Sejarah Indonesia orde lama merupakan panggung yang tak pernah habis bagi perjuangan Islam
politik. Adalah paling mudah menemukan pandangan serta praktik Islam politik dalam mozaik
sejarah orde lama itu, di mana Islam politik tampil dengan bentuknya yang khas dan tunggal
alias tidak berdimensi banyak. Bahkan ormas Islam sekalipun, seperti Muhammadiyah dan NU
di samping ormas serta parpol Islam lainnya yang berpengaruh sama-sama memiliki cita-cita
politik yang tunggal yakni; tegaknya Negara Islam dan syariat Islam. Situasi ini membuat
panggung politik orde lama, bahkan jauh pada masa pra-kemerdekaan, menjadi sangat panas
dan kerap diwarnai pertarungan politik aliran serta perang ideologi yang serba revolusioner
antara; Nasionalisme, Agama (Islam) dan Marxisme. Islam menjadi kekuatan politik yang sangat
berpengaruh dan tidak pernah sedetikpun Islam politik meninggal pentas kekuasaan.
Pasang-naik perjuangan Islam politik di jaman berdjoang kian lama kian surut di jaman
membangun. Di jaman orde baru Islam politik seperti telah kehilangan momentum. Sedikitbanyak situasi ini disebabkan kebijakan rejim yang sangat represif terhadap Islam politik seperti;
penolakan rehabilitasi Masyumi, intervensi dan coup atas Parmusi, Fusi Partai PPP,
pemberlakuan asas tunggal pancasila, peristiwa tanjung priok dan lain-lain. Padahal sebelumnya
Pak Harto berjuangan bersama-sama Islam politik ketika menumbangkan kekuasaan Bung Karno
dan PKI.
Kemudian Indonesia di orde reformasi memberi kesempatan kembali bagi pemunculan Islam
politik di tanah air ditandai dengan maraknya pendirian parpol Islam. Politik aliran yang sempat
kehilangan daya karena ditekan sedemikian rupa oleh rezim otoritarian Orde Baru, kembali
mewarnai perpolitikan nasional. Di luar parlemen tumbuh menjamur kelompok Islam seperti
FPI, MMI, HTI dan sebangsanya di samping juga muncul kelompok seperti Jaringan Islam
Liberal (JIL) dan kawan-kawannya.
Islam substantif, yakni gerakan keIslaman yang tidak terlalu mempersoalkan simbol dan
formalitas.
Pemikiran Islam substansialis atau Islam kultural dibangun untuk mengimbangi tesis Islam
organik yang selalu diusung oleh Islam politik. Dari sinilah hubungan Islam dan politik
diredefinisi, sehingga melahirkan tipologi pemikiran Islam yang berbhineka. Rata-rata kajian
tersebut bermuara pada tiga tipologi pemikiran, meminjam istilah Munawir Sjadzali, yakni;
Islam formalis, sekuler dan substansialis.
Demikian halnya, pandangan intelektual muslim terbagi dalam tiga tipologi pemikiran dalam
menjelaskan hubungan Islam dan negara. Pertama, kelompok yang berpendapat, tidak ada
pemisahan urusan dunia dengan urusan akhirat. Islam telah mengatur segala aturan kehidupan
manusia termasuk sistem politik. Oleh karena itu, masalah kenegaraan diatur secara tuntas dalam
Islam dan menjelma di dalam sejarah sejak sistem kekhalifahan. Tokoh utama dari kelompok
tipologi ini adalah Rasyid Ridha, Sayyid Quthb, Abul Ala al-Maududi.
Kedua, mereka yang menganggap bahwa Islam tidak mengemukakan suatu pola baku tentang
teori atau sistem politik. Dengan kata lain, kelompok ini berpendapat bahwa Islam tidak
mengatur tata cara pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Meskipun dalam Quran
ditemui ayat-ayat yang menunjukkan kekuasaan politik, ayat-ayat tersebut hanya bersifat
insidental, kondisional alias bukan ayat landasan politik. Gagasan ini dikemukakan Ali Abd
Raziq, Thaha Husein dan A Lutfi al-Sayyid. Pada tingkat tertentu, pemikiran Soekarno dapat
dikategorisasi kedalam kelompok ini, terutama ketika Bung Karno (Soekarno; 1967) banyak
mengutip pendapat Syekh Ali Abd Raziq dalam tulisannya yang berjudul Apa Sebab Turki
Memisahkan Agama Dari Negara.
Ketiga, pendapat yang termoderasi dan tidak mau dikategorisasi ke dalam dua kutub pemikiran
di atas. Kelompok ini menolak klaim ekstrem kelompok pertama dan kedua lalu mengambil
jalan tengah. Pemikiran tipologi ketiga ini berpendapat, kendati Islam tidak merujuk pada
sistem politik tertentu, namun dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral-etis sebagai landasan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sepanjang pelaksanaan Negara menjalankan nilai-nilai
seperti; keadilan, kebebasan, syura dan supremasi hukum, sistem pemerintahan ini dapat disebut
sebagai Negara yang Islami. Tokoh-tokohnya antara lain, Muhammad Hussein Haikal,
Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Mohammad Arkoun, dan di Indonesia ada Nurcholish
Madjid.
Dalam menanggapi isu mengenai hubungan Islam dan demokrasi, para pemikir Islam juga
terbagi ke dalam tiga kelompok yakni meminjam istilah yang digunakan Idris Thaha dalam
bukunya Demokrasi Religius (Idris Thaha, 2005:39); blok kontra, blok pro dan kelompok
non blok. Kelompok blok kontra yang dimaksud ialah mereka yang menolak adanya
kesesuaian antara Islam dan demokrasi; mengakui kedaulatan rakyat sama dengan mengingkari
kedaulatan tuhan. Sedang yang dimaksud dengan kelompok blok pro ialah mereka yang menilai
subtansi demokrasi sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Lain halnya dengan kelompok non
blok yang berusaha berdiri di tengah-tengah dari keduanya dengan mengemukakan adanya
persamaan sekaligus perbedaan dalam Islam dan demokrasi.
Tiga tipologi pemikiran di atas kerap muncul ke permukaan mewarnai dialektika wacana yang
berkembang di tanah air, terutama ketika menemui isu-isu seputar pemberlakuan syariat Islam
atau perda syariat, piagam Jakarta dan isu tentang dasar Negara serta kehadiran parpol Islam atau
kebangkitan Islam politik di pentas kekuasaan.
Penutup
Islam tunggal hanya ada di alam ide. Meski secara normatif, umat Islam meyakini kitab suci
yang satu, namun secara historis umat Islam terpecah-pecah dalam sengketa pemahaman yang
tajam. Di era paling mutakhir dewasa ini kita mengenal istilah-istilah seperti; Islam liberal,
fundamentalis, Islam kiri, Islam kanan, Islam transformative, Islam substansialis dan seolah-olah
terus bertambah lagi setiap harinya. Demikian halnya yang terjadi pada teori politik Islam yang
tidak menampilkan teori yang tunggal.
Sejarah kelahiran ilmu kalam atau teologi Islam tak bisa dilepaskan dari proses politik yang
sedang berlangsung ketika itu. Awalnya perpecahan berpangkal dari pertentangan politik
kemudian menjalar pada sektor pemikiran theologi (ilmu kalam) dan filsafat yang melahirkan
golongan-golongan dalam Islam seperti Khawarij, Murjiah, Syiah. Pada tingkat tertentu, kasus
perbedaan pandangan antara kaum suni dan syiah ialah lebih terletak pada masalah
kepemimpinan (politik). Perbedaan pandangan di kalangan umat dalam konteks sosiologis
tidaklah bersifat mutlak. Perpecahan di kalangan umat Islam bukan disebabkan oleh kemutlakan
masing-masing faham yang sedang bertarung, tapi lebih dideterminasi oleh faktor politik.
Demikian pula sejarah Islam politik di Indonesia adalah sejarah kekalahan yang beruntun, mulai
dari kekalahan memasukkan Piagam Jakarta dalam konstitusi pada 1945 hingga pembubaran
konstituante pada 1959. Beberapa kalangan kembali menelaah kenyataan sejarah tersebut dengan
meredefinisi cita-cita Islam politik sehingga berimplikasi pada kategorisasi Islam dengan
berbagai sebutan adjektif atau predikat. Berbagai kajian yang muncul tidak dapat dianggap
sebagai kebenaran Islam dalam bentuknya yang mutlak. Karena, kebenaran dan kemutlakan
Islam dalam politik diukur dari seberapa jauh tafsir tersebut mempengaruhi kekuasaan. Artinya,
tafsir yang paling dominan pada periode kekuasaan tertentu itulah keberhasilannya. Islam politik
yang paling benar ialah tafsir Islam yang paling dominan berkembang di masyarakat pada tempo
tertentu. Jadi, ialah Islam politik yang berkuasa!