Anda di halaman 1dari 17

IDEOLOGI GERAKAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA

OLEH
Vivi Winarni Mamonto
Vidia Pomontolo
Agil Pakaya
Dosen Pengampuh : Andris. K. Malae S.Pd M.Pd

Pendahuluan
Secara konseptual, Istilah ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti
pemikiran, daya khayal, konsep atau keyakinan. Kemudian “logos” berarti logika
atau ilmu. Oleh karena itu, ideologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang
keyakinan dan gagasan. Seorang ideolog adalah penganjur gagasan tertentu yang
perlu ditaati oleh suatu kelompok, kelas sosial, bangsa atau ras tertentu. Sejarah
mengatakan revolusi, pemberontakan, pengorbanan hanya dapat digerakkan oleh
ideologi. Akhirnya dapat dikatakan bahwa ideologi-ideologilah yang senantiasa
memberikan inspirasi, mengarahkan dan mengorganisir
pemberontakanpemberontakan menakjubkan yang membutuhkan pengorbanan-
pengorbanan dalam sejarah manusia di berbagai belahan dunia. Hal ini karena
ideologi pada hakekatnya mencakup keyakinan, tanggung jawab, keterlibatan dan
komitmen Dalam konteks Islam dan Politik, unsur ideology menjadi
inheren dalam Islam politik karena pertautannya yang erat dengan system
kekuasaan. Ideology berfungsi sebagai penggerak dan landasan pemikiran atau
gagasan di belakang aktivitas dan gerakan-gerakan yang dikategorikan Islam
Politik Oleh beberapa ilmuwan, mereka mempunyai konsep tentang ideologi
gerakan Islam, seperti David A. Snow dan Robert D. Benford yang mengatakan
bahwa ideologi tidak berfungsi sebagai sarana mengalirnya gagasan-gagasan dan
makna-makna secara statis dari ajaran-ajaran dasar gerakan.1

1
Syahrir Karim, Islam Ideologis dan Gerakan Politik Islam Kontemporer,Dalam Jurnal
Politik Profetik, Volume 04, No. 2 Tahun 2016, Hlm 138
IDEOLOGI POLITIK ISLAM PADA MASA ORLA DAN ORBA

Berbicara masalah ideologi politik Islam di Indonesia tampaknya sudah lama


menjadi isu politik sejak Indonesia memasuki kemerdekaannya. Gerakan ini dimulai

dari munculnya konsep nasionalisme dimotori oleh Soekarno yang harus

berhadapan dengan kekuatan politik Islam dalam konsteks hubungan agama (Islam)
dan negara untuk membangun ideologi negara Indonesia. Kadar konfrontasi antara
kelompok nasionalis dengan aktis Islam jauh lebih besar dibandingkan dengan
konfrontasi yang pernah terjadi dalam tubuh Sarekat Islam (SI) antara kubu Islam
dengan Marxisme. Pada fase selanjutnya dua kubu kelompok inilah yang mendominasi
perdebatan panjang tentang watak nasionalisme Indonesia. Fenomena politik awal
kemerdekaan tersebut nampaknya membawa sejarah panjang dalam perjalanan
ideologi politik Islam di Indonesia. Sebagaimana pada masa pemberlakuan
demokrasi. Konsep nasionalisme Soekarno mendapat kritikan dari kelompok
Islam, di mana tokoh Islam diwakili oleh Mohammad Natsir yang
mengawatirkan bahwa paham nasionalismenya Soekarno dapat berkembang
menjadi sikap fanatisme buta kepada tanah air. Untuk menghindari
kekahawatiran ini, maka menurut Natsir nasionalisme harus didasarkan pada niat
yang suci yang bersifat Ilahiyah yang melampaui hal-hal yang bersifat material,
maka dari itu nasionalisme di Indonesia harus bercorak Islami, karena menurutnya
bahwa Islam lah sebagai jalan untuk membuka jalan medan politik kemerdekaan
sebagai penanam awal bibit nasionalisme di Indonesia. Tetapi nampaknya Soekarno
mengkritik Natsir juga, bahwa nasionalisme yang ditawarkan bukanlah
nasionalisme yang berwatak sempit tiruan dari Barat atau berwatak Chauvinisme,
tetapi nasionalisme Soekarno adalah nasionalisme yang berwatak toleran, bercorak
ketimuran. Jadi menurut Soekarno konsep nasionalismenya bisa bekerjasama baik
dengan kelompom Islam maupun Marxisme. SI di bawah pimpinan HOS Tjokro
Aminoto menjadi gerakan politik pemula yang menjalankan program politik nasional
yang mendapat dukungan dari masyarakat luas.2

IDEOLOGI POLITIK ISLAM PASCA REFORMASI


Era reformasi adalah lahirnya iklim keterbukaan dan demokrasi,
proses demokratisasi ini telah mendapati dirinya berhadapan dengan ancaman
yang serius berupa konflik etnis dan agama. Angka kerusuhan dengan
sentimen agama dan etnis sangat tinggi dan tersebar di pelosok negeri.
Fenomena ini membuat banyak kalangan melakukan refleksi ulang atas
penilaian modernisme Islam Indonesia yang berujung pada situasi politik yang
demokratis juga dibarengi munculnya kelompok-kelompok Islamis (Islam
Politik) yang menuntut Indonesia semakin dekat kepada shari’ah Islam.
Kelompok ini terentang dari mereka yang menginginkan sharī’ah Islam
diberlakukan dalam bingkai Negara RI hingga kelompok-kelompok yang
menginginkan Indonesia menjadi negara Islam Yakni kedaulatan ada di tangan
rakyat dan Negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat. Dengan
demikian dalam pandangan kelompok ini demokrasi adalah konsep yang sejalan
dengan Islam setelah diadakan penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri.
Kondisi pro dan kontra yang telah mewarnai sistem politik Islam di Indonesia sehingga
membuat situasi politik Indonesia tidak hanya dipenuhi tuntutan terhadap kehidupan
politik yang lebih demokratis dan pengelolaan negara yang bersih dan transparan, tetapi
juga munculnya kelompok-kelompok Islamis (Islam Politik) yang menuntut Indonesia
dekat kepada shari’at Islam. Kelompok ini terentang dari mereka yang menginginkan
shari’ah Islam diberlakukan dalam bingkai negara Republik Indonesia hingga
kelompok-kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Kelompok-
kelompok tersebut di atas (Islam Politik) di kalangan akademisi menyebutnya
sebagai Islam Fundamentalis, misalnya Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),

2
Kurnawi Basyir, Ideologi Gerakan Politik Islam di Indonesia, Vol. 16, No. 2 November
2016, Hlm 346-347
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) sejalan dalam
menyikapi perpolitikan Islam di Indonesia.3

ISLAM SEBAGAI KONSEP GERAKAN

Fenomena kontemporer menunjukkan bahwa Islam dewasa ini telah


mewujudkan diri ke dalam sejarah. Kenyataan sejarah itu menjadi pandangan
bahwa Islam adalah agama yang juga terkait erat dengan kenegaraan. Oleh karena
itu, tidaklah mengherankan ketika kaum Muslim sudah berkenalan dengan
Aryanisme Persia, ada ungkapan populer yang berbunyi “al-Islam din wa
dawlah”, bahwa Islam adalah agama dan negara Perwujudan
itu mengambil dua bentuk, yakni sebagai sistem keagamaan transendental yang
ideal dan sebagai realitas sejarah. Adapun wujudnya yang pertama, Islam
dicerminkan oleh ilmu-ilmu keIslaman sebagai hasil interpretasi para ulama dan
cendekiawan atas Al Qur’an dan teladan Nabi Muhammad saw. Sebagai realitas
sejarah, Islam dicerminkan oleh kebudayaan, peradaban, dan masyarakat Islam.
Fenomena tersebut adalah bagian dari perwujudan Islam dalam dinamika politik.
Perjalanan Islam khususnya Islam politik, yang direpresentasikan
keberadaannya melalui partai politik Islam, serta Islam kultural sebagai lawan dari
Islam politik yang biasa melakukan aktivitasnya melalui saluran non-politik.
Indikator yang digunakan untuk melihat posisi Islam politik ialah dilihat dari
simbol Islam, doktrin Islam, lembaga Islam, policy, aktor Islam. Dinamika Islam
politik, menunjukkan proses pasang naik pada awalnya ketika dimulai jaman
pemerintahan Orde Baru atau demokrasi Terpimpin. Robert W. Hefner, dengan
merujuk pada proposisi yang dikemukakan oleh
Alexis De Tocqueville, agama bisa memegang peranan sentral dalam proses
demokratisasi. Bahwa agama tidaklah harus dipisahkan dari politik. Bahkan yang
diperlukan bukanlah separation of religion and state, tetapi suatu penolakan
terhadap subordinasi agama kepada politik untuk kepentingan penguasa. Dalam

3
Kurnawi Basyir, Ideologi Gerakan Politik Islam di Indonesia, Vol. 16, No. 2 November
2016, Hlm 351 dan 353
proses demokratisasi, sumbangan agama paling efektif adalah ketika organisasi
agama bergerak dari luar negara di wilayah yang disebut civil society.4

4
Syahrir Karim, Islam Ideologis dan Gerakan Politik Islam Kontemporer,Dalam Jurnal
Politik Profetik, Volume 04, No. 2 Tahun 2016, Hlm 139-141
MENDEFINISIKAN AKSI BELA ISLAM I, II DAN III

Aksi demonstrasi besar-besaran pada pada 14 Oktober 2016, 4 November


2016, dan 2 Desember 2016 yang dilakukan oleh sejumlah elemen gerakan Islam
Pandangan pertama (modern) dalam mendefinisikan “Aksi Bela Islam” ini,
banyak menggunakan teori gerakan sosial yang dirintis oleh pemikiran Charles
Tilly dan murid-muridnya. Bagi mereka, gerakan sosial terjadi jika memenuhi
beberapa unsur utama, yakni keberadaan wirausahawan politik (political
entrepeneur) yang punya wibawa kuat menawarkan gagasan dan memikat
masyarakat mobilisasi sumber daya yang dapat menggerakkan masyarakat dari
berbagai sumber (daerah, ormas, dan ikatan primordial); bingkai (frame) yang
membuat perhatian terfokus pada satu sasaran saja; dan posisi politis di mana
gerakan sosial menempati irisan tipis antara negara dan masyarakat. Berbeda
dengan gerakan (atau partai politik) yang ingin berkuasa, gerakan
sosial tidak terlibat dalam politik resmi (walau memang melibatkan aktor-aktor
politik) namun hanya ingin mempengaruhi kekuasaan. Dengan wibawanya,
mereka melakukan mobilisasi sumber daya berupa pengerahan massa aksi dari
berbagai penjuru Indonesia, dengan bingkai yang mengarahkan sorotan tertuju
pada penistaan agama oleh Ahok. Tujuan GNPF, dalam paradigma ini, adalah
mengambil posisi tawar di hadapan pemerintah sehingga langkah-langkah
politiknya menjadi diperhitungkan. Penganut paradigma ini akan beranggapan
bahwa hal tersebut adalah sesuatu kewajaran di negara berdemokrasi liberal, yang
mengandaikan manusia (dan masyarakat) mempunyai rasionalitas yang sama
ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan. Upaya menjawab persoalan itu
secara rasional, dalam paradigma ini, akan mengantarkan masyarakat pada
keadaan lebih maju dan modern Terhadap Aksi Bela Islam ini, mereka “paling
banter” hanya mengecam argumentasi-argumentasi peserta aksi, yang dalam
ukuran mereka jauh dari rasional karena membawa isu agama ke tengah
kehidupan sosial, menentang pemimpin kafir, dan sebagainya.5

5
Ahmad Sholikin, Gerakan Politik Islam di Indonesia Pasca Aksi Bela Islam Jilid I, II dan III,
Dalam Jurnal Politik dan Sosial Masyarakat, Vol 10, No. 1 Tahun 2018 (ISNN 2085-143) Hlm 16-17
AWAL PERGERAKAN REFORMIS ISLAMISME DI INDONESIA
Ide tentang nusantara berselimutkan panji Islam dapat ditelisik pertama
kali pada masa kejayaan Sarikat Islam. Sarikat Islam –yang kemudian membentuk
Partai dan berganti nama menjadi PSI- sejak awal menegaskan untuk “menuntut
akan berlakunya syari’at Islam, di dalam arti kata yang seluas-luas dan
sesempurna-sempurnanya, menurut contoh dan teladan yang nyata di dalam
Sunnah Rasullullah”. Konsep negara Islam sebagai refleksi cita-cita gerakan
Islamisme tak usai sampai disitu. Karena penerus-penerus ide tersebut
terus bermunculan seiring perkembangan iklim keislaman di Indonesia. Salah satu
tokoh negarawan yang paling vokal menyuarakan Negara Islam ialah Mohammad
Natsir. Natsir pernah berpendapat “..memang Rasulullah tidak perlu menyuruh
mendirikan negara. Akan tetapi dengan atau tanpa Islam, negara bisa berdiri,
dan memang sudah berdiri sebelum dan sesudah Islam.. di zaman unta dan pohon
korma sudah ada negara; zaman kapal terbang juga ada Negara, dengan maupun
tidak dengan Islam. Namun Islam datang membawa beberapa aturan tertentu
untuk mengatur negara, supaya negara itu menjadi kuat dan subur, dan boleh
menjadi wasilah yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang
berhimpun dalam Negara itu, untuk keselamatan diri dan masyarakat, untuk
kesentosaan perseorangan dan umum” Landasan argumen tersebut lah yang
menjadi jawaban Natsir sebagai representasi kaum Islamis, kala menjawab
kritikan Soekarno dalam buku “Islam Sontoloyo” nya, yang bersikukuh
mengkritik khilafah dengan dasar argumen keruntuhan kekaisaran Ottoman,
Turki. Pertarungan perdebatan tersebut bahkan berlanjut dalam perdebatan
perumusan asas Negara. Melalui siding BPUPKI, Juni 1945, beberapa tokoh
Islam modernis yang berasal dari Muhammadiyah dan wakil fraksi Islam lainnya
seperti Ki Bagus Hadikusuma, Agus Salim, dan Abdul Kahar Muzakir.6

6
Rendy Adiwilaga, Gerakan Islam Politik dan Proyek Historis penegakan Islamisme di
Indonesia, Dalam Jurnal wacana politi, Vol. 2, No. 1, Maret 2017, (ISSN 2502-9185), Hlm 5
ISLAM DAN PANCASILA SEBUAH LANDASAN IDEOLOGI
Diskursus Islam dan Pancasila sebagai sebuah ideologi di indonesia
menarik untuk dikaji, untuk itu dalam bagian ini akan diulas serta dianalisis sila-
sila Pancasila dalam kaitan dengan Islam melalui ayat-ayat Quran. Quran
digunakan sebagai pisau analisis dalam tulisan ini karena ia adalah sumber acuan
tertinggi dalam ranah hukum Islam. Ideologi Islam selalu mengacu kepada hukum
tertingginya yang digunakan pula sebagai Grundnorm dalam konsep hukum
Islam. Mengkaitkan keduanya dengan membedah sila serta ayat memiliki tujuan
untuk melihat titik taut selain itu juga dikaji apakah terdapat benturan filosofis
diantara keduanya. Walau tulisan ini tidak berfokus pada sisi sejarah, melainkan
pada sisi nilai filosofis akan tetapi sudut pandang sejarah juga masih digunakan
untuk melihat kerangka fikir ideologis pembentuk ideologi negara Pancasila.
Manusia Indonesia membutuhkan kekuatan yang mendukung gerak dinamisnya.
Ketika ia menyembah serta memohon bantuan pada kekuatan diluar dirinya, maka
ia telah menuhankan kekuatan tersebut, baik roh, dewa-dewa, pohon bebatuan dan
sebagainya. Jika kita telaah lebih jauh, konsep ideologi Ketuhanan yang Maha Esa
tidak kita temukan dalam pemahaman sifat Tuhan pra-Islam Sifat Tuhan pra-
Islam dalam pemahaman animisme-dinamisme, kemudian bergerak masa Hinddu-
Buddha yang me-nyembah banyak dewa tidak mengilhami nilai ideologi
Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai Ke-tuhanan Yang Maha Esa jelas mengadopsi
kon-sep bertuhan Islam, Ketika Pancasila dimaknai sebagai bagi dari nilai luhur asli
bangsa Indonesia yang berasal dari nilai-nilai ketuhanan nenek moyang Bangsa
Indonesia, maka secara logika akan sulit diterima mengingat bahwa pemahaman nenek
moyang kita atas Tuhan baik sejak masa animisme, dinamisme, masa Hindu-Buddha
kesemuanya mengenal konsep Politheisme. Islam adalah sebuah agama yang
mengajarkan nilai Ketuhanan tunggal dalam pemujaannya. Penolakan Islam sebagai dasar
negara oleh beberapa Bapak Pendiri Bangsa, disebabkan oleh keberpihakan negara
terhadap satu agama tertentu, yaitu Islam.7

7
Fokky Fuad, Islam dan Ideologi Pancasila sebuah Dialektika, Vol 9 No 3, Desember
2012, Hlm 165-166
Politik Islam merupakan penghadapan Islam dengan kekuasaan dan negara
yang melahirkan sikap dan prilaku politik (political behavior) serta budaya politik
(political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam Sikap dan prilaku serta
budaya politik yang memakai kata sifat Islam, menurut Taufik Abdullah, bermula
dari suatu kepribadian moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual
Islam. Senada dengan Din Syamsuddin, Azyumardi, mengemukakan pandangan
antropolog Dale Eickelman dan ilmuwan politik James Piscatori yang
menyimpulkan bahwa gambaran politik Islam (Muslim) di seluruh dunia dewasa
ini adalah pertarungan terhadap “penafsiran maknamakna Islam dan penguasaan
lembaga-lembaga politik formal dan informal yang mendukung pemaknaan Islam
tersebut”. Pertarungan seperti ini melibatkan “objektivikasi” pengetahuan tentang
Islam yang pada gilirannya memunculkan pluralisasi kekuasaan keagamaan. Islam
meletakkan politik sebagai satu cara penjagaan urusan umat (ri'ayah syu-ūn al-
ummah). Islam dan politik tidak boleh dipisahkan, kerana Islam tanpa politik akan
melahirkan terbelenggunya kaum muslimin yang tidak mempunyai kebebasan dan
kemerdekaan melaksanakan syariat Islam. Begitu pula politik tanpa Islam, hanya
akan melahirkan masyarakat yang mengagungkan kekuasaan, jabatan, bahan, dan
duniawi saja, kosong dari aspek moral dan spiritual. Oleh kerana itu, politik dalam
Islam sangat penting bagi mengingatkan kemerdekaan dan kebebasan
melaksanakan syariat Islam boleh diwadahi oleh politik. Ada dua hal yang bersifat
kontradiktif dalam konteks hubungan politik antara Islam dan negara di negara-
negara Muslim atau negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia.
Kedua hal tersebut yakni; Pertama, posisi Islam yang menonjol karena
kedududukannya sebagai agama yang dianut sebagian besar penduduk negara
setempat. Kedua, sekalipun dominan Islam hanya berperan marjinal dalam
wilayah kehidupan politik negara bersangkutan. Sebagai agama yang dominan
dalam masyarakat Indonesia, Islam telah menjadi unsur yang paling berpengaruh
dalam budaya Indonesia dan merupakan salah satu unsur terpenting.8

8
Ridwan, Hubungan Islam dan Politik di Indonesia Perspektif Pemikiran Hasan Al-Banna,
Dalam jurnal Politik, Volume 12, Nomor 2, Juli-Desember 2017
Husain Munafdalam ensklopedi Indonesia menjelaskan bahwa
perkataan politik dikenal dalam bahasa Latin sebagai polhica, dalam
bahasa yunani Politikus, dalam bahasa Belanda politiek, dalam bahasa
Perancis sebagai politique, dan dalam bahasa Inggris sebagai politics
dan dalam bahasa arab sebagai siyasah. Jika perkatan politik sudah muncul sejak
zaman Yunani, maka istilah siyasah dalam bahasaArab juga muncul serentak
dengan kelahiran negara Islam di Madinah. Kalau diYunani istilah politik
mempunyai arti pemerintahan atau kenegaraan. Sedangkan kata siyasah pada
mulanya diartikan sebagai usaha dan ikhtiar untuk mencapai atau menyelesaikan
suatu maslalah. Dan juga bermaksud pengurusan pemerintahan. Istilah politik
menurut para ulama dimaknai dengan dua arti: 1. Makna umum, yaitu: menangani
urusan manusia dan masalah kehidupan dunia mereka bedasarkan syariat agama.
Karena itu dikenal istilah Khilafat yang berarti perwakilan Rasulullah untuk
menjaga agama dan mengatur dunia. 2. Makna khusus, yaitu pendapat yang
dinyatakan pemimpin, hukum dan ketetapan-ketetapan yang dikeluarkannya,
untuk menjaga kerusakan yang akan terjadi, membasmi kerusakan yang sudah
terjadi atau untuk memecahkan masalah khusus. Dari keterangan diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa politik ialah cara dan upaya menangani masalah rakyat
dengan seperangkat. KaIau kata politik dikaitkan dengan Islam maka politik Islam
ialah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan umat Islam sebagai
acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pendukung perpolitikan Islam ini
belum tentu seluruh umat Islam (pemeluk agama Islam), karenanya maka daIam
kategori politik dapat disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan
simbolisme keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam,
dan istilahisrilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah perjuangan,
serta wacana politik9

9
Okrisal Eka Putra, Politik dan Kekuasaan Dalam Islam, Vol l No. 1 Juli-Desember 2008,
Hlm 109-110
POLITIK PEMERINTAHAN

Perdebatan mengenai posisi dari relasi antara agama dan negara di dalam
Islam merupakan sesuatu yang telah muncul semenjak runtuhnya Imperialisme di
masyarakat Muslim. Di seluruh penjuru wilayah, perdebatan tersebut menjadi
polemik yang berkembang pada level aksi perjuangan politik terutama dengan
adanya inisiasi dua kubu, yaitu kalangan Islamis1 (kelompok yang melihat
hubungan antara agama dan Negara sebagai sesuatu yang harus terintegrasi secara
total) dan kelompok sekuleris (yaitu kelompok yang berpendapat bahwa perlu
adanya pemisahan secara tegas antara wilayah agama dan negara). Kelompok
yang dalam hal ini disebut sebagai Islamis seakan tidak pernah menyerah dalam
merealisasikan apa yang dicitacitakan yaitu daulah Islamiyyah. Salah satu langkah
nyata dari fakta tersebut adalah dengan berusaha mendirikan negara, dimana
syari`ah Islam ditempatkan sebagai landasan ideal moralnya. Akan tetapi yang
perlu dipahami adalah bahwa ungkapan dari gerakan keagamaan ini, disatu sisi
menjadi indikasi akan meningkatnya kesadaran umat Islam untuk memfungsikan
Islam dalam dua spektrum sekaligus, formal dan substansial. Dalam dataran
formal, mereka menuntut dan memperjuangkan berdirinya negara Islam dengan
mekanisme pemerintahan yang sesuai dengan apa yang telah termaktub dalam al-
Qur`an dan Hadits. Sementara dalam kategori substantif, gerakan keagamaan
ini juga meniscayakan berputarnya nilai-nilai keislaman dalam masyarakat
bernegara. Namun, di sisi lain ekspresi kebangkitan gerakan keagamaan ini juga
menimbulkan stereotipe, yang pada akhirnya menjadi stigma bagi seluruh umat
Islam. Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai kelemahan gerakan ini adalah;
Pertama, dalam penafsiran teks keagamaan, kelompok ini cenderung memakai
pendekatan yang literalis-interpretatif. Mereka pada umumnya menolak
pemahaman kontekstual, karena pemahaman tersebut akan mereduksi sifat
perenial agama. Kedua, memberikan ruang yang cukup sempit bagi terciptanya
pluralitas dan relativitas.10

10
Arsyad Sobby Kesuma, Islam dan Politik Pemerintahan, Volume XIII, Nomor 2,
Desember 2013, Hlm 458-459
PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN
Pada abad ke 19 hingga awal abad ke 20 dunia Islam sebagian besar
berada dalam genggaman penjajahan Barat Dalam internal umat Islam sendiri
terdapat berbagai macam permasalahan berkaitan dengan pemahaman keagamaan
yang menyebabkan umat Islam tidak mampu meng hadapi kuatnya Hegemoni
Barat Umat Islam tenggelam dalam masa lalu mereka dan belum berani
melakukan terobosan terobosan baru untuk menjawab permasalahan permasalahan
yang mereka hadapi Di sisi lain penjajahan Barat terhadap dunia Islam membawa
hikmah tersendiri bagi umat Islam Adanya penjajahan tersebut telah menyadarkan
umat Islam bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan Barat
Pada saat inilah dunia Islam mulai bersen tuhan dengan gagasan dan pemikiran
Barat padahal sebelumnya kaum muslimin mendominasi percaturan politik dunia
selama berabad abad mulai dari Dinasti Bani Umayyah di Damaskus 661 750 M
Bani Abbasiyah di Baghdad 750 1258 M Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol 756
1031 M Dinasti Safawi di Persia 1501 1736 M Mughal di India 1526 1858 M
hingga Kekhalifahan Turki Utsmani 1300 1924 M. Namun setelah kekalahan
Turki Utsmani rasa percaya diri Barat semakin tinggi terutama setelah
kebangkitan Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga
mereka mampu menjajah berbagai belahan dunia Meng hadapi penetrasi Barat ini
sebagian pemikir Muslim ada yang bersikap apriori dan anti Barat dan ada juga
yang menerima mentah mentah pemikiran Barat serta ada pula yang mencari
nilai nilai positif yang datang dari Barat selain membuang nilai nilai yang
bertentangan dengan Islam Dalam konteks hubungan Islam dengan Negara serta
penetrasi pemikiran politik Barat ke dunia Islam Dr Muhammad Iqbal dalam
bukunya Pemikiran Politik Islam berusaha untuk memaparkan secara luas
perkembangan pemikiran politik abad modern yang terbagi kepada tiga arus
pemikiran.11

11
Muhammad Fakhry Ghafur, Pemikiran Politik Islam Dalam Perspektif Sejarah, Jakarta,
Kencana Predana Media Group, 2010, Hlm 153
KESIMPILAN

Politik merupakan pemikiran yang mengurus kepentingan Masyarakat


Pemikiran tersebut berupa pedoman, keyakinan hukum atau aktivitas dan
informasi. Beberapa prinsip politik islam berisi: mewujudkan persatuan dan
kesatuan bermusyawarah, menjalankan amanah dan menetapkan hukum secara
adil atau dapat dikatakan bertanggung jawab, menaati Allah, Rasullulah dan Ulill
Amr (pemegang kekuasaan dan menepti janji. Korelasi pengertian politik islam
dengan politik menghalalkan segala cara merupakan 2 hal yang sangat
bertentangan. Islam menolak dengan tegas mengenai politik yang menghalalkan
segala cara.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad Sobby Kesuma, Islam dan Politik Pemerintahan, Volume XIII, Nomor 2,
Desember 2013
Ahmad Sholikin, Gerakan Politik Islam di Indonesia Pasca Aksi Bela Islam Jilid I,
II dan III, Dalam Jurnal Politik dan Sosial Masyarakat, Vol 10, No. 1
Tahun 2018 (ISNN 2085-143)
Fokky Fuad, Islam dan Ideologi Pancasila sebuah Dialektika, Vol 9 No 3,
Desember 2012
Muhammad Fakhry Ghafur, Pemikiran Politik Islam Dalam Perspektif Sejarah,
Jakarta, Kencana Predana Media Group
Okrisal Eka Putra, Politik dan Kekuasaan Dalam Islam, Vol l No. 1 Juli-
Desember 2008,
Ridwan, Hubungan Islam dan Politik di Indonesia Perspektif Pemikiran Hasan Al-
Banna, Dalam jurnal Politik, Volume 12, Nomor 2, Juli-Desember 2017
Syahrir Karim, Islam Ideologis dan Gerakan Politik Islam Kontemporer,Dalam
Jurnal Politik Profetik, Volume 04, No. 2 Tahun 2016
Kurnawi Basyir, Ideologi Gerakan Politik Islam di Indonesia, Vol. 16, No. 2
November 2016
Rendy Adiwilaga, Gerakan Islam Politik dan Proyek Historis penegakan
Islamisme di Indonesia, Dalam Jurnal wacana politi, Vol. 2, No. 1,
Maret 2017, (ISSN 2502-9185)

Anda mungkin juga menyukai