Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adanya penemuan prasasti batu nisan bertanggal 127 Hijriah atau tepatnya
745 Masehi menjawab perdebatan panjang para ahli sejarah mengenai kedatangan
Islam di Indonesia. Prasasti sejarah yang ditemukan di Kecamatan Sandai ini bernilai
tinggi untuk mengungkap bahwa kebudayaan Islam di Ketapang adalah kebudayaan
Islam tertua di Nusantara yang datang pada abad ke-7, bukannya di Aceh.
Sebelumnya, para ahli yang kebanyakan dari barat-Belanda masih berbeda
pendapat tentang waktu penyebaran Islam di Nusantara. Beberapa ahli ada yang
menyebutkan abad ke-10, abad ke-12 dan abad ke-13 sebagai periode paling mungkin
dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara. Berdasarkan kenyataan sejarah,
menurut Koordinator Yayasan Daun Lebar, Ir Gusti Kamboja, mengatakan saat
Islamisasi di Samudera Pasai, Aceh, raja pertamanya Malik Al-Shalih, wafat 698
Hijriah atau 1297 Masehi, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu.
Selain itu, dari hasil penelitian Yayasan Daun Lebar disimpulkan bahwa
bentuk Prasasti Sandai ini tidak sama dengan bentuk batu nisan di Pasai dan Gresik,
Jawa Timur. Batu tersebut bukan pula batu asli dari Kabupaten Ketapang, melainkan
batu impor. Meski penelitian yang dilakukan belum sepenuhnya rampung, yayasan ini
secara giat juga mengumpulkan banyak literatur untuk memperkuat penemuan
tersebut.
Disimpulkan Kamboja, berdasarkan tarikh Prasasti Sandai ini terbukti telah
terjadi koneksi nusantara dengan Arab-Persia pada awal abad ke-7. Pada masa itu
dikenal dalam sejarah sebagai masa kejayaan Dunia Islam. Sejarah umat Islam
mencatat, bahwa pada abad ke-7 di Spanyol masih dikuasai penguasa muslim. Pada
periode ini, Dinasti Umayah (132 M–749 M) dan Dinasti Abbasiyah (750 M–798 M)
telah melakukan ekspansi ke Persia dan Anak Benua India hingga melakukan
pelayaran ke Timur Jauh.
Meskipun pada abad ke-7 penduduk di Kabupaten Ketapang (Kerajaan
Tanjungpura) telah bertemu dan berinteraksi dengan para pedagang Muslim Arab,
belum terdapat bukti tentang terdapatnya penduduk Muslim lokal dalam jumlah yang
besar atau tentang terjadinya Islamisasi substansial di Tanjungpura. Penguasa
Tanjungpura baru memeluk Islam pada tahun 1.590 dengan memakai gelar

1
Panembahan dan Giri, yaitu Panembahan Giri Kusuma dan mengubah nama kerajaan
Hindu Tanjungpura menjadi kerajaan Islam Matan (Arab; tempat permulaan).
Dengan adanya penemuan prasasti batu nisan di Sandai ini (Prasasti Sandai),
dikatakan Kamboja dapat diduga bahwa hubungan antara masyarakat di Tanjungpura
(Borneo Barat) dan Timur Tengah telah terjalin sejak masa-masa awal Islam. Para
pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan anak benua India yang mendatangi
kepulauan Nusantara dan Tiongkok tidak hanya berdagang, tetapi dalam batas tertentu
juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan dalam
makalah ini adalah kerajaan-kerajaan Islam apa saja yang ada di pulau Kalimantan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kerajaan
Dalam sebuah kamus lengkap Bahasa Indonesia, kerajaan diartikan sebagai
bentuk pemerintahan yang dikepalai oleh raja; tandatanda kebesaran raja; martabat
(kedudukan) raja; wilayah kekuasaan seorang raja; sifat sebagai raja; menjadi raja;
naik tahta.[1] Selain itu, kerajaan juga merupakan salah satu bentuk pemerintahan di
mana kepala negara dan atau kepala pemerintahan-nya juga disebut Raja, Ratu,
Kaisar, Permaisuri, Sultan, Baginda, Khalifah dan Emir.
B. Kesultanan Banjar
Sultan Suriansyah merupakan raja pertama dari Kesultanan Banjar dan raja
pertama yang memeluk agama Islam. Agama Islam merupakan agama Negara dan
menempatkan kedudukan para ulama pada tempat yang terhormat dalam Negara.
Kedudukan agama Islam sebagai agama Negara terlihat dengan jelas pada masa
pemerintahan Sultan Adam AlWasik Billah yang mengeluarkan Undang-Undang
Negara pada tahun 1835 yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Sultan
Adam, yang mana dalm Undang-Undang tersebut terlihat jelas bahwa sumber hukum
yang dipergunakan adalah hukum Islam. Oleh karena itu, Kesultanan Banjar disebut
juga sebagai kerajaan Islam, dan oleh karena itu pulalah urang Banjar dikenal sebagai
orang yang beragama Islam.
Kesultanan Banjar adalah kerajaan terakhir yang pernah ada di daerah
Kalimantan Selatan. Kerajaan tertua yang pernah ada adalah kerajaan Tanjungpura
atau Tanjungpuri, sebuah kerajaan migrasi orangorang Melayu dengan membawa
unsur kebudayaan Melayu dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
komunikasi. Banyak pendapat yang berbeda tentang dimana lokalisasi kerajaan
Tanjungpura ini. Salah satu diantaranya ada yang berpendapat bahwa Tanjungpura
merupakan kota Tanjung ibukota Kabupaten Tabalong sekarang ini.
J.J. Ras menyebutkan bahwa Tanjung merupakan sebuah daerah tempat
imigrasi Melayu yang pertama ke Kalimantan. Mpu Prapanca menyebutkan dalam
Negarakartagama (1365) dengan nama Nusa Tanjung Negara dan ini identik dengan
Pulau Hujung Tanah, dengan kota terpenting adalah Tanjungpuri. Pada bagian llain
Mpu Prapanca menyebutkan nama Bakulapura adalah nama lain dari bahasa
Sanskerta untuk menyebutkan nama Tanjungpura. Kalau kerajaan Tanjungpura
3
merupakan migrasi Orang Melayu Sriwijaya, hal ini berarti puela ahwa ke daerah ini
telah masuk unsur kebudayaan agama Budha sebagai agama dari kerajaan Sriwijaya.
Migrasi Melayu ke Kalimantan diperkirakan antara abad ke 12-13 Masehi.
Pada abad ke-13 muncul pula kerajaan Negara Dipa yang kemudian diganti
oleh Negara Daha. Negara Dipa berlokasi di sekitar Amuntai sedangkan Negara Daha
berlokasi sekitar Negara sekarang. Kedua kerajaan ini bercorak Hindu dengan
peninggalan Candi Agung dan Candi Laras. Negara Dipa merupakan kerajaan migrasi
dari Jawa Timur sebagai akibat dari peperangan antara Ken Arok dengan raja
Kertajaya yang dikenal dengan Perang Ganter.
Dalam abad ke-16 muncul perkembangan baru dengan lahirnya Kesultanan
Banjar yang bercorak Islam di Kalimantan Selatan. Kesultanan Banjar berkembang
pesat sampai abad ke-19 merupakan kerajaan Islam merdeka dengan nation baru
bangsa Banjar sebagai warganegara dari sebuah kerajaan (1859-1915) maka bangsa
Banjar sebagai warganegara dari sebuah kerajaan merdeka juga ikut lenyap, dan turun
derajatnya menjadi bangsa jajahan dan kemudian dikenal sebagai Urang Banjar atau
Orang Banjar.
1. Sistem Pemerintahan Kesultanan Banjar
Sebelum Kesultanan Banjar berdiri, pada masa Negaradaha jabatan raja
selalu diambil silih berganti dari pewaris yang sah (sengketa). Kesultanan Banjar
memulai kembali tradisi bahwa raja diganti oleh puteranya, sedangkan jabatan
Mangkubumi (jabatan tertinggi setelah raja) diputuskan dari rakyat biasa yang
mempunyai jasa besar terhadap kerajaan. Saudara raja dapat menjadi Adipati
(raja kecil di daerah kekuasaan/taklukan) tetapi mereka tetap di bawah
Mangkubumi.
Kaum bangsawan yang bergelar Pangeran dan Raden boleh selalu ikut
serta dalam sidang membicarakan masalah negara dan ikut serta memberikan
kesejahteraan bagi rakyat. Mangkubumi dalam perkembangannya disebut juga
Perdana Menteri kemudian berkembang pula sebutan Wazir, ketiga sebutan ini
memiliki tingkat jabatan yang sama hanya berbeda nama. Sebutan untuk sultan
dalam penyebutan acara resmi adalah Yang Mulia Paduka Seri Sultan. Calon
pengganti Sultan disebut Pangeran Mahkota, pada masa pemerintahan Sultan
Adam disebut Sultan Muda.

4
2. Kesultanan Banjar Saat Ini
Kerajaan juga sering disebut dengan kesultanan. Kesultanan Banjar telah
sekian lama tak terangkat ke permukaan, hal ini bisa jadi konon karena
kesultanan ini perang melawan kolonial pada 1857 sehingga kerajaannya dibumi-
hanguskan oleh Belanda. Sejarah mencatat, di bawah komando Pangeran
Hidayatullah II cucu Sultan Adam Al-Washikubillah (1825 – 1857) Perang
Banjar dikobarkan. Upaya perlawan terhadap penjajah ini terus berlanjut turun-
temurun hingga Indonesia mencapai kemerdekaan.
Raja Banjar selama ini memang nyaris tidak terdengar kecuali hanya
melalui keturunannya saja seperti yang bergelar Gusti, Antung dan Andin yang
beranak-pinak dan tersebar di seluruh wilayah Kalimantan, wilayah Nusantara
bahkan mancanegara. Berbeda dengan raja-raja di Kaltim, hingga kini masih
eksis meskipun tanpa kekuasaan di pemerintahan seperti raja dari Kesultanan
Kutai Kartanegara, Ing Martadipura di Tenggarong, raja dari Kesultanan
Bulungan, raja Kesultanan Gunung Tabur dan raja Kesultanan Sambaliung di
Kabupaten Berau.
Meskipun Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan mulai kehilangan
pijak, seiring mangkatnya Sultan Adam sebagai Raja Kesultanan Banjar serta
secara perlahan pula adat dan budaya kesultanan Banjar mulai meredup. Tak
ingin kebudayaan Banjar tersebut punah dan perlunya pelestarian berkelanjutan,
Sabtu (24/7) 2010, resmi terbentuk Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan
Banjar, atau disingkat LAKKB. Bersamaan peresmian pembentukan LAKKB di
Hotel Arum, Banjarmasin, dilantik pula pemangku adat atau pengurus pusat
LAKKB, pemangku adat kabupaten/kota se Kalsel. LAKKB diketuai oleh G Ht
Khairul Saleh dan Sekretaris, Gt Chairinsyah. Bahkan hari itu juga dilaksanakan
musyawarah tinggi adat dan dialog budaya Kesultanan Banjar.
LAKKB punya posisi setingkat dibawah sultan atau raja muda.
Pembentukannya dilakukan sebagai upaya menumbuhkan adat yang mulai
memudar. Adat istiadat yang pudar karena penjajah dan kemajuan jaman.
Kesultanan Banjar berakhir di Martapura.
“Ini ibarat maangkat batang tarandam. Atau membangkitkan nilai luhur
dan kearifan sultan-sultan Banjar. Tidak ada maksud memunculkan feodalisme
tapi mengangkat adat dan budaya Banjar, sekaligus konsolidasi internal,”

5
Selain itu, pembentukan LAKKB juga mendapat perhatian dari Forum
Silaturahmi Kesultanan se Nusantara (FSKN). Sekretaris Jendral FSKN Kanjeng
Pangeran Haryo (KPH) Suroso Gunawan Kusumodiningrat, mengutarakan, ada
135 kerajaan atau kesultanan di nusantara. Sekitar 100 an menyatakan
memberikan dukungan kebangkitan budaya Banjar di Kalsel. “Pelantikan ini
merupakan legalitas pengaturan dan tata cara. Ada kesamaan satu pandangan
kedepan. Sebagai gambaran maka kerajaan atau kesultanan untuk menjadi
anggota FSKN itu tidak mudah. Eksistensi Banjar di FSKN sudah terjadi sejak
2004. Hanya, waktu itu konteknya sebagai tamu. “Adat istiadat itu yang ada dan
tidak ada, seperti turun temurun dilakukan secara rutin. Diangkatnya suatu dinasti
masa lampau adalah pengangkatan pemimpin. Kita tidak mengembalikan feudal
atau monarki, ini adalah kebangkitan budaya Kalsel”.
Dengan demikian titik baru untuk membangun kekerabatan kesultanan
sekaligus membangkitkan budaya yang nyaris hilang ditelan masa telah dicapai
dengan diadakan Penobatan Raja Muda Kesultanan Banjar dan gelar Pangeran
dianugerahkan tokoh adat dan juriat kesultanan Banjar kepada Khairul Saleh yang
juga menjabat Bupati Kabupaten Banjar periode 2010-2014. Selain itu, melalui
struktur kesultanan yang terbentuk diharapkan lebih memperkuat tekad dan
komitmen memelihara kebudayaan sekaligus menjadikan budaya sebagai jati diri
dan kepribadian sebagai masyarakat Banjar.
Penobatan Khairul Saleh sebagai Raja Muda oleh LAKKB (Lembaga
Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar) diiringi dengan beberapa alasan, yaitu:
a. Keturunan. Berdasarkan faktor keturunan ini, Khairul saleh dinobatkan
sebagai Raja Muda Kesultanan Banjar dengan gelar Pangeran H. Khairul
Saleh. Beliau merupakan keturunan dari Raja Banjar yang terakhir yaitu
Sultan Muhammad Seman (1862- 1905). Oleh karena itu pantaslah beliau
diberikan gelar kehormatan sebagai Pangeran (Raja Muda Kesultanan
Banjar).
b. Kekuasaan. Untuk faktor kekuasaan ini, saya menganggapnya sebagai
keberuntungan. Oleh karena sistem pemerintahan Banjar pada saat ini adalah
demokrasi, dimana pemilihan kepala pemerintahan daerah (ex. bupati)
ditentukan oleh masyarakat. Dalam hal ini, yang terpilih untuk menjadi
Bupati daerah Kabupaten Banjar periode 2010-2014 adalah H. Gusti Khairul

6
Saleh sendiri, sehingga dengan demikian dapat dengan mudah pula
penghidupan (pelestarian) kesultanan Banjar.
c. Kebudayaan. Berdasarkan faktor ini, diharapkan dengan penobatan Khairul
Saleh sebagai Raja Muda Kesultanan Banjar dapat melesarikan kebudayaan
Banjar itu sendiri. Meskipun dengan begini tetap tidak dapat mengembalikan
Kesultanan Banjar yang telah punah, namun setidaknya masih bisa
menyelamatkan kebudayaan Banjar untuk dikenang generasi penerus Banjar.
Selain itu, wacana perencanaan mengenai pembangunan replika Keraton
Banjar atau Kesultanan Banjar, tampaknya akan terealisasi. Menariknya, bukan
lagi dikatakan replika tapi langsung disebut Keraton Banjar. Ada tiga lokasi yang
menjadi pilihan, Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru dan Kabupaten Banjar.
Alhasil, Telok Selong, Kabupaten Banjar telah ditetapkan sebagai lokasi
pembangunannya.
Kepastian lokasi pembangunan Keraton Banjar itu diungkapkan Ketua
Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar (LAKKB) Ir H Gt Khairul
Saleh MM, Sabtu (24/7/2010) di Hotel Arum, Banjarmasin. “Lokasi
pembangunan Keraton Banjar di Telok Selong,” demikian diucapkan Khairul
Saleh. Bupati Banjar ini juga menyebutkan, dia sudah menyiapkan lahan seluas 2
hektar sebagai areal pembangunan Keraton Banjar. Terkait dengan pembangunan
Keraton Banjar, berdasarkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 tentang
pedoman fasilitasi organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan, keratin dan
lembaga adat dalam pelestarian dan pengembangan budaya daerah, memuat
pernyataan bahwa pembangunan keraton, lembaga adat, bisa didanai oleh
pemerintah melalui APBD.

C. Kesultanan Kutai
1. Sejarah Berdirinya Kesultanan Kutai
Letak Kesultanan Kutai berada di hulu sungai Mahakam, Kalimantan
Timur yang merupakan Kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Ditemukannya tujuh
buah batu tulis yang disebut Yupa yang mana ditulis dengan huruf Pallawa dan
berbahasa Sanskerta tersebut diperkirakan berasal dari tahun 400 M (abad ke-5).
Prasasti Yupa tersebut merupakan prasasti tertua yang menyatakan telah
berdirinya suatu Kerajaan Hindu tertua yaitu Kesultanan Kutai. Tidak banyak
informasi mengenai Kesultanan Kutai. Hanya 7 buah prasasti Yupa tersebutlah
7
sumbernya. Penggunaan nama Kesultanan Kutai sendiri ditentukan oleh para ahli
sejarah dengan mengambil nama dari tempat ditemukannya prasasti Yupa
tersebut.
Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tugu peringatan yang
dibuat oleh para Brahmana atas kedermawanan Raja Mulawarman. Dituliskan
bahwa Raja Mulawarman, Raja yang baik dan kuat yang merupakan anak dari
Aswawarman dan merupakan cucu dari Raja Kudungga, telah memberikan
20.000 ekor sapi kepada para Brahmana. Dari prasasti tersebut didapat bawah
Kesultanan Kutai pertama kali didirikan oleh Kudungga kemudian dilanjutkan
oleh anaknya Aswawarman dan mencapai puncak kejayaan pada masa
Mulawarman (Anak Aswawarman). Menurut para ahli sejarah nama Kudungga
merupakan nama asli pribumi yang belum terpengaruh oleh kebudayaan Hindu.
Namun anaknya, Aswawarman diduga telah memeluk agama Hindu atas dasar
kata 'warman' pada namanya yang merupakan kata yang berasal dari bahasa
Sanskerta.
Berikut di bawah ini merupakan daftar raja-raja yang pernah memimpin
Kesultanan Kutai, di antaranya adalah sebagai berikut:
 Maharaja Kudungga, gelar anumerta Dewawarman (pendiri)
 Maharaja Aswawarman (anak Kundungga)
 Maharaja Mulawarman (anak Aswawarman)
 Maharaja Marawijaya Warman
 Maharaja Gajayana Warman
 Maharaja Tungga Warman
 Maharaja Jayanaga Warman
 Maharaja Nalasinga Warman
 Maharaja Nala Parana Tungga
 Maharaja Gadingga Warman Dewa
 Maharaja Indra Warman Dewa
 Maharaja Sangga Warman Dewa
 Maharaja Candrawarman
 Maharaja Sri Langka Dewa
 Maharaja Guna Parana Dewa
 Maharaja Wijaya Warman
8
 Maharaja Sri Aji Dewa
 Maharaja Mulia Putera
 Maharaja Nala Pandita
 Maharaja Indra Paruta Dewa
 Maharaja Dharma Setia.
2. Kehidupan Politik Kesultanan Kutai
Dalam kehidupan politik seperti yang dijelaskan dalam yupa bahwa raja
terbesar Kutai adalah Mulawarman, putra Aswawarman dan Aswawarman adalah
putra Kudungga. Dalam yupa juga dijelaskan bahwa Aswawarman disebut
sebagai Dewa Ansuman/Dewa Matahari dan dipandang sebagai Wangsakerta atau
pendiri keluarga raja. Hal ini berarti Asmawarman sudah menganut agama Hindu
dan dipandang sebagai pendiri keluarga atau dinasti dalam agama Hindu.
Untuk itu para ahli berpendapat Kudungga masih nama Indonesia asli dan
masih sebagai kepala suku, yang menurunkan raja-raja Kutai. Dalam kehidupan
sosial terjalin hubungan yang harmonis/erat antara Raja Mulawarman dengan
kaum Brahmana, seperti yang dijelaskan dalam yupa, bahwa Raja Mulawarman
memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana di dalam tanah yang
suci bernama Waprakeswara. Istilah Waprakeswara tempat suci untuk memuja
Dewa Siwa di pulau Jawa disebut Baprakewara. Sejak muncul dan
berkembangnya Pengaruh Hindu di Kaltim, terjadi perubahan dalam tata
pemerintahan, yaitu dari sistem pemerintahan kepala suku menjadi sistem
pemerintahan Raja atau feodal.
3. Kehidupan Sosial Budaya Kesultanan Kutai
Berdasarkan isi prasasti-prasasti Kutai, dapat diketahui bahwa pada abad
ke-4 M di daerah Kutai terdapat suatu masyarakat Indonesia yang telah banyak
menerima pengaruh Hindu. Masyarakat tersebut telah dapat mendirikan suatu
kerajaan yang teratur rapi menurut pola pemerintahan di India. Masyarakat
Indonesia menerima unsur-unsur dari luar dan mengembangkannya sesuai dengan
tradisi bangsa Indonesia. Kehidupan budaya masyarakat Kutai sebagai berikut:
a. Masyarakat Kutai adalah masyarakat yang menjaga akar tradisi budaya
nenek moyangnya.

9
b. Masyarakat yang sangat tanggap terhadap perubahan dan kemajuan
kebudayaan. Menjunjung tingi semangat keagamaan dalam kehidupan
kebudayaannya.
c. Masyarakat Kutai juga adalah masyarakat yang respons terhadap perubahan
dan kemajuan budaya. Hal ini dibuktikan dengan kesediaan masyarakat Kutai
yang menerima dan mengadaptasi budaya luar (India) ke dalam kehidupan
masyarakat.
d. Selain dari itu masyarakat Kutai dikenal sebagai masyarakat yang
menjunjung tinggi spirit keagamaan dalam kehidupan kebudayaannya.
Penyebutan Brahmana sebagai pemimpin spiritual dan ritual keagamaan
dalam yupa-prasasti yang mereka tulis menguatkan kesimpulan itu.
4. Kehidupan Ekonomi Kesultanan Kutai
Kehidupan ekonomi di Kesultanan Kutai dapat diketahui dari dua hal
berikut ini:
a. Letak geografis Kesultanan Kutai berada pada jalur perdagangan antara Cina
dan India. Kesultanan Kutai menjadi tempat yang menarik untuk disinggahi
para pedagang. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kegiatan perdagangan
telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Kutai, di samping pertanian.
b. Keterangan tertulis pada prasasti yang mengatakan bahwa Raja Mulawarman
pernah memberikan hartanya berupa minyak dan 20.000 ekor sapi kepada
para Brahmana.
5. Kehidupan Keagamaan Kesultanan Kutai
Agama Hindu di Kesultanan Kutai mulai berkembang pada masa
pemerintahan Raja Aswawarman. Agama Hindu yang berkembang adalah Hindu
Syiwa sebagai dewa tertinggi tetapi di luar golongan brahmana dan ksatria,
sebagian besar masyarakat Kutai masih menjalankan adat istiadat dan
kepercayaan asli mereka. Jadi, walaupun Hindu telah menjadi agama resmi
kerajaan, masih terdapat kebebasan bagi masyarakatnya untuk menjalankan
kepercayaan aslinya. Dewa Syiwa diyakini sebagai simbol Brahma yang memiliki
kekuatan untuk meleburkan alam semesta. Perkembangan agama Hindu Syiwa
dibuktikan dengan adanya tempat suci yang bernama Waprakeswara yang
digunakan untuk memuja Dewa Syiwa.
Di Kesultanan Kutai, agama Hindu Syiwa menjadi agama resmi,
walaupun hanya berkembang di lingkungan istana. Sedangkan, rakyat Kutai
10
masih pada kepercayaan kaharingan. Kaharingan adalah kepercayaan suku Dayak
di Kalimantan, yang menyembah Ranying Hatalla Langit sebagai pencipta alam
semesta. Kepercayaan ini memiliki beberapa persamaan dengan agama Hindu
satunya penggunaan sesajen. Oleh karena itu, pada tanggal 20 April 1980,
kaharingan dimasukkan dalam kategori agama Hindu.
6. Masa Kejayaan Kesultanan Kutai
Tidak banyak informasi mengenai Kesultanan Kutai yang temukan. Tetapi
menurut prasasti Yupa, puncak kejayaan Kesultanan Kutai berada pada masa
pemerintahan Raja Mulawarman. Pada masa pemerintahan Mulawarman,
kekuasaan Kesultanan Kutai hampir meliputi seluruh wilayah Kalimantan Timur.
Rakyat Kesultanan Kutai pun hidup sejahtera dan makmur.
7. Keruntuhan Kesultanan Kutai
Kesultanan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja
Dharma Setia tewas dalam peperangan melawan Aji Pangeran Sinum Panji yang
merupakan Raja dari Kesultanan Kutai Kartanegara. Kesultanan Kutai dan
Kesultanan Kutai Kartanegara merupakan dua buah kerajaan yang berbeda.
Kesultanan Kutai Kartanegara berdiri pada abad ke-13 di Kutai Lama.
Terdapatnya dua kerajaan yang berada di sungai Mahakam tersebut menimbulkan
friksi di antara keduanya. Pada abad ke-16 terjadi peperangan di antara kedua
Kerajaan tersebut.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kerajaan Islam di Kalimantan awal mulanya terjadi karena Kerajaan Hindu
berperang dengan kerajaan Islam, tetapi akhirnya kerajaan Hindu menyerah di antaranya
kerajaan Hindu di Candi Laras dan Candi Agung di Tanjung Pura. Sebagian rakyat
memeluk agama Islam termasuk sebagian rakyat Dayak di pantai-pantai. Rakyat Dayak
yang telah masuk Islam, ialah yang sering disebut sebagai Dayak melayu, yang
kebanyakan di Kuala Kapuas, Tumpung Laung (Barito) dan beberapa kampung melayu,
sebenarnya mereka tetap suku Dayak, hanya sudah memeluk agama Islam.

A. Saran
Kita perlu mempelajari sejarah kerajaan-kerajaan Islam. Dan kita perlu
mengembangkan wawasan kita tentang sejarah. Karena itu termasuk hal penting.

12
DAFTAR PUSTAKA

Nico, Manus. 2000. Sejarah. Jakarta: Yudhistira.

https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Bulungan

https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_pada_era_kerajaan_Islam#Kerajaan_Islam_
di_Kalimantan

13

Anda mungkin juga menyukai