeda, khususnya tentang lintasan anak peluru yang masuk ke
tubuh. menurut ahli kedokteran forensik Medikolegal, Dr. Budi Suhendar, dijelaskan bahwa
ada perbedaan interpretasi terkait lintasan anak peluru yang masuk ke tubuh. Kemungkinan
pada pemeriksaan pertama ada yang diinterpretasikan sebagai luka tembak masuk lain, tapi di
tempat yang sama pada pemeriksaan kedua diinterpretasikan sebagai satu kesatuan lintasan
anak peluru.

Dr. Budi juga menerangkan, kewenangan pihak penyidik untuk menetapkan yang
mana pada hasil autopsi yang paling sesuai dengan alat bukti yang ditemukan. Dia menduga,
tidak adanya luka selain luka tembakan itu maksudnya adalah luka-luka dan sebab kematian
yang ditemukan terkait peristiwa pidana saat itu. Namun terdapat kesamaan keterangan
terkait hasil autopsi pada pemeriksaan pertama dan kedua yaitu pada luka-luka di jasad
Brigadir J adalah hasil tembakan, bukan disebabkan hal lain seperti bekas penyiksaan. Terkait
tudingan keluarga Yosua yang menyebutkan ada penyiksaan sebelum korban tewas ditembak,
Budi menyebut, sudah masuk dalam ranah hukum. Penyidik akan mengkonstruksikan kasus
itu sesuai dengan temuan pemeriksaan dan alat bukti lainnya.

Hingga saat ini, Polri telah menetapkan lima tersangka pembunuhan berencana
terhadap Brigadir Yosua yang diancam pasal pembunuhan berencana, yang hukuman
maksimalnya 20 tahun penjara, seumur hidup, atau hukuman mati. Para tersangka tersebut
18

adalah Ferdy Sambo, istrinya Putri Candrawathi, Bharada Eliezer, Bripka Ricky Rizal, dan
Kuat Ma'ruf.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal merupakan salah satu cabang ilmu
kedokteran yang memberikan pelayanan kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum.
Forensik umumnya lebih meliputi sesuatu atau metode-metode yang bersifat ilmiah
(keilmuan) dan juga aturan-aturan yang dibentuk dari fakta-fakta berbagai kejadian, untuk
melakukan pengenalan terhadap bukti-bukti fisik (contohnya mayat, bangkai, dan
sebagainya).

Studi Medikolegal merupakan proses pembelajaran dan penerapan metode medis dan
ilmiah yang digunakan sebagai bukti dalam kasus hukum sehingga Medikolegal disebut juga
sebagai “Kedokteran Hukum” atau “Yurisprudensi Medis”. Sedangkan medikolegal adalah
istilah yang mengacu pada medis (kedokteran) dan legal (hukum). Kata Medikolegal
ditambahkan pada Ilmu Kedokteran Forensik karena memasukan bahasan hukum medis
(medical law) yakni cabang hukum yang mengatur praktik medis yang benar.

3.2 Saran

Penegak Hukum dalam menjalankan tugasnya khususnya untuk kasus yang berkenaan
dengan tubuh seperti kasus mutilasi, luka tubuh, penganiayaan yang menyebabkan kematian
dan sejenisnya harus dapat lebih bersinergi dengan Ahli Forensik sehingga Penegak Hukum
tersebut dapat memperoleh informasi dan fakta yang lengkap atas penyebab kematian atau
luka seseorang, serta dapat membuka kebenaran atas terjadinya suatu tindak pidana.

19
DAFTAR PUSTAKA

Atmadja, LB Putra dan Sagung Putri M.E.P. 2018. Aspek Medikolegal Dalam Pelayanan
Masyarakat. Bali: Universitas Udayana.

Baety. 2018. “Daftar Kewenangan Klinis Dokter Spesialis Forensik,” SCRIBD Online;
https://id.scribd.com/doc/293263458/Daftar-Kewenangan-Klinis-Dokter-Spesialis-
Forensik (Diakses pada 28 Agustus 2022).

Dahlan, Sofwan. 2000. Hukum Kesehatan Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Koeswadji, Hermien Hadiati. 1992. Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik. Bandung:
PT Chitra Aditya Bakti.
Kusuma, M. Soekry Erfan, dkk. 2012. Ilmu kedokteran Forensik dan Medikolegal. Surabaya:
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Maramis, Marchel R. 2015. Peran Ilmu Forensik Dalam Penyelesaian Kasus Kejahatan
Seksual Dalam Dunia Maya (Internet). Jurnal Ilmu Hukum Volume II Nomor 7 Juli-
Desember 2015.

Ohoiwutun, Triana Y.A. 2008. Bunga Rampai Hukum Kedokteran (Tinjauan dari Berbagai
Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Praktik Kedokteran). Malang:
Bayumedia Publishing.

Ohoiwutun, Triana Y.A. 2017. Ilmu Kedokteran Forensik (Interaksi dan Dependensi Hukum
pada Ilmu Kedokteran). Jember: Universitas Jember.

Pambudi, Luthfi A.R dan Heri Purwanto. 2020. Peran Bantuan Ahli Ilmu Kedokteran
Forensik Dalam Pembuktian Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Pada Tahap
Penyidikan. Media of Law and Sharia Volume 1 Nomor 2, 2020. Yogyakarta:
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Resna, Nenti. 2021. “Seputar Kedokteran Forensik dan Medikolegal serta Jenis
Pelayanannya,” SehatQ Online; https://www.google.com/amp/s/www.sehatq.com/
artikel/seputar-kedokteran-forensik-dan-medikolegal-serta-jenis-pelayanannya/amp
(Diakses pada 28 Agustus 2022).
Rizal, M. 2022. “Autopsi Tak Redam Kontroversi,” DetikX Online;
https://news.detik.com/x/detail/crimestory/20220825/Autopsi-Yang-Tak-Redam-
Kontroversi/ (diakses pada 29 Agustus 2022)

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran

Wajdi, Farid dan Imran. 2021. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Tanggung Jawab
Negara Terhadap Korban, Kajian Putusan Nomor 46-K/PM II-11/AD/VI/2013. Jurnal
Yudisial Volume 14 Nomor 2 Agustus 2021.

Anda mungkin juga menyukai