Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Proses masuknya agama islam seperti yang kita ketahui, bahwa Islam itu berjalan secara
damai, meskipun ada juga penggunaan kekuatan oleh penguasa Indonesia untuk menguasai
rakyat atau masyarakat. Secara umum mereka menerima Islam tanpa meninggalkan
kepercayaan dan praktek keagamaan yang lama. Hal ini yang sering dilakukan oleh juru
dakwah di Jawa adalah Walisongo. Mereka mengajarkan Islam dalam bentuk kompromi
dengan kepercayaan-kepercayaan setempat.
Sekitar permulaan abad ke-15 M, daerah-daerah pesisir Jawa atau saat ini dikenal dengan
wilayah Pantura (pantai utara), merupakan daerah-daerah pelabuhan yang ramai dan padat
lalu lintas perdagangan, yang menghubungkan antara Jawa dengan selat Malaka dan Manca
Negara baik masuk maupun yang keluar. Hal inilah yang memberikan pengaruh besar
terhadap sosial budaya penduduk Jawa pada saat itu sebagaimana di daerah-daerah urban,
seperti Surabaya, Gresik, Tuban, Jepara, Pekalongan, Cirebon dan Banten, lebih dikenal
sosok masyarakat yag memiliki ciri-ciri sosial yang unik, urban, keras, terbuka, dan plural.
Yang membedakan dengan daerah-daerah Jawa sebagian pedalaman, cenderung tertutup,
ramah, feodal, dan homogen. Sebagaimana yang dikemukan oleh Cristian Snouck Hurgronje,
seperti dikutip oleh Werthein, bahwa agama Islam pada saat itu bagi orang-orang Jawa
membawa pengaruh positif, karena Islam mampu memberikan rasa aman dan mampu
mengangkat harkat dan martabat Kawulo Cilik (komunitas kecil). Di sini Islam sebagai
agama telah menempatkan fungsi sosialnya yang berorientasi kelapisan bawah. Agama yang
secara tidak sengaja terlihat intensif dengan kehidupan masyarakat kecil Jawa lewat
mekanisme tradisional ekonomi pasar, ia hadir menawarkan pilihan kehidupan sosial yang
memberi rasa persamaan (egalitarianisme) bagi setiap orang.1
Pada prinsipnya Islam mengangkat harkat dan martabat manusia, dengan tidak
meninggalkan budaya setempat. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Walisongo, yang
memiliki peran besar dalam proses penyebaran Islam khususnya di Jawa, yaitu Jawa barat

Masroer, CH. JB, The History of Java, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004), hlm. 26.

yang berpusat di Cirebon dengan tokohnya sunan Syarif Hidayatullah, di Jawa Tengah
dengan pusatnya di Demak, tokohnya dengan panggilan Sunan Kalijaga, kemudian di Kudus,
tokohya dikenal dengan sebutan Sunan Kudus, dan di Muria, tokohnya dikenal dengan
sebutan sunan Muria. Sedangkan di Jawa Timur berpusat di Gresik dengan tokohnya yang
populer dengan panggilan sunan Maulana Malik Ibrahim. Tugas para sunan (wali) tidak
hanya terfokus pada daerah-daerah tersebut, melainkan di daerah-daerah yang melingkupi
kawasan tersebut. Seperti kalau di Jawa Tengah yang diwakili tiga kawasan itu memiliki
peran menyebarkan di daerah Jepara. Di Jawa Tengah mengapa ada tiga wali yang bertugas
menyebarkan Islam, oleh sebagian cerita, konon di Jawa Tengah dan sekitarnya adalah
daerah rawan konflik dan pengaruh agama Hindu-Budha yang sangat kental sekali. Melihat
kondisi semacam inilah para wali mendirikan kerajaan sendiri yang berpusat di Demak
dengan dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raden Patah, yang dikenal sampai saat ini,
bahwa kerajaan Islam pertama kali di Jawa yaitu di Demak. Dengan mendirikan
pemerintahan Islam, akan dirasa lebih mudah untuk menyebarkan Islam di Jawa, De Graf
menyebutnya, pengislaman dengan cara atau melalui jalur politik, cenderung pada kekerasan
itu hanya terjadi di Demak dan Jepara.2
Agama Islam tersebar di Asia Tenggara dan di Kepulauan Indonesia sejak abad ke-12
atau abad ke-13. Masuknya Islam ke berbagai suku bangsa di Kepulauan Indonesia ini tidak
berlangsung dengan jalan yang sama. Suatu kenyataan yang sudah pasti ialah, bahwa di
Sumatera Utara (Aceh) para penguasa di beberapa pelabuhan penting sejak paruh kedua abad
ke-13 telah memeluk Islam. Pada zaman ini pula hagemoni politik di Jawa Timur masih di
tangan raja-raja beragama Syiwa dan Budha.3
Suma Oriental karangan petualang Protugis, Tome Pires, melukiskan keadaan di Jawa
sekitar tahun 1515. Menurutnya, perpindahan kekuasaan politik ke tangan orang-orang Islam
terjadi dengan dua cara. Pertama, Bangsawan-bangsawan Jawa yang kafir dengan sukarela
memeluk agama Islam di tempat mereka memegang kekuasaan , pedagang-pedagang Islam
mencapai martabat tinggi. Kedua, orang-orang asing yang beragama Islam, dari berbagai
bangsa, bertempat tinggal di kampung tersendiri di bandar-bandar, membuat rumah mereka

H.J de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke15 dan 16 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989) hlm 38
3
Drewes New Light dalam H.J de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa:
Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan 16 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989) hlm 18

menjadi kubu pertahanan, dari tempat itulah mereka mengadakan serangan terhadap
perkampungan orang-orang kafir.4
Jatuhnya kerajaan yang beragama Syiwa Budha dan masuknya Islam menandai bahwa
era baru telah datang menghampiri kepulauan Nusantara. Runtuhnya kerajaan Syiwa Budha
Pakuan Padjajaran dan Majapahit merupakan penanda berakhirnya dinasti Syiwa Budha
dalam tanah Jawa.
Runtuhnya kerajaan Majapahit pada kekuasaannya yang membentang begitu luas dan
namanya yang disegani berbagai kerajaan di Asia pun akhirnya runtuh setelah ditinggal
pemimpin yang membawanya kepada kejayaan, Hayam Wuruk. Setelah Hayam Wuruk
wafat, kekuasaan Majapahit berkali kali berganti, konflik internal dalam kerajaan
menyebabkan berbagai perang, mempercepat kehancuran kerajaan yang berhasil hampir
menguasai seluruh daerah di Nusantara dan beberapa daerah di Asia Tenggara ini.5
Munculnya kesultanan Demak juga turut mempercepat penyebaran agama Islam, tak
hanya di Pulau Jawa namun juga di berbagai daerah di Nusantara. Agama Hindu dan Buddha
yang pengaruhnya kuat pada masa masa sebelumnya mulai tergantikan dengan agama
Islam. Runtuhnya Majapahit mengakhiri kejayaan kerajaan kerajaan Hindu dan Buddha di
tanah Nusantara karena setelah Majapahit runtuh, kerajaan kerajaan Islam mulai
bermunculan dan Berjaya termasuk kerajaan Cirebon.
1.2 Rumusan Masalah
Dari permasalahan yang telah dijelaskan di atas, kami mengangkat rumusan masalah
sebagai berikut,
1. Bagaimana awal mula berdirinya kerajaan Cirebon sebagai kerajaan Islam ?
2. Bagaimana dinamika kerajaan Cirebon dalam masa kejayaan hingga keruntuhan ?

BAB II
Awal Mula Kerajaan Cirebon dan Hubungan dengan Kerajaan lain

Awal Mula Kerajaan Cirebon


4

H.J de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud,op cit hlm 28


Haydr Suhardy Runtuhnya kerajaan yang pernah menjadi kekuataan terbesar di Asia Tenggara ini menjadi suatu
titik balik bagi sejarah Indonesia dikutip dari http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/07/kondisi-nusantarasetelah-kekuasaan-majapahit-runtuh diakses pada 27 September 2015, pukul 10.24 WIB
5

Asal mula kata Cirebon adalah sarumban, lalu mengalami perubahan pengucapan
menjadi Caruban. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi Carbon, berubah
menjadi kata Cerbon, dan akhirnya menjadi kata Cirebon. Kata Cirebon berdasarkan
kiratabasa dalam Bahasa Sunda berasal dari Ci artinya air dan rebon yaitu udang kecil
sebagai bahan pembuat terasi.6
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. 7 Kerajaan Cirebon
semula termasuk dalam daerah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran, bahkan menjadi salah satu
kota pelabuhan kerajaan tersebut. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Di awal abad
ke-16, Cirebon masih merupakan sebuah daerah kecil di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Raja Pajajaran hanya menempatkan juru labuhan di sana, bernama Pangeran Walangsungsang,
seorang tokoh yang mempunyai hubungan darah dengan raja Pajajaran. Ketika berhasil
memajukan Cirebon, ia sudah menganut agama Islam. Disebutkan oleh Tome Pires, Islam sudah
ada di Cirebon sekitar 1470-1475 M. Akan tetapi, orang yang berhasil meningkatkan status
Cirebon menjadi sebuah kerajaan adalah Syarif Hidayatullah yang dikenal dengan gelar Sunan
Gunung Jati, pengganti dan keponakan dari Pangeran Walangsungsang. Dialah pendiri dinasti
raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten.
Sunan Gunung Jati lahir tahun 1448 M dan wafat pada 1568 M dalam usia 120 tahun.
Karena kedudukannya sebagai salah seorang Wali Songo, ia mendapat penghormatan dari rajaraja lain di Jawa, seperti Demak dan Pajang. Setelah Cirebon resmi bediri sebagai sebuah
kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan
kerajaan Pajajaran yang masih belum menganut Islam. Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati
mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Minangkabau, Kuningan,
Kawali (Galuh), Sunda Kalapa, dan Banten. Dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan
kaum Muslimin di Banten diletakkan oleh Sunan Gunung Jati tahun 1524 atau 1525 M. Ketka ia
kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Hasanuddin. Sultan inilah yang
menurunkan raja-raja Banten. Ditangan raja-raja Banten tersebut, akhirnya, kerajaan Pajajaran
dikalahkan. Atas prakarsa Sunan Gunung Jati juga penyerangan ke Sunda Kalapa dilakukan
(1527 M). Penyerangan ini dipimpin oleh Falatehan dengan bantuan tentara Demak.
Ekonomi

6
7

R.A. Kern, Masa Awal Kerajaan Cirebon, (Jakarta: Bharata, 1973), hlm. 9
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 215.

Sebagai sebuah kesultanan yang terletak diwilayah pesisir pulau Jawa, Cirebon
mengandalkan perekonomiannya pada perdangangan jalur laut. Dimana terletak Bandar-bandar
dagang yang berfungsi sebagai tempat singgah para pedagang dari luar Cirebon. Juga memiliki
fungsi sebagai tempat jual beli barang dagangan. Cirebon sebagai bandar dagang terbagi menjadi
3 periode, yaitu: Bandar Cirebon masa pra-islam, Bandar Cirebon masa pertumbuhan dan
perkembangan kerajaan islam, dan masa pengaruh kolonial.
Pada masa pra-islam Cirebon masih dalam kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran. Pada
masa ini pula terdapat Bandar dagang yang berada di Dukuh Pasambangan dengan bandar
Muhara Jati. Kapal-kapal yang berlabuh di bandar Muhara Jati antara lain berasal dari Cina,
Arab, Tumasik, Paseh, Jawa Timur, Madura, dan Palembang
Dikatakan bahwa sebelum Tome Pires (1513) Cirebon masih berkeyakinan HinduBuddha. Pada saat ini Ciebon masih dibawah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran. Menurut
cerita tradisi Cirebon mulai memeluk agama islam sekitar tahun 1337 M yang dibawa oleh Haji
Purba. Pada abad 14 M perdagangan dan pelayaran sudah banyak dilakukan oleh orang muslim.
Dari cerita Purwaka Caruban Nagari diperoleh informasi bahwa terjadi perpindahan
Bandar perdagangan. Bandar dagang yang dahulunya terlertak pada Bandar Muhara Jati di
dukuh Pasambangan dipindah kearah selatan yaitu ke Caruban. Alasan mengapa Bandar dagang
dipindahkan, menurut cerita Bandar dagang di Muhara jati mulai berkurang keramaiaannya.
Caruban sendiri dibangun oleh Walangsungsangatau Ki Samadullah atau Cakrabumi sebagai
kuwu dan seterusnya. Sejak Syarif Hidayatullah, Bandar-bandar di Cirebon makin ramai dan
makin baik untuk berhubungan dengan Parsi-Mesir, Arab, Cina, Campa, dan lainnya .Dengan
kedatangan Belanda keadaan ekonomi di Cirebon dikuasai penuh oleh VOC. Dengan
diadakannya perjanjian antara Belanda dengan Cirebon 30 April 1981, Cirebon selalu akan
memelihara kepercayaan terhadap Belanda. Akan tetapi, seluruh komoditi perdagangan di
Cirebon, dikuasai Belanda, hal ini hanya akan menguntungkan pihak Belanda dan merugikan
Cirebon. Belanda menerapkan monopoli perdagangan dan pertanian, salah satu contohnya yaitu
kebijakan menanam 10 pohon kopi tiap kepala keluarga di Priangan Timur. Juga dengan surat
perintah tanggal 1 Maret 1729.
Dari gambaran diatas kita kenali bahwa pihak kesultanan sendiri dalam menjalankan
perekonomian terutama terhadap komoditi-komoditi ekspor kurang, peranannya lebih banyak
ditangan Belanda. Hal itu semuanya jelas dampak negative pengaruh kolonialisme Belanda sejak

perjanjian tahun 1981 dan seterusnya. Dengan perjanjian-perjanjian tersebut Belanda sejak
Kompeni menginginkan penguasaan atas daerah subur produksi kopi dan lainnya dapat
terlaksana, disamping rasa ketakutannya terhadap penguasaan daerah Priangan Timur itu
dikuasai oleh Banten dan juga Mataram Perekonomian Cirebon juga ditunjang oleh kegiatan
masyarakatnya yang menjadi nelayan. Cirebon juga dikenal sebagai kota udang, artinya Cirebon
juga memiliki satu komoditi dagang utama yaitu terasi, petis dan juga garam.
Dalam kehidupan ekonomi juga masih ada peran dari orang asing. Orang asing tersebut
menjadi syahbandar atau yang mengantur tentang ekspor impor perdagangan. Cirebon yang
menjadi syahbandarnya yaitu orang-orang Belanda. Alasan mengapa syahbandar diambil dari
orang-orang asing, karena orang-orang asing dianggap lebih mengetahui tentang cara-cara
perdagangan. Di kota Cirebon juga terdapat pasa tertua yaitu pasar yang terletak di timur laut
alun-alun kraton Kasepuhan dan lainnya di sebelah utara alun-alun kanoman.

Hubungan politik, ekonomi, sosial Kesultanan Cirebon

Perkembangan politik yang terjadi pada Cirebon berawal dari hubungan politiknya
dengan Demak. Hal inilah yang menyebabkan perkembangan Cirebon. Dikatakan oleh Tome
Pires yang menjadi Dipati Cirebon adalah seorang yang berasal dari Gresik. Babad Cirebon
menceritakan tentang adanya kekuasaan kekuasaan Cakrabuana atau Haji Abdullah yang
menyebarkan agama islam di kota tersebut sehingga upeti berupa terasi ke pusat Pajajaran
lambat laun dihentikan.
Selain hubungannya dengan Demak, kehidupan politik pada kala itu juga dipengaruhi
oleh beberapa konflik. Konflik yang terjadi ada konflik internal dan menjadi vassal VOC.
Pertama yang terjadi, dimulai dari keputusan Syarif Hidayatullah yang resmi melepaskan diri
dari kerajaan Sunda tahun 1482. Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1570, dan
kepemimpinannya digantikan oleh anaknya yaitu Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Pada
masa kepemerintahannya, Panembahan Ratu menyaksikan berdirinya karajaan Mataram dan
datangnya VOC di Batavia.
Panembahan Ratu cenderung berperan sebagai ulama dari pada sebagai raja. Sementara
di bidang politik, Panembahan Ratu menjaga hubungan baik dengan Banten dan Mataram

.Setelah wafat pada tahun 1650, dalam usia 102 tahun, Panembahan Ratu digantikan oleh
cucunya, yaitu Pangeran Karim yang dikenal dengan nama Panembahan Girilaya atau
Panembahan Ratu II karena anaknya Pangeran Seda Ing Gayam telah wafat terlebih dahulu .
Ketika terjadi pemberontakan Trunojoyo, Panembahan Senapati dijemput oleh utusan
dari kesultanan Banten ke Kediri. Dalam perjalanan kondisi Senapati yang sakit-sakitan
menyebabkan dia meninggal dunia dan akhirnya dimakamkan di bukit Giriliya. Sedangkan
kedua anaknya dibawa ke Banten, yaitu: Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya.
Namun, kemudian mereka dikembalikan ke Cirebon, disana mereka membagi tiga kekuasaan.
Ketiga penguasa Cirebon ini berusaha untuk menjadikan diri sebagai penguasa tunggal.
Sultan Sepuh merasa bahwa ia yang berhak atas kekuasaan tunggal karena ia anak tertua.
Sementara Sultan Anom, juga berkeinginan yang sama sehingga ia mencoba mencari dukungan
kepada Sultan Banten. Di lain pihak, Pangeran Wangsakerta , yang menjadi pengurus kerajaan
saat kedua kakaknya dibawa ke Mataram, merasa berhak juga menjadi penguasa tunggal. Sultan
Sepuh mencoba mendapat dukungan VOC dengan menawarkan diri menjadi vassal VOC. VOC
sendiri tidak pernah mengakui gelar sultan pemberian Sultan Banten dan selalu menyebut
mereka panembahan.
Dengan surat perjanjian tanggal 7 Januari 1681, Cirebon resmi menjadi vassal VOC.
Jadilah, urusan perdagangan diserahkan kepada VOC, berbagai keputusan terkait Cirebon
(termasuk pergantian sultan, penentuan jumlah prajurit) harus sepersetujuan VOC di Batavia,
ketika para Sultan akan bepergian harus atas ijin VOC dan naik kapal mereka, dalam berbagai
yupacara, pejabat VOC harus duduk sejajar dengan para Sultan (Nina: online).
Setelah kedatangan Belanda ke Cirebon membuat banyak perubahan, khususnya di
bidang politik. Pada tahun 1696, Sultan Anom II atas kehendak VOC menjadi Sultan. Pada
Tahun

1768

kesultanan

Cirebon

dibuang

ke

Maluku.

Situasi politik Cirebon yang sudah terkotak-kotak itu, memang tidak bisa dihindarkan.
Namun ada hal yang menarik, bahwa seorang keturunan Sunan Gunung Jati, yaitu Pangeran Aria
Cirebon, tampak berusaha langsung atau tidak langsung untuk menunjukkan soliditas Cirebon,
sebagai suatu dinasti yang lahir dari seorang Pandita Ratu. Pertama, ketika ia diangkat sebagai
opzigther dan Bupati VOC untuk Wilayah Priangan dan kedua , ia menulis naskah Carita
Purwaka Caruban Nagari

Cirebon banten
Dalam

rangka

menjalin

kerjasama

dengan

negara-negara

tetangga,

Maulana

Hasanuddin menikah dengan puteri Demak dan membantu Demak dalam menaklukkan
Pasuruan (1546). Putera mahkota Banten pun menikah dengan puteri Silebar guna
mempererat hubungan dengan daerah

kekuasaan

yang

jauh

dan

menghindari

kemungkinan datang serangan dari utara (Aceh, Pagaruyung). Sejak awal telah terjalin
hubungan erat dengan Cirebon melalui pertalian keluarga (kedua keluarga keraton keturunan
Susuhunan Jati) dan kerjasama bidang keagamaan, militer, dan diplomatik. Dalam hal ini,
Cirebon pernah membantu Banten dengan mengirim pasukan militer dalam upaya
menduduki ibukota Kerajaan Sunda. Sebaliknya, Banten membantu Cirebon dalam
membebaskan dua orang putera Panembahan Girilaya (1650-1662), yaitu Pangeran
Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yang ditahan diibukota Mataram dan pasukan
Trunojoyo di Kediri tahun 1677. Walaupun begitu, hubungan Banten dengan Cirebon
pernah pula diwarnai oleh suasana lain. Jika terjadi konflik antara Banten dengan
Mataram, Cirebon selalu bersikap netral, walaupun kadang-kadang Banten mendesak
Cirebon agar memihak kepadanya dan kadang-kadang Mataram mendesak Cirebon
akan berpihak kepadanya. Pada tahun 1649 karena mendapat ancaman halus dad Sultan
Mataram, Cirebon mengirim armada untuk menyerang Banten, namun gagal.
Dalam tradisi Banten peristiwa tersebut disebut Pagarage atau Pacaebona).
Disamping itu, atas jasa Banten dalam membebaskan dan mengembalikan Pangeran
Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya dari tahanan Mataram dan tentara Trunojoyo
serta mengembalikan mereka ke Cirebon, bahkan mengangkatnya menjadi Sultan di
Cirebon. sejak 1676 kekuasaan Banten merasuk ke dalam keraton Cirebon. Hal ini
berlangsung sampai tahun 1681.

BAB III
Kejayaan dan Keruntuhan Kesultanan Cirebon

Kejayaan kesultanan Cirebon


Kesultanan Cirebon didirikan pada abad 14

dan masih berdiri hingga sekarang.

Kesultanan Cirebon ini merupakan kerajaan islam pertama yang berdiri di Jawa Barat dan
mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah atau yang lebih
dikenal sebagai sunan Gunung Jati. Pada abad ke-15 dan 16 Kesultanan Cirebon menjadi sebuah
simbol bagi kejayaan islam di Nusantara.
Kesultanan Cirebon yang berada di wilayah pantai utara Jawa dan berada pada perbatasan
antara Jawa Barat dan Jawa Tengah menjadikannya sebagai wilayah starategis dalam jalur
perdagangan dan pelayaran antarpulau di Nusantara maupun dunia. Berdasarkan catatan Tomi
Pires, pada tahun1513 di Cirebon setiap waktu terdapat 3 sampai 4 jung yang belabuh,
sedangkan lancara banyak yang berlabuh. Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber
daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu
pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di
kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya dunia sehingga tidak heran apabila
pelabuhan Cirebon menjadi pelabuhan tingkat internasional, contohnya Pelabuhan Muara Jati.
Pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah, Cirebon tidak hanya berkembang dalam
masalah perekonomian saja, tetapi dalam masalah keagamaan dan politikpun berkembang
dengan pesat. Syarif Hidayatullah dengan giat menyebarkan islam ke wilayah-wilayah
pedalaman di Jawa Barat dan pembangunan mesjib besar sebagai sarana dakwahnya. Dalam
cerita Parahyangan dilukiskan tentang keruntuhan Padjajaran sebagai akibat serangan islam yang
mudah menyebar dan berkembang di Jawa Barat.8
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati merupakan raja Kesultanan Cirebon
menggantikan Pangeran Cakrabuana, dan diyakini sebagai pendiri dinasti-dinasi kesultanan
Cirebon. Syarif Hidayatullah lahir pada tahun 1448. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur
seorang mubaligh dan musafir besar dan memiliki garis keturunan langsung dari Nabi
Muhammad SAW. Ibu Syarif Hidayatullah adalah Nyai Lara Santang, seorang putri keturunan
kerajaan Sunda, anak dari Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) dari pernikahannya dengan
Nyai Subang Larang. Dengan berada pada silsilah keluarga yang terpandang dan berakar agama
8

Kosoh S, Suwarn K. Syafei. 1994. Sejarah Daerah Jawa Barat. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan : Jakarta Hlm. 49

kuat, tidak heran apabila Syarif Hidayatullah menyebarkan islam hingga wilayah Banten dan
pedalaman Jawa Barat.
Cirebon sebagai bagian dari kawasan Nusantara yang ramai dikunjungi para padagang
dunia, menduduki posisi yang sangat sentral dan strategis karena letak geografisnya yang berada
pada teluk yang terlindungi oleh Semenanjung Indramayu dan karang-karang di sebagian lepas
pantai dari terjangan ombak dari arah utara. Jalan masuk untuk berlabuh berada di sebelah utara
Sungai Losari. Kondisi demikian ini telah memungkinkan Pelabuhan Cirebon menjadi pelabuhan
yang berfungsi sebagai pemberhentian kapal-kapal dagang. Apalagi Pelabuhan Cirebon terletak
di tengah-tengah route pelayaran Jalur Sutra di sepanjang Pantai Utara Jawa sehingga memiliki
arti strategis sebagai tempat kapal guna mengambil berbagai persediaan bekal perjalanan dan
barang dagangan. Hal yang paling menonjol dalam konstelasi georafis Pelabuhan Cirebon adalah
keberadaan sungai. Sebelum jalan darat berkembang terutama pada abad XIX, peranan sungai
sebagai jalur transportasi dengan pedalaman cukup penting di Cirebon. Ada beberapa sungai
yang sangat penting peranannya dalam sejarah sebagai jalur transportasi dengan pedalaman yang
letaknya di sekitar Pelabuhan Cirebon yaitu Sungai Cimanuk, Pekik, Kesunean, dan Losari.
Bahwa sungai-sungai di Cirebon berperan sebagai jalan lalu lintas yang dapat dilayari kapal
dagang ke arah pedalaman dapat dibuktikan dengan kesaksian Tome Pires yang mengunjungi
Cirebon pada tahun 1513.
Ia menggambarkan Kota Cirebon sebagai berikut ; The land of Cherimon is next to
sundaThis Cherimon has a good port and there must be three or four junks. This place
Cherimon is about the luagues up the river : junks can go in there. Dapat dipastikan bahwa yang
dimaksud oleh Tome Pires adalah Sungai Kasunean yang dapat dilayari sampai Cirebon Girang
Sementara itu daerah pedalaman yang mengelilingi Kota Cirebon merupakan wilayah yang
tanahnya subur yang terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi dan bahkan daerah pegunungan
dengan beberapa gunung berapi seperti Gunung Ciremai, Gunung Sawal, dan Gunung
Cakrabuana. Dari dataran rendah dihasilkan beras yang berlimpah, sehingga menjadi komoditas
ekspor ke mancanegara. Pada masa selanjutnya terutama setelah tanam paksa daerah ini
menghasilkan tanaman tebu yang utama menduduki ranking keempat di daerah Jawa. Kawasan
pedalaman Cirebon juga menghasilkan kayu yang mutunya sangat bagus untuk pembuatan kapal,
buah-buahan, sayur-sayuran,

berbagai macam daging, dan lain sebagainya. Pada masa itu Pelabuhan Cirebon banyak
dikunjungi kapal-kapal asing. Kunjungan kapal dagang asing yang paling besar adalah
kedatangan armada Laksamana
Chen Ho pada tahun 1401. Pelabuhan Cirebon (Muara Jati) selain dikenal memiliki
kwalitas air bersih yang baik juga memiliki persediaan kayu jati yang melimpah. Kapal kapal
dagang asing yang singgah di Cirebon memanfaatkan untuk mengisi perbekalan air bersih
dan perbaikan kapalnya di galangan kapal yang ada di Cirebon. Kedatangan armada Cheng
Ho ke Cirebon membawa dampak yang sangat besar bagi perkembangan Kerajaan Cirebon
selanjutnya. Dibangunnya menara mercusuar di tepian Pantai Cirebon oleh Cheng Ho
memudahkan kapal-kapal dagang asing untuk singgah di pelabuhan Cirebon dan melakukan
transaksi sehingga fat ambah nilai devisa yang dimiliki oleh Cirebon.
Pangeran Wangsakerta, putra ketiga dari Panembahan Ratu II, mengambil alih Cirebon
ketika ayahnya dan dua saudaranya ditangkap oleh Mataram. Kerajaan Banten, yang masih
memiliki hubungan kekerabatan dengan Cirebon, memutuskan untuk membantu mengembalikan
dua pangeran. Selain itu, Banten juga memiliki motif lain, yaitu untuk menanamkan
pengaruhnya pada Cirebon. Pemberontakan Trunajaya melawan Mataram pada tahun 1677
memberi kesempatan untuk melakukan misi ini. Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten membantu
Trunajaya dalam pemberontakan ini melawan Mataram dan VOC. Dalam penyerangan itu,
Trunojoyo memindahkan pangeran-pangeran tersebut ke Kediri dan Sultan Ageng Tirtayasa
menjemput mereka kembali ke Banten.
Kembalinya

pangeran-pangeran

tersebut

membawa

perubahan

dalam

struktur

pemerintahan. Kesultanan Cirebon dibagi menjadi empat wilayah karena perjanjian antara
Banten dan VOC. Wilayah Pakungwati pada awalnya dibagi menjadi tiga bagian untuk masingmasing pangeran yang sama-sama mengaku mempunyai hak atas tahta mahkota. Tiga bagian ini
adalah Kasepuhan yang dipegang oleh Pangeran Mertawijaya dengan gelar barunya Panembahan
Sepuh; Kanoman yang dipegang oleh Pangeran Kertawijaya, dengan gelar barunya Panembahan
Anom; dan Kacirebonan yang dipegang oleh Pangeran Wangsakerta.
Sulendraningrat mempunyai pendapat yang berbeda mengenai pembagian ini. Ia
menyatakan bahwa Pakungwati dibagi menjadi dua bagian, Kasepuhan milik Pangeran
Mertawijaya dan Kanoman miliki pangeran Kartawijaya. Pangeran Wangsakerta tidak memiliki

hak atas wilayah diatas dan menjadi penasihat Sultan Sepuh yang bergelar Panembahan Toh Pati.
VOC membentuk suatu perjanjian yang ditandatangai oleh kedua pangeran pada tahun 1681
yang membuat Kesultanan Cirebon semakin melemah dan melemah, sampai VOC mempunyai
kuasa penuh atas Cirebon pada tahun 1700.
Dua putra dari Sultan Anon mengkhianati VOC diam-diam dengan cara membangun
pemerintahan di Pangguron Prabonan. VOC mengetahui hal ini dan memanfaatkannya dengan
cara membuat perjanjian dengan Amangkurat I mengenai wilayah Cirebon yang berada di bawah
kekuasaan Mataram. Dengan cara politik devide et impera, Cirebon yang merdeka sejak 1480
sampai 1620 telah berada di bawah kekuasaan VOC sepenuhnya.

BAB IV
KESIMPULAN
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan Cirebon
semula termasuk dalam daerah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran, bahkan menjadi salah
satu kota pelabuhan kerajaan tersebut. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Sunan
Gunung Jati lahir tahun 1448 M dan wafat pada 1568 M dalam usia 120 tahun. Karena
kedudukannya sebagai salah seorang Wali Songo, ia mendapat penghormatan dari raja-raja
lain di Jawa, seperti Demak dan Pajang. Setelah Cirebon resmi bediri sebagai sebuah
kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha
meruntuhkan kerajaan Pajajaran yang masih belum menganut Islam.
Sebagai sebuah kesultanan yang terletak diwilayah pesisir pulau Jawa, Cirebon
mengandalkan perekonomiannya pada perdangangan jalur laut. Dimana terletak Bandarbandar dagang yang berfungsi sebagai tempat singgah para pedagang dari luar Cirebon. Juga
memiliki fungsi sebagai tempat jual beli barang dagangan. Cirebon sebagai bandar dagang
terbagi menjadi 3 periode, yaitu: Bandar Cirebon masa pra-islam, Bandar Cirebon masa
pertumbuhan dan perkembangan kerajaan islam, dan masa pengaruh kolonial.

Anda mungkin juga menyukai