Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

ETIKA DAN PERUNDANG-UNDANGAN FARMASI


“LANDASAN HUKUM FARMASI”

Dosen Pengampu : Hijrah, S.Si.,M.Kes.API

DISUSUN OLEH :

NAMA : NURUL AINI


NPM : 173110133
KELAS :6E

PRODI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TULANG BAWANG
LAMPUNG 2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan
Inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul
"Landasan Hukum Farmasi" tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa
kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan
lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi
saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat
diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

Tulang Bawang, Juni 2020

Nurul Aini

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul..........................................................................................................................i
Kata Pengantar.........................................................................................................................ii
Daftar Isi...................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................................1
1.4 Manfaat Penulisan..................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
2.1 Pengertian Landasan Hukum..................................................................................3
2.2 Hak Dan Kewajiban Dalam Penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian.................4
2.3 Sumber HAM.........................................................................................................6
2.3.1 Pengertian Hak Atas Kesehatan..............................................................6
2.3.2 Kesehatan sebagai Kewajiban Asasi ......................................................7
2.4 Implementasi Ham Dalam Bidang Kesehatan........................................................10
2.5 Kedudukan Hukum Kesehatan Dan Hukum Farmasi Dalam Tatanan Hukum......13
2.5.1 Hukum Kesehatan...................................................................................13
2.5.2 Hukum Farmasi dalam Tatanan Hukum.................................................19
BAB III PENUTUP..................................................................................................................21
5.1 Kesimpulan.............................................................................................................21
5.2 Saran.......................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan
atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia disebut etis, ialah
manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas
keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani
dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya.
Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan
etika.
Profesi adalah aktivitas intelektual yang dipelajari termasuk pelatihan yang
diselenggarakan secara formal ataupun tidak formal dan memperoleh sertifikat yang
dikeluarkan oleh sekelompok / badan yang bertanggung jawab pada keilmuan tersebut
dalam melayani masyarakat, menggunakan etika layanan profesi dengan
mengimplikasikan kompetensi mencetuskan ide, kewenangan ketrampilan teknis dan
moral serta bahwa perawat mengasumsikan adanya tingkatan dalam masyarakat.
Seiring dengan perkembangan zaman semakin banyak pelanggaran kode etik oleh
sebagian besar profesi terutama profesi kesehatan. Dan karena adanya perubahan
Globalisasi yang sering bisa membuat Profesi menjadi tidak berjalan semestinya sebab
kalau seorang Profesi tidak mengikuti perkembangan Globalisasi maka dia akan tidak
percaya diri untuk menjalankan Profesinya tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Landasan Hukum ?
2. Apa yang dimaksud Hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pekerjaan
kefarmasian ?
3. Apa yang dimaksud dengan sumber HAM ?
4. Apa yang dimaksud dengan Implementasi HAM dalam bidang kesehatan ?
5. Jelaskan yang dimaksud hukum kesehatan dan hukum farmasi dalam tatanan hukum ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui Landasan Hukum
2. Mengetahui Hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian ?

1
3. Mengetahui sumber HAM
4. Mengetahui Implementasi HAM dalam bidang kesehatan
5. Mengetahui hukum kesehatan dan hukum farmasi dalam tatanan hukum

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat dari penulisan makalah ini adalah dapat memberi informasi mengenai
pelanggaran-pelanggaran studi kasus dalam dunia kesehatan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Landasan Hukum


Kata landasan dalam hukum berarti melandasi atau mendasari atau titik tolak.
Sementara itu kata hukum dapat dipandang sebagai aturan baku yang patut ditaati. Hukum
atau aturan baku diatas tidak selalu dalm bentuk tertulis.
Landasan hukum dapat diartikan peraturan baku sebagai tempat terpijak atau titik
tolak dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu, dalam hal ini kegiatn pendidikan.
Pendidikan Menurut Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang Dasar 1945 adalah merupakan hukum tertinggi di Indonesia. Ia
mendasari semua perundang-undangan yang ada yang muncul kemudian. Pasal-pasal yang
bertalian dengan pendidikan  yaitu pasal 31 dan pasal 32. Pasal 31 ayat 1 berbunyi: Tiap-
tiap warga Negara berhak mendapt pengajaran. Dan ayat 2 berbunyi: Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional, yang diatur
dengan undang-undang. Pasal 32 berbunyi: Pemerintah mengajukan kebudayaan nasional
Indonesia. Kebuyaan dan pendidikan adalah dua unsur yang saling mendukung satu sama
lain.
Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Diantara peraturan perundang-undangan RI yang ppalin banyak membicarakan
pendidikan adlah undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003. Pasal 1 ayat 1 berbunyi:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembagkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasn, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen
Pasal 10 ayat (2), pasal 11 ayat (4), pasal 13 ayat  (2), pasal 14 ayat (2), pasal 16 ayat (4),
pasal (18) ayat (4), pasal 19 ayat (3), pasal 21 ayat (2), pasal 22 ayat (2), pasal 25 ayat (2),
pasal 26 ayat (2), pasal 28 ayat (5), pasal 29 ayat (5), pasal 35 ayat (3), pasal 37 ayat (5)
dan pasal 40 ayat (3).
Beberapa PP tentang Pendidikan  dan GBHN 1993.
Beberapa Peraturan Pemeintah tentang pendidikan yang akan dibahas yaitu:
1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekol

3
2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar.
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah.
4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi

2.2 Hak Dan Kewajiban Dalam Penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian


Apoteker memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu pekerjaan kefarmasian.
Seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2009, tentang Pekerjaan
Kefarmasian, Pasal 1 (1), Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusi
atau penyaluran obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Selain Pekerjaan Kefarmasian,
seorang Apoteker juga dituntut untuk melakukan Pelayanan Kefarmasian. Pelayanan
Kefarmasian, seperti yang didefenisikan dalam Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun
2009, tentang Pekerjaan Kefarmasian, Pasal 1 (4), adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Berdasarkan
kewenangan pada peraturan perundang-undangan, Dalam menjalankan praktek di
lapangan, seorang Apoteker wajib memiliki standar baku pelayanan kefarmasian yang
dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan 3 tugasnya. Peraturan Menteri
Kesehatan nomor 35 tahun 2014, tentang Standar Pelayanan di Apotek, mendefiniskan
Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman
bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan
Kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus pada pengolahan
obat (drug oriented), berkembang menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan
obat dan pelayanan farmasi klinik (patient oriented) yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien. Karena itu, Apoteker dituntut untuk meningkatkan, pengetahuan,
ketrampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien.
Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pemberian informasi obat dan konseling
kepada pasien yang membutuhkan. Apoteker harus memahami dan menyadari
kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan
dan mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait obat (drug related
problems), masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial (sociopharmacoeconomy). Untuk
menghindari hal tersebut, Apoteker harus menjalankan praktik sesuai standar pelayanan.
Apoteker juga harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam
menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. Dalam melakukan
4
praktik tersebut, Apoteker juga dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan obat,
melakukan evaluasi serta mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. 4 Fasilitas
pelayanan kesehatan, merupakan tempat Apoteker menjalankan tugasnya. Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009, Fasilitas Pelayanan Kesehatan
adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Fasilitas Kesehatan disini,
salah satu contohnya adalah Apotek. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor 35
tahun 2014, tentang Standar Pelayanan di Apotek, Apotek adalah sarana pelayanan
kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Peraturan Menteri
Kesehatan nomor 35 tahun 2014, tentang Standar Pelayanan di Apotek, menjabarkan
Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat
manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis
Pakai; dan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya
manusia, sarana dan prasarana. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan,
pengendalian, pencatatan dan pelaporan. Pelayanan farmasi klinik meliputi, pengkajian
resep, dispensing, Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, Pelayanan Kefarmasian di
rumah (home pharmacy care), Pemantauan Terapi Obat (PTO), dan Monitoring Efek
Samping Obat (MESO). Peraturan Menteri Kesehatan nomor 35 tahun 5 2014, tentang
Standar Pelayanan di Apotek menyebutkan bahwa pelayanan kefarmasian di Apotek
diselenggarakan oleh Apoteker, dan dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau
Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki Surat Tanda Registrasi, Surat Izin Praktik atau
Surat Izin Kerja. Berdasarkan uraian singkat diatas, diketahui bahwa peran, fungsi dan
tanggung jawab seorang Apoteker sangat penting berhubungan dengan keberlangsungan
kehidupan apotek sendiri. Oleh karena itu, sebagai seorang calon apoteker, maka
dibutuhkan suatu pengalaman langsung dalam melakukan pelayanan kefarmasian di
Apotek, seperti yang diatur dalam Undang-Undang, yang tertuang dalam Peraturan
Menteri Kesehatan nomor 35 tahun 2014, tentang Standar Pelayanan di Apotek, melalui
Praktek Kerja Profesi Apotek (PKPA).

5
2.3 Sumber HAM
2.3.1 Pengertian Hak Atas Kesehatan
Sejak kesehatan diakui sebagai sebagai salah satu hak asasi manusia, dalam
penerapannya terdapat berbagai pengertian. Hal tersebut tidak terlepas dari
pengertian ”kesehatan”. Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun
1992 Tentang Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Pengertian yang luas itu berpengaruh bagi pemahaman terhadap kesehatan sebagai
hak asasi manusia. Dalam Pasal 4 Undang-undang itu ditegaskan bahwa “setiap
orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang
optimal”, sedangkan Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945, menegaskan bahwa
“setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Antara kalimat
“memperoleh derajat kesehatan” dan “memperoleh pelayanan kesehatan” tentunya
mempunyai pengertian yang berbeda. Terdapat kesan bahwa “memperoleh derajat
kesehatan” memiliki makna yang lebih luas daripada “memperoleh pelayanan
kesehatan”, sebab menurut undang-undang tersebut memperoleh pelayanan
kesehatan adalah sebagian dari hak memperoleh derajat kesehatan. Namun
demikian, tidak dapat dikatakan dengan tergesa-gesa bahwa perlindungan hak
asasi manusia di bidang kesehatan dalam UUD 45 lebih sempit daripada yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992.
Dalam kepustakaan kesehatan, terdapat berbagai istilah yang digunakan untuk
menyebut hak asasi manusia di bidang kesehatan, seperti “hak asasi atas
kesehatan” (Human Right to Health), atau “hak atas kesehatan”(Right to Health),
atau “hak memperoleh derajat kesehatan yang optimal” (The Right to Attainable
Standard To Health).
Hukum berkepentingan bukan pada istilah, melainkan pada makna yang
terkandung dalam istilah tersebut. Apalagi setelah UUD 45 memberikan jaminan
konstitusional terhadap hak atas kesehatan, mengenali hak tersebut secara benar
menjadi sangat penting bagi hukum. Sejalan dengan perkembangan hak asasi
manusia yang dinamis, suatu hak asasi manusia cenderung melahirkan hak-hak
baru atau melahirkan pengertian yang baru. Sebagai contoh, hak atas pekerjaan
yang semula merupakan spesifikasi dari hak atas kesejahteraan, kemudian
melahirkan hak baru yang lebih spesifik yaitu hak mendapatkan upah yang layak.
Demikian pula halnya dengan hak atas kesehatan, pada awalnya hanya berkaitan
dengan perawatan kesehatan (medical care), tetapi kemudian berkembang meliputi
6
berbagai aspek baik individu maupun kesehatan masyarakat dan lingkungan. Jadi
hak atas kesehatan sebagai suatu hak asasi manusia adalah suatu pengertian
”genus”, yang merupakan rangkaian dari sekelompok hak-hak spesifik

2.3.2 Kesehatan sebagai Kewajiban Asasi


Dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan,
terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa, ”Setiap orang berkewajiban untuk ikut
serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perseorangan,
keluarga, dan lingkungannya.” Ketentuan tersebut menimbulkan pertanyaan,
apakah memelihata dan meningkat-kan derajat kesehatan sebagai suatu hak asasi
manusia juga sekaligus merupakan kewajiban asasi manusia?. Rumusan
“berkewajiban untuk ikut serta” sama dengan “wajib ikut serta”, seperti yang
terdapat dalam Pasal 30 UUD 45, atau apakah ikut serta yang dimaksud sama
dengan “peran serta”, seperti yang dimaksud dalam Pasal 71 Undang-undang
tersebut? Pasal 71 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 menyatakan,
bahwa “Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan beserta sumber dayanya.” Adapun yang
dimaksud dengan upaya kesehatan adalah pemeliharaan, pening-katan kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuh-an penyakit (kuratif), dan
pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Jadi kewajiban ikut serta tersebut tidak sama
dengan “peran serta” karena “ikut serta” hanya berkenaan dengan upaya
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Demikian pula apabila hendak
dikategorikan sebagai kewajiban asasi manusia, dapat diuraikan sebagai berikut:
1. hak kesehatan yang sekaligus kewajiban, yaitu:
a. pemeliharaan kesehatan; dan
b. b. peningkatan derajat kesehatan.
2. hak kesehatan, yaitu:
a. pencegaan penyakit ;
b. penyembuhan ;
c. pemulihan kesehatan
Seperti telah dikemukakan, kesehatan sebagai hak asasi manusia tidak
terlepas dari ciri-ciri hak asasi manusia, yaitu “hak” dalam arti yang
sesungguhnya dan bersifat prima facie. Kalaupun ada kewajiban yang melekat
pada hak asasi manusia, hal itu semata-mata sebagai pembatasan agar
pelaksanaan hak asasi manusia tersebut tidak melanggar hak asasi orang lain.
7
Apabila ketentuan Pasal 5 Undang-undang tersebut dimaknai demikian,
kenapa kewajiban itu tidak hanya ditujukan untuk memelihara kesehatan orang
lain, tetapi juga kesehatan individunya ? Untuk menjelaskan hal ini penulis
menggunakan contoh seorang perokok. Sangat logis apabila seorang perokok
dilarang merokok di tempat umum karena akan mengganggu kesehatan orang
lain. Dalam kasus ini melekat kewajiban bagi diri si perokok, namun pada saat
dia merokok sendiri atau di tempat yang khusus untuk merokok, larangan
tersebut menjadi tidak logis. Menurut penulis, lebih mudah memahani
kewajiban asasi dalam kontek tanggung jawab negara untuk memenuhi hak
asasi manusia. Dalam contoh di atas, perokok yang sakit akibat merokok tidak
dapat menuntut haknya kepada negara atas derajat kesehatan yang lebih baik,
kecuali yang bersangkutan terlebih dahulu berhenti merokok. Sungguhpun
demikian, suatu kewajiban asasi di samping hak asasi manusia agak sulit
diterima jika menggunakan konsep hak asasi manusia menurut pikiran dunia
barat, karena kewajiban asasi berasal dari sumber yang berbeda. Ajaran-ajaran
agama di dunia telah melahirkan dua preposisi.
Pertama, bahwa Tuhan menciptakan alam semesta beserta seluruh
isinya, termasuk manusia. Kedua, manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan
wajib mempertanggung jawabkan kepada Tuhan atas semua perbuatan dan
tindakannya terhadap sesama manusia. Kedua preposisi tersebut terdapat
dalam atau bersumer langsung dari petunjuk Ilahi, seperti Taurat, Zabur, Injil
dan AlQur’an, serta petunjuk-petunjuk lain yang disampaikan melalui para
Nabi. Dalam Islam, kedua preposisi itu tergambar dalam ketegori huquuqullah
dan huquuqul-’ibad. Huquuqullah adalah kewajiban-kewajiban manusia
terhadap Allah yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah, sedangkan
huquuqul-’ibad (hak asasi manusia) merupakan kewajiban-kewajiban manusia
terhadap sesama dan makluk hidup lainnya. Kewajiban-kewajiban manusia
tersebut dalam kepustakaan disebut sebagai (peri) kemanusiaan (humanity).
Bagi bangsa Indonesia, kedua preposisi tersebut bukan merupakan
sesuatu yang asing, bahkan merupakan bagian integral dari kehidupan
bernegara. Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea keempat, memuat lima
prinsip dasar yang berlaku dalam penyelenggaraan negara, yang dikenal
sebagai Pancasila. Sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Sila
kedua adalah kemanusiaan yang adil dan beradab. Kata kunci dari prinsip-
prinsip kemanusiaan tersebut di atas adalah tidak memaksakan kehendak
8
kepada orang lain. What you do not wish to be done to yourself, do not do to
others. Jadi kemanusiaan itu berkaitan dengan hubungan sesama manusia. Hal
itu agak berbeda dengan pemikiran dunia timur, yang memandang
kemanusiaan tidak hanya terbatas pada interaksi antar sesama manusia, tetapi
juga antara manusia dengan mahluk hidup lainnya. Pemahaman itu sejalan
dengan pendekatan magis-religius yang memandang interaksi harmonis antar
manusia beserta lingkungannya sebagai suatu keseimbangan makro kosmis.
Jika dilihat dari huquuqul-’ibad terdapat dua macam hak asasi manusia.
Pertama, hak asasi manusia yang keberadaannya dapat diselenggarakan oleh
suatu negara.
Kedua adalah hak asasi manusia yang keberadaannya tidak secara
langung dapat dilaksanakan oleh suatu negara. Hak-hak yang pertama dapat
disebut sebagai hak-hak legal (legal rights), sedangkan yang kedua dapat
disebut sebagai hak-hak moral (moral rights). Pada kedua jenis hak tersebut
melekat kewajiban-kewajiban, baik yang bersifat hukum (legal obligation)
maupun moral (moral obligation). Sikap bangsa Indonesia terhadap kewajiban
asasi manusia di samping hak asasi manusia, sampai saat ini masih menjadi
perdebatan akademis. Namun demikian, merujuk pada ketentuan UUD 45,
adanya kewajiban asasi disamping hak asasi tersebut tersurat dengan tegas
dalam ketentuan Pasal 30 ayat (1), yang menyatakan bahwa “tiap-tiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara.”
Pemahaman seperti itu terdapat juga pada bangsa-bangsa di Afrika.
Hal tersebut tampak dalam African Charter yang berbeda konsepnya dengan
Konvensi hak asasi manusia di Eropa dan Amerika. Pertama, African Chapter
tidak hanya menetapkan serangkaian hak melainkan juga kewajiban-
kewajiban. Kedua, hak-hak individual sama pentingnya dengan hak-hak
masyarakat (publik). Ketiga, untuk menjamin pelaksanaan hak-hak sipil dan
politik, adalah melalui perlindungan hak-hak sosial, ekonomi dan budaya.
Keempat, adanya kewenangan negara untuk membatasi pelaksanaaan hak-hak
asasi tersebut, meski pembatasan itu ditujukan untuk melindungi hak asasi
orang lain, moral dan kepentingan umum,
Beberapa ahli hukum berpendapat adanya “kewajiban asasi manusia”
di samping “hak asasi manusia”. Muladi misalnya, memandang pengaturan hak
asasi manusia dalam UUD 45 masih terdapat kekurangan yang cukup
9
memprihatinkan karena “tanggung jawab asasi manusia” (Human
Responsibility) tidak dirumuskan dalam UUD 1945.
Masih dalam kerangka kewajiban asasi ini, kiranya dapat dikaji hasil;
InterAction Council, yakni suatu lembaga yang anggota-anggotanya adalah
mantan Kepala Negara/Kepala Pemerintahan yang diakui PBB, yang secara
cerdas telah merumuskan apa yang dinamakan sebagai ‘Universal Declaration
of Human Responsibilities’. Di sini tercakup apa yang dinamakan Asas-asas
Fundamental dari Tanggungjawab Asasi Manusia yaitu: Non Violence, Justice
and Solidarity, Truthfulness and Tolerance dan Mutual Respect and
Partnership.
Penulis menilai kewajiban tersebut melekat pada pelaksanaan hak dan
kebebasan, lebih sebagai sebuah “pembatasan”. Setiap orang harus tunduk
semata-mata pada pembatasan yang ditentukan oleh hukum dengan maksud
untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak dan kebebasan
orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas,
ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

2.4 Implementasi Ham Dalam Bidang Kesehatan


Kesehatan merupakan aspek penting dari hak asasi manusia (HAM) seperti tersebut
dalam deklarasi hak asasi manusia yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) pada tanggal sepuluh November 1948 yang menyatakan bahwa: setiap orang
berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya
sendiri dan keluarganya.
Menurut Konvensi International tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang
ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Tahun 1966 juga mengakui hak setiap orang
untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai dalam kesehatan fisik dan
mentalnya.
Sebagai hak asasi manusia, maka hak kesehatan adalah hak yang melekat pada
seseorang karena kelahirannya sebagai manusia, bukan karena pemberian seseorang atau
negara, oleh sebab itu tentu saja tidak dapat dicabut dan dilanggar oleh siapapun.
Negara sebagai pengemban amanat untuk menyejahterakan masyarakat, dan bahwa
sehat itu tidak hanya sekedar bebas dari penyakit tetapi adalah kondisi sejahtera dari
badan, jiwa,dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara ekonomis,
maka sesuai dengan norma HAM, negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi
dan memenuhi hak-hak asasi kesehatan tersebut.
10
Kewajiban menghormati itu seperti menciptakan persamaan akses pelayanan
kesehatan, pencegahan dari tindakan-tindakan yang dapat menurunkan status kesehatan
masyarakat, melakukan langka-langkah legislasi yang dapat menjamin perlindungan
kesehatan masyarakat, membuat kebijakan kesehatan, penyediaan anggaran yang
memadai, penyediaan jasa-jasa pelayanan kesehatan yang layak dan memadai untuk
seluruh masyarakat.
Hak atas kesehatan ini bermakna bahwa pemerintah harus menciptakan kondisi yang
memungkinkan setiap individu untuk hidup sehat, ini berarti pemerintah harus
menyediakan sarana pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkaunya pelayanan
kesehatan untuk semua.
Pelayanan kesehatan ini meliputi akses terhadap jasa pelayanan kesehatan dan
perawatan kesehatan yang penting seperti akses terhadap air bersih, nutrisi, imunisasi,
perumahan yang sehat, sanitasi, lingkungan dan tempat kerja yang sehat, pendidikan,
informasi dan sebagainya. Dalam upaya pemenuhan kesehatan sebagai hak asasi manusia,
maka pemerintah yang mempunyai tugas dan kewenangan untuk menyejahterakan warga
negaranya mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak
tersebut.
Aspek kesehatan harus dijadikan pertimbangan penting dalam setiap kebijakan
pembangunan. Salah satu bentuk implementasinya adalah kewajiban pemerintah untuk
menyediakan anggaran yang memadai untuk pembangunan kesehatan dan melibatkan
masyarakat luas dalam pembangunan kesehatan.
Dasar hukum konstitusi yakni pasal 28 UUD 1945 dan UU No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah serta UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah
Pusat dan Daerah. Dikaitkan lagi dengan PP No. 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan
dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/Kota dan PP No. 38/2007 tentang
Pembagian Urusan (Bidang Kesehatan) menempatkan imunisasi merupakan urusan
bersama antara Pusat – Daerah dalam komponen utama layanan pencegahan dan
pemberantasan penyakit.
Dalam konteks kesehatan sebagai HAM, pelaksanaan imunisasi sebagai program
pemerintah mencakup dimensi ketersediaan dan kualitas (seperti bahan baku mutu
vaksinnya), menjamin aksesibilitas program, yang non diskriminatif, hingga ke daerah
terpencil sekalipun, terjangkau oleh keuangan rakyat yang diwakili Pemda setempat serta
perolehan informasi (termasuk tentang KIPI/kejadian ikutan pasca imunisasinya).
Dari sisi hukum, jika pemerintah yang tak mampu melaksanakannya, sama seperti
warganegara yang menolak vaksinasi ini, ke depan, dapat dijatuhi sanksi
11
1. Program Imunisasi Nasional
Dalam Permenkes No. 741/2008 bahwa setiap kabupaten/kota harus
menargetkan cakupan universal imunisasi anak adalah seratus prosen.
Keberhasilan imunisasi merupakan prestasi bersama ketika Kementrian
Kesehatan mampu menyediakan vaksin beserta perangkat cold chain-nya,
pemerintah provinsi menyediakan transportasi dan penyimpanannya sedangkan
pemerintah kabupaten/kota mengurus pelatihan tenaga kesehatan dan pelaksanaan
vaksinasinya.
Pada sisi lainnya, pelaksanaan program imunisasi merupakan kewajiban
pemerintah menyehatkan bangsanya, sebagaimana pasal 6, 7, dan 8 UU No.
23/1992 tentang Kesehatan yang diaktualkan dengan Perpres No. 7/2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Bidang Kesehatan dan MDG’s
(Millenium Development Goals).
Jadi, hak rakyat bertaut dengan kewajiban pemerintah yang memiliki
konsekuensi hukum. Dalam hal ini, hak rakyat tersebut menyangkut imunisasi
publik atau massal yang dikenal sebagai PPI (Program Pengembangan Imunisasi),
seperti BCG, DPT, polio, hepatitis B dan Campak.
2. Peranan PT Bio Farma (Persero)
Sebagai BUMN saham PT Bio Farma (Persero) seratus prosen tetap akan
dipegang oleh pemerintah. Ini artinya, pemerintah maupun Kementerian
Kesehatan tak akan menjadikan perusahaan ini go publik atau Tbk. Hal ini
dilakukan untuk menjaga tujuan utama Bio Farma, yaitu untuk mendukung
program imunisasi nasional.
"Jadi kita diwajibkan untuk mensuplay seluruh vaksin untuk imunisasi dasar
sebagai program nasional," kata M. Rahman Rustan, Corporate Secretary Bio di
kantor Pusat Bio Farma, Bandung, Senin (27/2/2011).
Sebagaimana diketahui, bisnis Bio Farma berbeda dengan bisnis farmasi pada
umumnya, kalau perusahaan farmasi memproduksi obat-obatan, Bio Farma
memproduksi vaksin untuk mencegah penyakit,yaitu vaksin yang termasuk
program PPI (BCG, Polio, Campak, DPT dan Hepatitis B) dan bukan untuk
mengobati.
Tugas utama Bio Farma adalah mendukung program imunisasi nasional yang
dilakukan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan. Jadi imunisasi-imunisasi
dasar di seluruh Puskesmas di seluruh Indonesia vaksinnya diproduksi oleh Bio
Farma.
12
"Kalau nanti sahamnya milik swasta dan pemegang sahamnya menentukan
untuk memproduksi vaksin-vaksin lain, maka ini yang kita jaga agar jangan
sampai mengabaikan progam imunisasi nasional," papar M.Rahman Rustan.
Bio Farma mensuplai vaksin untuk program imunisasi nasional dengan target
lima juta bayi per tahun, 27,6 juta anak usia sekolah per tahun dan 15 juta wanita
usia subur per tahun.
Bio Farma merupakan diantara 200 produsen vaksin di dunia dan produk Bio
Farma merupakan salah satu dari 30 produsen vaksin di dunia yang telah
mendapatkan Prakualifikasi WHO (WHO Praqualification). Sejak memiliki
Prakualifikasi WHO inilah, Bio Farma mulai melakukan ekspansi pada tahun 1997
dengan mengirimkan produk-produknya ke pasar internasional yang sudah
tersebar di sekitar 110 negara di berbagai belah dunia.
Jadi peranan Bio Farma sebagai penyedia vaksin untuk pemenuhan program
imunisasi nasional merupakan pilar penegakan HAM di bidang kesehatan sehingga
setiap warga mempunyai kehidupan yang layak dan sehat sebagaimana
diamanatkan oleh deklarasi HAM Perserikatan Bangsa Bangsa.

2.5 Kedudukan Hukum Kesehatan Dan Hukum Farmasi Dalam Tatanan Hukum
2.5.1 Hukum Kesehatan
Hubungan Hukum Penyelenggaraan Kesehatan Seperti dikemukakan di atas,
peyelenggaraan mengenai semua upaya kesehatan didukung oleh sumber daya
kesehatan. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara implicit
menegaskan bahwa kesehatan dibagi menjadi dua unsur yaitu upaya kesehatan dan
sumber daya kesehatan46. Pemeliharaan kesehatan dan pelayanan kesehatan
merupakan dua aspek dari upaya kesehatan. Istilah pemeliharaan kesehatan
kesehatan dipakai untuk kegiatan upaya kesehatan masyarakat dan istilah
pelayanan kesehatan dipakai untuk upaya kesehatan individu. Dengan demikian
pelayanan kesehatan merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang melibatkan
tenaga kesehatan (antara lain dokter) dengan pasien dan sarana kesehatan.
Sedangkan sumber daya sumber daya kesehatan, terdiri dari sumber daya manusia
kesehatan (tenaga kesehatan yaitu antara lain dokter, apoteker, bidan, dan
perawat), juga sarana kesehatan (antara lain rumah sakit, puskesmas, klinik, dan
tempat praktik dokter). Sarana kesehatan biasanya dimiliki oleh pemerintah dan
swasta untuk sarana kesehatan sasta (SKS). Sarana kesehatan ini dalam
menjalankan tugasnya selalu hubungan medic dan hubungan. Oleh karena itu
13
hubungan hukum seperti apa yang muncul berkaitan dengan sarana kesehatan,
dokter, dan pasien. Sarana kesehatan swasta (SKS) merupakan obyek hukum
sedangkan subyek hukumnya adalah dokter dan pasien. Hubungan hukum akan
terjadi bila seorang pasien datang ke sarana kesehatan swasta untuk berobat.
Hubungan hukum antara dokter, pasien, dan sarana pelayanan kesehatan swasta
berbentuk perikatan untuk berbuat sesuatu, yang dikenal sebagai jasa pelayanan
kesehatan. Pasien adalah pihak penerima jasa pelayanan kesehatan dan dokter serta
SKS adalah pihak-pihak yang memberi pelayanan kesehatan.
Hubungan hukum adalah ikatan antara subyek hukum dengan subyek hukum.
Hubungan hukum ini selalu meletakan hak dan kewajiban yang timbal balik,
artinya hak subyek hukum yang satu menjadi kewajiban subyek hukum yang lain,
demikian juga sebaliknya. Hubungan hukum dalam bidang hukum perdata dikenal
sebagai perikatan (verbintenis). Hubungan antara dokter dan pasien selain
hubungan medik, terbentuk pula hubungan hukum. Pada hubungan medik,
hubungan dokter dan pasien adalah hubungan yang tidak seimbang, dalam arti
pasien adalah orang sakit yang awam dan dokter adalah orang sehat yang lebih
tahu tentang medis. Namun dalam hukum terdapat hubungan yang seimbang,
yakni hak pasien menjadi kewajiban dokter dan hak dokter menjadi kewajiban
pasien dan keduanya merupakan subyek hukum. Hubungan hukum antara dokter
dan pasien dapat berbentuk perikatan yang lahir karena perjanjian dan dapat
berbentuk perikatan yang lahir karena UU. Contoh hubungan hukum dokter dan
pasien yang lahir karena perjanjian, adalah apabila pasien datang ke tempat praktik
dokter, yang melakukan penawaran jasa pelayanan kesehatan dengan memasang
papan nama, dalam arti pasien menerima penawaran dari dokter, maka
terbentuklah perikatan yang lahir karena perjanjian.
Perikatan antara dokter dan pasien yang lahir karena UU, apabila dokter secara
sukarela membantu orang yang kecelakaan pada saat dokter tersebut sedang
melintas di tempat terjadinya kecelakaan tersebut. Tanpa ada perintah atau
permintaan dari siapapun dokter berkewajiban melakukan pertolongan sampai
orang tersebut atau keluarganya dapat mengurusnya. Hubungan hukum antara SKS
dan pasien tergantung dari hubungan antara dokter dengan SKS tersebut. Apabila
terdapat kerugian yang diderita pasien karena pelayanan kesehatan yang didapat,
akan terdapat dua perjanjian, yaitu dengan SKS dan dokter yang mengobatinya.
Maka pasien harus mencari tahu terlebih dahulu, siapa yang melakukan kesalahan
yang menimbulkan kerugian bagi pasien. Apabila kesalahan dilakukan oleh SKS,
14
maka pasien hanya menggugat SKS. Tapi, apabila kesalahan oleh dokter yang
mengobati maka pasien hanya harus menggugat dokter tersebut. Dalam arti salah
alamat kalau pasien menggugat SKS. Begitu pula kalau kesalahan dibuat oleh baik
SKS ataupun dokternya maka gugatan harus ditujukan kepada keduanya. Peristiwa
hukum yang dapat terjadi di SKS adalah bilamana pasien merasa dirugikan oleh
pihak SKS atau dokter yang sedang bertugas di SKS tersebut. Namun dapat saja
terjadi di bagian lain misal bagian farmasi dan sebagainya.
Pelayanan medis yang berlaku di rumah sakit tentunya tidak lepas dari standar
prosedur yang berlaku di masing-masing rumah sakit sehingga dokter atau tenaga
kesehatan di tuntut dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien tidak
boleh lepas dari standar yang telah ditetapkan, namun dalam kenyataan di
lapangan seringkali dokter atau tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas-
tugasnya lalai dan tidak jarang mengakibatkan kondisi pasien bisa berubah
menjadi lebih sakit ataupun meninggal karena kelalaian tersebut yang berakibat
pada tuntutan hukum. Oleh karena itu dalam beberapa kasus yang yang sering
muncul di publik telah memberikan suatu peringatan bahwa tenaga kesehatan
dalam melaksanakan tugasnya harus lebih berhati-hati dan bertanggung jawab agar
supaya tidak terjadi kesalahan, kelalaian ataupun pembiaran, yang berakibat pada
tuntutan hukum. Pembiaran medik secara umum belum di kenal secara luas di
kalangan masyarakat baik itu profesi hukum, pembiaran medik merupakan salah
satu tindakan kedokteran dimana dalam memberikan pelayanan kesehatan tidak
sesuai standar prosedur yang berlaku, adapun dapat dikatakan pembiaran medik
adalah suatu tindakan dokter tidak sungguh-sungguh atau tidak memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien dengan berbagai alasan yang terkait dengan
sistem pelayanan kesehatan. Pembiaran medik ini sering kali terjadi di rumah sakit
terlebih khusus bagi masyarakat atau pasien miskin dengan alasan harus
memenuhi beberapa syarat administrasi, pembiaran medik juga sering terjadi pada
Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau Unit Gawat Darurat (UGD) setiap pasien yang
masuk ke unit tersebut seringkali tidak diberikan pelayanan yang memadai
sehingga dapat terjadi pembiaran, dalam hal tersebut, dokter atau tenaga kesehatan
yang bertugas di unit tersebut harus bertanggung jawab, dalam pertanggung jawab
tersebut juga tidak lepas dari peran rumah sakit yang melaksanakan pelayanan
kesehatan.
Pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan dan merupakan pihak yang
lemah seringkali tidak mendapatkan perlindungan hukum dan advokasi
15
sewajarnya, baik dari pihak rumah sakit ataupun penegak hukum itu sendiri.
Kesulitan pasien secara umum adalah dalam hal memperoleh advokasi seperti
sulitnya mencari alat bukti, sulitnya menembus kebisuan para saksi ahli dan
sulitnya mekanisme pengadilan. Untuk itu pasien terancam tidak mendapatkan
keadilan yang seharusnya. Kasus pembiaran medik yang berdampak pada
kecacatan atau kematian kepada pasien menimbulkan dampak hukum yang sangat
besar, namun begitu karena ketidaktahuan atau kurang pahamnya pasien dalam
sistem pelayanan kesehatan menjadi suatu hal yang biasa saja. Dalam sistem
hukum Indonesia pembiaran medik secara umum belum tercantum secara jelas
namun dalam hal yang demikian dapat diasumsikan ke dalam beberapa peraturan
perundangundangan yang ada misalnya :
1. KUH Perdata Dalam pasal 1366
KUHP Perdata, bahwa setia orang bertanggung jawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabakan perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya. Dalam asumsi pasal tersebut
kelalaian adalah merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang bertugas di rumah sakit dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada pasien tentunya merupakan tanggung jawabnya, jika terjadi
pembiaran medik bahwa karena hal-hal yang berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang mengabaikan pasien dengan alasan tertentu misalnya karena tidak
ada biaya, atau penjaminnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kecacatan
dan kematian bagi pasien, maka tenaga kesehatan dapat di gugatan perdata
dalam hal kelalaian dari tugas dan tanggung jawabannya yang seharusnya
dikerjakan.
2. KUHP Pasal 304
KUHP, Sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan
sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya, dia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu. Dalam
hal demikian, tenaga kesehatan dengan sengaja membiarkan pasien yang
masuk di rumah sakit dan membutuhkan perawatan namun dengan
kelalaiannya membiarkan pasien sehingga pasien mengalami kecacatan dan
atau kematian, maka tenaga kesehatan tersebut dapat di tuntut melakukan suatu
tindakan kejahatan pidana, berkaitan dengan kenyataan yang mempunyai arti
dibidang pidana, antara lain apakah tindakan, atau perbuatan dan sebab-akibat
yang terjadi tersebut memenuhi kualifikasi suatu kejahatan atau tidak.
16
Berkaitan dengan kenyataan yang dapat dijadikan perkara pidana yang artinya
bahwa ada korban yang terancam atau dibahayakan jiwanya dan apakah
kejadian tersebut murni karena faktor manusia dan bukan alam.
3. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan dalam ketentuan pidana tidak secara jelas mengatur tentang tindak
pidana kesehatan dalam Pasal 190 menyebutkan pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan
pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan
pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 (ayat 2) di pidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.
200.000.000,-.
Dalam hal pasal ini dengan secara tegas hanya mengatur tentang
ketentuan pidana yang terjadi di unit gawat darurat tetapi tidak dengan pasien
umum yang berada di rumah sakit, untuk pembiaran medik ini bisa terjadi pada
unit gawat darurat ataupun untuk pelayanan umum karena pembiaran medik
terjadi pada pasien yang kurang mampu. Penjelasan diatas sedikit banyak telah
mengulas tentang pelayanan kesehatan di rumah sakit yang menyebabkan
banyak kejadian yang bertentangan dengan standar prosedur pelayanan
kesehatan yang berdampak pada penututan atau gugatan hukum, maka
diwajibkan kepada tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan khususnya di rumah sakit dalam menjalankan tugasnya harus sesuai
dengan standar prosedur pelayanan kesehatan yang telah ditetapkan di rumah
sakit.
Untuk melaksanakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan, pada
prinsipnya, semua jajaran tenaga kesehatan didukung tenaga non kesehatan
dalam prakteknya memperhatikan beragam aturan sbb :
a. Status tenaga kesehatan dalam profil standart
b. Menerapkan standart pelayanan medis sesuai dengan disiplin ilmu.
c. Operasional standart pelayanan medis sesuai dengan indikasi, sistematika
ditindaklanjuti dengan protap atau SOP
d. Dalam semua tindakan medis sangat memperhatikan saling memahami dan
menyetujui serta menghormati akan hak pasien yang tertuang dalam
Informed Consent (IC)
17
e. Rekaman tindakan medis yang dibantu / bersama / oleh dengan tenaga
kesehatan dan non kesehatan yang lain, sebaiknya cukup lengkap dan
benar. Rekaman kesehatan terpaku (RM, asupan keperawatan, kefarmasian,
gizi, Lab dan Administrasi )
f. Penjaringan/selektif mengenai kerahasiaan pelayanan medis, diagnosa dan
prognosa atau efek samping harus diwaspadai, perlu dicermati.
g. Indikasi penggunaan sarana medis khususnya alat canggih betul selektif
dan tepat guna.
h. Administrasi standart termasuk tarif normative saja
i. Semua tindakan medis dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah medis
ada transparasi.
j. Adanya kemungkinan aspek hukum, rambu-rambu antisipasi atau
kenetralan perlu mendapat kewaspadaan.
k. Semua tindakan atau perilaku tewrsebut untuk suatu upaya pengamanan
timbal balik antara tenaga kesehatan dan pasien/keluarga dan berhasil.
Dalam pelayanan medis, khususnya di Rumah Sakit/Unit Pelayanan
Kesehatan pelaksanaannya dilakukan secara terpadu, dalam hal ini kadangkala
memicu munculnya sengketa. Sengketa tersebut dapat muncul baik secara
intern atau juga terhadap pihak ketiga. Oleh karena itu agar persoalan yang
muncul tidak berlarut-larut dan bahkan mencuat dan menjadi pemberitaan
mass media, maka perlu penyelesaian yang elegan. Penyelesaian dapat
dilakukan secara bertahap dan berkomunikasi transparan dan sehat ialah :
a. Antara pasien/keluarga dengan pihak petugas Rumah Sakit atau
b. Antara pasien / kel. pasien dengan tim medis yang menangani atau
c. Antara pasien/keluarga dan panitia rumah sakit (Panitia Etik, Panitia Etik
Medis, Hukum) atau
d. Antara pasien / keluarga dengan pihak Rumah Sakit yang lebih luas
(Direktur, Wakil Direktur Yan Med, Komite Medis, Kepala Bidang Yan
Med dan Panitia yang lain serta Tim Medis Pelaksana)
e. Lebih luas lagi dengan Kadinkes dan MP2EPM bersama Tim medis
termasuk Pengurus Ikatan Profesi Tenaga Kesehatan.
f. Hal tersebut merupakan penyelesaian intern (Peradilan Profesi Kesehatan)
tanpa melibatkan pihak ketiga. Biasanya kalau sudah dengan pihak ketiga
amat sulit, lalu dapat terbawa ke Peradilan Umum, Perdata berlanjut ke

18
Peradilan Pidana dan dapat pula ke Peradilan Administrasi, Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN).

2.5.2 Hukum Farmasi dalam Tatanan Hukum


Pelanggaran-pelanggaran yang terkait mengenai Apoteker yang tidak memberikan
informasi yang jelas kepada pasien adalah :
1. Kode Etik Apoteker Indonesia
Pasal 7 : “Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan
profesinya”.
Pasal 9 : “Seorang Apoteker melakukan praktik kefarmasian harus
mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan
melindungi makhluk hidup insane”.
2. UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
Yang menyatakan bahwa : Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan
distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional.
3. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen
a. Pasal 4a
Hak konsumen adalah :
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa.
b. Pasal 7b
Kewajiban pelaku usaha adalah Memberikan informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta
memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
4. SK Menkes RI No 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit
Tujuan pelayanan farmasi ialah :
a. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa
maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien
maupun fasilitas yang tersedia
b. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur
kefarmasian dan etik profesi
c. Melaksanakan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)mengenai obat
19
d. Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
e. Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan
evaluasi pelayanan
f. Mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan
evaluasi pelayanan
Dalam pencegahan pelanggaran kode etik apoteker tersebut diperlukan strategi antara
lain:
1. Adanya kebijakan tentang pelayanan farmasi klinis dari pemerintah maupun
pimpinan rumah sakit bersangkutan
2. Adanya dalam praktek KIE dalam pelayanan dfarmasi di rumah sakit.
3. Adanya kegiatan riset dan pengembangan yang dilaksanakan serta pendidikan
dan  pelatihan
4. Adanya auditing sebagai proses umpan balik untuk perbaikan dan memberi
jaminan kualitas yang dikehendaki
5. Mempertinggi kemampuan untuk memberdayakan farmasi rumah sakit
6. Kepentingan dan tujuan kegiatan farmasi klinis harus dimengerti dan disepakati
oleh petugas-petugas kesehatan
7. Menjalin hubungan baik antara profesi medis dan farmasi

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan
atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia disebut etis, ialah
manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas
keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani
dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya.
Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan
etika.
Profesi adalah aktivitas intelektual yang dipelajari termasuk pelatihan yang
diselenggarakan secara formal ataupun tidak formal dan memperoleh sertifikat yang
dikeluarkan oleh sekelompok / badan yang bertanggung jawab pada keilmuan tersebut
dalam melayani masyarakat, menggunakan etika layanan profesi dengan
mengimplikasikan kompetensi mencetuskan ide, kewenangan ketrampilan teknis dan
moral serta bahwa perawat mengasumsikan adanya tingkatan dalam masyarakat.
Hukum rumah sakit adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung
dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan
kewajiban segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun
dari pihak penyelenggara pelayanaan kesehatan yaitu rumah sakit dalam segala aspek
organisasi, sarana, pedoman medik serta sumber-sumber hukum lainnya.
Dalam pelaksanaan pelayanan di Rumah Sakit pasti akan menghadapi berbagai
kendala, antara lain sumber daya manusia/tenaga farmasi di rumah sakit, kebijakan
manajeman rumah sakit serta pihak-pihak terkait yang umumnya masih dengan paradigma
lama yang “melihat” pelayanan farmasi di rumah sakit “hanya” mengurusi masalah
pengadaan dan distribusi obat saja. Oleh karena itu, dalam pelayanan farmasi di Rumah
Sakit harus meningkatakan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit, antara lain : praktek
KIE, monitoring penggunaan obat.

3.2 Saran
Berdasarkan studi kasus diatas sebaiknya kita memperbaiki pelayanan terhadap pasien
apabila kita adalah seorang tenaga kesehatan demi kenyamanan bersama.

21
DAFTAR PUSTAKA

Pengertian Etika dan Profesi Hukum. Jombang: WKPA. Widaryanti. 2007. Etika Bisnis dan
Etika Profesi Akuntan (Business Ethics and Accountant Professional Ethics). Vol. 2 No. 1
Juni 2007 : 1-10.
Snanto, Rizal. 2009. Buku Ajar Etika Profesi. Semarang: Universitas Diponegoro,Mariyana,
Rita. Etika Profesi Guru. Qohar, Adnan.
http://alyamuslimah.blogspot.co.id/2014/12/makalah-studi-kasus-etika-profesi.html

22

Anda mungkin juga menyukai