OLEH KELOMPOK 2:
USNAL AINI (1920332048)
PUTRI GUNAWAN (1920332050)
ANITA DAMAYANTI L (1920332043)
RENI AFRIYANI (1920332046)
RIKA HARDI ASTUTI (1920332051)
ERIANI MUSTIKA H (1920332045)
LARA SYUKMA HARA (1920332022)
DOSEN PEMBIMBING:
Irwan, S.H, M.H
i
KATA PENGANTAR
1. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan motivasi dan semangat
kepada penulis.
2. Dosen pembimbing yang memberikan arahan dan membimbing penulis
selama proses pembuatan makalah ini.
3. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara moril maupun
materil yang tidak tersebut namanya satu per satu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu penulis meminta saran yang membangun demi penyempurnaan dimasa
yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat memberikan
kontibusi positif bagi kita semua.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas segala perhatiannya dan
mohon maaf atas segala kekurangan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...........................................................................................................i
Daftar Isi.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang.............................................................................................1
1.2 RumusanMasalah........................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................1
BAB II KAJIAN TEORITIS
2.1 Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan..........................................................2
2.2 UU Praktek Kedokteran..............................................................................4
2.3 UU Rumah Sakit.........................................................................................7
2.4 UU Perlindungan Konsumen......................................................................12
BAB III ANALISA KASUS
3.1 Kronologis Kasus........................................................................................15
3.2 Permasalahan Hukum.................................................................................18
3.3 Analisa Hukum...........................................................................................19
3.4 Kesimpulan Analisa....................................................................................20
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan..........................................................................................................22
4.2 Saran.....................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
berbentuk perikatan ikhtiar, yakni adanya kewajiban dari pemberi jasa
pelayanan kesehatan untuk membuat upaya semaksimal mungkin mengobati
pasien, & tidak berdasarkan pada perikatan hasil, kecuali untuk beberapa
pelayanan kesehatan, seperti pelayanan bedah kosmetik atau pelayanan gigi
dalam mencabut gigi pasien. Hubungan antara dokter & pasien selain
hubungan medik, terbentuk pula hubungan hukum. Pada hubungan medik,
hubungan dokter & pasien adalah hubungan yang tidak seimbang, dalam arti
pasien adalah orang sakit & dokter adalah orang sehat; pasien adalah awam &
dokter adalah pakar. Namun dalam hubungan hukum terdapat hubungan yang
seimbang, yakni hak pasien menjadi kewajiban dokter & hak dokter menjadi
kewajiban pasien & keduanya adalah subyek hukum pribadi. Dilihat dari jenis
pekerjaan yang ada di dalam hubungan dokter & pasien, maka jelas terbentuk
hubungan untuk melakukan pekerjaan (jasa) tertentu, yakni dokter sebagai
pemberi jasa pelayanan kesehatan & pasien sebagai penerima pelayanan
kesehatan.
Hubungan hukum antara dokter & pasien dapat terbentuk perikatan yang
lahir karena perjanjian & dapat pula terbentuk perikatan yang lahir karena
UU. Contoh hubungan hukum dokter & pasien yang lahir karena perjanjian,
adalah apabila pasien datang ke tempat praktik dokter, yang melakukan
penawaran jasa pelayanan kesehatan dengan memesang papan nama, dalam
arti pasien menerima penawaran dari dokter, maka terbentuklah perikatan
yang lahir karena perjanjian. Perikatan antara dokter & pasien yang lahir
karena UU, apabila dokter secara sukarela membantu orang yang menderita
karena kecelakaan, di mana dokter sebagai misal, sedang lewat di tempat
kecelakaan, tanpa ada perintah atau permintaan dari siapa pun, dokter
menyelenggarakan kepentingan yang menderita kecelakaan, maka dokter
mempunyai kewajiban untuk sampai menyelesaikan pekerjaan sampai orang
yang celaka atau keluarganya, dapat mengurusnya. Dituliskan sebelumnya,
doktrin ilmu hukum mengatakan ada dua macam perikatan, yaitu perikatan
hasil di mana prestasinya berupa hasil tertentu & perikatan ikhtiar di mana
prestasinya berupa upaya semaksimal mungkin. Perikatan antara dokter
dengan pasien hampir seluruhnya berupa perikatan ikhtiar, di mana dokter
3
berupaya semaksimal mungkin untuk mengobati penyakit yang diderita oleh
pasien. Apabila dokter telah berupaya semaksimal mungkin & pasien tidak
sembuh juga, maka dokter telah cukup bekerja dengan baik, karena
perikatannya berupa ikhtiar. Dengan perkataan lain, pasien tidak dapat
menuntut dokter untuk menyembuhkan penyakitnya, dokter harus berupaya
semaksimal mungkin untuk mengobati pasien.
Pelayanan kesehatan adalah kebutuhan pokok manusia, agar dapat hidup
dalam keadaan sehat, baik jasmani mau pun rohani, pada intinya berisi
hubungan antara tenaga kesehatan a.l. dokter), pasien & sarana kesehatan (a.l.
RS) sebagai subyek hukum. Pasien & dokter sebagai subyek hukum pribadi
& RS sebagai subyek hukum yang badan hukum. Hubungan hukum atau
perikatan antara ketiga komponen dalam pelayanan kesehatan, dapat lahir
karena perjanjian & karena UU. Perikatan yang lahir karena perjanjian
mensyaratkan dipenuhi empat syarat dari sahnya perjanjian. Perikatan yang
lahir karena UU timbul disebabkan dokter mempunyai kewajiban hukum
untuk menolong setiap orang yang membutuhkan pelayanan kesehatan.
Kemudian berdasarkan doktrin Ilmu Hukum, hampir seluruh perikatan yang
timbul adalah perikatan ikhtiar bukan perikatan hasil, di mana dokter akan
memberikan prestasi berupa upaya semaksimal mungkin, bukan prestasi
berupa hasil.
4
kompetensi yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
Pengetahuan yang dimilikinya harus terus menerus dipertahankan dan
ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu
sendiri.
Dokter dan dokter gigi dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya
mempunyai karakteristik yang khas. Kekhasannya ini terlihat dari
pembenaran yang diberikan oleh hukum yaitu diperkenankannya melakukan
tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan. Tindakan medis terhadap tubuh manusia
yang dilakukan bukan oleh dokter atau dokter gigi dapat digolongkan sebagai
tindak pidana. Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter dan
dokter gigi, maraknya tuntutan hukum yang diajukan masyarakat dewasa ini
seringkali diidentikkan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang
dilakukan dokter dan dokter gigi. Sebaliknya apabila tindakan medis yang
dilakukan dapat berhasil, dianggap berlebihan, padahal dokter dan dokter gigi
dengan perangkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya hanya
berupaya untuk menyembuhkan, dan kegagalan penerapan ilmu kedokteran
dan kedokteran gigi tidak selalu identik dengan kegagalan dalam tindakan.
Berbagai upaya hukum yang dilakukan dalam memberikan perlindungan
menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan, dokter dan
dokter gigi sebagai pemberi pelayanan telah banyak dilakukan, akan tetapi
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang
sangat cepat tidak seimbang dengan perkembangan hukum. Perangkat hukum
yang mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran dan kedokteran gigi
dirasakan belum memadai, selama ini masih didominasi oleh kebutuhan
formal dan kepentingan pemerintah, sedangkan porsi profesi masih sangat
kurang.
Oleh karena itu untuk menjembatani kepentingan kedua belah pihak serta
untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan obyektif seorang dokter dan
dokter gigi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, diperlukan
pembentukan Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil
Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi. Dalam rangka memberikan
5
kepastian hukum dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan,
mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata kembali berbagai
perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran agar
dapat berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
maka perlu diatur praktik kedokteran dalam suatu Undang-undang. Untuk itu,
perlu dibentuk Undang-undang tentang Praktik Kedokteran.
Dalam Undang-undang ini diatur :
a. Asas dan tujuan penyelenggaraan praktik kedokteran yang menjadi
landasan yang didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan,
kemanusiaan, keseimbangan serta perlindungan dan keselamatan pasien;
b. Pembentukan Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil
Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi disertai susunan organisasi,
fungsi, tugas, dan kewenangan;
c. Registrasi dokter dan dokter gigi;
d. Penyusunan, penetapan, dan pengesahan standar pendidikan profesi dokter
dan dokter gigi;
e. Penyelenggaraan praktik kedokteran;
f. Pembentukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia;
g. Pembinaan dan pengawasan praktik kedokteran; dan
h. Pengaturan ketentuan pidana.
6
Bab XI : Ketentuan peralihan
Bab XII : Ketentuan penutup
7
standar pelayanan Rumah Sakit;
3) Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan
kemampuan pelayanannya;
4) Berperan aktif dalam memberikan pelayanankesehatan pada bencana,
sesuai dengankemampuan pelayanannya;
5) Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau
miskin;
6) Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas
pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa
uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian
luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;
7) Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan
kesehatan di Rumah sakit sebagai acuan dalam melayani pasien;
8) Menyelenggarakan rekam medis;
9) Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain
sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita
menyusui, anak-anak, lanjut usia
10) Melaksanakan sistem rujukan;
11) Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi
dan etika serta peraturan perundang-undangan;
12) Memberikan informasi yang benar, jelas danjujur mengenai hak dan
kewajiban pasien;
13) Menghormati dan melindungi hak-hak pasien;
14) Melaksanakan etika Rumah Sakit;
15) Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana;
16) Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara
regional maupun nasional;
17) Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau
kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya;
18) Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital
bylaws);
19) Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas
8
Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas;
20) Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan
tanpa rokok;
Hak Rumah Sakit yaitu :
1) Menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai
dengan klasifikasi rumah sakit;
2) Menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi,
insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
3) Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalamrangka
mengembangkan pelayanan;
4) Menerima bantuan dari pihak lain sesuaidengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
5) Menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian;
6) Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan;
7) Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di rumah sakit sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
8) Mendapatkan insentif pajak bagi rumah sakit publik dan rumah sakit
yang ditetapkansebagai rumah sakit pendidikan;
Hak dan Kewajiban Pasien
Hak Pasien
1) Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku
di Rumah Sakit;
2) Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
3) Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi;
4) Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional;
5) Memperoleh layanan yang efektif dan efisiensehingga pasien terhindar
dari kerugian fisik dan materi;
6) Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
9
7) Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di rumah sakit;
8) Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter
lain yang mempunyai surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun
diluar Rumah Sakit;
9) Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk
data-data medisnya;
10) Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dantata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan
yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
11) Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan
dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
12) Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
13) Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;
14) Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di Rumah Sakit;
15) Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit
terhadap dirinya;
16) Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidaksesuai dengan agama
dan kepercayaan yang dianutnya;
17) Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakitapabila Rumah Sakit
diduga memberikan pelayananyang tidak sesuai dengan standar baik
secara perdata ataupun pidana; dan
18) Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidaksesuai dengan standar
pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
Kewajiban Pasien
Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadapRumah Sakit atas
pelayanan yang diterimanya;
10
Tanggungjawab Rumah Sakit
Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua
kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan di Rumah Sakit.
Upaya Pencegahan Yang Dilakukan Oleh Rumah Sakit
1) Rumah sakit hanya mempekerjakan tenaga kesehatan yang kompeten
dan ada program pelatihan dan pengembangan yang berkelanjutan;
2) Rumah sakit menyediakan regulasi (norma), standar-standar, prosedur,
dan kriteria (patokan/parameter), dan dijalankan secara konsisten;
3) Rumah sakit menyediakan organisasi yang menunjang kerja bermutu
misalnya dengan mengajukan sistem akreditasi dan atau ISO;
4) Mengalihkan risiko profesi kepada pihak Asuransi;
5) Menyikapi secara bijak sejak dini apabila ditemukan potensi tuntutan;
Sistem Perlindungan Bila Terjadi Perkara (atau pada saat tuntutan)
1) Rumah sakit harus memiliki sistem untuk melakukan koordinasi,
konsolidasi untuk menganalisis kasus, menemukan kesalahan bila ada,
menentukan posisi hukumnya, dan menetukan langkah-langkah
mengatasinya;
2) Rumah sakit memiliki organisasi yang mamapu memberikan
advokasi/pendampingan, dari sisi hukum maupun sisi tekhnis dan
administrasi;
Doktrin Hospital Liability
Didalam konteks hukum kedokteran, doktrin Corporate Liability
ini mulai timbul dalam penerapannya kepada rumah sakit sehingga timbul
doktrin “Hospital Liability” dimana rumah sakit dapat dimintakan
pertanggungjawaban perdata (ganti kerugian) yang ditimbulkan oleh
orang-orang yang dibawah perintahnya yang sampai menimbulkan
kerugian kepada pasiennya (J. Guwandi, SH. Tindakan medik dan
tanggung jawab Produk Medik Prod Jakarta, FKUI, 1993 hala 15 – 16)
Rumah Sakit Wajib Menyusun Dan Melaksanakan peraturan
internal Rumah Sakit (hospital bylaws)
Yang dimaksud dengan peraturan internal RS (Hospital Bylaws)
11
adalah peraturan organisasi RS (coporate bylaws) dan peraturan staf medis
RS (Medical staff bylaws) yang disusun dalam rangka menyelenggarakan
tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance)
Pedoman Hospital Bylaws
1) Pedoman Hospital Bylaws adalah Keputusan Meneteri Kesehatan RI
No. 772/Menkes/SK/VI/2002 tanggal 22 Juni 2002
2) Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 631/MENKES/SK/IV/2005
tentang pedoman peraturan internal staff medis (Medical Staff Bylaws)
di rumah sakit
Potensi Tuntutan :
1) Potential claimable event:
Terdapat keluhan, komplain yang dapat menuju kesuatu tindakan
klaim meskipun belum nyata kearah klaim
2) Claim
Terdapat keinginan nyata dari pasien/keluarganya untuk meminta
kompensasi/ganti rugi
Tuntutan hukuman
Tedapat tuntutan hukum secara formal, baik perdata maupun pidana
12
Bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta
menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. Bahwa
ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia
belum memadai bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan
perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan
perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta
perekonomian yang sehat; bahwa untuk itu perlu dibentuk Undang-undang
tentang Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan
13
Bab XV : Ketentuan Penutup
BAB III
ANALISIS KASUS
3.1. Kronologis Kasus
14
Kasus :
Persalinan dengan bayi tunggal mati dalam hal kehamilan kembar. Pihak2 terkait :
1) ny tm bu 7) dr. FA
2) bidan NG 8) Dr ah
3) bu bidan TL 9) dr IW
4) kapten TNI/ dr AZ 10) dr. KS
5) AKP dr AT 11) bidan HA
6) dr JS 12) dr. WO, SpOG
Kronologi :
1) Pasien NY TM 27 th, tinggi 150cm, berat 80kg (gemuk pendek). Pendidikan
SD, Alamat bungus. Masuk kamar bersalin tgl 7 bulan 3 th 2004. pkl 04.15.
kiriman / rujukan dr bd NG dr puskesmas bungus. Alasan rujukan inpartu
G3P2A0H2 dg tali pusat menumbung, ibu waktu bersalin, ibu pernah
melahirkan 2 x bayi hidup.
2) Riwayat penyakit (sumber dari penderita) tgl 6 bln 3 2004, pukul 17 perut ibu
terasa tegang, pkl 24.00 dbawa ke bidan NG karena ketuban telah pecah dan
tali pusat ikut keluar. Pasien menerangkan bahwa ibu tidak merasakan
gerakan bayi sejak jam 24.00 bidan NG tdk ikut serta mengantar ke RS MJ.
3) Pasien diterima pertama kali oleh kapten dr.Z bersama dg AKP dr. AT dan dr.
JS, mereka bersama-sama melakukan pemeriksaan pasien(dg langkah-
langkah:
a. mendengar keluhan utama
b. anamnesa seperti menanyakan riwayat haid, kebiasaan, riwayat persalinan
sebelumnya
c. pemeriksaan standar umum
d. pemeriksaan khusus(kebidanan) karena kehamilan sudah di atas 20
minggu, in partu 39-40 mggu.
e. pemeriksaan obstetri antara lain pemerikksaan auskultasi dg dopler
f. pemeriksaan tambahan dg pem. Darah lengkap
g. membuat diagnosis
Setelah seluruh langkah2 pemeriksaan mereka konsultasi pd dr.FA. Dan
15
melakukan pemeriksaan ulang kesehatan oleh dr. FA dg cara yg sama pula.
Kemudian mereka membuat diagnosis sebagai berikut:
1. Ibu hamil anak ke 3
2. Melahirkan 2x
3. Tdk pernah keguguran dalam fase akan melahirkan
4. Usia kehamilan dlm 39-40 mg, bayi tunggal mati dalam rahim disertai tali
pusat menumbung(sudah tidak berdenyut dg memar, dan ketuban sudah
pecah)
4) Setelah itu dr.FA berkonsultasi kpd dr. HA, yg jg melakukan pemeriksaan dg
kasus yg sama dan hasil pemeriksaan yg sama pula, kemudian diagnisis
tersebut di konsultasikan dan diterus pd chif jaga dr. IW, dan memeriksa lg
pasien dg cara dan langkah yg sama. Diagnosis dr. IW ternyta sama dg yg
memeriksa sebelumnya.
5) Dg dasar diagnosis (oleh 5 dr. sblmnya oleh dr HA dan dr IW) yg hasilnya
sama maka dg setelah segenap anggota tim dan chif jaga ( sesuai dg SOP
tndakan medis dalam kasus persalinan dg kondisi seperti hasil diagnosis )
mengambil keputusan sebagai berikut:
Keputusan
a. menunggu kelahiran spontan
b. pemberian informasi dan edukasi kpd keluarganya
c. lakukan observasi kondisi dan kemajuan persalinan ibu
d. evaluasi 2 jam
6) 2 jam kemudian, pkl 6.15 diadakan evaluasi yg pertama dilakukan oleh dr. KA,
hasilnya dinyatakan bahwa persalinan berjalan dg baik, kondisi ibu baik,
pembukaan 8 cm (semula 6 cm), diagnosis lain tetap, direncanakan utk
evaluasi 2 jam kemudian
7) 2 jam kemudian pkl 8.15, diadakan evaluasi kedua oleh dr. KA, yang hasilnya
dinyatakan bahwa ibu sudah memasuki wkt pengeluaran bayi (pembukaan
lengkap 10 cm) namun posisi kepala tidak turun, ibu kelelahan dg kontraksi yg
menurun dan diagnosis lain tetap.
8) Setelah membuat diagnosis hasil evaluasi tahap kedua dr. KA melapor kpd
dr.IW, yg kemudian jg memeriksa dg diagnosis yg sama dg dr. KA
16
9) Oleh krn kontraksi rahim yg sudah menurun, keadaan ibu sudah kelelahan,
sedangkan air ketuban habis (pecah 8 jam lalu), berarti persalinan kering,
posisi kepala tetap tidak menurun sehingga tim jaga memprediksi bahwa bayi
tidak akan dpt lahir spontan, apabila waktu persalinan akan lebih lama maka
akan mengancam keselamatan nyawa ibu (diagnosis dr. KA dan dr. IW).
Berdasarkan pertimbangan itu tim medis memutuskan utk segera dg bantuan
alat cunam
10) Setelah tim medis memutuskan utk membantu persalinan dg bantuan cuna,
sesuai prosedur RS pendidikan dr. IW berkonsultasi kpd dr. WO, SpOG
sebagai superfisor utk meminta pendapat dan persetujuan, setelah
mengemukakan diagnosis dan alasan-alasannya kemudian dr WO, SpOG
mengizinkan persalinan dg bantuan cunam.
11) Langkah persiapan alat-alat bu bidan HA, dg dibantu oleh dr. KA, agar ibu
mengedan sambil kulit kepala dipandu oleh jepitan cunam oleh dr. IW kurang
lebih 1 menit kepala bayi turun pd jalan lahir, setelah cunam dilepas lahirlah
seorang bayi hidup JK laki-laki dg berat 1800 gram dan menangis berarti
dalam keadaan sehat. Pd kulit kepala didapatkan 2 luka lebar 1 cm sedalam
kulit kepala dan tidak mengeluarkan darah luka dirawat oleh dr. KA dan dijahit
masing2 1 jahitan dg maksud agar tidak infeksi selain itu didapatkan dua tali
pusat yg satu telah lahir hidup, yg satunya lg sejak awal sudah keluar dan tidak
berdenyut milik bayi kedua yg mati dalam rahim
12) Bayi pertama yg hidup diterima oleh bidan HA, segera dilakukan perawatan
luka nya di lakukan jahitan 1 cm masing yg dilakukan oleh dr. KA, oleh karna
ada 2 tali pusat maka dr. IW melakukan evaluasi ulang, ternyata ada satu bayi
lagi dalam perut ibu dg posisi sungsang dan sudah mati dlm kandungan, dg
dibantu oleh dr. AH (bayi kedua mati) dg prosedur sungsang.
13) Bayi kedua yg mati dan diterima oleh ibu bidan TI kondisi bayi berat 2500
gram, laserasi tingkat 1 (telah mati lebih dr 8 jam) tanda2 kematian yakni: kulit
memutih keabuabuan, mengelupas di dada, otot teraba lunak dan kulit teraba
seperti derik. Sesuai dg tanda-tanda tersebut diprediksi bayi sudah meninggal 8
jam sebelum persalinan.
14) Kemudian diadakan analisis retrospektif (setelah persalinan) dan diperoleh
17
fakta-fakta medis sebagai berikut :
a ibu datang k kmr bersalin dlm keadaan inpartu (akan bersalin / otot rahim
tegang, kehamilan kembar 1 hidup dan 1 mati)
b posisi kedua janin dalam rahim sebagai berikut: bayi pertama hidup,bagian
terendah kepala, posisi dibawah tertindih oleh bayi kedua, bayi kedua mati
bagian terendah bokong posisi diatas bayi pertama, dg tali pusat keluar dan
tidak berdenyut, kehamilan ini adalah : 1 ari-ari, 1 amnion dan 1 korion
c tali pusat yg sudah keluar dan tidak berdenyut milik bayi kedua yg sudah
meninggal dg posisi terendah bokong
d tarikan cunam dilakukan atas dasar bayi tidak dapat lahir spontan karena
adanya masa menyerupai meningokel yg ternyata paha bayi kedua berada
diatas bayi pertama, persalinan kering keadaan ibu kelelahan, kontraksi
menurun, tidak dapat ditunggu lama karena akan membahayakan jiwa
ibu.dan dengan persetujuan dr. WO, SpOG sebagai superfisor dr, jaga
18
penyidik polisi, meskipun kasus semacam ini sangat jarang terjadi.
Dimana Hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam transaksi
terapeutik dapat terjadi karena adanya perjanjian dan undang-undang.
Syarat sahnya perjanjian tetap mengacu pada ketentuan pasal 1320
KUHPerdata. Dalam hal ini, Informed consent atau persetujuan tindakan
medik memegang peranan penting dalam perjanjian yang akan menjadi
dasar terjadinya transaksi terapeutik
Hukum Perdata, untuk mengajukan tuntutan atau klaim ganti rugi terhadap
dokter, maka pasien harus dapat menunjukkan bahwa dia tidak
diperingatkan sebelumnya mengenai hasil akhir tertentu dari tindakan
dimaksud, padahal apabila dia telah diperingatkan sebelumnya maka dia
tentu tidak akan mau menjalaninya, atau menunjukkan bahwa dokter telah
melakukan tindakan tanpa persetujuan (perbuatan melawan hukum).
Pendisiplinan oleh MKDKI, bila MKDKI menerima pengaduan tentang
seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan hal tersebut, maka
MKDKI akan menyidangkan dan dapat meemberikan sanksi disiplin
kedokteran, yang dapat berupa teguran hingga rekomendasi pencabutan
Surat Tanda Registrasi. Jadi dokter yang salah melakukan diagnosis dapat
digugat secara hukum perdata.
Pasal 45 UUPK (Permenkes 585/1989) memberikan batasan minimal
informasi yang selayaknya diberikan kepada pasien, yaitu:
- Diagnosis dan tata cara tindakan medis
- Tujuan tindakan medis yang dilakukan
- Alternatif tindakan lain dan resikonya
- Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
- Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Jadi seharusnya ini sangat penting untuk seorang tenaga kesehatan
untuk melakukannya. Sedangkan dalam kasus Dokter tidak melakukan
batasan minimal sesuai Pasal 45 UUPK (Permenkes 585/1989).
Permenkes 290/2008 Pasal 7:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
19
c. Altematif tindakan lain, dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
f. Perkiraan pembiayaan.
Jadi tenaga kesehatan apalagi dokter seperti kasus ini harus cermat dalam
setiap tindakan di mana dokter akan memberikan prestasi berupa upaya
semaksimal mungkin, bukan prestasi berupa hasil. Jadi seharusnya dokter
memberikan upaya semaksimal mungkin dan tindakan sesegera mungkin
untuk mengurangi resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, serta dapat
mengurangi tindakan-tindakan yang tidak diperlukan.
Dalam hal ini jika dokter sudah mendiagnosa kehamilan gamelli
dengan 1 janin yang masih hidup sejak awal, tentu dokter sudah
mempersiapkan persalinan dengan cunam tanpa menunggu dan
menghabiskan waktu serta tenaga pasien.
20
Dalam melaksanakan kewajiban pelayanan kesahatan di rumah sakit,
dokter harus melakukan secara maksimal. Jika dalam melaksanakan
kewajibannya dokter melakukan kesalahan maka ia dapat dimintai
pertanggungjawaban. Pasien sebagai pihak yang dirugikan dapat
mengajukan pertangungjawaban dokter melalui gugat berdasarkan
wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Penyelesaian perkara-perkara
wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh dokter
dalam transaksi terapeutik. Juga melalui negosiasi maupunmediasi dengan
mediator dari pihak keluarganya sendiri. karena penyelesaian secara ini
akan lebih cepat dan tidak menggangu kinerja Rumah Sakit sehingga
Rumah Sakit masih tetap bisa melayani pasien lain yang memerlukan
pertolongannya. Biasanya ganti rugi bukan berupa uang tunai tetapi berupa
pembebasan pembayaran selama dalam perawatan baik sebagian maupun
seluruhnya.
Tindakan medik penuh ketidak pastian (uncertainty) dan hasilnyapun
tidak dapat diperhitungkan secara matematik. Hampir semua tindakan
medik memiliki risiko. Tindakan medik tertentu bahkan punya akibat
ikutan yang tak menyenangkan pasien. Semua risiko (jika benar-benar
terjadi) atau semua akibat ikutan (yang tak menyenangkan itu) akan
dirasakan sendiri oleh pasien, bukan oleh orang lain. Risiko maupun akibat
ikutan tersebut biasanya sulit atau bahkan mustahil untuk dapat dipulihkan
kembali. Munculnya pola hidup konsumerisme yang mengandalkan pada
prinsip “He who pays the piper calls the tune” (siapa membayar pengamen
suling, dialah yang menentukan lagunya)
Dokter dan Rumah Sakit, harus mengetahui hukum kesehatan agar dapat
mengetahui hak dan kewajiban masing-masing pihak sehingga tidak ada
yang merasa dirugikan. Hubungan dokter dan pasien harus dibuat
seharmonis mungkin, agar bila terjadi sengketa dapat diselesaikan secara
kekeluargaan. Dokter atau tenaga kesehatan lainnya seharusnya dalam
melakukan pelayanan medis disesuaikan dengan wewenang yang
dimilikinya dengan terus meningkatkan profesionalisme dan kecakapan
serta mengikuti perkembangan tehnologi dan informasi.
21
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hukum kesehatan secara umum diatur dalam suatu regulasi yang dibuat
berdasarkan kepentingan publik. Pengaturan tentang kesehatan saat ini diatur
secara umum dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Adapun materi muatan yang terkandung dalam Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut meliputi 4 (empat) obyek, yaitu :
1. Pengaturan yang berkaitan dengan upaya kesehatan;
2. Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga kesehatan;
3. Pengaturan yang berkaitan dengan sarana kesehatan;
4. Pengaturan yang berkaitan dengan komoditi kesehatan..
Sedangkan mengenai bentuk regulasi hukum kesehatan selain diatur dalam
suatu undang-undang yang mengatur secara umum dan khusus di bagian-
bagian tentang kesehatan juga diatur dalam berbagai regulasi khusus yang
dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan dan berbagai
kode etik. Diantaranya adalah kode etik profesi, kode etik usaha dan berbagai
standar operasional yang dibuat dalam rangka penyelenggaraan upaya
kesehatan.
Terdapat kaitan yang erat mengenai upaya kesehatan, tenaga kesehatan
dan pasien yang menimbulkan hubungan hukum. Hubungan hukum atau
perikatan antara ketiga komponen dalam pelayanan kesehatan, dapat lahir
karena perjanjian dan karena UU. Hubungan hukum antara dokter dan pasien
kebanyakan lahir karena perjanjian, hanya sedikit yang lahir karena UU. Oleh
karena itu ketiga komponen diatas harus memenuhi, mengetahui dan
memahami segala bentuk regulasi yang ada, hal ini untuk mengurangi
berbagai kemungkinan pergesekkan yang dapat menimbulkan suatu implikasi
hukum, khususnya dalam pdalam praktek pemberian pelayanan kesehatan.
22
4.2 Saran
Makalah ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran mata kuliah Hukum
Kesehatan sekaligus dapat memahami materi “Analisa Kasus Kesehatan
dengan Landasan hukum”.
23
DAFTAR PUSTAKA
Soeparto, Pitono, Dkk. (2006). Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan Edisi
Kedua. 2006. Jakarta: Airlangga University Press.
24