Anda di halaman 1dari 9

PERKEMBANGAN ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM

A. Pendahuluan
Asia tenggara merupakan salah satu dari tujuh wilayah peradaban Islam lainnya,
yang terdiri dari wilayah peradaban Islam–Arab, Islam-Persia, Islam-Turki, Islam-Afrika,
Islam anak benua India dan terakhir adalah wilayah peradaban Islam yang disebut Westeren
Hemisphere. Islam masuk dikawasan Asia Tenggara melalui cara damai dan ramah serta
toleran selama berabad-abad berbeda karakteristik dengan Islam dikawasan lain, terutama
diwilayah Timur Tengah yang penyebarannya melalui perang atau penakhlukan. Sehingga
menyebabkan Islam yang ada dikawasan Asia Tenggara adalah Islam yang lunak atau
akomodatif, termasuk didalamnya mencakup hal kepercayaan, praktek keagamaan dan
tradisi setempat. Yang akhirnya terbawa sampai pada penerimaan masalah ideologi.
Banyak ahli mencoba menjelaskan latar belakang mengapa Islam dapat diterima
dan meluas sebagai agama mayoritas masyarakat Asia Tenggara. Salah satunya
menyatakan bahwa para pedagang muslimlah yang menyebarkan agama Islam disana.
Pendapat tentang masalah kapan kedatangan Islam di Asia Tenggarapun masih dalam
perdebatan. Sebagian berpendapat bahwa kedatangan Islam sudah berlangsung sejak abad
pertama Hijriyah (abad 7 M). pendapat ini berdasarkan berita Cina dari zaman T’ang yang
menyebutkan keberadaan orang-orang Ta-shih (yakni Arab) yang tidak jadi menyerang
kerajaan Ho-Ling dibawah Ratu Sima (674 M). Pendapat ke-2 menyatakan bahwa Islam
masuk ke Asia Tengara baru terjadi pada abad ke- 13 dengan hipotesa akibat peruntuhan
Dinasti Abasiyyah oleh serangan Hulagukhan 1258M. Data yang memperkuat pendapat ini
adalah catatan Marcopolo, berita Ibn Batutah serta batu nisan Sultan Malik al-Shaleh tahun
1297M. pendapat ke-3 menyatakan bahwa Islam datang sampai membentuk masyarakat
muslim baru terjadi pada abad ke-13 dengan melihat data arus penyebaran, kedatanan dan
perkembangan ajaran tasawuf di kawasan Asia Tenggara.
Pada makalah kali ini kami akan membahas mengenai Islam di Brunei Darusallam,
pembahasannya mencakup kebudayaan dan tradisi Brunei pra-Islam, proses masuknya
agama Islam dan perkembangan Islam di Brunei Darusallam. Brunei Darusallam terkenal
Negara yang merupakan masyarakat yang mayoritas menganut agama Islam dan syariat
Islam di jadikan sebagai landasan hukum Negara.

B. Letak geografis Brunei Darusallam

Negara Brunei Darusallam merupakan Negara kecil yang kaya akan minyak
bumi dan gas alam, dengan pendapatan perkapitas penduduknya $ 24,826 tertinggi di
dunia. Negara ini memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1984 setelah
dijajah Inggris selama 96 tahun. Brunei Darusallam terletak dipantai barat laut pulau
Kalimantan. Memiliki luas 5,766 km dengan jumlah penduduk 385.660 jiwa, lebih dari
65% bangsa Brunei adalah keturunan melayu, sedangkan 25% adalah keturunan dari Cina.
Pada umumnya sisanya adalah suku Dayak dan kelompok pribumi Kalimantan yang lain,
bahwa Melayu dan Inggris merupakan bahasa resmi dan sekitar 60% penduduk Brunei
Darusallam beragama Islam yang merupakan agama resmi di negaranya.
Brunei Darusallam berbatasan dengan laut Cina Selatan dan diapit oleh 2 wilayah
Malaysia yakni Sabah dan Serawak serta di perintah oleh seorang Sultan. Negara Brunei
dibagi menjadi 4 daerah yaitu: Belait, Muara, Temburong dan Tutong. Kota-kota utama
Negara ini disamping Bandar Seri Begawan (ibu kota) adalah Muara, Kuala Belait, dan
Penaga (kota minyak dan kota rekreasi). Oleh karena kemakmurannya pendidikan dan
kesehatan di berikan kepada rakyatnya secara cuma-cuma.

C. Sejarah Brunei Darusallam Pra Islam


Kerajaan Brunei merupakan kerajaan-kerajaan tertua ditanah melayu. Hal ini
berdasarkan catatan Cina, Arab dan tradisi lisan. Dalam catatan sejarah Cina Brunei pada
zaman dahulu dikenal dengan nama Po-li,Po-lo, Poni atau Puni dan Brunei dalam catatan
Arab Brunei dikenal sebutan zabaj atau Randj. Adapun pada catatan tradisi lisan syair
Awang Semaun, kata Brunei berasal dari kata Barunah yang bermakna “tempat yang
sangat baik”.
Data pada masa kerajaan Brunei tua/pra Islam tidak banyak ditemukan. Catatan-
catatan tersebut hanya diperoleh dari manuskrip yang bersumber dari sejarah Cina yang
menyatakan bahwa kerajaan puni merupakan kerajaaan terakhir sebelum berubah menjadi
kerajaan Brunei Darusallam. Mengacu pada catatan Cina, kerajaan Brunei telah ada
semenjak abad ke-6M. Hal ini terbukti karena adanya hubungan dagang antara Brunei dan
dinsti Liang (502-566) di Cina. Brunei pada masa itu dikenal dengan sebutan Po-li,
penyebutan nama kerajaan Brunei ini berbeda-beda karena sesuai dengan sebutan yang
digunakan oleh masing-masing Dinasti seperti:

Dinasti Tang : Po-li (618-906SM)


Dinasti Sang: Po-lo (960-1279M)
Dinasti Ming: Po-ni/Puni (1368-1643M)

Catatan Cina Dinasti Ming menyatakan bahwa orang Puni pada masa itu sering
melakukan perniagaan dengan negri Cina. Adat kebiasaan orang Puni lainnya yakni dalam
tata cara pemakaman pada masa itu. Jika ada orang yang meninggal maka mayatnya akan
dimasukan kekeranda yang dibuat dari buluh kemudian dibawa kehutan dan ditinggalkan
begitu saja. 2 bulan kemudian barulah pihak keluarga mulai bercocok tanam, orang
Punipun mayoritas menganut agama Budha.

D. Masuknya Islam di Brunei

Agama Islam diperkirkan telah lama tersebar di Brunei. Pada tahun 1511, Melaka
telah jatuh ketangan Portugis. Mulanya Portugis menumpukan kepentingan wilayahnya
kepada semenenjung Tanah Melayu dan Selat Melaka. Tetapi pada tahun 1526, berikutan
dengan tercapainya satu perjanjian perniagaan dengan Brunei, Portugis telah membuka
perniagaan di Brunei. Pada masa itu Brunei telah menjadi tempat persinggahan para
pedagang disepanjang lalulintas perkapalan Malaka dan Ternate.
Menurut riwayat china, pada 977, raja Puni telah menghantar utusannya ke China
yang diketuai oleh Pu Ya-li, qadhi Qasim dan Sheikh Noh. Ini membuktikan bahwa
agama Islam sudah dipeluk oleh orang berpengaruh di Brunei. Dalam sejarah China,
dicatatkan bahwa pada 1370 Brunei atau Puni pada masa itu rajanya bernama Ma-ha-mo-
sya(sultan Mohammad Shah) telah menghantar utusan ke China dengan membawa
sepucuk surat menggunakan tulisan khat yang bentuknya sama dengan tulisan Huiku,
tulisan orang Islam keturunan Turki yang mendiami daerah Uighur.
Berdasarkan data diatas, dipercayai agama Islam telah masuk ke Brunei jauh
sebelum tahun 1368. Sesudah Awang Alak Baetatar(sultan Muhammad Syah), Islam
barulah menjadi agama resmi bagi seluruh Negara. Disebutkan juga oleh riwayat China
bahwa utusan China, yang diketuai oleh seorang Islam bernama Cheng Ho, yang datang
ke Brunei pada 1405, mendapati bahwa di Brunei telah ada kerajaan Islam dan keluarga
raja tersebut disebutnya dengan sebutan “Pengiran”. Pengganti sultan Muhammad Shah
adalah Pateh Berbai yang setelah diangkat menjadi sultan bergelar sultan Ahmad.
Menurut salasilah raja-raja Brunei, sultan Ahmad kemudian digantikan oleh menantunya
sultan Sharif Ali berasal dari Taif., seorang keturunan Nabi dari jalur Sayyidina Hasan.
Beliau kawin denga putri sultan Ahmad bernama Putri Rana Kesuma. Setelah sultan
Ahmad wafat, sultan Sharif Ali diangkat menjadi sultan ke3, dengan gelar sultan Berkat.
Yang perlu dicatat dari sultan Sharif Ali adalah bahwa beliaulah yang sebenarnya
menanamkan ajaran Islam sesuai dengan ajaran ahl sunnah wa jama’ah dengan mazhab
syafi’i. Selain itu, beliau pula yang menentukan arah kiblat yang betul, karena ajaran
Islam sebelumnya banyak bercampur dengan ajaran Hindu-Budha.
Sultan Sharif Ali wafat pada 1432 dan digantikan oleh putra baginda bernama
Sultan Sulaiman. Keturunan sultan Sharif Ali inilah yang melahirkan keturunan Sultan
dan raja-raja Brunei sampai hari ini. Dua dari peletak asas dan pembangunan kesultanan
Brunei yang berpengaruh adalah Sultan Sulaiman dan Sultan Bolkiah. Dibawah
pemerintahan Sultan Bolkiah itulah Brunei mencapai masa kegemilangan. Era keemasan
ini berlanjut selama beberapa waktu hingga kedatangan pengembara-pengembara barat,
seperti pelaut berbangsa Portugis, Ludovico de Vartema (1507), dan Antonio Pigfetta
(1521), yang banyak menceritakan masa keemasan Brunei.
Adapun nama-nama Sultan yang pernah menguasai kesultanan Brunei adalah
sebagai berikut:
1. Sultan Muhammad Syah (1363-1402)
2. Sultan Ahmad (1408-1425)
3. Sultan Sharif Ali (1425-1432)
4. Sultan Sulaiman (1432-1485)
5. Sultan Bolkiah (1485-1524)
6. Sultan Abdul Kahar (1524-1530)
7. Sultan Saiful Rijal (1533-1581)
8. Sultan Syah Brunei (1581-1582)
9. Sultan Muhammad Hasan (1582-1598)
10. Sultan Abdul Jalilul Akbar (1598-1659)
11. Sultan Abdul Jalilul Jabbar (1659-1660)
12. Sultan Haji Muhammad Ali (1660-1661)
13. Sultan Abdul Hakkhul Mubin (1661-1673)
14. Sultan Muhyiddin (1673-1690)
15. Sultan Nasaruddin (1690-1710)
16. Sultan Husin Kamaluddin (1710-1730)dan 1737-1740)
17. Sultan Muhammad Alaudin (1730-1737)
18. Sultan Omar Ali Saifudin (1740-1795)
19. Sultan Muhammad Tajudin (1795-1804) dan (1804-1807)
20. Sultan Muhammad Jamalul Alam I (1804)
21. Sultan Muhammad Kanzul Alam (1807-1826)
22. Sultan Muhammad Alam (1826-1828)
23. Sultan Omar Ali Saifudin II (1828-1852)
24. Sultan Abdul Momin (1852-1885)
25. Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin (1885-1906)
26. Sultan Muhammad Jamalul Alam II (1906-1924)
27. Sultan Ahmad Tajudin (1924-1950)
28. Sultan Haji Omar Ali Saifudin III (1950-1967)
29. Sultan Haji Hassanal Bolkiah (1967- sekarang)

Banyaknya penyebar-penyebar Islam dari Brunei diwilayah Filipina Selatan,


kemegahan Sultan Bolkiah, dan berkembangnya perdagangan telah menyebabkan
cemburu dan iri hati penguasa Spanyol di Manila. Itulah diantara penyebab kolonial
Spanyol di Manila mengirim sepucuk surat kepada Sultan Saiful Rijal, yang isinya selain
menuduh Brunei menghasut orang-orang Islam di Filipina untuk memberontak terhadap
kekuasaan Spanyol, meminta paksa agar diizinkan menyebarkan agama Kristen di Brunei.
Tentu saja, Sultan Saiful Rijal berang dan menolak keras isi surat tersebut. Akibatnya,
Spanyol pada April 1578 mengirim armada laut ke Brunei dengan maksud menundukan
dan menguasai Brunei. Tetapi ternyata Sultan Saiful Rijal berhasil mematahkan serbuan
armada laut Spanyol tersebut, sehingga mereka kembali ke Manila dengan tangan hampa.
Pemerintahan negara Brunei, sebagaimana tercatat dalam kanun Brunei dan
pernah dijalankan sebelum menyebarluasnya sistem atau gaya pemerintahan ala barat
(Inggris), adalah suatu pemerintahan yang terdiri dari Sultan, jema’ah perunding, dan
penasihat, yaitu duli-duli wajir, pangiran bendahara, pangiran di-gadong, pangiran
temenggong, pangiran pamancha, kadhi besar, dan beberapa orang ceteria (sebutan orang
melayu untuk satria).
Dimulai pada zaman pemerintahan sultan Muhammad Hasan(1582-1598) Brunei
mempunyai pemerintahan yang berbentuk piramida; dengan sultan berada pada
puncaknya, sedang dibawahnya adalah empat orang wajir, yakni pangiran bendahara,
pangiran di-gadong, pangiran temenggong, dan pangiran pamancha. Dibawah para wajir
terdapat 60 orang ceteria, yang terdiri dari seorang perdana ceteria, 4 kepala ceteria, 8
ceteria besar, 16 ceteria penalasan, dan 32 ceteria damit. Ceteria adalah jawatan tertinggi
selepas wajir dalam susunan hierarki pemerintahan di Brunei. Gelar ceteria ini adalah
anugerah dari Sultan kepada mereka yang keturunan atau berdarah raja. Oleh karena itu,
rakyat biasa tidak boleh diberi gelar ceteria.

E. Bermulanya Pengaruh Inggris di Brunei Darusallam


Pengaruh Inggris bermula dari kedatangan seorang pengembara Inggris bernama
James Brooke di Kuching (Serawak) pada tahun 1839. James Brooke mendapat simpati
besar dari pangeran muda Hashim, wakil Sultan Brunei di Serawak, akibat bantuan James
Brooke dalam memadamkan pemberontakan kecil di Serawak. Pada tahun 1841 James
Brooke dilantik menjadi pemegang kuasa (wakil) Sultan Brunei untuk daerah Serawak
yang menggantikan pangeran Indra Mahkota . Kedudukan James Brooke di kukuhkan
dengan perjanjian Serawak pada tahun 1842.
Wilayah Brunei di bagian Borneo Utara (Sabah) dipajakan kepada dua orang
saudagar Eropa, Baron de Overback dan Alfred Dent . Pada tahun 1881 pihak pemajak
membentuk sebuah serikat perdagangan yakni North Borneo Chartered Company untuk
mengurus dan memerintah negri itu sebagai ladang pribadi. Juli 1946 Borneo dijual
kepada kerajaan Inggris dan dijadikan tanah jajahannya. Pada perang Dunia II, Borneo
Utara dijajah oleh Jepang.
Pada masa kekuasaan Sultan Omar Ali Saifudin II terjadi konflik internal
keluarga di Raja Brunei berakhir dengan pembunuhan pangeran muda Hashim (adik
pangeran Badaruddin) dan keluarganya, pada akhir bulan Oktober 1845 atas perintah
Sultan Omar Ali Saiffuddin II. Inggris memenfaatkannya untuk memaksa Sultan Omar
Ali Saifuddin untuk menyerahkan pulau Labuan kepada Inggris pada tahun 1846. Inggris
ikut campur tangan dan memaksa Sultan diasingkan kepedalaman damuan. Tetapi Sultan
mendapat bantuan dari ketua kaum melayu bernama Haji Saman. Pada 19 Agustus 1846
pasukan Inggris dari Singapura dibawah pimpinan kapten laut. G. Rodnei datang kekubu
pertahanan haji Saman Omar Ali Saifuddin menandatangani penyerahan kekuasaan pulau
Labuan kepada Inggris pada tahun 18 Desember 1846.
Pada 22 Januari 1848 James Brooke dilantik Inggris menjadi pesuruh jaya dan
konsul jendral Inggris untuk kerajaan Brunei pada tahun 1847. Brunei menandatangani
perjanjian persahabatan dan perdagangan dengan Inggris. Perjanjian tersebut berisikan
tentang hak-hak istimewa dibidang perniagaan dan ekstra teritorial kepada warga Inggris
yang berniaga di Brunei. Bahkan Brunei meletakan dirinya dibawah perlindungan Inggris.
Melalui perjanjian yang ditanda tangan pada 17 September 1888. Brunei memberi hak
kuasa kepada Inggris menetapkan seorang residen di Brunei.
Sejak saat itu bermula era baru satu sistem pemerintah keresidenan (residential
system). Sama dengan negri-negri melayu di Semanjung Malaka, dengan itu Bunei
kehilangan kemerdekaan dan kebebasannya. Sultan sudah tidak berkuasa secara penuh
karena yang memegang de facto adalah residen Inggris. Di asaskan satu system
pemerintaha ala barat berubah lagi setelah Brunei mendapat perlembagaan bertulis oleh
Sultan pada 29 September 1959 dan kemerdekaan penuh Brunei pada 1984. Untuk
memudahkan urusan pemerintahan Brunei dibagi 4 daerah diantaranya, daerah Brunei dan
Muara, daerah Tutong, daerah Kuala Belait dan daerah Seria.

F. Islam di Brunei pada masa Kemerdekaan


Sebagai mana halnya dikawasan Melayu di Asia Tenggara lain, Brunei sejak
perempat pertama abad ke 20 juga mengalami gelombang reformisme. Namun tema
reformisme di Brunei hanya mencakup masalah pendidikan, penegakan hukum, dan
administrasi Islam. Perubahan keagamaan di Brunei sejak abad ke 19 sedikit banyak
terkait dengan tanah suci dan dunia Melayu lainnya. Pada 1807 di Mekkah didirikan
“Rumah Wakaf Brunei”. Rumah wakaf ini adalah tempat pendidikan dan pemukiman
pemuda Brunei bersama-sama dengan komunitas Jawi lainnya di Tanah Suci. Salah satu
tokoh ulama Brunei yang terkenal ialah Haji Abdul Mokti, yang bermukim di tanah suci
hanya selama 3 tahun, namun sebelumnya telah memperoleh pendidikan Islam di Brunei.
Sekembali ke Brunei dari tanah suci Haji Abdul Mokti menempati kedudukan keagamaan
yang penting. Gelombang perubahan keagamaan juga terkait dengan dinamika Tarekat
dan Tasawuf. Tarekat seperti Khalwatiah, Samaniah dan Syaziliah masuk ke Brunei
sekitar akhir abad ke 18. Selanjutnya pada pertengahan abad ke19, tarekat Qadiriah,
Naksyabandiah, dan Qadiriah wa Naksyabandiah, yang dibawa oleh para komunitas Jawi
dari Mekkah mulai pula berkembang di Brunei.
Gerakan reformisme lainnya menyangkut institusi administrasi dan pengelolaan
Islam, yang berlangsung antara tahun 1906 dan 1959 selama masa pendudukan Inggris.
Institusi adminstrasi dan agama mengalami “rasionalisasi” dan “reorganisasi”.
Berdasarkan perjanjian 1905/1906, residen mengambil alih kekuasaan Sultan. Hal ini
merangsang munculnya institusionalisasi visi dan pengelolaan Islam di dalam struktur dan
bentuk baru. Hukum pidana Islam misalnya, cenderung di batasi, hanya mencakup hukum
keluarga, seperti registrasi perkawinan, talak dan cerai. Untuk mengurusi soal keIslaman,
residen Inggris memperkenalkan lembaga Mahkamah Undang – Undang pada 1908. Pada
1911 Mahkamah di ubah menjadi Dewan Negara, yang kemudian menjadi institusi Hal
Ikhwal Agama. Melalui badan ini khadi mengaplikasikan hukum Islam.
Reformisme juga mencakup system pendidikan di Brunei sejak awal abad 20.
Berbagai pembaruan di lakukan untuk memmpersiapkan ulama yang trampil dalam
administrasi modern. Pada 1922, surau milik Sultan di Kampung Air berubah menjadi
pusat pelatihan dan pendidikan. Lembaga pendidikan ini dirancang sedemikian rupa
dengan mengacu pada konsep “Sekolah Istana” dalam tradisi sejarah Islam. Sejak 1930-an
pendidikan agama dilakukan dua kali seminggu pada sore hari dalam kelas reguler pada
setiap sekolah-sekolah di Bandar Brunei. Selanjutnya adalah pendirian madrasah pada
1941 oleh Pengiran Bendahara, Pengiran Pemancha dan Pengiran Syahbandar. Seorang
ulama Mesir, Ustad Abdul Aziz as-Sami, menjadi guru penting disini. Hanya saja,
madrasah ini terhenti ketika Jepang datang ke Brunei pada Desember 1941. Segera setelah
pendudukan Jepang, lembaga serupa muncul di Brunei. Untuk mengelola pendidikan
agama, dibentuk badan baru yang disebut Nazir (Pendidikan) Agama dan ketua Pengajar
Agama pada 1948/1949. Reformasi pendidikan juga dilakukan Sultan Begawan setelah
1950. Sebagai pusat pembaruan dibentuk Majlis Mensyuarat Syariah pada 1954, yang
kemudian diikuti pembentukan jabatan Hal Ehwal Agama (Adat Istiadat dan Kebajikan),
Majlis Agama Islam dan Pendidikan Agama Islam secara penuh. Baru pada bulan Oktober
1956 kelas-kelas baru agama di perkenalkan di tujuh madrasah.
Seperti di negara Melayu muslim Asia Tenggara lain, wacana ideologis dan
pemikiran keagamaan di brunei juga cukup kompleks. Hukum Qanun Brunei, tidak hanya
berisi hukum Islam, tetapi juga merujuk pada hukum adat. Jauh sebelumnya, Silsilah
Raja-Raja Brunei, pada masa Sultan Kamaluddin tidak hanya merujuk pada hukum Islam,
tetapi juga menggunakan hukum adat yang tidak bertentangan dengan Islam.
Benih-benih nasionlaisme Brunei muncul sebagai akibat pengaruh gerakan dan
pemikiran pelajar Brunei yang belajar pada Maktab Perguruan Sultan Idris (MPSI) di
Perak, Malaya. Diantara pelajar Brunei yang belajar di MPSI adalah Awang Marsal bin
Maundan Awang Basir. Sekembali ke Brunei pada 1932, mereka mulai menanamkan
semangat cinta tanah air. Kesadaran nasionalisme itu semakin meningkat pada masa
Brunei di bawah pemerintahan Inggris ( British Military Administration/MBA ), terutama
ketika pemerintahan kolonial ini melakukan tindakan diskriminatif kepada kaum Melayu.
Kebangkitan nasionalisme Melayu Brunei memunculkan kerusuhan antara masyarakat
Cina dan Melayu pada 24 maret 1946 di Bandar Brunei. Setelah kerusuhan, pada 12 April
1946 beberapa alumni MPSI dan anggota Persatuan Guru-Guru Brunei (PGGMB)
mendirikan organisasi Barisan Pemuda ( Barip ). Barisan Pemuda di harapkan dapat
menjadi sarana yang mempersatukan hasrat para pemuda dalam memperjuangkan hak
bangsa Melayu Brunei.
Pada pertengahan 1946, Persatuan Melayu Brunei (PMB) didirikan di Bandar
Brunei oleh Ali Saifuddin (ketua) dan Abu Bakar bin Pangiran Omar (sekretaris).
Organisasi ini bertujuan antara lain, menyatukan kekuatan kaum melayu dan
memperjuangkan hak-hak orang Brunei. Setelah Barip dan PMB tidak lagi aktif, pada
tahun 1948 berdiri angkatan pemuda Brunei (APB) yang dipimpin Awang Abdul Hamid
bin Awang Othman sedangkan persatuan Murid Tua (MUTU) dipimpin oleh Pangiran
Anak Saifuddin.
Upaya mencapai kemerdekaan Brunei semakin menggelora setelah pada tahun
1952. Azahari kembali dari Indonesia dan kemudian aktif menjadi pemimpin dalam
memperjuangkan hasrat bangsa Brunei. Berbekal dukungan kuat masyarakat Brunei, pada
januari 1955 Azahari secara resmi mengumumkan pendirian Partai Rakyat Brunei (PRB).
Brunei baru mengumumkan kemerdekaannya pada 1 Januari 1984, dengan
menempuh perjuangan melalui jalur diplomasi pihak kerajaan. Setelah Brunei merdeka,
kerajaan berusaha menjadikan Islam sebagai landasan undang- undangnya dalam falsafah
Negara, yang disebut Melayu Islam Beraja (MIB). Jika ditelusuri lebih lanjut, asas MIB
telah digagas sejak sebelum lahirnya Pelembagaan Brunei 1959, yang mewadahi
semangat dan aspirasi Sultan Haji Omar Ali Saifuddin dan Jawatan Kuasa Penasehat
Pelembagaan 1954. Pelembagaan Brunei 1959 memuat pasal-pasal yang dapat dipahami
sebagai identitas terpenting Negara itu, yaitu MIB.
Bab 3 pasal 1 menyatakan :
“Agama resmi bagi negeri ialah agama Islam menurut Ahlus-Sunnah wal-
Jama’ah, tetapi agama-agama yang lain boleh diamalkan dengan aman dan sempurna oleh
mereka yang mengamalkannya.”

Bab 4 pasal 5 menyebutkan :


“Maka tiada siapa pun boleh dilantik menjadi Menteri Besar atau Timbalan
Menteri atau Setia usaha melainkan orang itu orang melayu yang berugama Islam
mengikuti Mazhab Syafi’i Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.”

Bab 82 pasal 1 menyatakan :


“Bahasa resmi negri ialah Bahasa Melayu dan hendaklah ditulis dengan huruf
yang telah ditentukan oleh undang-undang tertulis.”

Sementara pasal 2 mengatakan :


“Ketua agama ialah Sultan.”

Adapun bab 4 pasal 1 menyebutkan :


“Kuasa memerintah yang tertinggi bagi negri adalah terletak di dalam tangan
Sultan.”
Sultan berkuasa atas seluruh soal dalam negara, karena raja menjadi ketua
Melayu, ketua Agama, ketua Adat istiadat, dan ketua Pemerintahan. Di negara ini Sultan
merupakan wakil rakyat yang mutlak dan menjadi pilar negara untuk mengawasi dan
menjalankan roda pemerintahan Negara yang terdiri dari empat bagian, yakni: Kanun,
Syarak, Resam, dan Adat Istiadat berdasarkan tradisi Negara Brunei.

G. Penutup
Negara Brunei Darusallam merupakan negara kecil yang kaya akan minyak bumi
dan gas alam, dengan pendapatan perkapita penduduknya $ 24,826 tertinggi di dunia.
Negara ini memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1984 setelah dijajah
Inggris selama 96 tahun. Dalam catatan sejarah Cina Brunei pada zaman dahulu dikenal
dengan nama Po-li, Po-lo, Poni atau Puni dan Brunei dalam catatan Arab Brunei dikenal
sebutan zabaj atau Randj. Adapun pada catatan tradisi lisan syair Awang Semaun, kata
Brunei berasal dari kata Barunah yang bermakna “tempat yang sangat baik”.
Mengacu pada catatan Cina, kerajaan Brunei telah ada semenjak abad ke-6M.
Hal ini terbukti karena adanya hubungan dagang antara Brunei dan Dinasti Liang (502-
566) di Cina. Brunei pada masa itu dikenal dengan sebutan Po-li, penyebutan nama
kerajaan Brunei ini berbeda-beda karena sesuai dengan sebutan yang digunakan oleh
masing-masing Dinasti seperti: Dinasti Tang : Po-li (618-906SM), Dinasti Sang: Po-lo
(960-1279M), Dinasti Ming: Po-ni/Puni (1368-1643M). Catatan Cina Dinasti Ming
menyatakan bahwa orang Puni pada masa itu sering melakukan perniagaan dengan negri
Cina.
Menurut riwayat China, pada 977, raja Puni telah menghantar utusannya ke
China yang diketuai oleh Pu Ya-li, qadhi Qasim dan Sheikh Noh. Ini membuktikan bahwa
agama Islam sudah dipeluk oleh orang berpengaruh di Brunei. Dalam sejarah China,
dicatatkan bahwa pada 1370 Brunei atau Puni pada masa itu rajanya bernama Ma-ha-mo-
sya (Sultan Mohammad Shah) telah menghantar utusan ke China dengan membawa
sepucuk surat menggunakan tulisan khat yang bentuknya sama dengan tulisan Huiku,
tulisan orang Islam keturunan Turki yang mendiami daerah Uighur.
Berdasarkan data diatas, dipercayai agama Islam telah masuk ke Brunei jauh
sebelum tahun 1368. sesudah Awang Alak Baetatar (Sultan Muhammad Syah), Islam
barulah menjadi agama resmi bagi seluruh negara. Menurut salasilah raja-raja Brunei,
Sultan Ahmad kemudian digantikan oleh menantunya Sultan Sharif Ali berasal dari Taif.,
seorang keturunan Nabi dari jalur Sayyidina Hasan. Beliau kawin denga putri Sultan
Ahmad bernama Putri Rana Kesuma. Setelah Sultan Ahmad wafat, Sultan Sharif Ali
diangkat menjadi Sultan ke-3, dengan gelar Sultan Berkat. Yang perlu dicatat dari Sultan
Sharif Ali adalah bahwa beliaulah yang sebenarnya menanamkan ajaran Islam sesuai
dengan ajaran ahl sunnah wa jama’ah dengan mazhab Syafi’i. selain itu, beliau pula yang
menentukan arah kiblat yanag betul, karena ajaran Islam sebelumnya banyak bercampur
dengan ajaran Hindu-Budha.
Pemerintahan negara Brunei, sebagaimana tercatat dalam kanun Brunei dan
pernah dijalankan sebelum menyebarluasnya sistem atau gaya pemerintahan ala barat
(Inggris), adalah suatu pemerintahan yang terdiri dari Sultan, jema’ah perunding, dan
penasihat, yaitu duli-duli wajir, pangiran bendahara, pangiran di-gadong, pangiran
temenggong, pangiran pamancha, kadhi besar, dan beberapa orang ceteria (sebutan orang
Melayu untuk Satria).
Dimulai pada zaman pemerintahan Sultan Muhammad Hasan (1582-1598)
Brunei mempunyai pemerintahan yang berbentuk piramida, dengan sultan berada pada
puncaknya, sedang dibawahnya adalah empat orang wajir, yakni pangiran bendahara,
pangiran di-gadong, pangiran temenggong, dan pangiran pamancha.
Upaya mencapai kemerdekaan Brunei semakin menggelora setelah pada tahun
1952. Azahari kembali dari Indonesia dan kemudian aktif menjadi pemimpin dalam
memperjuangkan hasrat bangsa Brunei. Berbekal dukungan kuat masyarakat Brunei, pada
januari 1955 Azahari secara resmi mengumumkan pendirian Partai Rakyat Brunei (PRB).
Brunei baru mengumumkan kemerdekaannya pada 1 Januari 1984, dengan menempuh
perjuangan melalui jalur diplomasi pihak kerajaan. Setelah Brunei merdeka, kerajaan
berusaha menjadikan Islam sebagai landasan undang-undangnya dalam falsafah negara,
yang disebut Melayu Islam Beraja (MIB).
DAFTAR PUSTAKA

Awang, Haji. Tarsilah Brunei. 1997.


Grolier, Negara dan Bangsa Jilid 3. Jakarta: PT. Widayana. 1988.
Negara Brunei Darussalam, ( Federal Publication (s) Pte, Ltd, Singapure, 1984)
Saefullah, H. Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta: pustaka pelajar:
2010.
Sodiqin, Ali dkk. Sejarah peradaban Islam. Yogyakarta: LESI. 2009.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: pustaka setia: 2008.
Syamssu, Muhammad. Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya. Jakarta: Lentera
:1999.
Tohir, Ajid. Dunia Islam Perspektif Etno-Politik dan Geo-Politik. Jakarta: rajawali pers:
2009.Studi Kawasan
Http://Melayuonline.Com/Ind/History/Dig/312/Kerajaan-Brunei

Anda mungkin juga menyukai