Anda di halaman 1dari 17

AKULTURASI BUDAYA TIONGHOA DENGAN BUDAYA PRIBUMI

Dikutip dari berbagai sumber

Pada catatan sebelumnya, saya mencoba menelusuri sejarah keberadaan masyarakat


keturunan Tionghoa atau China di Kota Pandeglang, dari situ kemudian terbesit suatu
pertanyaan bagaimana pengaruh kebudayaan mereka terhadap kebudayaan pribumi.
Dengan kedatangan dan keberadaan mereka, tentunya hal ini memberikan warna
tersendiri pada kebudayaan Pribumi. Islam yang dikenal sebagai agama global, universal
dan tidak pernah mengenal etnis atau perbedaan apapun. Hubungan baik antara etnis
Tionghoa dengan masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam pun sudah lama
terjalin.

Dalam salah satu ajaran Islam terdapat hadist Nabi yang menyebutkan “Tuntutlah
ilmu sampai ke negeri Cina”. Pertanyaannya, kenapa yang disebut Cina, bukan
negara-negara Eropa atau lainnya ? Padahal menurut Prof Dr Ahmad Baiquni, negeri
Cina ketika itu belum Islam.

Lalu apa yang harus dipelajari di Cina ? Jelas bukan soal agama, melainkan karena
kebudayaan dan peradabannya yang tinggi. Sudah sejak 3000 tahun (30 abad) sebelum
kelahiran Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa Cina sudah demikian maju
sehingga dikenal sampai ke Timur Tengah khususnya Arab. Mereka sudah menguasai
ilmu astronomi bahkan mempunyai tempat-tempat observasi, mampu membuat
ramuan untuk mengawetkan mayat sampai membuat obat bahan peledak.

Karena menguasai ilmu astronomi itu dengan mudah orang Cina bisa mengembara
sampai ke Timur Tengah.Mereka membuka hubungan dagang sejak Islam mulai
berkembang di Timur Tengah sekitar abad ke 7. Mereka memperkenalkan teknologi
pembuatan kertas dan tinta serta ilmu cetak, dan ternyata hal ini menarik perhatian
orang Arab.

Bangsa Arab menyambut baik kedatangan bangsa Cina beserta ilmu-ilmu yang
dibawanya, khususnya ilmu cetak. Hal ini disebabkan, saat itu bangsa Arab sangat
membutuhkan teknologi pembuatan kertas, tinta, dan ilmu cetak untuk menyatukan
tulisan-tulisan Arab yang ditulis pada pelepah kurma, kulit sapi, dan kulit pohon, yang
tentu saja media menulis tersebut sangat mudah rusak, sukar dibaca, dan sukar didapat.

Dengan “oleh-oleh” dari bangsa Cina itu pulalah, bangsa Arab kemudian mendapatkan
kemudahan untuk menyatukan ayat-ayat Suci Al Qur’an yang diturunkan Allah yang
semula juga dicatat bertebaran di pelepah kurma, kulit unta dan lain-lain. Sebaliknya
orang-orang Cina kembali ke negerinya dengan membawa “oleh-oleh” ajaran Islam.

Ajaran Islam tersebut kemudian disebarluaskan pada masyarakat Cina yang


sudah ditulis di atas kertas dengan tinta serta dicetak dalam jumlah yang banyak.
Dapat disimpulkan bahwa bangsa Cina termasuk yang telah mempelopori penyebaran
ajaran Islam keluar dari wilayah Timur Tengah dan menyebarkannya ke wilayah Asia
lainnya, termasuk nantinya ke wilayah Indonesia yang ada di selatan Cina.
Mulailah orang-orang Cina berdatangan ke Indonesia bukan hanya berdagang, namun
seperti ketika mereka ke Arab, orang-orang Cina yang datang ke Indonesia juga
membawa “oleh-oleh” kebudayaan mereka, teknologi pembuatan kertas dan tinta serta
ilmu cetak- mencetak ditambah ajaran Islam yang baru mereka peroleh dari Arab.

Oleh karena itu pada abad ke 7, ajaran Islam mulai dikenal di Nusantara, khususnya di
Jawadwipa (kini Jawa), mereka mendarat di Pantai Banten dan menyebarkan Islam di
sana. Selain mendarat di Banten, mereka juga ada yang mendarat di Caruban (kini
dikenal dengan nama Cirebon) melalui pelabuhan Muharajati yang semula merupakan
pelabuhan pusat perdagangan Kerajaan Padjajaran dan Pakuan.

Saat kedatangan orang-orang Cina di Bogor, Kerajaan Tarumanegara sudah berdiri dan
mereka menyebutnya To-lo-mo (Ta-ru-ma menurut lidah mereka). Di Jawa Tengah
mereka mendarat di Semarang dan menyebarkan Islam ke Glagahwangi yang di
kemudian hari dikenal sebagai Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Pangeran Patah
(lebih dikenal Raden Patah). Di daerah ini pula dikenal adanya seorang sultan yang
ketika wafat dimakamkan di Gunung Muria sehingga dikenal sebagai Sunan Muria.

Di Jawa Timur mereka mendarat di Tuban dan Surabaya. Salah satu dari mereka
kemudian menjadi Wali, yang dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Putra dari Sunan
Ampel pun menjadi Wali, yaitu Sunan Bonang. Sunan Ampel dan Sunan Bonang lebih
dikenal dengan nama pribumi. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah masuknya
ajaran Islam di masyarakat Jawa. Di Gresik terdapat makam Sunan Malik Ibrahim atau
Maulana Maghribi.

Di Jawa Tengah (dekat Semarang) mereka mendirikan Klenteng Sam Po-Kong. Di


klenteng inilah ditemukan catatan sejarah tentang masuknya Cina ke Jawa, serta uraian
bahwa para wali dan tokoh-tokoh pahlawan pun sebagian adalah orang keturunan
Cina, misalnya Adipati Unus, Panembahan Jim Bun, Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan
lain-lain.

Prof. Dr. Slamet Muliana telah meneliti dan menghimpun sejarah masuknya Cina ke Jawa
yang dibawa para pedagang Cina itu dan dibukukan. Bahkan di dekat Jepara mereka
memugar Kerajaan Holing yang dikalangan masyarakat Jawa lebih dikenal dengan nama
Keling atau Kalingga.

Nama lain dari Holing adalah Chepo (Jawa). Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja
putri yang bernama Ratu Shima. Ratu Shima adalah seorang ratu keturunan Cina. Di
sekitar Semarang kemudian berdiri kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, Pajang, dan
di kawasan inipun terdapat makam Sunan Demak, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan
Giri, dan lain-lain.

Di Banten ada sebuah peninggalan kuno bangsa Cina yaitu klenteng yang saat ini
merupakan Vihara Budha. Selain orang keturunan Cina yang sering berkunjung kesini
banyak pula para turis macanegara dan lokal mengunjungi klenteng ini, karena mereka
ingin melihat klenteng Cina yang dibangun pada masa sultan Banten dan konon
klenteng tertua di Indonesia.

Dari beberapa petugas serta pengawas klenteng itu, diperoleh keterangan serupa
bahwa Kleteng kami tertua di Jawa, juga di Indonesia ! ujar Sha Ceng (55 tahun)
pengawas sehari-hari klenteng itu.

Dahulu kampung Pabean memang banyak dihuni oleh orang-orang Cina daerah
pelabuhan itu sangat ramai tetapi jauh dari tempat sembahyangnya orang Cina oleh
karena itu kerajaan Banten memberikan bangunan kepada orang-orang Cina di Pabean
sebuah bangunan besar bekas kantor bea (douane) pada masa VOC di pelabuhan Banten.
Bangunan bekas kantor douane itu kemudian di rubah menjadi klenteng dengan
nama Bio Hud Couw.

Keterangan ini hampir sama dengan yang dipaparkan oleh She Cang bahwa klenteng
yang dijaganya sejak tahun 1963 sampai sekarang, semula rumah biasa milik seorang
Kapten VOC yang diserahkan untuk dijadikan tempat sembahyang orang Cina, dan pada
saat itu orang Cina di Banten lebih dari 1300 kepala keluarga.

Kemudian dalam proses selanjutnya bangunan klenteng itu mengalami perluasan


beberapa puluh meter di areal kosong bagian kiri kanan banguan juga bagian depan
maupun belakang bangunan tersebut, sedangkan di ruang lainnya yang melengkapi
beberapa tempat penampungan para jemaah klenteng.

Pembangunan yang terus dilakukan secara bertahap di sekitar klenteng memang tidak
merubah keaslian klenteng itu sendiri apa lagi yang terletak dibagian tengah klenteng
karena digunakan sebagai altar.

Meskipun klenteng ini sudah berusia 500 tahun, kesan tua dan membosankan untuk di
pandang memenag tidak terpancar sama sekali di banguanan ini, hal ini lebih banyak
disebabkan selain karena perluasan bangunan di sekitar bangunan asli klenteng juga
beberapa pengaruh warna cet merah dengan kombinasi warna kuning yang menyala.
Cat yang banyak melekat didinding tiang serta kusen lainya memeang sering
diperbaharui. Agar warna cat tidak mudar dan tetap indah dipandang para pengunjung.

Lokasi klenteng Cina ini terletak di sebelah barat bangunan Benteng Speelwijk (Benteng
yang dibuat Belanda), berjarak puluhan meter saja karena dipisahkan oleh sebuah parit.
Klenteng ini di bangun pada masa awal Kerajaan Banten, waktu itu Banten dikenal
sebagai pelabuhan rempah-rempah.

Bangunan klenteng ini memiliki ciri khas tersendiri sama seperti bangunan-bangunan
bersejarah di Banten pada umumnya, tetapi bangunan klenteng amat terpelihara
dengan baik dan masih berfungsi sebagai tempat peribadatan para pemeluk agama
Budha hingga kini bahkan dalam perkembangannya di sekitar klenteng ini sekarang
cukup banyak berdiri penginapan yang khusus di bangun untuk menampung para
pengunjung klenteng dari luar kota yang ingin bermalam.
Kita tengok sejarah hubungan antara kesultanaan Banten dengan bangsa Cina pada
masa itu, dilihat dari catatan arkeologi pada setiap tahun banyak perahu Cina yang
berlabuh di Banten, mereka datang untuk berdagang dan melakukan perdagangan
dengan cara barter/menukar dengan lada sebagai bahan utamanya, pada tahun 1614 di
Banten ada 4 buah perahu Cina yang rata-rata berukuran 300 ton.

Sedangkan menurut catatan J. P. Coen perahu Cina membawa barang dagangan bernilai
300.000 real dengan menggunakan 6 buah perahu. Selain sebagai pedagang orang-orang
Cina datang ke Banten sebagai imigran (Clive Day, 1958:69). Intensitas kehadiran para
pedagang Cina cukup meramaikan dalam perdagangan di Banten diiringi pula dengan
kehadiran imigran yang berfekwensi cukup tinggi.

Mata uang Cina yang ditemukan de Houtman di Banten (Rouffer, 1915:122) sebagai
tanda peran serta bangsa Cina pada perdagangan di Baten tidak bisa diangap ringan.
Penemuan mata uang Cina ini oleh tim arkeolodi di Keraton Surosowan terdapat
tulisan Yung Cheng T’ung Pou = Coinage of Stable Peace yang berarti pembuatan mata
uang untuk kesetabialn dan perdamaian, sedangkan pada koin sebaliknya diketahui
huruf Manchu yang artinya tidak diketahui.

Mata uang Cina tersebut berbentuk bulat berlubang segi empat, diameter 2.25-2.80 cm,
tebal 0.10-0.18 cm, dan diameter lubang 0.45-0.60 cm. (Halwany, 1993:36)

Pengaruh budaya Tionghoa dalam berbagai segi kehidupan sehari-hari seperti


makanan terlihat jelas. Di antarnya seperti tahu, tempe, bakso, bakwan, bakpao, bakpia,
lontong cap go meh. Budaya-budaya Tionghoa juga masuk dalam arsitektur seluruh
masjid di sana berarsitektur Tiongkok. Hal itu sangat berbeda dengan arsitektur masjid
di Indonesia.

Bedug adalah suatu alat yg merupakan alukturasi budaya

Selain itu, akulturasi budaya juga tampak dalam bedug. Alat penanda azan itu ternyata
berasal dari Tiongkok. Sampai sekarang pun, tidak pernah ada bedug di Arab untuk
penanda azan salat lima waktu. Kemudian atap pagoda di Masjid Banten. Lalu budaya
membakar petasan saat Ramadhan dan menjelang Idul Fitri yang asalnya dari Tiongkok.
Budaya-budaya inilah yang sekarang sudah membaur atau berakulturasi dengan budaya
lokal. Orang Tionghoa zaman dulu sudah mengenal puasa. Bahkan, jauh sebelum
agama-agama lain masuk ke sana. Agama purba yang ada di Tiongkok dikenal dengan
Thao Lik atau agama kebajikan atau ajaran kebajikan.

Sebagaimana sudah disebutkan, kedatangan mereka di Pantai Utara Jawa itu di samping
menyebarkan ajaran Islam juga budaya Cina. Oleh karena itu di Sunda Kelapa
(Pelabuhan kerajaan Padjajaran juga) budaya mereka berbaur dengan kebudayaan
penduduk asli yng kemudian menyebut diri mereka sebagai suku Betawi dan hingga kini,
kita mengenal kesenian cokek, lenong, dan lain-lain yang merupakan akulturasi budaya
Cina dan Betawi, yang kini kemudian diklaim sebagai kesenian Betawi.
Musik Tanjidor

Musik Tanjidor yang merupakan musik khas Betawi pun beberapa alat musiknya
menggunakan alat musik khas Cina, seperti rebab, dan lain-lain. Perhatikan pakaian
pengantin Betawi, yang mirip pakaian pengantin di zaman dinasti-dinasti yang berkuasa
di Cina pada abad ke 7. Selain itu bahasa Indonesia pun banyak yang berasal dari
serapan bahasa Cina, misalnya becak (Bhe-chia), kue (koe), dan teh (tee).

Selain itu makanan-makanan kegemaran sebagian masyarakat Indonesia pun banyak


yang berasal dari bahasa Cina, seperti bakmie, bakpao, bakso, bakpya, bakwan dan
lain-lain, dan tentunya masyarakat kita tidak lagi mempermasalahkan atau memikirkan
dari mana asal makanan yang enak tersebut. Hal ini disebabkan sudah akrabnya
makanan-makanan tersebut di kalangan masyarakat Indonesia Tentu saja di samping
makanan juga minuman,seperti misalnya daun teh, di mana tanaman ini dikenal berasal
dari Cina Selatan. Budaya Betawi dan budaya suku-suku lainnya di Indonesia seperti
budaya Sunda, budaya Jawa, adalah sebagian dari akar budaya Indonesia. Jadi budaya
Cina yang berakulturasi dengan budaya suku-suku di Indonesia juga merupakan budaya
Indonesia.

Makanan Bakso

Pendatang Cina dan kebudayaannya berkembang pesat di Nusantara. Kini mereka


menjadi suku tersendiri yang disebut Suku Tionghoa. Sesungguhnya suku ini sama
kedudukannya dengan Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Madura, dan lain-lain karena suku
ini sama-sama beranak cucu dan sudah menghuni bumi Nusantara setidaknya sejak
abad ke 7. Sehingga mereka sebenarnya sama-sama sebagai warga negara Indonesia.

Disahkannya UU RI No.12 tahun 2006 (yang menggantikan UU No. 62 tahun 1958) serta
dihapusnya kewajiban orang Tionghoa di Indonesia untuk memiliki SBKRI (Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia) melalui keputusan presiden No. 56 tahun 1996.
memperkuat kedudukan suku Tionghoa di Indonesia sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari bangsa Indonesia. Seperti semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal
Ika” berbeda-beda namun tetap satu. Maka suku-suku di Indonesia tak terkecuali suku
Tionghoa merupakan suku yang telah banyak memperkaya kebudayaan Nusantara.

CINA BENTENG: AKULTURASI DAN TRAGEDI MASA LAMPAU


Posted on 11 March 2016 in Popular.
Wajah kota Tangerang dari permukaan tidaklah terlalu istimewa, hanya terlihat
kegagahan bangunan industri, mall dan hilir mudik bus sebagai penunjang kota satelit.
Tetapi, bila menyelami lebih dalam, kota ini memiliki kisah sejarah masa lalu yang luar
biasa. Dari daerah rebutan hingga alkulturasi antara masyarakat Tionghoa dan pribumi
yang kita kenal sekarang dengan sebutan Cina Benteng (Cibet).
Menyusuri kawasan Pasar Lama-Tangerang, kita akan menemukan ruh kehidupan masa
lalu yang masih hidup. Siang itu, suasana pasar tradisional dengan jalanan yang becek,
aroma sayur, buah, bercampur dengan keringat pedagang dan pembeli. Di depan pasar,
tukang becak yang kebanyakan bermata sipit dengan kulit cokelat masih setia
menunggu penumpang.
Setelah sekitar beberapa meter berjalan melewati pasar. Terlihat pagar cokelat dan
bangunan antic berselimutkan warna merah. Klenteng “Boen Tek Bio” adalah refleksi
masa lalu yang megah dan terhimpit di tengah keriuhan toko-toko di persimpangan
jalan Bhakti dan jalan Cilame, Pasar Lama-Tangerang,
Klenteng “Boen Tek Bio” diperkirakan dibangun pada 1684 dan menjadi klenteng tertua
di Tangerang yang saat ini berusia lebih dari 300 tahun—Boen Tek Bio memiliki arti
berkumpulnya orang-orang intelektual untuk melakukan kebajikan. Boen Tek Bio baru
diresmikan menjadi Klenteng sekaligus perkumpulan keagamaan dan sosial sejak 12
Januari 1912.
Di Klenteng ini, Oey Tjin Eng yang akrab disapa Engkong Tjin Eng menyambut dengan
ramah. Meski seluruh rambutnya telah tertutupi uban, tapi cara bicaranya begitu
bersemangat dan ceplas-ceplos khas Betawi. Tjin Eng telah mengabdikan diri selama 12
tahun sebagai salah satu pengurus utama Klenteng dari generasi ke-8. Dia adalah salah
satu saksi hidup, untuk kita menemukan refleksi sejarah masa lalu Cina Benteng dari
kisah turun-menurun leluhurnya.
Tjin Eng yang tahun ini genap berusia 70 tahun begitu bersemangat menjelaskan
sejarah leluhurnya. Menurutnya, merujuk pada kitab sejarah Sunda “Tina Layang
Parahyang” (Catatan dari Parahyangan) dijelaskan mengenai kedatangan orang-orang
Tionghoa ke Tangerang. Berawal, pada tahun 1407 Masehi (600 tahun yang lalu)
rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) mendarat di daerah Teluk Naga, di muara sungai
Cisadane. Tujuan awal mereka adalah Jayakarta, tapi terpaksa terdampar karena
kapalnya mengalami kerusakan dan kehabisan perbekalan.
Pada masa tersebut yang berkuasa sebagai wakil dari Kerajaan Pajajaran adalah prajurit
Sanghyang Anggalarang. Melihat 9 orang gadis cantik diantara rombongan Halung,
Sanghyang menawarkan untuk mempersunting dengan kompensasi sebidang tanah.
Selanjutnya laki-laki dari rombongan Halung juga menikah dengan penduduk setempat.
“Hasil pernikahan ini disebut dengan peranakan Tionghoa dan cikal bakal Cina Benteng”
tutur Tjin Eng. Perkembangan peranakan Tionghoa semakin meluas, mereka mengaku
dirinya sebagai keturunan Dinasti Tang—meskipun beberapa sumber menyebutnya
dari Dinasti Ming. Keberadaanya meluas dari mendirikan Desa Pangkalan, hingga
membuka lahan baru di kawasan Pasar Lama, Pasar Baru, dan Serpong dengan bukti
keberadaan tiga Klenteng Tua di Tangerang, yaitu Boen tek Bio, Boen San Bio dan Boen
Hay Bio.
Akhirnya, perkampungan yang dikenal dengan petak Sembilan depan klenteng Boen Tak
Bio ini berkembang menjadi pusat perdagangan. Sehingga kawasan pecinan Pasar
Lama ini selalu menjadi salah satu destinasi wisata sejarah Cina Benteng, meski tidak
banyak masyarakat di luar Tangerang yang menyadari keberadaanya.
***
Akulturasi dan Tragedi di Daerah Perebutan
Sebutan Cina Benteng bagi masyarakat peranakan Tionghoa tidak lepas dari sejarah
keberadaan Benteng Makasar dan filosofis nama Tangerang. Asal kata nama Tangerang
menurut tradisi lisan, berasal dari nama bahasa Sunda yaitu “tengger” dan “perang.”
Tengger artinya tanda segala sesuatu yang didirikan dengan kokoh, yaitu tugu yang
didirikan sebagai simbol batas wilayah kekuasaan kesultanan Banten dan VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie)—perusahaan dagang asal Belanda. Sedangkan
pengertian perang yang dimaksud bila kawasan ini menjadi medan perang antara
kesultanan Banten dengan tentara VOC. Jadi Tangerang bermakna “batas perang.”
Benteng (Fort) yang didirikan oleh VOC pada tahun 1683 dikenal dengan nama
Benteng Makassar, karena penjaganya kebanyakan orang Bone (dianggap orang
Makassar) tujuanya untuk pembatas wilayah kesultanan Banten. Keberadaan benteng
pertahanan dipisah oleh sungai Cisadane, benteng Banten di sebelah barat dan VOC
sebelah kiri. VOC lalu membuka hak milik bagi orang-orang yang akan membuka lahan
di kawasan yang masih hutan belukar, kesempatan ini digunakan peranakan Tionghoa
ini yang pandai bertani untuk mendiami lahan di sekitar Benteng. Sehingga, sebutan
Cina Benteng melekat pada peranakan Tionghoa di Tangerang hingga saat ini.
“Jadi yang membuka lahan di sini adalah orang-orang dari peranakan Tionghoa. Dibuat
oleh Belanda untuk menahan Sultan Banten. Yang jadi batasnya sungai Cisadane. Dulu
dari babakan ke Sungai itu banyak bangker-bangker, sekarang sudah kena erosi dan
punah termasuk bentengnya” Jelas Tjien Eng, sembari mengenang. Tjin Eng
menambahkan,“sebenarnya sebutan Cina Benteng yah disini (Pasar Lama), tapi banyak
yang bilang hingga ke berbagai perbatasan Tanggerang, jadi dilumrahkan saja.” Mirisnya
benteng Makassar telah tergantikan oleh Plaza Tangerang. Arkhaik bersejarah ini tak
bisa dilihat dan hanya tinggal ingatan saja.
Cina Benteng kaya akan akulturasi kebudayaan, agama yang banyak dianut adalah
Konghucu, Budha dan Tao. Ritual-ritual keagaaman umat Konghucu menjadi daya tarik
yang menarik. Di antara begitu banyak ritual dan upacara yang dilakukan, menurut
Tjien Eng, terdapat 3 ibadah dan ritual utama.
Pertama, empat sembahyang kepada Tian, Tuhan yang maha Esa— Sembahyang Ci (su)
sembahyang Prasetya dan sujud pada Tuhan saat tahun baru, Sembahyang Yue (YAK)
sembahyang takwa dan Sembayang Chang (SIANG) sembahyang doa dan asa kepada
TUhan yang bermakna perwujudan rasa keterikatan Manusia-Alam-Tuhan sebagai
kesatuan dalam hidup. Sembahyang Zheng (CIEN) sembahyang syukur.
Kedua, sembahyang kepada bumi pada awal tanam, tanam akhir dan panen akhir pada
penanggalan imlek dan ketiga, sembahyang kepada leluhur dan arwah seperti Cengbeng
(nyekar ke kuburan) dan ritual lainnya.
Selain Klenteng “Boen Tek Bio”, salah satu situs kuno yang bisa menjadi saksi bisu
sejarah dan akulturasi kebudayaan masyarakat Cina Benteng adalah “Museum Benteng
Heritage” letaknya tidak jauh dari klenteng dan sama-sama terletak di tengah pecinan
Pasar Lama. Tepatnya jalan Cilame nomor 20. Bangunan Museum Benteng Heritage
dengan arsitektur Tionghoa adalah hasil restorasi dari bangunan rumah kuno yang
diperkirakan terdiri pada abad ke-17. Pada tahun 2009, Udaya Halim salah satu tokoh
Cina Benteng yang perduli pada sejarah leluhurnya, menyulap rumah ini dengan
memakan proses dua tahun hingga menjadi museum pada tahun 2011.
Terdapat dua lantai di museum yang mengisahkan kehidupan masa lalu Cina Benteng,
seperti Prasasti Tangga Djamban yang bertuliskan aksara mandarin dan berangka tahun
1873. Isinya adalah dukungan dari orang-orang Cina saat pemerintahan Kaisar Thong
Tjie kepada sarikat Boen Tek Bio untuk mengumpulkan orang dan uang bagi
pembangunan 30 jalan. Dari prasasti ini kita bisa melihat bahwa di masa lalu, peranakan
Tionghoa juga berkontribusi dalam pembangunan kota Tanggerang.
Di lantai dua, terdapat sejarah kecap Benteng dan patung dewa-dewa juga, sepatu
perempuan berukuran kecil yang menurut tradisi Cina dipakai perempuan dewasa agar
setia pada suami. Ada juga ukiran dan video pernikahan Cina Benteng. Sayangnya,
semua dokumentasi sejarah di lantai dua ini tidak diperkenankan di foto oleh kamera.
Mengamati masyarakat Cina Benteng dari artefak-artefak sejarah,dalam kesehariannya
telah mengalami akulturasi dengan komunitas lokal Betawi dan Sunda. Melalui kawin
campur, kesenian, bahasa dan ritual-ritual keagamaan.
***
Berbicara tentang kehidupan sosial politik masyarakat Cina Benteng, terdapat banyak
sejarah kelam yang menyelimuti kehidupannya. Pasca reformasi, sejak Presiden
Abdurahman Wahid atau Gus Dur (1999-2001) kehidupan masyarakat Cina Benteng
lebih bebas dibanding masa-masa sebelumnya—pada masa Orde Baru dan awal
kemerdekaan. Pada masa Orde Baru, Tjin Eng dan masyarakat Cina Benteng lain,
merasakan diskriminasi yang begitu kental dan otoriter dari pemerintah.
“Sebenarnya, nama Tionghoa jadi Cina itu dibakukan sejak jaman Soeharto, banyak
diskriminasinya” tegas Tjin Eng. Dia lalu memberikan contoh dengan persoalan Kartu
Tanda Penduduk (KTP) yang dibedakan dari Warga Negara Indonesia (WNI) lain
hingga ritual-ritual keagamaan yang sangat dibatasi.
“Pada masa itu, Tionghoa Shionya cuma tiga, hanya Shio Kambing, Sapi dan Kelinci.
Maksudnya, jadi kelinci percobaan, sapi perah dan kambing hitam, yah jaman itu kita
memang kesusahan” jelas Tjin Eng.
Selain masa Orde Baru, kesusahan yang menjadi sejarah gelap Indonesia dan
diharapkan menjadi pelajaran dari masa gelap masyarakat Cina Benteng adalah
pembantaian yang mengorbankan ratusan iiwa pada tanggal 3 Juni 1946. Pada masa
awal kemerdekaan, terdapat isu bila ada seseorang yang menurunkan bendera merah
putih yang masuk wilayah tentara Kenil, atau tentara rakyat. Tepatnya di sebelah barat
Sungai Cisadane, Akibatnya ratusan orang Tionghoa dibantai karena dituduh telah
bekerjasama dengan Belanda. “Semoga peristiwa itu menjadi catatan sejarah dan tidak
terulang lagi” tegas Tjin Eng dengan senyum getir.
Masyarakat Cina Benteng juga tak luput dari stigma masyarakat Cina yang miskin.
Padahal, perlu diketahui bila Tangerang memiliki jumlah etnis Cina terbesar di
Indonesia. Menyusuri Pasar Lama, kerapkali kita akan menemukan mereka menggeluti
pekerjaan sebagai tukang becak dan pedagang kelontong. Pekerjaan lain yang ditekuni
adalah buruh tani, buruh pabrik, petani dan nelayan. Tentu saja pendapatan yang
mereka terima tidak terlalu sepadan untuk memenuhi hidup.
Menurut Tjin Eng, stigma tersebut tidak sepenuhnya benar. Memang kebanyakan Cina
Benteng ini selalu identik bekerja di pasar dan pelabuhan, tapi banyak juga yang jadi
bekerja mapan. Tapi bila merujuk pada ajaran Konfusius dalam Konghucu, bila manusia
wajib untuk bekerja keras. “Di ajaran kami, kalau kita jatuh harus bangun lagi dan saya
kira semua manusia harus seperti itu, termasuk orang Cina.”
Merujuk secara antropologis, eksistensi masyarakat Cina Benteng yang selalu hidup
sejak jaman kolonialisme, tekanan di era revolusi dalam bentuk tragedi pembantaian,
hingga interaksi sosial politik dengan Orde baru yang memarginalisasikan membuat
mereka selalu terpuruk dan tidak dengan mudah berkembang seperti masyarakat
Tionghoa di wilayah Indonesia lain.
Salah satu refleksi yang menarik dari kehidupan masyarakat Cina Benteng adalah
mereka mampu beradaptasi dan berakulturasi di tengah daerah yang rawan konflik,
sarat stigma negatif dan kebijakan-kebijakan yang selalu mendiskriminasi. Semangat
pluralisme ini yang harus selalu kita jaga dan membuktikan bila kita mampu hidup
rukun di tengah keberagaman.
Teks oleh: Ratu Selvi Agnesia
(Dimuat di Majalah Gading Serpong Voice edisi September 2014)
Syahbandar Tionghoa di Kerajaan Islam Banten

Ilustrasi sosok Sultan Ageng Tirtayasa (Kiagoos Auliansyah)

Jakarta -
Sultan Abul Fath mengirim surat balasan pada Raja Denmark Christian V pada 1671.
Permintaan berniaga diizinkan Kesultanan Banten, dengan catatan Sultan ingin
membeli senjata dan mesiu dari Denmark.

Surat dengan tulisan Arab Sultan Abul Fath putra Sultan Abu al Maali putra Sultan
Abu al Mafakhir putra Sultan Muhammad putra Yusuf putra Hasanuddin
menggunakan huruf pegon Melayu. Baris ke-13 menyebut permintaan senjata agar
dikirim sebagaimana Kapten Hadelar menitip lada pada Angabehi Cakradana.

Sultan Abul Fath kemudian bergelar Sultan Ageng Tirtayasa. Suratnya ke Raja
Denmark masih tersimpan di Royal Library Copenhagen. Berbagai surat dari masa
kesultanan oleh peneliti Titik Pudjiastuti dikumpulkan dalam buku Perang, Dagang,
Persahabatan Surat-Surat Sultan Banten.

Lalu, siapa Angahebi Cakradana yang disebut Sultan Ageng pada bagian surat ke Raja
Denmark Christian V?
Sisa Benteng Speelwijk karya Cakradana. Dibuat menggunakan batu karang dan kapur. Foto:
Bahtiar Rifai

Cloude Guillot dalam Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII menyebutnya Kiai
Ngabehi Cakradana. Dia keturunan Cina penyandang nama Tantseko. Lelaki yang lahir
sebelum 1630 itu mengawali karier sebagai pandai besi. Cakradana kemudian
menduduki jabatan penting di pemerintahan kesultanan sebagai Syahbandar Kota
Cina atau kepala bea cukai di bawah syahbandar utama bernama Kaytsu. Dia
dipercaya menduduki jabatan penting berkat mentornya yang juga seorang Tionghoa.
Keduanya juga dikenal sebagai penasihat sultan yang memeluk agama Islam.

Bersama Kaytsu, Cakradana banyak terlibat perniagaan maritim. Pada Mei 1666 ia
mengirimkan jung (perahu) ke Quang Nam, daerah di Cochinchina yang dikuasai
Dinasti Nguyen. Ia juga terlibat niaga dengan orang Portugis di kantor dagang
Denmark di daerah Cirinmandel.

"Di tahun 1671-1672, ia berniaga dengan orang Eropa di Banten, untuk lada dengan
orang Denmark, dan untuk kemenyan dengan orang Inggris," tulis Guillot. Cakradana
juga memberangkatkan kapal-kapal ke Macao, dan pada 1680 ke Canton dan pesisir
China.

"Ia benar-benar melibatkan diri dalam perniagan jarak jauh dengan cara menyelinap
ke jaringan orang Tionghoa pendukung dinasti Ming. Jaringan ini didirikan di bawah
perlindungan keluarga Zheng yang bermarkas di Taiwan," tulisnya.
Pada masa awal kariernya, Cakradana mendapat kepercayaan penuh dari Sultan
Ageng Tirtayasa. Sumber Inggris pada 1666 menggambarkannya sebagai 'orang yang
paling disukai sultan'. Mengutip Guilhen, Guillot menulis bahwa Cakradana adalah
anak emas raja.

Saat perniagaan di Banten maju, proyek-proyek pembangunan pada 1671 mulai


digerakan. Pemukiman Pacinaan dibangun untuk menampung pendukung dinasti
Ming yang melarikan dari China. Ada 120 rumah bata dengan toko lantai di atasnya.

Guillot mengutip, dalam laporan yang dihasilkan loji Inggris, disebutkan bahwa "di
tahun 1671, di Banten telah ada tiga jalan cukup baik dengan sekitar 20 rumah bata di
masing-masing sisi yang dibangun oleh raja dengan toko-toko untuk menampung
mereka (orang-orang Tionghoa)". Guilhen bahkan menulis bahwa Cakradana
membangun jalan atas biaya sendiri.

Pada 1674, syahbandar utama Kaytsu Banten meninggal. Posisi sebagai syahbandar
sempat dipegang oleh istrinya tapi kemudian diambil alih oleh Pangeran Kidul.
Namun, di tangannya perniagaan maritim berjalan sangat buruk.

Pada 1677, raja akhirnya menunjuk Cakradana sebagai syahbandar utama yang baru
di Kesultanan Banten pada 23 Februari.

Di tahun awal posisinya sebagai syahbandar, Cakradana melanjutkan proyek


pembangunan, khususnya benteng di sisi laut sebelah barat. Selain itu, dibangun pula
benteng pertahanan di Carang Ontogh (Karangantu) dan selesai pada Maret 1679.

Setahun kemudian, 1680, perselisihan antara Sultan Ageng dan putranya Sultan Haji
menajam. Sultan Haji kemudian menyingkirkan orang kepercayaan ayahnya tersebut.
Cakradana dipecat dari jabatan syahbandar utama dan digantikan oleh Kiai Arya
Mangunsadana. Ia juga adalah Tionghoa yang mengawali karier sebagai pemikul air.

Guillot menulis, pada 1682, perseteruan antara Sultan Ageng dan Sultan Haji semakin
meruncing. Sultan Haji menyingkirkan saudara-saudaranya dan berhasil berkuasa
atas bantuan dari Belanda. Ditulisnya, Cakradana kemudian pergi ke Cirebon dan
melakukan perniagaan maritim dalam jumlah kecil. Ia juga meninggal di sana lalu
dibawa ke Batavia untuk dikuburkan

[tutup]

Ikuti Wikipedia bahasa Indonesia di Facebook, Twitter,


Instagram, dan Telegram
Tionghoa Benteng
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Akurasi Terperiksa

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia


Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi
artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.

Artikel atau bagian artikel ini tidak memiliki referensi atau


sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan.perbaiki
artikel iniPengurus

Pernikahan pada kalangan Tionghoa Benteng.

Tionghoa Benteng adalah panggilan yang mengacu kepada masyarakat keturunan


Tionghoa yang tinggal di daerah Tangerang, provinsi Banten.

Daftar isi
 1Sejarah
 2Penggolongan
 3Pakaian adat
 4Kontribusi dalam kelangsungan kolonialisme Belanda
 5Masa kini
 6Keturunan Dinasti Qing

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Denah Benteng Tangerang tertanggal 1709

Nama "Tionghoa Benteng" berasal dari kata "Benteng", nama lama kota Tangerang.
Saat itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai
Cisadane, difungsikan sebagai pos pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan
Banten, benteng ini merupakan benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa.
Masyarakat Tionghoa Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini
telah berkembang menjadi tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten
Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.

Menurut kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari
Parahyangan), keberadaan komunitas Tionghoa di Tangerang dan Batavia sudah ada
setidak-tidaknya sejak 1407 NI. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya
rombongan pertama dari dataran Tiongkok yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias
Halung di muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga.

Warga Tionghoa Benteng sempat bersitegang dengan penduduk pribumi setelah


Proklamasi Kemerdekaan. Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah etnis Tionghoa di
Tangerang diobrak-abrik. Penduduk yang didukung oleh kaum Republik menjarah
rumah-rumah warga Tionghoa Benteng. Bahkan meja abu, yang merupakan bagian
dari ritual penghormatan leluhur tionghoa, ikut dicuri.

Kemarahan penduduk pribumi dipicu seorang tentara NICA dari etnis Tionghoa
menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Belanda.
Rosihan Anwar dalam harian Merdeka 13 Juni 1946 menulis pada saat itu hubungan
warga Tionghoa Benteng dan pribumi mengalami kemunduran paling ekstrem.
Terlebih setelah Pao An Tui, kelompok pemuda Tionghoa Benteng pro-NICA,
mengirim pasukan bersenjata dan mengungsikan masyarakat Tionghoa Benteng yang
selamat ke Batavia.[1] Namun akhirnya kerusuhan pro-kemerdekaan itu berhasil
diredam oleh koalisi antara tentara Pao An Tui and tentara Kolonial Belanda.

Saat itu, semua etnis Tionghoa Benteng nyaris terusir, dan ketika kembali, mereka
tidak lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh. Tanah-tanah para tuan
tanah diserobot pribumi. Atau, mereka mendapati rumah-rumah, yang mereka
tinggalkan telah rata dengan tanah. Kini mereka kembali terancam kehilangan rumah
mereka karena ambisi pemerintah kota. Kampung itu terletak di DAS Ciliwung, dan
memang melanggar peraturan daerah. Namun, mereka telah ada di situ sebelum
peraturan daerah itu dibuat.

Penggolongan[sunting | sunting sumber]


Orang Tionghoa Benteng terbagi menjadi dua golongan berdasarkan keberangkatan
mereka dari Tiongkok:

Golongan pertama adalah mereka yang datang pada abad ke-15, mereka datang untuk
menjadi petani, buruh, pekerja, dan pedagang, mereka mencapai Tangerang dengan
menggunakan perahu sederhana, dan pada awalnya hidup pas-pasan dan bekerja sama
dengan kolonial Belanda untuk mencapai standar hidup yang lebih baik. Dewasa ini
kebanyakan Tionghoa Benteng golongan pertama ini hidup pas-pas an dan sudah
terasimilasi dengan budaya pribumi Sunda dan Betawi. Kebanyakan dari mereka
tinggal di pedesaan.

Golongan kedua adalah orang Tionghoa yang datang pada abad ke-18 dan mendapat
restu dan perbekalan dari Kaisar, dengan janji bahwa mereka akan tetap loyal
terhadap Tiongkok dan Kaisar Dinasti Qing. Mereka datang bersama-sama dengan
kapal dagang Belanda, mereka datang dengan motivasi mendapat penghasilan yang
lebih layak dengan menjadi buruh, pedagang, dan banyak juga yang menjadi tentara
kolonial Belanda. Tionghoa Benteng golongan kedua ini juga adalah proyek
pemerintah kolonial Belanda yaitu "One harmony between 3 races, under one loyalty
to the Dutch colonial Empire". Proyek pemerintah kolonial ini adalah
menggabungkan tiga bangsa yaitu Tionghoa, Belanda dan Sunda-Betawi, menjadi
satu etnis dengan komposisi 50% tionghoa, 37,5% Sunda-Betawi dan 12,5% Belanda
dengan harapan "ras baru" ini hanya akan loyal terhadap pemerintah Belanda.
Tionghoa Benteng golongan kedua ini hampir semuanya hidup sejahtera dan mewah.

Pakaian adat[sunting | sunting sumber]


Pakaian adat suku Tionghoa Benteng merupakan perpaduan antara pakaian adat suku
besar Tionghoa (yang didominasi suku Hokkian) dan pakaian adat suku Betawi.
Pakaian adat prianya berupa baju koko hitam dan celana panjang, dengan topi yang
khas yang mirip dengan caping. Sedangkan pakaian adat wanitanya dinamakan hwa
kun, yang berupa blus dan bawahan lengkap dengan hiasan kepala serta tirai penutup
wajah. Namun seringkali digunakan pula kebaya encim, dengan aksen kembang
goyang sebagai hiasan kepala, yang menunjukkan pengaruh Betawi dalam pakaian
tersebut.

Kontribusi dalam kelangsungan kolonialisme


Belanda[sunting | sunting sumber]
Mereka berkontribusi besar terhadap kelangsungan kekuasaan kolonial Belanda di
Tangerang, banyak dari mereka yang diangkat menjadi kapitein Tionghoa pada era
feodalisme tuan tanah di Tangerang, dan mereka sangat loyal terhadap Belanda. Pada
saat Jepang menduduki Indonesia, mereka melawan Jepang dengan gagah berani
walaupun akhirnya kalah. Tangerang merupakan daerah terakhir yang dikuasai
Belanda di pulau Jawa, daerah ini baru diserahkan kepada Republik pada tahun 50-an.

Pada tahun 1946, terjadi kerusuhan etnis di Tangerang, Pribumi menuduh Tionghoa
berpihak ke Belanda. Terlebih setelah Pao An Tui, tentara Tionghoa Benteng
pro-NICA, mengirim tentara dan mengungsikan masyarakat Tionghoa Benteng yang
selamat ke Batavia. Etnis pribumi pendatang (kebanyakan Jawa dan Madura) beserta
beberapa kelompok religius Sunda dan Betawi melakukan peyerangan terhadap orang
Tionghoa Benteng karena dianggap terlalu loyal terhadap NICA, akhirnya kerusuhan
ini berhasil diredam oleh tentara gabungan NICA dan Pao Au Tui yang membela
orang Tionghoa Benteng.

Orang-orang Tionghoa Benteng merasa sangat kehilangan ketika Belanda


meninggalkan Tangerang pada tahun 50-an dan menyerahkan kota itu kepada
Republik, karena mereka kehilangan pelindung mereka, maka terjadilah penyerangan
dan perampasan terhadap orang-orang Tionghoa Benteng, banyak di antara mereka
yang dulunya kaya sekarang menjadi miskin karena harta leluhur mereka dirampas.
Orang Tionghoa benteng hidup lebih sejahtera selama pada zaman kolonial belanda
daripada setelah Tangerang masuk ke-dalam Republik Indonesia. Di Belanda pun
orang Tionghoa Benteng mudah ditemui di antara komunitas tionghoa disana, karena
kebanyakan orang tionghoa yg ada di Belanda adalah orang Tionghoa Benteng yang
melarikan diri setelah Tentara Pao An Tui mengalami kekalahan melawan tentara
republik.

Masa kini[sunting | sunting sumber]


Orang Tionghoa Benteng dikenal dengan warna kulitnya yang sedikit lebih gelap
(walaupun tetap berkulit kuning) dibandingkan warga keturunan Tionghoa lainnya di
Indonesia, mereka lebih mirip dengan orang-orang Vietnam ketimbang orang
Tiongkok. Kesenian mereka yang terkenal adalah kesenian campuran betawi-tionghoa,
Cokek yaitu sebuah tarian berpasangan lelaki dan perempuan dengan iringan musik
gambang kromong. Agama yang dianut beragam antara lain Konghucu, Buddhisme,
Taoisme, Katholik, Protestan, Pemujaan Leluhur, Pemujaan Surga, dan ada sedikit
yang beragama Islam.
Hal menarik dari Tionghoa Benteng adalah biarpun mereka sudah tidak berbahasa
Tionghoa lagi, mereka tetap melestarikan budaya leluhur dan tradisi Tiongkok, ini
bisa dilihat dari tradisi pernikahan mereka yang menggunakan upacara pernikahan
gaya Dinasti Manchu (Qing), mereka juga mengenakan pakaian gaya Dinasti Manchu
seperti Manchu robe dan Manchu hat pada saat menikah. Orang Tionghoa Benteng
adalah satu-satu nya komunitas Tionghoa di Indonesia yang memiliki darah orang
Manchu, karena hanya orang Tionghoa Benteng yang masih tetap menggunakan
upacara nikah gaya Dinasti Manchu setelah Dinasti Qing runtuh pada tahun 1912, di
tiongkok sendiri, upacara nikah gaya Dinasti Qing itu sudah hampir hilang dan sangat
jarang ditemukan [rujukan?].

Keturunan Dinasti Qing[sunting | sunting sumber]


Sebagian di antara warga Tionghoa Benteng yang bermarga 王 "Wang" (Hokkien:
Ong) adalah keturunan dari keluarga kekaisaran Dinasti Qing (clan Manchu
Aisin-Giorio atau Aixinjueluo dalam bahasa mandarin). Mereka adalah keturunan dari
anak haram hasil hubungan gelap Kaisar Qianlong dengan seorang gadis cantik
bermarga Oog di provinsi Fujian. Karena sang Kaisar tidak mau hubungan gelapnya
diketahui publik, maka untuk menyembunyikan fakta tersebut, anak hasil hubungan
haram tersebut diberi nama marga Wang (王).

王 (Hokkien: Ong) adalah karakter Mandarin untuk "raja", yang digunanakan untuk
orang yang merupakan keturunan penguasa, namun tidak pernah berkuasa. Informasi
yang salah menyatakan mereka menggunakan marga Ong karena ibu dari anak haram
itu juga bermarga Ong, namun sebenarnya ini adalah sebuah kebetulan. Nama marga
Wang pertama kali digunakan oleh Keluarga Zi (penguasa Dinasti Shang), kemudian
oleh Keluarga Ji (penguasa Dinasti Zhou) saat mereka sudah tidak berkuasa lagi.

Namun tidak semua orang Tionghoa Benteng bermarga Ong adalah keturunan
Aixinjueluo. Keturunan Kaisar Qianlong kini mengggunakan nama Indonesia Wangsa
Mulya /Wangsa Mulia, untuk membedakan diri dari marga Ong yang lain. Nama
Wangsa Mulia sendiri berasal dari bahasa sanskerta, Wangsa (dinasti), dan Mulia
(murni) apabila diterjemahkan ke bahasa inggris menjadi "Pure Dynasty". Sedangkan
kata "Qing" sendiri berarti "pure". Sehingga secara harafiah Wangsa Mulia dalam
Bahasa Sansekerta berarti "Qing Dynasty".

Seiring waktu, kebanyakan orang dari keluarga Wangsa Mulya tidak menyadari kalau
mereka adalah keturunan Dinasti Qing, namun bagimanapun juga darah dan napas
Kekaisaran Qing Raya tetap mengalir pada diri mereka. Mereka hidup modern namun
memegang teguh sifat ultra-konservatif seperti feodalisme dan anti-feminisme.
Informasi terbaru menyatakan mereka mewarisi Ketuantanahan luas yang meluputi
daerah yang sekarang adalah sebagian dari BSD dan Gading Serpong.

Sejarah mengenai Tionghoa Benteng dapat dilihat di Museum Benteng Heritage,


Pasar Lama, Tangerang.

Anda mungkin juga menyukai