Dalam salah satu ajaran Islam terdapat hadist Nabi yang menyebutkan “Tuntutlah
ilmu sampai ke negeri Cina”. Pertanyaannya, kenapa yang disebut Cina, bukan
negara-negara Eropa atau lainnya ? Padahal menurut Prof Dr Ahmad Baiquni, negeri
Cina ketika itu belum Islam.
Lalu apa yang harus dipelajari di Cina ? Jelas bukan soal agama, melainkan karena
kebudayaan dan peradabannya yang tinggi. Sudah sejak 3000 tahun (30 abad) sebelum
kelahiran Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa Cina sudah demikian maju
sehingga dikenal sampai ke Timur Tengah khususnya Arab. Mereka sudah menguasai
ilmu astronomi bahkan mempunyai tempat-tempat observasi, mampu membuat
ramuan untuk mengawetkan mayat sampai membuat obat bahan peledak.
Karena menguasai ilmu astronomi itu dengan mudah orang Cina bisa mengembara
sampai ke Timur Tengah.Mereka membuka hubungan dagang sejak Islam mulai
berkembang di Timur Tengah sekitar abad ke 7. Mereka memperkenalkan teknologi
pembuatan kertas dan tinta serta ilmu cetak, dan ternyata hal ini menarik perhatian
orang Arab.
Bangsa Arab menyambut baik kedatangan bangsa Cina beserta ilmu-ilmu yang
dibawanya, khususnya ilmu cetak. Hal ini disebabkan, saat itu bangsa Arab sangat
membutuhkan teknologi pembuatan kertas, tinta, dan ilmu cetak untuk menyatukan
tulisan-tulisan Arab yang ditulis pada pelepah kurma, kulit sapi, dan kulit pohon, yang
tentu saja media menulis tersebut sangat mudah rusak, sukar dibaca, dan sukar didapat.
Dengan “oleh-oleh” dari bangsa Cina itu pulalah, bangsa Arab kemudian mendapatkan
kemudahan untuk menyatukan ayat-ayat Suci Al Qur’an yang diturunkan Allah yang
semula juga dicatat bertebaran di pelepah kurma, kulit unta dan lain-lain. Sebaliknya
orang-orang Cina kembali ke negerinya dengan membawa “oleh-oleh” ajaran Islam.
Oleh karena itu pada abad ke 7, ajaran Islam mulai dikenal di Nusantara, khususnya di
Jawadwipa (kini Jawa), mereka mendarat di Pantai Banten dan menyebarkan Islam di
sana. Selain mendarat di Banten, mereka juga ada yang mendarat di Caruban (kini
dikenal dengan nama Cirebon) melalui pelabuhan Muharajati yang semula merupakan
pelabuhan pusat perdagangan Kerajaan Padjajaran dan Pakuan.
Saat kedatangan orang-orang Cina di Bogor, Kerajaan Tarumanegara sudah berdiri dan
mereka menyebutnya To-lo-mo (Ta-ru-ma menurut lidah mereka). Di Jawa Tengah
mereka mendarat di Semarang dan menyebarkan Islam ke Glagahwangi yang di
kemudian hari dikenal sebagai Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Pangeran Patah
(lebih dikenal Raden Patah). Di daerah ini pula dikenal adanya seorang sultan yang
ketika wafat dimakamkan di Gunung Muria sehingga dikenal sebagai Sunan Muria.
Di Jawa Timur mereka mendarat di Tuban dan Surabaya. Salah satu dari mereka
kemudian menjadi Wali, yang dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Putra dari Sunan
Ampel pun menjadi Wali, yaitu Sunan Bonang. Sunan Ampel dan Sunan Bonang lebih
dikenal dengan nama pribumi. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah masuknya
ajaran Islam di masyarakat Jawa. Di Gresik terdapat makam Sunan Malik Ibrahim atau
Maulana Maghribi.
Prof. Dr. Slamet Muliana telah meneliti dan menghimpun sejarah masuknya Cina ke Jawa
yang dibawa para pedagang Cina itu dan dibukukan. Bahkan di dekat Jepara mereka
memugar Kerajaan Holing yang dikalangan masyarakat Jawa lebih dikenal dengan nama
Keling atau Kalingga.
Nama lain dari Holing adalah Chepo (Jawa). Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja
putri yang bernama Ratu Shima. Ratu Shima adalah seorang ratu keturunan Cina. Di
sekitar Semarang kemudian berdiri kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, Pajang, dan
di kawasan inipun terdapat makam Sunan Demak, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan
Giri, dan lain-lain.
Di Banten ada sebuah peninggalan kuno bangsa Cina yaitu klenteng yang saat ini
merupakan Vihara Budha. Selain orang keturunan Cina yang sering berkunjung kesini
banyak pula para turis macanegara dan lokal mengunjungi klenteng ini, karena mereka
ingin melihat klenteng Cina yang dibangun pada masa sultan Banten dan konon
klenteng tertua di Indonesia.
Dari beberapa petugas serta pengawas klenteng itu, diperoleh keterangan serupa
bahwa Kleteng kami tertua di Jawa, juga di Indonesia ! ujar Sha Ceng (55 tahun)
pengawas sehari-hari klenteng itu.
Dahulu kampung Pabean memang banyak dihuni oleh orang-orang Cina daerah
pelabuhan itu sangat ramai tetapi jauh dari tempat sembahyangnya orang Cina oleh
karena itu kerajaan Banten memberikan bangunan kepada orang-orang Cina di Pabean
sebuah bangunan besar bekas kantor bea (douane) pada masa VOC di pelabuhan Banten.
Bangunan bekas kantor douane itu kemudian di rubah menjadi klenteng dengan
nama Bio Hud Couw.
Keterangan ini hampir sama dengan yang dipaparkan oleh She Cang bahwa klenteng
yang dijaganya sejak tahun 1963 sampai sekarang, semula rumah biasa milik seorang
Kapten VOC yang diserahkan untuk dijadikan tempat sembahyang orang Cina, dan pada
saat itu orang Cina di Banten lebih dari 1300 kepala keluarga.
Pembangunan yang terus dilakukan secara bertahap di sekitar klenteng memang tidak
merubah keaslian klenteng itu sendiri apa lagi yang terletak dibagian tengah klenteng
karena digunakan sebagai altar.
Meskipun klenteng ini sudah berusia 500 tahun, kesan tua dan membosankan untuk di
pandang memenag tidak terpancar sama sekali di banguanan ini, hal ini lebih banyak
disebabkan selain karena perluasan bangunan di sekitar bangunan asli klenteng juga
beberapa pengaruh warna cet merah dengan kombinasi warna kuning yang menyala.
Cat yang banyak melekat didinding tiang serta kusen lainya memeang sering
diperbaharui. Agar warna cat tidak mudar dan tetap indah dipandang para pengunjung.
Lokasi klenteng Cina ini terletak di sebelah barat bangunan Benteng Speelwijk (Benteng
yang dibuat Belanda), berjarak puluhan meter saja karena dipisahkan oleh sebuah parit.
Klenteng ini di bangun pada masa awal Kerajaan Banten, waktu itu Banten dikenal
sebagai pelabuhan rempah-rempah.
Bangunan klenteng ini memiliki ciri khas tersendiri sama seperti bangunan-bangunan
bersejarah di Banten pada umumnya, tetapi bangunan klenteng amat terpelihara
dengan baik dan masih berfungsi sebagai tempat peribadatan para pemeluk agama
Budha hingga kini bahkan dalam perkembangannya di sekitar klenteng ini sekarang
cukup banyak berdiri penginapan yang khusus di bangun untuk menampung para
pengunjung klenteng dari luar kota yang ingin bermalam.
Kita tengok sejarah hubungan antara kesultanaan Banten dengan bangsa Cina pada
masa itu, dilihat dari catatan arkeologi pada setiap tahun banyak perahu Cina yang
berlabuh di Banten, mereka datang untuk berdagang dan melakukan perdagangan
dengan cara barter/menukar dengan lada sebagai bahan utamanya, pada tahun 1614 di
Banten ada 4 buah perahu Cina yang rata-rata berukuran 300 ton.
Sedangkan menurut catatan J. P. Coen perahu Cina membawa barang dagangan bernilai
300.000 real dengan menggunakan 6 buah perahu. Selain sebagai pedagang orang-orang
Cina datang ke Banten sebagai imigran (Clive Day, 1958:69). Intensitas kehadiran para
pedagang Cina cukup meramaikan dalam perdagangan di Banten diiringi pula dengan
kehadiran imigran yang berfekwensi cukup tinggi.
Mata uang Cina yang ditemukan de Houtman di Banten (Rouffer, 1915:122) sebagai
tanda peran serta bangsa Cina pada perdagangan di Baten tidak bisa diangap ringan.
Penemuan mata uang Cina ini oleh tim arkeolodi di Keraton Surosowan terdapat
tulisan Yung Cheng T’ung Pou = Coinage of Stable Peace yang berarti pembuatan mata
uang untuk kesetabialn dan perdamaian, sedangkan pada koin sebaliknya diketahui
huruf Manchu yang artinya tidak diketahui.
Mata uang Cina tersebut berbentuk bulat berlubang segi empat, diameter 2.25-2.80 cm,
tebal 0.10-0.18 cm, dan diameter lubang 0.45-0.60 cm. (Halwany, 1993:36)
Selain itu, akulturasi budaya juga tampak dalam bedug. Alat penanda azan itu ternyata
berasal dari Tiongkok. Sampai sekarang pun, tidak pernah ada bedug di Arab untuk
penanda azan salat lima waktu. Kemudian atap pagoda di Masjid Banten. Lalu budaya
membakar petasan saat Ramadhan dan menjelang Idul Fitri yang asalnya dari Tiongkok.
Budaya-budaya inilah yang sekarang sudah membaur atau berakulturasi dengan budaya
lokal. Orang Tionghoa zaman dulu sudah mengenal puasa. Bahkan, jauh sebelum
agama-agama lain masuk ke sana. Agama purba yang ada di Tiongkok dikenal dengan
Thao Lik atau agama kebajikan atau ajaran kebajikan.
Sebagaimana sudah disebutkan, kedatangan mereka di Pantai Utara Jawa itu di samping
menyebarkan ajaran Islam juga budaya Cina. Oleh karena itu di Sunda Kelapa
(Pelabuhan kerajaan Padjajaran juga) budaya mereka berbaur dengan kebudayaan
penduduk asli yng kemudian menyebut diri mereka sebagai suku Betawi dan hingga kini,
kita mengenal kesenian cokek, lenong, dan lain-lain yang merupakan akulturasi budaya
Cina dan Betawi, yang kini kemudian diklaim sebagai kesenian Betawi.
Musik Tanjidor
Musik Tanjidor yang merupakan musik khas Betawi pun beberapa alat musiknya
menggunakan alat musik khas Cina, seperti rebab, dan lain-lain. Perhatikan pakaian
pengantin Betawi, yang mirip pakaian pengantin di zaman dinasti-dinasti yang berkuasa
di Cina pada abad ke 7. Selain itu bahasa Indonesia pun banyak yang berasal dari
serapan bahasa Cina, misalnya becak (Bhe-chia), kue (koe), dan teh (tee).
Makanan Bakso
Disahkannya UU RI No.12 tahun 2006 (yang menggantikan UU No. 62 tahun 1958) serta
dihapusnya kewajiban orang Tionghoa di Indonesia untuk memiliki SBKRI (Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia) melalui keputusan presiden No. 56 tahun 1996.
memperkuat kedudukan suku Tionghoa di Indonesia sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari bangsa Indonesia. Seperti semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal
Ika” berbeda-beda namun tetap satu. Maka suku-suku di Indonesia tak terkecuali suku
Tionghoa merupakan suku yang telah banyak memperkaya kebudayaan Nusantara.
Jakarta -
Sultan Abul Fath mengirim surat balasan pada Raja Denmark Christian V pada 1671.
Permintaan berniaga diizinkan Kesultanan Banten, dengan catatan Sultan ingin
membeli senjata dan mesiu dari Denmark.
Surat dengan tulisan Arab Sultan Abul Fath putra Sultan Abu al Maali putra Sultan
Abu al Mafakhir putra Sultan Muhammad putra Yusuf putra Hasanuddin
menggunakan huruf pegon Melayu. Baris ke-13 menyebut permintaan senjata agar
dikirim sebagaimana Kapten Hadelar menitip lada pada Angabehi Cakradana.
Sultan Abul Fath kemudian bergelar Sultan Ageng Tirtayasa. Suratnya ke Raja
Denmark masih tersimpan di Royal Library Copenhagen. Berbagai surat dari masa
kesultanan oleh peneliti Titik Pudjiastuti dikumpulkan dalam buku Perang, Dagang,
Persahabatan Surat-Surat Sultan Banten.
Lalu, siapa Angahebi Cakradana yang disebut Sultan Ageng pada bagian surat ke Raja
Denmark Christian V?
Sisa Benteng Speelwijk karya Cakradana. Dibuat menggunakan batu karang dan kapur. Foto:
Bahtiar Rifai
Cloude Guillot dalam Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII menyebutnya Kiai
Ngabehi Cakradana. Dia keturunan Cina penyandang nama Tantseko. Lelaki yang lahir
sebelum 1630 itu mengawali karier sebagai pandai besi. Cakradana kemudian
menduduki jabatan penting di pemerintahan kesultanan sebagai Syahbandar Kota
Cina atau kepala bea cukai di bawah syahbandar utama bernama Kaytsu. Dia
dipercaya menduduki jabatan penting berkat mentornya yang juga seorang Tionghoa.
Keduanya juga dikenal sebagai penasihat sultan yang memeluk agama Islam.
Bersama Kaytsu, Cakradana banyak terlibat perniagaan maritim. Pada Mei 1666 ia
mengirimkan jung (perahu) ke Quang Nam, daerah di Cochinchina yang dikuasai
Dinasti Nguyen. Ia juga terlibat niaga dengan orang Portugis di kantor dagang
Denmark di daerah Cirinmandel.
"Di tahun 1671-1672, ia berniaga dengan orang Eropa di Banten, untuk lada dengan
orang Denmark, dan untuk kemenyan dengan orang Inggris," tulis Guillot. Cakradana
juga memberangkatkan kapal-kapal ke Macao, dan pada 1680 ke Canton dan pesisir
China.
"Ia benar-benar melibatkan diri dalam perniagan jarak jauh dengan cara menyelinap
ke jaringan orang Tionghoa pendukung dinasti Ming. Jaringan ini didirikan di bawah
perlindungan keluarga Zheng yang bermarkas di Taiwan," tulisnya.
Pada masa awal kariernya, Cakradana mendapat kepercayaan penuh dari Sultan
Ageng Tirtayasa. Sumber Inggris pada 1666 menggambarkannya sebagai 'orang yang
paling disukai sultan'. Mengutip Guilhen, Guillot menulis bahwa Cakradana adalah
anak emas raja.
Guillot mengutip, dalam laporan yang dihasilkan loji Inggris, disebutkan bahwa "di
tahun 1671, di Banten telah ada tiga jalan cukup baik dengan sekitar 20 rumah bata di
masing-masing sisi yang dibangun oleh raja dengan toko-toko untuk menampung
mereka (orang-orang Tionghoa)". Guilhen bahkan menulis bahwa Cakradana
membangun jalan atas biaya sendiri.
Pada 1674, syahbandar utama Kaytsu Banten meninggal. Posisi sebagai syahbandar
sempat dipegang oleh istrinya tapi kemudian diambil alih oleh Pangeran Kidul.
Namun, di tangannya perniagaan maritim berjalan sangat buruk.
Pada 1677, raja akhirnya menunjuk Cakradana sebagai syahbandar utama yang baru
di Kesultanan Banten pada 23 Februari.
Setahun kemudian, 1680, perselisihan antara Sultan Ageng dan putranya Sultan Haji
menajam. Sultan Haji kemudian menyingkirkan orang kepercayaan ayahnya tersebut.
Cakradana dipecat dari jabatan syahbandar utama dan digantikan oleh Kiai Arya
Mangunsadana. Ia juga adalah Tionghoa yang mengawali karier sebagai pemikul air.
Guillot menulis, pada 1682, perseteruan antara Sultan Ageng dan Sultan Haji semakin
meruncing. Sultan Haji menyingkirkan saudara-saudaranya dan berhasil berkuasa
atas bantuan dari Belanda. Ditulisnya, Cakradana kemudian pergi ke Cirebon dan
melakukan perniagaan maritim dalam jumlah kecil. Ia juga meninggal di sana lalu
dibawa ke Batavia untuk dikuburkan
[tutup]
Akurasi Terperiksa
Daftar isi
1Sejarah
2Penggolongan
3Pakaian adat
4Kontribusi dalam kelangsungan kolonialisme Belanda
5Masa kini
6Keturunan Dinasti Qing
Nama "Tionghoa Benteng" berasal dari kata "Benteng", nama lama kota Tangerang.
Saat itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai
Cisadane, difungsikan sebagai pos pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan
Banten, benteng ini merupakan benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa.
Masyarakat Tionghoa Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini
telah berkembang menjadi tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten
Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
Menurut kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari
Parahyangan), keberadaan komunitas Tionghoa di Tangerang dan Batavia sudah ada
setidak-tidaknya sejak 1407 NI. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya
rombongan pertama dari dataran Tiongkok yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias
Halung di muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga.
Kemarahan penduduk pribumi dipicu seorang tentara NICA dari etnis Tionghoa
menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Belanda.
Rosihan Anwar dalam harian Merdeka 13 Juni 1946 menulis pada saat itu hubungan
warga Tionghoa Benteng dan pribumi mengalami kemunduran paling ekstrem.
Terlebih setelah Pao An Tui, kelompok pemuda Tionghoa Benteng pro-NICA,
mengirim pasukan bersenjata dan mengungsikan masyarakat Tionghoa Benteng yang
selamat ke Batavia.[1] Namun akhirnya kerusuhan pro-kemerdekaan itu berhasil
diredam oleh koalisi antara tentara Pao An Tui and tentara Kolonial Belanda.
Saat itu, semua etnis Tionghoa Benteng nyaris terusir, dan ketika kembali, mereka
tidak lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh. Tanah-tanah para tuan
tanah diserobot pribumi. Atau, mereka mendapati rumah-rumah, yang mereka
tinggalkan telah rata dengan tanah. Kini mereka kembali terancam kehilangan rumah
mereka karena ambisi pemerintah kota. Kampung itu terletak di DAS Ciliwung, dan
memang melanggar peraturan daerah. Namun, mereka telah ada di situ sebelum
peraturan daerah itu dibuat.
Golongan pertama adalah mereka yang datang pada abad ke-15, mereka datang untuk
menjadi petani, buruh, pekerja, dan pedagang, mereka mencapai Tangerang dengan
menggunakan perahu sederhana, dan pada awalnya hidup pas-pasan dan bekerja sama
dengan kolonial Belanda untuk mencapai standar hidup yang lebih baik. Dewasa ini
kebanyakan Tionghoa Benteng golongan pertama ini hidup pas-pas an dan sudah
terasimilasi dengan budaya pribumi Sunda dan Betawi. Kebanyakan dari mereka
tinggal di pedesaan.
Golongan kedua adalah orang Tionghoa yang datang pada abad ke-18 dan mendapat
restu dan perbekalan dari Kaisar, dengan janji bahwa mereka akan tetap loyal
terhadap Tiongkok dan Kaisar Dinasti Qing. Mereka datang bersama-sama dengan
kapal dagang Belanda, mereka datang dengan motivasi mendapat penghasilan yang
lebih layak dengan menjadi buruh, pedagang, dan banyak juga yang menjadi tentara
kolonial Belanda. Tionghoa Benteng golongan kedua ini juga adalah proyek
pemerintah kolonial Belanda yaitu "One harmony between 3 races, under one loyalty
to the Dutch colonial Empire". Proyek pemerintah kolonial ini adalah
menggabungkan tiga bangsa yaitu Tionghoa, Belanda dan Sunda-Betawi, menjadi
satu etnis dengan komposisi 50% tionghoa, 37,5% Sunda-Betawi dan 12,5% Belanda
dengan harapan "ras baru" ini hanya akan loyal terhadap pemerintah Belanda.
Tionghoa Benteng golongan kedua ini hampir semuanya hidup sejahtera dan mewah.
Pada tahun 1946, terjadi kerusuhan etnis di Tangerang, Pribumi menuduh Tionghoa
berpihak ke Belanda. Terlebih setelah Pao An Tui, tentara Tionghoa Benteng
pro-NICA, mengirim tentara dan mengungsikan masyarakat Tionghoa Benteng yang
selamat ke Batavia. Etnis pribumi pendatang (kebanyakan Jawa dan Madura) beserta
beberapa kelompok religius Sunda dan Betawi melakukan peyerangan terhadap orang
Tionghoa Benteng karena dianggap terlalu loyal terhadap NICA, akhirnya kerusuhan
ini berhasil diredam oleh tentara gabungan NICA dan Pao Au Tui yang membela
orang Tionghoa Benteng.
王 (Hokkien: Ong) adalah karakter Mandarin untuk "raja", yang digunanakan untuk
orang yang merupakan keturunan penguasa, namun tidak pernah berkuasa. Informasi
yang salah menyatakan mereka menggunakan marga Ong karena ibu dari anak haram
itu juga bermarga Ong, namun sebenarnya ini adalah sebuah kebetulan. Nama marga
Wang pertama kali digunakan oleh Keluarga Zi (penguasa Dinasti Shang), kemudian
oleh Keluarga Ji (penguasa Dinasti Zhou) saat mereka sudah tidak berkuasa lagi.
Namun tidak semua orang Tionghoa Benteng bermarga Ong adalah keturunan
Aixinjueluo. Keturunan Kaisar Qianlong kini mengggunakan nama Indonesia Wangsa
Mulya /Wangsa Mulia, untuk membedakan diri dari marga Ong yang lain. Nama
Wangsa Mulia sendiri berasal dari bahasa sanskerta, Wangsa (dinasti), dan Mulia
(murni) apabila diterjemahkan ke bahasa inggris menjadi "Pure Dynasty". Sedangkan
kata "Qing" sendiri berarti "pure". Sehingga secara harafiah Wangsa Mulia dalam
Bahasa Sansekerta berarti "Qing Dynasty".
Seiring waktu, kebanyakan orang dari keluarga Wangsa Mulya tidak menyadari kalau
mereka adalah keturunan Dinasti Qing, namun bagimanapun juga darah dan napas
Kekaisaran Qing Raya tetap mengalir pada diri mereka. Mereka hidup modern namun
memegang teguh sifat ultra-konservatif seperti feodalisme dan anti-feminisme.
Informasi terbaru menyatakan mereka mewarisi Ketuantanahan luas yang meluputi
daerah yang sekarang adalah sebagian dari BSD dan Gading Serpong.