Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dinasti Abbasiyah adalah khlifah kedua islam yang berkuasa di
Bagdad. Dinasti Abbasiyah berkembang pesat dan menjadikan dunia islam
sebagai pusat pengetahuan dunia. Dinasti Abasiyah berkuasa setelah
merebutnya dari Dinasti Umayyah dan menundukan semua wilayahnya kecuali
Andalusia. Dinasti Abbasiyah mengalami perkembangan pesat dengan
memperlebar wilayah kekuasaannya. Dinasti Abbasiyah mengalami
kemunduran disebabkan oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal.
Salah satu faktor yang menyebabkan Dinasti Abbasiyah mengalami
kemunduran adalah tepecahnya Dinasti Abbasiyah menjadi dinasti-dinasti
kecil.
Salah satu dinasti kecil tersebut adalah Dinasti Thahiriyah. Pendiri
Dinasti Thahiriyah adalah Thahir ibnu Al-Khusain (159-207 H atau 776-822
M) wilayah kekuasaannya disekitar Khurasan. Dalam pembentukan Dinasti
Thahiriyah tidak terlepas dari sejarah pembentukannya. Dan juga sistem
politik, kemajuan yang dicapai serta penyebab kemunduran dan kehancuran
Dinasti Thahiriyah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah pembentukan Dinasti Thahiriyah?
2. Seperti apa sistem politik Dinasti Thahiriyah?
3. Apa kemajuan yang dicapai Dinasti Thairiyah?
4. Apa penyebab kemunduran dan kehancuran Dinasti Thahiriyah?

C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah pembentukan Dinasti Thahiriyah!
2. Mengetahui Sistem politik Dinasti Thahiriyah!
3. Mengetahui kemajuan yang dicapai Dinasti Thahiriyah!
4. Mengetahui kemunduran dan kehancuran Dinasti Thahiriyah!

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Pembentukan Dinasti Thahiriyah


Pendiri Dinasti Thahiriyah adalah Thahir ibnu Al-Khusain (159-207 H
atau 776-822 M) wilayah kekuasaannya disekitar Khurasan. Sejarah
pendiriannya tidak bisa dilepaskan dari peristiwa perselisihan anatara Al-Amin
dan Al-Makmun, keduanya adalah putra Harun Ar-Rasyid. Dalam perselisihan
tersebut, Thahir yang dikenal sebagi ahli perang, berada dipihak Al-Makmun.
Ketika terjadi peperangan melawan pasukan Al-Amin, pasukan yang dipimpin
oleh Thahir ini mengalami kemenangan.
Dengan kemenangan tersebut ia mendapat jabatan menjadi gubernur
di kawasan timur Bagdad. Jabatan ini dipegangnya selama dua tahun (205-
207H atau 280-282 M) pada tahun 207 H Thahir meninggal dengan tiba-tiba
karena penyakit demam yang dideritanya. Adapula yang menyatakan bahwa ia
meninggal karena keracunan. Sebelum meninggal, dia sudah mulai menghapus
nama Al-Makmun (Khalifah) dalah khutbah-khutbah jum’at, ini membawa
pengertian bahwa kekuasaan Thahir ini lepas dari Abbasiyah, walaupun tidak
seluruhnya karena kenyataannya dinasti ini tidak melepaskan diri secara total.
Sebagai pengganti thahir adalah anaknya yang bernama Thalhah bin
Thahir (W. 213 H atau 828 M). Sebagai pengganti ayahnya, Thalhah berupaya
meningkatkan hubungan kerjasama dengan pemerintahan pusat. Ini artinya
bahwa penghapusan nama khalifah pada khutba-khutbah dalam dua tahun
sebelum kematian Thahir, hanya sekedar penghapusan. Atau menghilangkan
penyebutan nam-nama khalaifah-khalifah sebagaimana telah menjadi
kebiaasaan mereka. Tetapi realitasnya masih memiliki hubungan dengan
pemerintah pusat bani abbas.
Penggati Thalhah adalah Abudullah bin Thahir, ia saudara Thalhah
sendiri. Pengangkatan yang ketiga kalinya ini menunjukkan dominasi keluarga

2
Thahir sangat kuat, keluarga ini memperoleh kedudukan yang kokoh dalam
pemerintahan. Sebagai penguasa wikayah Thahiriyah yang turun-temurun.1
B. Sistem Politik Dinasti Thahiriyah
Para ahli sejarah mengakui bahwa pada zaman Thahiriyyah, dinasti ini
telah memberikan sumbangan dalam memajukan ekonomi, kebudayaan, dan
ilmu pengetahuan dunia Islam. Pada masa itu, negeri Khurasan dalam keadaan
makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang baik. Abdullah ibnu Tahir turun
tangan menyelesaikan dan menghancurkan al- maziyah. Akan tetapi ketika
dinasti Thahiriyyah di Khurasan mendekati masa kemunduran, tampaknya
keluarga Abbasyiyah menunjukkan perubahan sikap. Mereka mengalihkan
perhatiannya kepada keluarga safari yang melalui menggrokati dan
melancarkan gerakan untuk menguasai gerakan. Dalam keadaan mulai
melemah keluarga dan pengikut Alawiyyin di Tabaristan mengunakan
kesempatan untuk memunculkan gerakan meraka bersaman dengan gerakan
safari yang terus mendesak kekuasaan Tahbari dari arah selatan pada tahun 259
H, jatuh dan berakhirlah Dinasti Thahiriyyah.
Pada masa itu, negeri Khurasan dalam keadaan makmur dengan
pertumbuhan ekonomi yang baik sehingga dapat mendukung kegiatan ilmu dan
kebudayaan pada umumnya. Keadaan ini merupakaan suasana yang
menguntungkan bagi perkembangan seterusnya. Kemudian, dinasti
Thahiriyyah dapat diandalkan oleh Khalifah Abbasiyah untuk menjaga
ketenteraman dan kemajuan dunia Islam. Mereka. Berhasil mengusai dan
mengamankan wilayah sampai ke Turki yang para sultannya telah menyatakan
kesetiaan dan ketaatan sebagai umat Islam yang tunduk di bawah kekuasaan
Khalifah Abbasiyah. Dengan demikian, meskipun kekuasaan Thahiriyyah
dapat direbut oleh keluarga Safari, selama kekuasaannya, mereka telah
menyumbangkan sejumlah perluasan wilayah kekuasaan dunia Islam ke bagian
Timur. Dengan perantaraan sekaligus jaminan dari Menteri Ahmad ibn Abu
Khalid, akhirnya Khalifah al-Makmun mengangkatnya sebagai Gubernur
Khurasan. Kaka khalifah mengangkatnya sebagai kepala wilayah yang
berpusat di Merv tersebut. Dinasti tersebut pun dinamakan dengan namanya,
1
Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 172-173.

3
Dinasti Tahiriah. Sesampai di Khurasan, Tahir memberontak dan dua tahun
kemudian ia menghapus tradisi membaca nama khalifah dalam khotbah Jumat.
Penguasa keturunan Tahir dari dinasti ini ada 5 orang yang memerintah selama
54 tahun. Hamka mencatat bahwa keturunan Tahir ibn Husain memerintah
secara independen di Khurasan dan mereka juga merangkap jabatan sebagai
kepala kepolisian di kota metropolitan Baghdad.2

C. Kemajuan yang dicapai


Kemajuan Dinasti Thahiriyah berada dibawa kepemimpinan Abdullah
ibnu Thahir, yaitu Khalifah ketiga dinasti ini. Ia adalah penguasa yang memilik
pengaruh yang besar. Pengaruh besar itu tampak pada upaya-upaya yang
dilakukannya antara lain, misalnya meningkatkan kerja sama dengan
pemerintah pusat dinasti Abbas, terutama dengan kaitannya dengan upaya
meredam para pemberontak, juga melaksanakan segala ikatan perjanjian
dengan baik,, memberikan hak-hak baini abbas sebagai keluarga penguasa,
memperbaiki keadaan perekonomian, memantapkan kemanan, dan
meningkatkan perhatian pada bidang ilmu pengetahuan dan akhlak. Dengan
usaha yang dilakukan itu, Abdullah ibnu Thahir ini telah menjadikan kota
Nishapur, pada saat itu, menjadi pesat peradaban islam yang diperhitungkan.3
Para ahli sejarah mengakui bahwa pada zaman Thahiri, dinasti ini
telah memberika sumbangan dalam kemajuan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu
pengetahuan dunia islam. Kota Naishabur berhasil bangkit menjadi salah satu
pusat perkembangan ilmu dan kebudayaan di timur. Pada masa itu, negri
Khurasan dalam keadaan makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang baik
sehingga dapat mendukung kegiatan ilmu dan kebudayaan pada umumnya.
Keadaan ini merupakan suasana yang menguntungkan bagi perkembangan
seterusnya.
Kemudian, dinasti Thahiri dapat diandalkan oleh Khlaifah Abbasiyah
untuk menjaga ketentraman dan kemajuan dunia islam. Mereka berhasil
menguasai dan mengamankan wilayah sampai ke Turki yang para sultannya

2
Faizah Syukri, “DinastiI Thahiriyah di Khurasan 205-259 H / 820-872 M”, (Skripsi, UIN
Alauddin, Makasar, 2016), hlm. 33-35.
3
Ibid. 173-174.

4
telah menyatakan kesetian dan ketaatan sebagai umat islam yang duduk
dibawah kekuasaan Khlifah Abbasiyah.
Dengan demikian, meskipun kekuasaan Thahiri dapat direbut keluarga
Saffari, selama kekuasaannya, mereka telah menyumbangkan sejumlah
perluasan wilayah kekuasaan dunia islam kebagian timur.4

D. Kemunduran dan kehancurannya


Pasca pemerintahan Abdullah ibnu Thahir, kekuasaan dinasti
Thahiriyah mulai mengalami penurunan. Pada saat pemerintahan dipegang
oleh muhammad bin jabir (248-259 H atau 864-873 M), penguasan terakhir
dinasti ini, wilayah Khurasan mengalami kemunduran yang jelas, dan
bersamaan itu pula muncul sebuah kekuatan baru dari dinasti Saffar diwilayah
Sijistan, dan pada episode berikutnya kemudian wilayah khurasan pada tahun
257 H atau 873 M khurasan dikuasai oleh dinasti Saffariyah. Dan dengan
kejatuhannya thairiyah yang berada diwilayah Khurasan maka berakhir sudah
masa pemerintahan dinasti Thahiriyah.5

4
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 147-148.

5
Imam Fu’adi, Op Cit, hlm. 17.

5
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendiri dinasti thahiriyah ini adalah Thahir ibnu Al-Khusain (159-207
H atau 776-822 M) wilayah kekuasaannya disekitar Khurasan. Sejarah
pendiriannya tidak bisa dilepaskan dari peristiwa perselisihan antara Al-Amin
dan Al-Makmun, keduanya adalah putra Harun Ar-Rasyid. Dalam perselisihan
terrsebut, Thahir yang dikenal sebagi ahli perang, berada dipihak Al-Makmun.
Ketika terjadi peperangan melawan pasukan Al-Amin, pasukan yang dipimpin
oleh Thahir ini mengalami kemenangan.

Selama berkuasa dinasti ini telah memberikan sumbangan dalam


memajukan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan dunia Islam. Pada
masa itu, negeri Khurasan dalam keadaan makmur dengan pertumbuhan
ekonomi yang baik.

Dinasti Thahiriyah mempunyai pengaruh besar yang tanpak pada


upaya-upaya yang dilaukkannya antar lain, misalnya meningkatkan kerja sama
dengan pemerintah pusat dinasti Abbas, terutama dengan kaitannya dengan
upaya meredam para pemberontak, juga melaksanakan segala ikatan perjanjian
dengan baik,, memberikan hak-hak bani abbas sebagai keluarga penguasa,
memperbaiki keadaan perekonomian, memantapkan kemanan, dan
meningkatan perhatian pada bidang ilmu pengetahuan dan akhlak.

Dinasti Thahiriyah mengalami kemunduran yang jelas, dan bersamaan


itu pula muncul sebuah kekuatan baru dari dinasti Saffar diwilayah Sijistan,
dan pada episode berikutnya kemudian wilayah Khurasan dikuasai oleh dinasti
Saffariyah. Dan dengan kejatuhannya thairiyah yang berada diwilayah
Khurasan maka berakhir sudah masa pemerintahan dinasti Thahiriyah.

Anda mungkin juga menyukai