Anda di halaman 1dari 6

Nama: Rinci Mentari

Nim: C1E120060

Kelas: B

Tugas Final : Politik Islam

Islam Politik Dalam Konstalasi Politik Nasional

Dalam babakan Islamisasi Nusantara, telah terbentuk tradisi yang menempatkan sistem
nilai dari ajaran-ajaran Islam sebagai sistem nilai yang membentuk sikap dan tingkahlaku
manusia Indonesia. Sistem nilai demikian, ada yang bercampur dengan sistem nilai yang lain,
ada yang hadir secara utuh lalu berkembang dan terus menerus berinteraksi dengan
lingkungannya. Dari sudut pandang gerakan politik, Islam memiliki tiga fungsi:

1) Sebagai pandangan ideal untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk
berdasarkan doktrin Islam. Penjajah Belanda misalnya, dinilai kafir sehingga wajib
dilawan oleh kaum muslimin.
2) Sebagai nilai-nilai yang membentuk sikap dan tingkah laku muslim sehingga dikenal
adanya muslim yang saleh dan kurang saleh. Konsekwensinya, seorang pemimpin
muslim dipatuhi apabila kesalehannya tidak diragukan. Tidak mengherankan jika banyak
pemimpin pergerakan Islam berasal dari kalangan ulama, kiyai atau figur yang terkenal
kesalehannya. Pada masa lalu, raja-raja Islamlah yang tampil sebagai pemimpin dengan
ulama sebagai tangan kanannya.
3) Sebagai perekat solidaritas sosial, Islam selalu diangkat sebagai pemersatu mereka,
mengatasi pembelahan social (Abdullah, T., 1987: 203).

Ciri-ciri gerakan Islam mulai berubah, dari pola komunal menjadi pola asosiasional dan
solidaritas yang bersifat organis. Para pemimpinnya tidak lagi dari kalangan elite pedesaan tetapi
dari kelas menengah perkotaan. Mereka pun mulai menerapkan bentuk organisasi moderen. Jika
pada masa sebelumnya hubungan antara pemimpin dan pengikutnya bersifat paternalistis, maka
pada awal abad ke-20 berubah menjadi lebih rasional. Gerakan yang berpola asosiasional
membuat aktivitasnya meluas dan tidak lagi bersift lokal. Pengambilan keputusan pun lebih
demokratis dengan menggunakan mekanisme musyawarah. Tradisi demokrasi dan partisipasi
mulai terbentuk (Ali, F., 1986: 137).

Akar kesadaran gerakan Islam politik moderen dimulai sejak lahirnya Syarikat Islam (SI)
sebagai tranformasi dari Sarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan tahun 1911. SI ini
merupakan partai politik Islam pertama di Indonesia yang terkemuka dan merupakan partai
modern dan menasional. Ilmuwan politik seperti Koever da Deliar Noer menyebutkan sebagai
partai politik pertama di Indonesia sedangkan ilmuwan lain seperti Van Niel dan Ingelson
menyebutkan bahwa SI merupakan organisasi politik Indonesia abad 20 yang paling menonjol
setiadaknya sampai decade pertama abad 20.

Pasang Surut Partai-Partai Islam

Perjalanan partai-partai Islam mulai awal kemerdekaan senantiasa terfragmentasi.


Integrasi faksi-faksi dalam Masyumi mulai retak karena dominasi faksi nasionalis yang kuat
dalam pemerintahan. Unsur masyumi tetap memiliki otonomi dalam kegiatan di bidang sosio-
keagamaan. Namun, federasi juga mempunyai akibat negatif, dimana semangat golongan
seringkali lebih ditonjolkan dibandingkan semangat persatuan, terutama ketika menghadapi daya
tarik posisi politik formal dalam pemerintahan.

Pada bulan Juli 1947 SI keluar dari Masyumi dan menjelma menjadi PSII yang bergabung dalam
kabinet Amir Syarifuddin yang berasal dari kubu Komunis-Sosialis. Pada tahun 1952, NU keluar
dari Masyumi berdasarkan kongres di Palembang. Dengan berpisahnya PSII dan NU dari
Masyumi berarti Islam politik terfragmentasi menjadi Masyumi, PSII, NU dan Perti, selain ada
pula Partai Persatuan Tharikat Islam (PPTI) dan AKUI (Aksi Kemenangan Umat Islam). Bahkan
kekuatan Islam politik akhirnya saling berhadap-hadapan. Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo,
NU menjadi bagian dari kabinet sedangkan Masyumi menjadi oposisi.

Politik Aliran dalam Internal Islam


Politik Para pengamat politik Indonesia masih menganggap relevan analisis Geertz untuk
melihat politik nasional termasuk Islam politik. Geertz membagi kekuatan politik kepada tiga
unsur yaitu Priyayi, Santri dan Abangan. Priyayi mempertahankan nilai-nilai aristokrat dan nilai-
nilai baru sebagai bumbu. Santri lebih mendasarkan pada nilai-nilai Islam. Abangan lebih
menjadi kelompok yang tak berideologi dengan mengedepankan rasionalitas (Geertz, C., 1986).

Analisis Geertz dalam Islam politik dapat digunakan dengan melihat realitas perilaku
Islam politik. Pemilahan ini dapat terlihat dari mulai terbentuknya partai-partai Islam semenjak
sebelum kemerdekaan. Partai Islam lebih bersifat lokalis, seperti misalnya Perti yang hanya di
Minangkabau, dan bersifat aliran seperti SI yang lebih didominasi kaum saudagar (pedagang).
Begitu juga pasca Orde Baru partai-partai terbangun karena aliran agama yang menjadi aliran
politik, NU dengan PKB, Muhammadiyah dengan PAN dan PBB dengan DDII serta PERSIS
(sekarang keluar dari PBB), dan PKS dengan gerakan harokah dan tarbiyah yang berkembang di
kalangan kampus perguruan tinggi. Dengan demikian betapa sangat berpengaruhnya aliran atau
madzhab dalam agama terhadap perilaku politik dalam partaipartai Islam. Yang semua itu
menjadikan Islam politik sebagai bayangbayang kebesaran tanpa kemenangan.

Agenda Islam Politik ke Depan

Islam politik akan senantiasa menjadi bayang-bayang yang diharapkan sekaligus juga ditakuti
oleh kekuatan-kekuatan politik yang tengah bersaing. Dengan demikian, Islam politik akan
senantiasa menjadi penentu kepemimpinan nasional ke depan. Hanya tinggal memilih antara
maju

dengan kekuatan sendiri atau berkoalisi dengan kekuatan nasionalis.

Terdapat beberapa agenda yang harus dilakukan Islam politik ke depan antara lain:
pertama, mengembangkan paradigma politik dari isu politik yang senantiasa menjual ideologi
Islam berbentuk memperjuangkan Piagam Jakarta, dikembangkan kepada aspek-aspek yang
menyangkut kehidupan nyata dalam masyarakat berupa program reformasi ekonomi dan
supremasi hukum yang ditawarkan kepada masyarakat.
Politik Islam di Indonesia: Ideologi, Transformasi dan Prospek dalam Proses
Politik Terkini

Pemikiran Politik Islam telah berkembang sejak periode klasik, pertengahan, modern
hingga kontemporer. Masing-masing pemikir politik Islam dalam tiap periode mempunyai
pandangan yang unik sesuai pengalaman mereka berinteraksi dengan pemerintahan pada
masanya. Dari para pemikir tersebut, umat Islam mendasarkan teori dan praktik politiknya
hingga kini.

Di Indonesia, sebagian kaum Muslimin kini secara terbuka mengusung ide negara Islam
atau lebih jauh kembalinya sistem khilafah untuk mengganti sistem Demokrasi dan Pancasila
sebagaimana diusung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).73Ide untuk mewujudkan nilai-nilai agama
(syariat) ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara salah satunya dapat dilihat dari maraknya
perda bernafaskan Islam atau lebih dikenal dengan Perda Syariah yang muncul di beberapa
daerah di Indonesia. Selain itu, citacita penerapan nilai Syariah telah melahirkan UU Keuangan
Syariah, UU Zakat dan UU Wakaf.

 Pemikiran Politik Islam Abad Klasik dan Pertengahan

Bagi pemikir Islam abad ini, hubungan agama dan negara merupakan sesuatu yang saling
melengkapi, sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan. Agama membutuhkan negara, demikian
pula sebaliknya (Kamil, 2013). Sebagai contoh, AlMawardi berpendapat bahwa kepemimpinan
politik dalam Islam didirikan untuk melanjutkan tugas-tugas kenabian dalam memelihara agama
(harasah ad-din) dan mengelola kebutuhan duniawiyah (siyasah ad-dunya). Pemikiran tersebut
juga bisa ditelusuri dari pendapat al-Farabi (870-950 M), alMawardi (975-1059), al-Ghazali
(1058-1111), Ibnu Taimiyah (1263-1329), hingga Ibnu Khaldun (1332-1406).

Al-Farabi dalam menggambarkan pentingnya sebuah pemerintahan, mengilustrasikan


fungsi negara sebagai anggota badan yang apabila satu menderita maka yang lain akan
merasakannya (Azhar, 1997). Anggota badan juga mempunyai fungsi dan peran yang berbeda-
beda, begitu pula kebahagiaan masyarakat tidak akan terwujud tanpa pendistribusian kerja yang
sesuai dengan kecakapan dan kemampuan sebagai manifestasi interaksi sosial.
 Pemikiran Politik Islam Abad Modern

Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), dalam melihat politik menganjurkan pembentukan


Jamiah Islamiyah, yakni suatu ikatan politik yang mempersatukan seluruh umat Islam yang
disebut sebagi PanIslamisme (Pulungan, 1994). Asosiasi ini berdasar solidaritas akidah Islam
yang bertujuan membina kesetiakawanan dan persatuan umat Islam serta menentang
kolonialisme dan dominasi Barat.

Al-Afghani menghendaki bentuk republik bagi negara Islam. Alasannya, dalam sistem
Republik terdapat kebebasan berpendapat dan keharusan bagi kepala negara tunduk pada
undang-undang. Yang berkuasa di dalam negara adalah konstitusi dan hukum, bukan kepala
negara. Kepala negara hanya berkuasa untuk menjalankan undang-undang dan hukum yang
dirumuskan lembaga legislatif. Pemikrian al-Afghani ini merupakan sistesis antara pemerintahan
Barat dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dengan demikian al-Afghani menghendaki reformasi
politik Islam dengan mengganti bentuk khilafah menjadi republik.

 Pemikiran Politik Kontemporer

Sementara Syekh Naquib al-Attas, pendiri International Institute of Islamic Thought


Civilization (ISTAC) di Malaysia, mengemukakan betapa dunia Islam mengalami kemunduran
akibat adanya konfrontasi historis yang dikekalkan oleh kebudayaan dan peradaban Barat
terhadap Islam. Bagi al-Attas, dilema yang dihadapi umat Islam saat ini disebabkan oleh;
pertama, kebingungan dan kekeliruan dalam pengetahuan kedua, hilangnya adab dalam umat
dimana kedua hal tersebut mengakibatkan munculnya pemimpinpemimpin yang tidak cakap
untuk memimpin umat yang sah karena tidak memiliki standar moral, intelektual, dan spiritual
yang tinggi sebagai acuan kepemimpinan Islam (al-Attas, 1981).

 Pemikiran Politik Ikhwanul Muslimin

Ikhwan memandang Islam sebagai sistem serba inklusif yang mencakup realitas
komprehensif; ia adalah rangkaian yang penuh semangat dan tekad mengubah cara hidup yang
menyeluruh. Bagi Ikhwan, Islam sebagai ideologi dipandang meliputi seluruh kegiatan hidup
manusia di dunia, sehingga merupakan doktrin, ibadah, tanah air, kewarganegaraan, agama,
negara, spriritualitas, aksi, al-Quran dan militer. Semangat Ikhwan adalah kembali ke dasardasar
Islam yang memang menjadi inti dari doktrin kebangkitan Islamnya.

Ikhwan berprinsip bahwa Islam pada dasarnya adalah revolusi, dalam arti, Islam adalah
revolusi melawan korupsi pemikiran dan korupsi hukum, revolusi menentang korupsi moral dan
korupsi sosial, revolusi terhadap monopoli dan terhadap perampasan kekayaan rakyat secara
sewenang-wenang. Pemikiran ini lebih visioner dari tokoh-tokoh pembaharu sebelumnya seperti
Jamaluddin alAfgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Anda mungkin juga menyukai