Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“ASMOROQONDI”

DISUSUN OLEH
HAURA NURUL KHOTIMAH

KELAS : XI

MA AL MUKLIS
Jl. Raya Kalidadi, Sendang Rejo, Sendang Agung,
Kabupaten Lampung Tengah
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Asmoroqondi” . Tidak lupa saya ucapkan kepada guru
Pendidikan Agama Islam dan teman-teman yang telah memberikan dukungan
dalam menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih banyak kekurangan, baik dalam penulisan maupun dalam
penyajiannya.
Sebagai penulis kami juga mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun. Bila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini, kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Dan kami berharap semoga makalah ini berguna
bagi semua orang yang memerlukan materi ini dan sebagai bahan pelajaran
Wassalamualaikum wr.wb

Way Ratai, 27 Februari 2023

Haura Nurul Khotimah


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................................1
B. Rumusan Pembahasan.....................................................................2
C. Tujuan Kegiatan...............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ziarah .............................................................................3
B. Sejarah Walisongo............................................................................4
C. Silsilah Syekh Ibrahim Asmoroqondi.................................................5
D. Kedatangan Syekh Ibrahim Asmoroqondi.........................................6
E. Keadaan Makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi..................................7
G. Sejarah Syekh Ibrahim Asmoroqondi................................................7
F. Karomah Syekh Ibrahim Asmoroqondi..............................................8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................10
B. Saran................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ibrahim Asmoroqondi yang merupakan keturunan ke 9 nabi Muhammad
SAW.Sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa, nama wali songo mungkin
sudah tak asing di telinga masyarakat. Namun tahukah anda siapa ulama
besar yang menjadi cikal bakal keberadaan para wali tersebut. Dia adalah
ayah Sunan Ampel, yaitu Syeh Malana Ibrahim Asmoro Qondi yang
merupakan keturunan ke 9 nabi Muhammad SAW.
Makam Syeh Maulana Ibrahim Asmoroqondi terletak di Desa Gesikharjo,
Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban.Masjid dan makam Syeh Maulana
Ibrahim Asmoro Qondi hingga kini masih berdiri tegak dengan relief dan
hiasan kaligrafi berusia ratusan tahun.Sejumlah peninggalan bersejarah
seperti petilasan, gapura, dan cungkup makam masih kokoh berdiri
sebagaimana aslinya.
Sementara makam Syeh Maulana Ibrahim Asmoroqondi terletak di sebelah
barat masjid.Dari sekian banyak peninggalan, hanya bangunan masjid
Asmoro Qondhi yang sudah mengalami renovasi, namun tidak mengurangi
bentuk aslinya. Semacam jendela, pintu dan langit-langit masjid yang
dipenuhi lafadz arab berbentuk kaligrafi ukir kayu jati kuno. Konon, masjid
ini merupakan suatu tempat yang mustajabah. Di samping kiri masjid
terdapat sebuah sumur yang airnya diyakini dapat menyembuhkan berbagai
macam penyakit.Selain sumur juga terdapat benda bersejarah seperti bedug,
mimbar dan umpak.
Benda-benda kuno bernilai sejarah ini merupakan eninggalan asli Syeh
Maulana Ibrahim Asmoroqondi yang makamnya terletak di bagian barat
masjid. Syeh Maulana Ibrahim Asmoroqondi merupakan ayah Sunan Ampel
salah satu anggota Majelis Wali Songo. Konsep ajaran Syeh Maulana Ibrahim
Asmoroqondi salah satunya dapat ditelisik di pintu gerbang masjid.Di tempat
itu terpampang tulisan, sabar, nerima, ngalah, loman, akas dan temen, yang
memiliki makna mendalam bagi kehidupan umat manusia di muka bumi.
Menurut Badrun, juru kunci makam, dalam catatan sejarah para ulama, salaf
Syeh Maulana Ibrahim Asmoroqondi merupakan wali tertua atau punjer para
wali di tanah Jawa. Beliau dikenal sebagai pelopor para wali di tanah Jawa.
Dari silsilahnya Syeh Maulana Ibrahim Asmoroqondi masih merupakan
keturunan ke 9 nabi Muhammad SAW, dari garis keturunan putri Sayyidah
Fatimah dengan Sayidina Ali R.A.

B. Rumusan Pembahasan
1. Bagaimana silsilah Syekh Ibrahim Asmoroqondi?
2. Bagaimana kedatangan Syekh Ibrahim Asmoroqondi?
3. Bagaimana keadaan makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi?
4. Bagaimana sejarah Syekh Ibrahim Asmoroqondi?
5. Bagaimana karomah Syekh Ibrahim Asmoroqondi?

C. Tujuan Kegiatan
1. Memahami bagaimana silsilah Syekh Ibrahim Asmoroqondi.
2. Memahami bagaimana kedatangan Syekh Ibrahim Asmoroqondi.
3. Memahami keadaan makam SyekhIbrahimAsmoroqondi
4. Memahami sejarah Syekh Ibrahim Asmoroqondi.
5. Memahami karomah Syekh Ibrahim Asmoroqondi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ziarah
Ziarah adalah salah satu praktik sebagian besar umat beragama yang
memiliki makna moral yang penting.Kadang-kadang ziarah dilakukan ke
suatu tempat yang suci dan penting bagikeyakinan dan iman yang
bersangkutan.Tujuannya adalah untuk mengingat kembali, meneguhkan
iman atau menyucikan diri.Orang yang melakukan perjalanan ini disebut
peziarah. Ziarah kubur adalah mengunjungi makam keluarga, kerabat,
ataupun makam para ulama yang telah berjasa bagi perkembangan agama
Islam.Ada yang melaksanakannya setiap hari jumat, adapula menjelang hari
Raya Idul Fitri, dan ada juga pada bulan-bulan tertentu saat perayaan hari
besar. Hukum ziarah kubur adalah sunnah, artinya, barang siapa yang
melakukannya akan mendapat pahala bagi yang meninggalkannya pun tidak
berdosa.
Sabda Rasulullah SAW :
“Dulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah
kalian ke kuburan, karena itu akan mengingatkan kalian pada akhirat.”
(HR.Muslim)
Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul wahab ziarah kubur ada 3
macam. Yaitu :
1. Ziarah yang syar’i. Dan ini yang di syariatkan dalam Isam. Ada tiga syarat
yang harus dipenuhi.
a. Tidak melakukan safar dalam rangka ziarah. Seperti sabda Rasulullah
SAW. “ Janganlah kalian bepergian jauh melakukan safar kecuali ke
tiga masjid. Masjidku ini, Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
b. Tidak mengucapkan ucapan batil.
c. Tidak mengkhususkan waktu tertentu, karena tidak ada dalilnya.
2. Ziarah Bid’ah. Ialah ziarah yang tidak memenuhi salah satu syarat diatas
atau lebih.
3. Ziarah Syirik. Pelaku ziarah ini mengsekutukan Allah, dengan berdo’a
meminta rizki pada makam si mayit yang di kunjungi, meminta
keberkahan dan kesehatan pada si mayit dan berlebihan dalam
memperlakukan makam si mayit.

B. Sejarah Walisongo
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisong.Pertama adalah wali yang
sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga
dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga
berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat
lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti
tempat.
Walisongo atau WaliSonga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah
Jawa pada abad ke-17.Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara
Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-
Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya
Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam.Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain
yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para
Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain
Wali Songo terdiri dari sembilan wali; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel,
Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria,
Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kali Jaga.
Perkataan wali sendiri berasal dari bahasa Arab.Wala atau waliya yang berarti
qaraba yaitu dekat, yang berperan melanjutkan misi kenabian (Nasution,
1992; Saksono, 1995.Dalam Al-Qur’an istilah ini dipakai dengan pengertian
kerabat, teman atau pelindung. Al-Qur’an menjelaskan:“Allah pelindung
(waliyu) orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir, pelidung-pelindung
(auliya) mereka ialah syetan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada
kegelapan (kekafiran).Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal
didalamnya.”(QS. Al-Baqarah: 257).
C. Silsilah Syekh Ibrahim Asmoroqondi
Syekh Ibrahim Asmoroqondi atau Syekh Ibrahim as-Samarqandi yang dikenal
sebagai ayahanda Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel), makamnya terletak
di Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban. Syekh Ibrahim
Asmoroqondi diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh
kedua abad ke-14.Babad Tanah Jawi menyebut namanya dengan sebutan
Makdum Ibrahim Asmoro atau Maulana Ibrahim Asmoro.Sebutan itu
mengikuti pengucapan lidah Jawa dalam melafalkan as-Samarqandi, yang
kemudian berubah menjadi Asmoroqondi. Menurut Babad Cerbon, Syekh
Ibrahim Asmoroqondi adalah putera Syekh Karnen dan berasal dari negeri
Tulen. Jika sumber data Babad Cerbon ini otentik, berarti Syekh Ibrahim as-
Samarqandi bukan penduduk asli Samarkand, melainkan seorang migran
yang orang tuanya pindah ke Samarkand, karena negeri Tulen yang
dimaksud menunjuk pada nama wilayah Tyulen, kepulauan kecil yang
terletak di tepi timur Laut Kaspia yang masuk wilayah Kazakhstan, tepatnya
dia arah barat Laut Samarkand.
Dalam sejumlah kajian historiografi Jawa, tokoh Syekh Ibrahim Asmoroqondi
acapkali disamakan dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim sehingga
menimbulkan kerumitan dalam menelaah kisah hidup dan asal-usul beserta
silsilah keluarganya, yang sering berujung pada penafian keberadaan Syekh
Ibrahim Asmoroqondi sebagai tokoh sejarah. Padahal, situs makam dan
gapura serta mihrab masjid yang berada dalam lindungan dinas purbakala
menunjuk lokasi dan era yang beda dengan situs makam Maulana Malik
Ibrahim.
Menurut Babad Ngampeldenta, Syekh Ibrahim Asmoroqondi yang dikenal
dengan sebutan Syekh Molana adalah penyebar Islam di negeri Champa,
tepatnya di Gunung Sukasari.Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikisahkan
berhasil mengislamkan Raja Champa dan diambil menantu.Dari isteri puteri
Raja Champa tersebut, Syekh Ibrahim Asmoroqondi memiliki putera bernama
Raden Rahmat. Di dalam Babad Risakipun Majapahit dan Serat Walisana
Babadipun Parawali, Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikisahkan datang ke
Champa untuk berdakwah dan berhasil mengislamkan raja serta menikahi
puteri raja tersebut. Syekh Ibrahim Asmoroqondi juga dikisahkan merupakan
ayah dari Raden Rahmat (Sunan Ampel).
D. Kedatangan Syekh Ibrahim Asmoroqondi
Di dalam naskah Nagarakretabhumi, Syekh Ibrahim Asmoroqondi disebut
dengan nama Molana Ibrahim Akbar yang bergelar Syekh Jatiswara. Seperti
dalam sumber historiografi lain, dalam naskah Nagarakretabhumi, tokoh
Molana Ibrahim Akbar disebut sebagai ayah dari Ali Musada (Ali Murtadho)
dan Ali Rahmatullah, dua bersaudara yang kelak dikenal dengan sebutan
Raja Pandhita dan Sunan Ampel.
Babad Tanah Jawi, Babad Risakipun Majapahit, dan Babad Cerbon
menuturkan bahwa sewaktu Ibrahim Asmoro datang ke Champa, Raja
Champa belum memeluk Islam. Ibrahim Asmoro tinggal di Gunung Sukasari
dan menyebarkan agama Islam kepada penduduk Champa.Raja Champa
murka dan memerintahkan untuk membunuh Ibrahim Asmoro beserta semua
orang yang sudah memeluk agama Islam. Namun, usaha raja itu gagal,
karena ia keburu meninggal sebelum berhasil menumpas Ibrahim Asmoro
dan orang-orang Champa yang memeluk agama Islam. Bahkan, Ibrahim
Asmoro kemudian menikahi Dewi Candrawulan, puteri Raja Champa
tersebut. Dari pernikahan itulah lahir Ali Murtolo (Ali Murtadho) dan Ali
Rahmatullah yang kelak menjadi Raja Pandhita dan Sunan Ampel Babad
Tanah Jawi, Babad Risakipun Majapahit, dan Babad Cerbon menuturkan
bahwa sewaktu Ibrahim Asmoro datang ke Champa, Raja Champa belum
memeluk Islam. Ibrahim Asmoro tinggal di Gunung Sukasari dan
menyebarkan agama Islam kepada penduduk Champa.Raja Champa murka
dan memerintahkan untuk membunuh Ibrahim Asmara beserta semua orang
yang sudah memeluk agama Islam. Namun, usaha raja itu gagal, karena ia
keburu meninggal sebelum berhasil menumpas Ibrahim Asmoro dan orang-
orang Champa yang memeluk agama Islam. Bahkan, Ibrahim Asmoro
kemudian menikahi Dewi Candrawulan, puteri Raja Champa tersebut.Dari
pernikahan itulah lahir Ali Murtolo (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah yang
kelak menjadi Raja Pandhita dan Sunan Ampel.
Menurut urutan kronologi waktu, Syekh Ibrahim Asmoroqondi diperkirakan
datang ke Jawa pada sekitar tahun 1362 Saka/1440 Masehi, bersama dua
orang putera dan seorang kemenakannya serta sejumlah kerabat, dengan
tujuan menghadap Raja Majapahit yang menikahi adik istrinya, yaitu Dewi
Darawati. Sebelum ke Jawa, rombongan Syekh Ibrahim Asmoroqondi singgah
dulu ke Palembang untuk memperkenalkan agama Islam kepada Adipati
Palembang, Arya Damar.Setelah berhasil mengislamkan AdipatiPalembang,
Arya Damar (yang namanya diganti menjadi Ario Abdullah) dan
keluarganya.Syekh Ibrahim Asmoroqondi beserta putera dan kemenakannya
melanjutkan perjalanan ke Pulau Jawa. Rombongan mendarat di sebelah
timur bandar Tuban, yang disebut Gesik (sekarang Desa Gesikharjo,
Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban).
Pendaratan Syekh Ibrahim Asmoroqondi di Gesik dewasa itu dapat dipahami
sebagai suatu sikap kehati-hatian seorang penyebar dakwah Islam.Mengingat
Bandar Tuban saat itu adalah bandar pelabuhan utama Majapahit.Itu
sebabnya Syekh Ibrahim Asmoroqondi beserta rombongan tinggal agak jauh
di sebelah timur pelabuhan Tuban, yaitu di Gesik untuk berdakwah
menyebarkan kebenaran Islam kepada penduduk sekitar. Sebuah kitab
tulisan tangan yang dikenal di kalangan pesantren dengan namaUsui Nem
Bis, yaitu sejilid kitab berisi enam kitab dengan enam
bismillahirrahmanirrahim, ditulis atas nama Syekh Ibrahim Asmoroqondi. Itu
berarti, sambil berdakwah menyiarkan agama Islam, Syekh Ibrahim
Asmoroqondi juga menyusun sebuah kitab.
Menurut cerita tutur yang berkembang di masyarakat, Syekh Ibrahim
Asmoroqondi dikisahkan tidak lama berdakwah di Gesik.Sebelum tujuannya
ke ibukota Majapahit terwujud, Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikabarkan
meninggal dunia.Beliau dimakamkan di Gesik tak jauh dari pantai.Karena
dianggap penyebar Islam pertama di Gesik dan juga ayah dari tokoh Sunan
Ampel, makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikeramatkan masyarakat dan
dikenal dengan sebutan makam Sunan Gagesik atau Sunan Gesik.
Dikisahkan bahwa sepeninggal Syekh Ibrahim Asmoroqondi, putera-
puteranya Ali Murtadho dan Ali Rahmatullah beserta kemenakannya, Raden
Burereh (Abu Hurairah) beserta beberapa kerabat asal Champa lainnya,
melanjutkan perjalanan ke ibukota Majapahit untuk menemui bibi mereka
Dewi Darawati yang menikah dengan Raja Majapahit. Perjalanan ke ibukota
Majapahit dilakukan dengan mengikuti jalan darat dari Pelabuhan Tuban ke
Kutaraja Majapahit.
E. Keadaan Makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi
Masuk ke dalam lokasi pemakaman, terdapat banyak makam di sana.
Sebagian adalah makam keluarga dan sahabat Maulana Ibrahim.“Ada istri
dan sahabat tapi kalau melihat nisannya lancip itu sahabat, kalau
perempuan nisannya kan lurus, terang Agus, sang penjaga makam.
Namun, dari banyak makam yang ada di sana, tentu makam Maulana
Ibrahim Asmoro Qondi yang paling berbeda. Selain karena bangunan
cungkupnya yang besar, juga tak pernah sepi dari peziarah yang kebanyakan
duduk di dekat areal makam.Para peziarah yang datang berasal dari berbagai
daerah.
Setiap hari ramai peziarah, tapi biasanya yang paling ramai malam Jumat
Wage,ungkap Agus. Di dalam kompleks makam Maulana Ibrahim juga
terdapat sebuah masjid, yang terletak di sebelah timur makam.Saat kami
masuk ke dalamnya, terdapat empat soko besar yang menjadi penopang kuat
bangunan masjid.Yang, unik di dalam masjid juga terdapat banyak burung
yang terbang dengan bebas.
Menurut Ali Usman, salah satu juru makam yang lain, masjid yang ada di
kompleks makam tersebut dibangun sebelum makam. “Karena masjid ini
yang mendirikan Maulana Ibrahim, sedangkan makam mulai ada sejak
Maulana Ibrahim meninggal, terang Bapak yang mengaku sudah 20 tahun
menjadi juru makam.

F. Sejarah Syekh Ibrahim Asmoroqondi


Maulana Ibrahim Samarqandi atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Asmoro Qondi ini merupakan salah satu ulama penyebar Islam pada masa
generasi awal.Samarkand adalah daerah di Asia Tengah.Maulana Ibrahim
datang diperkirakan pada abad ke 14 M.
Ulama lain yang datang ke Timur pada tahun 1400-an adalah : Syeikh Ahmad
Jumadil Kubro (wafat di Mojokerto jawa Timur), Syeikh Muhammad Al
Maghribi dari Maroko (wafat di Klaten Jawa Tengah), Syeikh Malik Israil
(wafat di Cilegon), Syeikh Hasanuddin dan Aliyuddin (wafat di Banten), Syeikh
Subakir dari Persia dan Syeikh Maulana Malik Ibrahim (dimakamkan di
Gresik).
Menurut keterangan pada papan silsilah, susunan Sayid Muhahmmad
Alaidrus, yang dipajang di dekat makam, tertulis bahwa Ibrahim Asmoro
Qondi adalah putra dari Sayyid Jamaludin Al Chusain atau Sayyid Jumadil
Kubro (Leluhur Walisongo) bin Ahmad Jalaludin yang nasabnya ke atas
sampai ke Nabi Muhammad saw. Dia menjadi penyebar Islam di daerah
Tuban dan sekitarnya bersama dengan adiknya, Sayyid Abdullah Asyari atau
Sunan Bejagung.

G. Karomah Syekh Ibrahim Asmoroqondi


Syekh Ibrahim Asmaraqandi atau Syekh Ibrahim as-Samarkandy atau Syekh
Ibrahim al-Hadhrami bernama lahir Sayyid Ibrahim al-Ghozi, diperkirakan
lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah
Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah
orang Jawa terhadap as-Samarkandy, hingga akhirnya berubah menjadi
Asmarakandi. Selain itu di kalangan masyarakat Jawa, beliau juga dikenal
dengan nama Raja Pandhita, Sayyid Haji Mustakim, Makdum Brahim
Asmara, Maulana Ibrahim Asmara atau Imam dari Asmara. Menurut versi
Arab, Syekh Ibrahim Asmarakandi adalah seorang ulama besar dari
Samarkand, daerah sekitar Bukhara di Uzbekistan kini.Sebuah daerah yang
sejak dahulu dikenal sebagai daerah berpenduduk Islam yang taat dan juga
para ulamanya yang juga termasyhur. Pada saat yang hampir bersamaan
dengan dikirimnya Syamsuddin al-Wali ke Turki, seorang ulama lain dari
Bukhara bernama Syekh Jamaluddin Akbar al-Husain mengirimkan anaknya
Sayyid Ibrahim al-Ghozi untuk berdakwah ke wilayah timur. Dengan
berpandukan kepada ilham yang diterima oleh ayahnya, Sayyid Ibrahim al-
Ghozi pergi menuju ke Asia Tenggara.Beliau menjumpai ternyata penduduk
timur (Asia Tenggara) masih menganut agama selain Islam. Beliau sadar
bahwa bukan di zamannya lah Islam akan gemilang dan bangkit di timur
seperti yang dimaksudkan dalam hadist Nabi, dan peran beliau hanyalah
sebatas meng-Islamkan wilayah timur. Mula-mula beliau tiba dan kemudian
bermukim di Campa (sekarang Kamboja) selama tiga belas tahun sejak tahun
1379. Di sana , beliau berdakwah kepada masyarakat dan juga Raja Campa
hingga kemudian bersedia masuk Islam. Beliau bahkan kemudian menikahi
Dewi Candha Wulan, putri Raja Campa tersebut, hingga kemudian
menghasilkan dua orang anak, yaitu Raden Ahmad Ali Murtadho (Raden
Santri) dan Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel).
Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M,
Sayyid Ibrahim al-Ghozi yang kemudian bergelar Syekh, hijrah ke Pulau Jawa
bersama keluarganya. Sebelum ke Jawa, pada tahun 1440, mereka singgah
dulu di Palembang untuk memperkenalkan agama Islam kepada Adipati
Palembang waktu itu, Arya Damar. Setelah tiga tahun di Palembang dan
berhasil meng-Islamkan Adipati Arya Damar (yang kemudian berganti nama
menjadi Abdullah) dan keluarganya, barulah kemudian mereka melanjutkan
perjalanannya ke Pulau Jawa. Rombongan mendarat di kota bandar Tuban,
tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai akhirnya Syekh Ibrahim al-
Ghozi yang kemudian dikenal sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit
dan wafat. Beliau kemudian dimakamkan di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban,
Jawa Timur pada sekitar tahun 1444 M. Oleh karena itu, beliau juga
kemudian dikenal sebagai Sunan Nggesik. Sisa rombongan, yang terdiri dari
Raden Rahmat, Raden Santri, Raden Burereh serta beberapa kerabat lainnya,
kemudian melanjutkan perjalanannya ke Trowulan, ibukota Majapahit, untuk
menemui bibi mereka Dewi Andarawati yang telah menikah dengan Raja
Majapahit pada waktu itu, Prabu Brawijaya.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Syekh Ibrahim Asmoroqondi atau Syekh Ibrahim as-Samarqandi yang dikenal
sebagai ayahanda Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel), makamnya terletak
di Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban. Syekh Ibrahim
Asmoroqondi diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh
kedua abad ke-14.
Menurut urutan kronologi waktu, Syekh Ibrahim Asmoroqondi diperkirakan
datang ke Jawa pada sekitar tahun 1362 Saka/1440 Masehi, bersama dua
orang putera dan seorang kemenakannya serta sejumlah kerabat, dengan
tujuan menghadap Raja Majapahit yang menikahi adik istrinya, yaitu Dewi
Darawati. Sebelum ke Jawa, rombongan Syekh Ibrahim Asmoroqondi singgah
dulu ke Palembang untuk memperkenalkan agama Islam kepada Adipati
Palembang, Arya Damar.Setelah berhasilmengislamkan AdipatiPalembang,
Arya Damar (yang namanya diganti menjadi Ario Abdullah) dan
keluarganya.Syekh Ibrahim Asmoroqondi beserta putera dan kemenakannya
melanjutkan perjalanan ke Pulau Jawa. Rombongan mendarat di sebelah
timur bandar Tuban, yang disebut Gesik (sekarang Desa Gesikharjo,
Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban).

B. Saran
Dari uraian materi diatas yang kami buat, penulis menyadari bahwa
didalamnya terdapat banyak kesalahan ataupun kekeliruan didalam kami
menyusunnya, untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi untuk
kebaikan kita bersama.
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin, Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999
Greg, Barton, Biografi Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2003
http://www.kompas.com.sejarah gus dur/2015/06/06/09:30
Santoso, Listiyono, TeoJlogi Politik K.H. Abdurrahman Wahid, Yogyakarta : Ar-
Ruzz, 1999
Sumartana, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta:
Interfidie, 2001
Umaruddin, Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang
Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Wahid, Abdurrhman, Mengurai Hubungan Agama Dan Negara,Jakarta : PT.
Grasindo, 1999
Zainal, Thoha, Kenyelenehan Gus Dur Gugatan Kaum Muda NU dan
TantanganKebudayaan, Yogyakarta: Gama Media, 2001

Anda mungkin juga menyukai