Anda di halaman 1dari 28

ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan – ISSN: xxxx-xxxx (p), xxxx-xxxx (e)

Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA

Ahmad Fadli Syakir 1, Arief Rahman Hakim 2 , Arina Nafisatul Muna 3 , Azzahra
Putri Darmawan 4 , Egi Restu Fadilah 5 , Emil Maula 6 , Fauzan 7

1,2,3,4,5 UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia

* Correspondence: e-mail@e-mail.com; Tel.: (optional; include country code; if there are


multiple corresponding authors, add author initials) +xx-xxxx-xxx-xxxx (F.L.)

Received: date; Accepted: date; Published: date

Abstract
Islamic political thought in Indonesia has a strong basis and has grown in line with
the course of history, also interacting with the two main forces that shape its political identity,
namely nationalism and Islamism. From the classical period to the period of independence,
Indonesia gave rise to things in political thought, one of which was Islamic political thought,
considering that Indonesia was a country where the majority of the population embraced Islam.
Facing four famous lifetimes, the classical period, Dutch colonialism, Japanese colonialism, up to
the period of Indonesian independence, especially thinkers and figures insisted on making Islam
a big part of the country. However, from the long previous journey, both Islamism and
Nationalism in Indonesia played a full role in the presence of these thoughts.
Keywords: Indonesian Islamic Politics, Islamism, Nationalism
Abstrak
Pemikiran politik Islam di Indonesia memiliki dasar yang kuat dan tumbuh
sejalan dengan perjalanan sejarah, turut berinteraksi dengan dua kekuatan utama
yang membentuk identitas politiknya, yakni nasionalisme dan Islamisme. Sejak
masa klasik hingga masa kemerdekaan, Indonesia memunculkan hal-hal dalam
pemikiran politik salah satunya yaitu pemikiran polik Islam, mengingat Indonesia
menjadi negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Menghadapi
empat kali masa kehidupan yang terkenal, masa klasik, penjajahan Belanda,
penjajahan Jepang, hingga sampai ke masa kemerdekaan Indonesia apalagi para
pemikir dan para tokoh bersikukuh menjadikan Islam sebagai bagian besar dari
negara. Namun dari panjangnya perjalanan sebelumnya baik Islamisme dan
Nasionalisme di Indonesia berperan penuh atas hadirnya pemikiran-pemikiran ini.
Kata kunci: Politik Islam Indonesia, Islamisme, Nasionalisme
Author’s Name
Title

Pendahuluan
Pemikiran politik Islam di Indonesia memiliki akar yang dalam dan
berkembang seiring dengan dinamika sejarah, serta bersentuhan dengan dua
kekuatan besar yang membentuk karakter politiknya, yaitu nasionalisme dan
Islamisme. Sejak zaman kolonial hingga era kontemporer, pemikiran politik Islam
di Indonesia menjadi landasan bagi berbagai gerakan dan ideologi yang
memainkan peran penting dalam perjalanan politik dan sosial bangsa. 1 Dalam
konteks ini, pemahaman terhadap sejarah pemikiran politik Islam di Indonesia
tidak dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah panjang yang melibatkan interaksi
antara Islam, nasionalisme, dan aliran-aliran politik seperti Islamisme. 2 Sejarah
pemikiran politik Islam di Indonesia dimulai seiring dengan penyebaran agama
Islam di kepulauan Nusantara. Pada awalnya, Islam hadir sebagai ajaran agama,
namun seiring waktu, elemen-elemen politik juga mulai tumbuh dan terkait erat
dengan otoritas keagamaan. Dalam sejarahnya, pemikiran politik Islam di
Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis, dari peran ulama dalam
perlawanan terhadap penjajahan hingga lahirnya gerakan-gerakan politik Islam
modern. 3 Kehadiran nasionalisme sebagai kekuatan politik utama di Indonesia
membawa dinamika baru dalam pemikiran politik Islam. Sejak periode pergerakan
nasional, terdapat interaksi kompleks antara pemikiran politik Islam dan semangat
nasionalisme. Keterkaitan antara nasionalisme dan pemikiran politik Islam
menjadi fokus utama sepanjang perjalanan sejarah politik Indonesia.4
Meskipun terdapat perbedaan pendekatan, namun hubungan simbiosis
antara nilai-nilai nasionalisme dan Islam menjadi dasar bagi perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Hubungan antara nasionalisme dan Islamisme di
Indonesia mencerminkan kompleksitas politik dan budaya. Sementara
nasionalisme menekankan persatuan bangsa dan identitas nasional, Islamisme
menyoroti implementasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan politik. 5 Pada awal
kemerdekaan, dilema antara identitas nasional dan identitas agama menciptakan
perdebatan yang mendalam. Gagasan “Negara Kesatuan Republik Indonesia”
mencerminkan semangat nasionalisme, tetapi pada saat yang sama, muncul
aspirasi untuk menerapkan hukum Islam secara lebih ketat. Dinamika ini terus
berkembang, dan pergeseran politik serta perkembangan sosial selalu menjadi
bagian dari interaksi antara nasionalisme dan Islamisme di Indonesia. Dalam

1 Zaprulkhan, Dinamika Pemikiran Politik Islam di Indonesia, Jurnal Review Politik Vol. 3 No. 2/2013,
hlm. 155 (Arina Nafisatul Muna
2 Ridwan, Hubungan Islam dan Politik di Indonesia Perspektif Pemikiran Hasan Al-Banna, Jurnal

Hukum Samudra Keadilan Vol. 12 No. 2/2017, hlm. 225 (Arina Nafisatul Muna)
3 Dikutip pada 04 November 2023 pukul 18:48 https://www.indonesia-
investments.com/id/budaya/agama/islam/item248? (Arina Nafisatul Muna)
4 Muhammad Fauzan Naufal, Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik Islam di Indonesia

(Analisis Pemikiran Politik Bahtiar Efendy), Jurnal Raden Intan Repostiry/2017, hlm. 53 (Arina
Nafisatul Muna)
5 Mugiyono, Relasi Nasionalisme dan Islam serta Pengaruhnya Terhadap Kebangkitan Dunia Islam Global,

Jurnal Ilmu Agama UIN Raden Fatah/2014, hlm. 6 (Arina Nafisatul Muna)
2
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

konteks pemikiran politik Islam di Indonesia, memahami sejarah, hubungan


dengan nasionalisme, dan perkembangan Islamisme menjadi kunci untuk
menggali akar nilai dan ideologi yang membentuk panggung politik Indonesia.6

Metodologi
Penelitian ini menerapkan pendekatan kualitatif deskriptif sebagai metode
penelitian, sementara jenis penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian
kepustakaan atau penelitian berbasis literatur. Dalam upaya menggali data yang
relevan untuk penelitian ini, metode dokumentasi digunakan sebagai pendekatan
utama. Teknik pengumpulan data ini melibatkan pencarian informasi dan variabel
yang terkait dengan subjek penelitian dari berbagai sumber literatur, termasuk
buku-buku, artikel, jurnal, majalah, dan sumber-sumber lain yang relevan. Teknik
analisis data yang diterapkan dalam penelitian ini melibatkan pengolahan, reduksi,
dan sintesis data guna menyusun kesimpulan yang tepat berdasarkan temuan
penelitian.

Hasil dan Pembahasan

Sejarah Politik Islam di Indonesia


Sejarah perkembangan politik Islam di Indonesia, kami membahas sejak
masa klasik hingga ke masa kemerdekaan Indonesia. Pertama, Masa Klasik.
Mengenai Islamisasi Nusantara telah cukup banyak teori-teori yang dikedepankan
para ahli, baik dari penulis-penulis Barat maupun penulis-penulis Indonesia
sendiri. Perdebatan-perdebatan yang cukup panjang berkaitan dengan masalah
tersebut, menyangkut tiga masalah pokok; tempat asal kedatangan Islam, para
pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang
berusaha menjawab ketiga masalah pokok di atas seperti dikatakan Azyumardi
Azra belum mampu menjawab secara tuntas. Dari berbagai teori yang ada dapat
dikemukakan beberapa hal. Pertama, mungkin benar bahwa Islam sudah
diperkenalkan dan ada di Nusantara pada abad-abad pertama hijriah, sebagaimana
dikemukakan oleh Arnold dan dipegangi oleh sebahagian besar sarjana Indonesia
dan Malaysia. Akan tetapi proses Islamisasi baru mengalami akselerasi abad XII
dan XIII Masehi. Kedua, mungkin benar bahwa Islam dibawa langsung dari
Arabia melalui pedagang Arab, tetapi peran para pedagang muslim India tidak
dapat dinafikan. Ketiga, pertama sekali Islam diperkenalkan oleh para pedagang
kemudian berkembang pesat setelah kedatangan para sufi sejak abad XII.
Keempat, proses Islamisasi juga melalui masyarakat biasa (grass root), tetapi

6Ahmad Hafidh, Pertarungan Wacana Politik Hukum Islam di Indonesia, Jurnal Yustisia Edisi 90/2014,
hlm. 110 (Arina Nafisatul Muna)
3
Author’s Name
Title

mengalami perkembangan dan pengaruh yang luar biasa setelah melalui kalangan
elit penguasa.7
Berbagai jalur proses Islamisasi di Nusantara, khususnya secara sosio-
politik telah melahirkan institusi-institusi politik, baik institusi politik yang lahir
melalui jalur perkawinan, maupun yang lahir buah dari proses Islamisasi yang
simpatik itu sendiri. Dari sini seperti terlihat dalam sejarah lahirlah kerajaan-
kerajaan Islam, baik di Jawa, Maluku, dan Sulawesi. Di Sumatera juga terdapat
kerajaan Islam, seperti Samudera Pasai di Aceh. Kerajaan-kerjaan Islam inilah
yang kemudian menjadi basis perlawanan menentang kolonialisme bersama
penguasa-penguasa lokal. Islam seperti dikatakan oleh Roeslan Abdulgani “ikut
menumbuhkan jiwa patriotisme dan Nasionalisme Indonesia, serta ikut
memperkembangkan dan me-“religius”-kan paham-paham serta cita-cita sosio-
politik modern, seperti paham demokrasi dan sosialisme”.8 Kelahiran kerajaan-
kerajaan Islam, seperti Samudera Pasai, Demak dan lain-lainnya itu, dianggap
sebagai awal zaman Islam di Nusantara. Kelahiran Demak telah memunculkan
Islam sebagai elemen integratif yang mampu mengintegrasikan kekuatan
ekonomi, politik, dan agama di dalam negara. A.E. Priyono 9 mencatat bahwa
Islamisasi penduduk Nusantara telah menyebabkan terintegrasinya kelas
menengah saudagar muslim dengan pusat-pusat perdagangan internasional,
sehingga memberikan basis material bagi munculnya pelembagaan politik yang
baru. Seiring dengan munculnya kekuasaan-kekuasaan Islam tersebut, Simbol-
simbol Islampun diperkenalkan di dalam beberapa kerajaan Islam, misalnya
sebutan Sultan, Sayyidin, dan Khalifatullah yang telah digunakan sebagai sebutan
bagi para penguasa Nusantara. Selain itu sifat akomodasi kerajaan terhadap Islam
semakin tampak. Kraton misalnya, selain sebagai tempat tinggal raja dan pusat
pemerintahan, didirikan juga masjid sekaligus diangkat penghulu kraton sebagai
orang yang menangani urusan keagamaan di lingkungan kraton. Bahkan, sebagai
tempat tinggal para penghulu dan para stafnya pun dibangun perkampungan yang
bernama Kauman.10
Tiga serangkai jabatan pelaksana kekuasaan dalam pemerintahan di Jawa,
seperti: Raja/Bupati, Patih, dan Penghulu (termasuk tata kotanya dengan pola
Kraton, Masjid, dan alun-alun) adalah manifestasi gelar raja Jawa yang berbunyi
Hingkang Sinuhun (Yang Dipertuan), Senopati Hing Ngalaga (Panglima Parang),
Sayidin Panatagama Kalifatu Rasulillah (Pengatur Urusan Agama sebagai
Pengganti Rasulullah). Dalam pandangan Z.A. Noeh, gelar raja Jawa itu tidak lain
merupakan pengembangan dari teori al-Mâwardî dari kitabnya al-Ahkam al-
Sulthaniyyah, yang menyatakan bahwa: “negara adalah kepemimpinan kesatuan

7 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan
XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 23-59. (Arief Rahman Hakim)
8 Roeslan Abdulgani, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Antar Kota,

1983), hlm. 49. (Arief Rahman Hakim)


9 Dikutip oleh Anwar Harjono dalam bukunya, Perjalanan Politik Bangsa Menoleh ke Belakang

Menatap Masa Depan, op. cit., hlm. 7. (Arief Rahman Hakim)


10 Ibid., hlm. 9. (Arief Rahman Hakim)

4
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

umat yang disebut Imamat, yang berkedudukan sebagai pelanjut tugas kenabian
dalam memelihara agama dan mengatur dunia. 11 Perkembangan Islam yang
sedemikian baik itu kemudian terinterupsi oleh kedatangan kolonialisme, yang
dimulai dari kedatangan bangsa Portugis yang menguasai Malaka (1511). Demak
kemudian berupaya merebut Malaka pada tahun 1546. Akan tetapi upaya Demak
belum berhasil. Perlawanan terhadap kolonialisme ini kemudian diikuti oleh
kerajaan-kerajaan Islam Nusantara lain, seperti Sulawesi, Kalimantan dan
sebagainya.
Kedua, Masa Penjajahan Belanda. Kolonial Belanda pada masa-masa awal
pemerintahannya menerapkan kebijakan yang terlalu berhati-hati terhadap
Indonesia, terutama dalam hal urusan agama; dan menimbulkan sikap kontradiksi
antara rasa takut dan sikap kehati-hatian.12 Ini dapat difahami karena di seluruh
kepulauan Nusantara yang dihadapi Belanda mayoritas penduduknya adalah
beragama Islam. Tambahan lagi bahwa timbulnya berbagai peperangan atau
pergolakan seperti Perang Paderi, Perang Diponegoro, Perang Aceh, dan lain-lain
tidak lepas dari kaitan agama Islam. Setelah datangnya Snouck Hurgronje tahun
1889, pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan yang jelas. Ia
menasehatkan bahwa dalam Islam tidak dikenal bentuk kependetaan seperti yang
ada dalam Katolik. Ulama tidak apriori dan fanatik seperti yang digambarkan
semula. Juga bukan komplotan jahat yang setiap saat siap membrontak. Mereka
hanya beribadah dan pergi haji ke Mekkah.13
Politik Islam Snouck yang diutarakan di depan civitas NIBA
(Nederlandsch Indicshe Bestuurs Academie) di Delft, pada 1911 adalah: (1)
Terhadap dogma dan perintah hukum yang murni agama, hendaknya pemerintah
bersikap netral. (2) Masalah perkawinan dan pembagian harta warisan dalam
Islam, menuntut penghormatan, dan (3) Tidak satupun bentuk Pan-Islamisme
yang diterima oleh kekuasaan Eropa. 14 Snouck Hurgronje ditugaskan oleh
Belanda sebagai penasehat urusan pribumi dan Arab. Kehadirannya mempunyai
arti penting, karena sebagai kolonialis, pemerintah Belanda memerlukan
inlandsche politiek (kebijakan terhadap kaum pribumi, untuk memahami dan
menguasainya). Berdasarkan penelitian Snouck selanjutnya, ditemukan bahwa
sekalipun umat Islam Indonesia itu cinta damai, namun mereka tidak buta politik.
Untuk itu, menurutnya, musuh pemerintah bukanlah Islam sebagai agama,
melainkan Islam sebagai doktrin politik.15 Sehubungan dengan itu, dalam tesisnya
Snouck membedakan Islam dalam arti “ibâdah” (ritual), dan Islam sebagai
“kekuatan sosial politik”. Ia membagi Islam dalam tiga kategori: (1) Bidang agama

11 Zaini Ahmad Noeh, “Kepustakaan Jawa Sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum
Islam”, dalam Amrullah dkk. (ed.) Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum
Nasional di Indonesia, (Jakarta: PP IKAHA, 1994), hlm. 108. (Arief Rahman Hakim)
12 Deliar Noer, “Islam Politik: Mayoritas atau Minoritas?” dalam Prisma, No.8., 1988, hlm.4-6.
13 Lihat Harry J. Benda, op. cit., hlm. 21 (Arief Rahman Hakim)
14 H.A. Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 13
15 Harry J. Benda, The Crescent and the Rissing Sun, op. cit., hlm. 22-23; H.A. Suminto, Politik

Islam Hindia Belanda, hlm. 11. (Arief Rahman Hakim)


5
Author’s Name
Title

murni atau ibâdah, (2) Bidang sosial-kemasyarakatan, dan (3) Bidang politik.
Ketiga masalah tersebut mempunyai alternatif pemecahan masalah yang berbeda-
beda. Kebijakan Snouck tersebut disebut Islam Politiek (kebijakan pemerintah
kolonial dalam menangani masalah Islam Indonesia). Dalam aspek agama murni
(ibâdah), pemerintah kolonial pada dasarnya memberikan kemerdekaan kepada
umat Islam untuk menjalankan ibâdah agamanya sepanjang tidak mengganggu
kekuasaan pemerintah. Dalam aspek sosial kemasyarakatan, pemerintah
memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku agar rakyat dekat dengan kolonial.16
Politik ini oleh sebahagian orientalis disebut splitsing theorie.17
Politik Islam Hindia Belanda dalam bidang kemasyarakatan adalah untuk
mendekatkan masyarakat pribumi agar menyesuaikan diri dengan kebudayaan
Belanda. Prinsip ini bertujuan untuk memenangkan persaingan pihak kolonial
terhadap umat Islam. Untuk itu pemerintah kolonial menjalankan politik asosiasi
lewat jalur budaya, terutama pendidikan. Snouck berharap melalui politik asosiasi
ini Islam dapat dikalahkan dengan melarutkan umat Islam ke dalam kebudayaan
Belanda.18 Namun dalam kebijakan legislatif, pemerintah selalu memihak kaum
adat, bila terjadi perbenturan antara keduanya. Pada saat yang sama muncul pula
persaingan antara kaum nasionalis yang netral agama dengan golongan adat.
Karena bagi nasionalis, kaum adat dianggap sebagai wakil feodalisme, sementara
bagi nasionalis Islami kaum adat dianggap sebagai kaum khurafat dan bid´ah. Atas
dasar ini cukup beralasan jika kaum kolonial selalu berpihak kepada kaum adat,
karena penghalang utama kolonial adalah Islam.
Menghadapi kaum adat, tampaknya antara pihak sekuler dan pihak Islam
satu visi, yakni sama-sama menentang. Kelompok Islam melihat kaum adat
sebagai penghalang realisasi kehidupan santri, sedangkan kaum sekuler (netral
agama) melihat bahwa kaum adat sebagai benteng terakhir feodalisme yang perlu
dilenyapkan. Namun karena dukungan kolonial terhadap kaum adat yang
demikian kuat, maka upaya-upaya mengurangi atau menghilangkan peran kaum
adat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan tidak efektif. Bahkan sebaliknya
posisi kaum adat semakin diuntungkan dengan beberapa hal. Salah satu di
antaranya adalah munculnya hukum adat, padahal sebelum masa kolonial ia hanya
disebut adat-istiadat saja. Politik Islam yang diikuti oleh politik asosiasi, telah
melahirkan dua kelompok terpelajar sejak dekade 1920-an yaitu, golongan sekuler
dan golongan Islam, karena sistem pendidikan kolonial dirancang sebagai upaya
penghancuran kekuatan Islam. Melalui politik asosiasi di bidang pendidikan ini,

16 Gagasan politik Snouck Hugronje secara resmi menjadi gagasan pemerintah Hindia Belanda.
tetapi sejarah memperlihatkan bahwa tidak mungkin menghadapi Islam dengan titik tolak
demikian
17 Splitsing Theorie artinya teori pemisahan. Menurut Kernkamp,pada dasarnya agama Islam tidak

begitu jauh membedakan ketiga persoalan tersebut. Dalam tradisi Barat, masalah perkawinan dan
waris termasuk dalam persoalan sosialkemasyarakatan, tetapi orang Islam memandang bahwa
masalah tersebut teramat penting dan dianggap masuk dalam masalah ibâdah. H.A. Aqib Suminto,
op. cit., hlm.12. (Arief Rahman Hakim)
18 H.A. Aqib Suminto, op. cit., hlm. 43. (Arief Rahman Hakim)

6
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Belanda menerapkan diskriminasi, yaitu memberi subsidi dan fasilitas pendidikan


yang luar biasa kepada lembaga pendidikan yang didirikan kolonial, sementara
lembaga pendidikan pribumi (pesantren) dibiarkan bahkan dicurigai. Perbedaan
visi antara keduanya semakin memuncak dan mencapai klimaksnya pada
perdebatan sidang Konstituante 1956 - 1959.
Ketiga, Masa Penjajahan Jepang. Hingga masa-masa akhir kekuasaan
Belanda, timbul kekecewaan yang mendalam di kalangan Islam, karena semua
tuntutan mereka ditolak oleh pemerintah kolonial. Belanda lebih banyak
berunding dengan kelompok sekuler yang dianggap sebagai wakil tunggal rakyat
Indonesia.19 Jeritan sosio-politik terhadap tekanan pihak penjajah semakin keras
dirasakan. Inilah salah satu sebab mengapa para pemimpin ummat menunjukkan
sikap simpati terhadap kedatangan bala tentara Jepang pada bulan Maret 1942.
Sikap simpati ini semakin bertambah ketika siaran radio Tokyo menyatakan bahwa
tujuan Perang Pasifik adalah mengusir orang-orang kulit putih dari bumi Asia.
Apa yang menarik dari kedatangan Jepang adalah bahwa kebijakan yang ditempuh
terhadap rakyat Indonesia sangat berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh
Belanda. Jika Belanda menempuh politik netral terhadap Islam, maka Jepang
berusaha mendekati para pemimpin ummat agar dapat bekerjasama dengan
mereka. Jepang menyebut dirinya sebagai “saudara tua” rakyat Indonesia.
Ditempuhnya politik seperti ini adalah karena Jepang ingin memobilisasi seluruh
kekuatan rakyat dalam rangka menyokong tujuan-tujuan perang mereka yang
cepat dan mendesak. 20 Pada mulanya Jepang ingin membentuk sebuah
perhimpunan organisasi politik melalui “gerakan Tiga A”,21 namun karena gagal
memperoleh dukungan rakyat dibentuklah sebagai gantinya “Putera” (Pusat
Tenaga Rakyat).
Dalam kaitan ini patut dicatat pernyataan Benda. Menurutnya, ada 3 hal
yang menarik dari pembentukan Putera: Pertama, Pemimpin puncak putera adalah
“empat serangkai”; Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan
Kyai Mas Mansyur. Masuknya Kyai Mas Mansyur, seorang tokoh Muhammadiyah
dipandang istimewa karena memperlihatkan “kebangkitan” kembali pemimpin
Islam. Deliar Noer memandang bahwa perkembangan ini sangat unik dalam
sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Duduknya Kyai Mas Mansyur dalam
empat serangkai mungkin pula bisa dilihat sebagai promosi pertama dan utama
dari umat Islam pada masa pendudukan Jepang.22 Kedua, Organisasi ini dipimpin
oleh bangsa Indonesia. Sama dengan MIAI, di dalamnya Jepang bertindak sebagai
“kabinet bayangan” dengan menempati posisi di Majlis Pertimbangan (yang
didirikan pada bulan Mei 1943). Ketiga, MIAI dan Putera bubar pada saat yang

19 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Grafiti Pers, 1987), hlm. 21.
(Arief Rahman Hakim)
20 Harry J.Benda, Indonesian Islam Under The Japanese Occupation, op. cit., hlm. 15. (Arief

Rahman Hakim)
21 “Gerakan Tiga A” adalah Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Cahaya

Asia.
22 Deliar Noer, Partai Islam, op. cit., hlm. 23. (Arief Rahman Hakim)

7
Author’s Name
Title

bersamaan pada akhir tahun 1943, ketika policy Jepang mulai berubah. Ini berarti
menurut Benda, maksud Jepang yang sebenarnya menjadi tersingkap, yaitu
mengeksploitir rakyat Indonesia.23
Jepang menerapkan politik mendekati golongan nasionalis Islami,
sebaliknya memalingkan kelompok nasionalis sekuler. Jepang mendorong dan
memberi prioritas kepada kelompok nasionalis Islami untuk mendirikan
organisasi. Ini berarti untuk pertama kalinya dalam sejarah modern Indonesia ada
pemerintah yang memberikan tempat penting kepada golongan Islam. 24
Pemerintah Jepang secara bertahap mengakui kembali organisasi-organisasi Islam
yang sebelumnya dibekukan. Pada tanggal 10 September 1943 Muhammadiyah
dan NU disahkan kembali, disusul dengan Persyarikatan Umat Islam di
Majalengka pada tanggal 1 Februari 1944 dan Persatuan Umat Islam di Sukabumi.
Pada masa-masa awal kedatangannya, Jepang segera menciptakan Shumubu
(Kantor Departemen Agama) di ibukota. Kemudian pada bulan Agustus 1944,
disusul dengan dibubarkannya cabang-cabangnya yang dinamakan dengan
shumuka di seluruh Nusantara.25 Shumubu yang dibentuk Jepang tersebut kira-
kira seperti Office for Native Affairs (Kantor Urusan Pribumi) pada masa kolonial
Belanda, tapi kemudian berkembang menjadi sebuah kantor yang mengurusi
masalah-masalah yang dulunya berada di bawah wewenang Departemen Dalam
Negeri, Departemen Kehakiman, Departemen Pendidikan, dan Upacara
Keagamaan Umum (Public Worship). 26 Pada awalnya shumubu dikepalai oleh
Jepang yang bernama kolonel Horie. Kemudian digantikan oleh K.H. Hasjim
Asj’ari, tokoh ulama terkenal dari Jombang Jawa Timur.
Kebijakan Jepang memberi peran lebih besar kepada umat Islam daripada
golongan sekuler dibandingkan dengan kebijakan Belanda, pada saat yang sama
juga diikuti dengan pembubaran MIAI pada bulan Oktober 1943 dan kemudian
menggantinya dengan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) dengan
pendukung utamanya ialah dari Muhammadiyah dan NU. Kelihatannya Jepang
berusaha menguasai organisasi ini. Namun demikian, sulit dilacak sejauhmana
sebenarnya Jepang dalam mengeksploitasi Masyumi untuk kepentingannya,
seperti kesimpulan penelitian Nieuwenhuije. 27 Memang tidak dapat dipungkiri
bahwa pembenukan Masyumi adalah untuk mendukung kolonial Jepang. Akan
tetapi sebahagian para pemimpinnya berusaha melencengkan tujuan tersebut,
seperti diakui oleh K.H. Wahid Hasyim. 28 Upaya ini berhasil. Tokoh-tokoh
Masyumi tetap memegang peran politik penting meskipun Jepang telah menyerah

23 Benda, op. cit., hlm. 148-149. (Arief Rahman Hakim)


24 Deliar Noer, Partai Islam, op. cit., hlm. 23. (Arief Rahman Hakim)
25 B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982),

hlm. 9-10. (Arief Rahman Hakim)


26 Ibid., hlm. 10. (Arief Rahman Hakim)
27 Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, op. cit., hlm. 185. (Arief Rahman Hakim)
28 Dikutip dari Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekontruksi

Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 81. (Arief Rahman
Hakim)
8
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

kepada Sekutu.29 Seandainya mereka boneka Jepang, diperkirakan karir mereka


hancur bersamaan dengan kekalahan Jepang. Jepang yang bermasud merangkul
rakyat Indonesia, khususnya para pemimpin Islam tidak berhasil karena sentimen
anti Jepang tetap tinggi.
Masyumi melalui para tokoh-tokohnya menjalin hubungan yang sangat
mesra dengan para pemimpin Shumubu pimpinan kelompok Islam. Selama
sembilan bulan pertama tahun 1944 gaung kelompok sekuler benar-benar berada
di bawah bayang-bayang gemerlapnya posisi kelompok Islam. Ia tak mampu
menyaingi Masyumi. Demikian pula dari golongan Arab. Kaum priyayi sendiri
sudah lama didepak oleh Jepang. Namun demikian, sejarah tidak selalu berjalan
lurus. Menjelang saat-saat akhir kekuasaan Jepang, porsi yang lebih besar
diberikan Jepang kepada kelompok sekuler untuk memegang kendali politik
Indonesia setelah kemerdekaan. Hal tersebut tercermin dari komposisi
keanggotaan dalam badan-badan yang dibentuk Jepang untuk persiapan Indonesia
merdeka, seperti BPUPKI, PPKI, dan lain-lain. Wakil-wakil Islam yang duduk
dalam badan-badan tersebut hanya minoritas. Komposisi yang tidak seimbang ini
berakhir dengan suatu “Gentleman’s Agreement” (kesepakatan/perjanjian
bersama) Piagam Jakarta.
Keempat, Masa Kemerdekaan. Setelah rakyat Indonesia berjuang bertahun-
tahun lamanya melawan kolonialisme, bangsa Indonesia dihadapkan kepada
masalah yang sangat asasi, yakni ketika mereka akhirnya sampai kepada gerbang
kemerdekaan pada tahun 1945. Masalah tersebut adalah “atas dasar apa negara
yang baru lahir ini akan dibentuk”? Menghadapi hal tersebut, para wakil rakyat
Indonesia terbagi kepada dua kelompok. Pertama, mereka yang menginginkan
agar negara Indonesia berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khas pada idiologi
keagamaan. Kedua, mereka yang menginginkan agar negara Indonesia
berdasarkan ideologi agama (Islam). Kelompok yang pertama disebut dengan
golongan nasionalis sekuler (secular nationalist)30 yang kemudian disebut dengan
golongan sekuler. Sedangkan kelompok kedua disebut dengan golongan
nasionalis Islami (Islamic nationalist) yang kemudian disebut dengan golongan
Islam. 31 Kedua aliran pikiran ini mempunyai akar dalam sejarah dan
perkembangan gerakan nasionalis Indonesia pada masa itu. Sehingga banyak
memunculkan organisasi organisasi dari kedua belah kelompok.
Menurut visi kelompok sekuler, perjuangan untuk kemerdekaan dimulai
dengan berdirinya Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908, yang dianggap “organisasi

29 Kahin, op. cit., hlm. 138-139 (Arief Rahman Hakim)


30 Istilah ini tidaklah menunjukkan bahwa orang-orang dalam kategori ini sebagai pribadi yang
sekular tanpa perhatian dan pautan apapun dengan agama. Istilah ini dimaksudkan untuk
menunjuk kepada mereka umat Islam, Kristen, dan lain-lain yang berpegang pada pemisahan tegas
antara agama dan negara.
31 Istilah ini dimaksudkan adalah untuk menunjuk para nasionalis yang komitmen pada pandangan

bahwa negara dan masyarakat harus diatur oleh Islam sebagai agama dalam arti yang luas, bukan
hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga hubungan antara sesama
manusia, sikap manusia terhadap lingkungannya, alam, dan lain sebagainya.
9
Author’s Name
Title

pertama bangsa Indonesia yang disusun dengan bentuk modern dan yang besar
artinya.”63 Dari akar inilah gerakan-gerakan sekuler lainnya muncul, seperti Partai
Nasional Indonesia (PNI) 4 Juli 1927, Partai Indonesia (Partindo) April 1931),
Partai Nasional Indonesia (PNI-Baru) Desember 1933, Partai Indonesia Raya
(Parindra) 26 Desember 1935, dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) 24 Mei
1937.64 Gerakan-gerakan ini lahir sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan
mencita-citakan Indonesia merdeka berdasarkan kebangsaan. Itulah yang menjadi
tujuan dan titik berat pergerakan ini. Pada tahuntahun kehadirannya yang pertama,
Boedi Oetomo tidak mengarahkan perhatiannya pada seluruh rakyat Indonesia,65
melainkan semata-mata merupakan suatu himpunan untuk seluruh Jawa.
Pandangan dan perhatiannya secara sosio-kultural hanya menarik penduduk Jawa
Tengah, itupun terbatas pada orang-orang terpelajar dan ningrat.
Sebaliknya golongan Islam banyak yang berpendapat bahwa berdirinya
Sarekat Islam pada tanggal 16 Oktober 1905 sebagai titik tolak pergerakan
nasional. Sebagian yang lain mengklaim bahwa perjuangan untuk kemerdekaan itu
telah dimulai jauh sebelum awal abad XX dalam bentuk pembelaan diri terhadap
kolonialisme. K.H.M. Isa Anshari, seorang tokoh Masyumi menekankan bahwa
perjuangan dan peperangan untuk kemerdekaan Indonesia itu bukanlah dimulai
pada generasinya; bukan pula hanya menyangkut pahlawan-pahlawan 10
November 1945, melainkan merupakan riwayat perlawanan ratusan tahun, yakni
pada masa-masa Abdul Hamid Diponegoro, Imam Bonjol, Sultan Babullah
Ternate, Teuku Tjik di Tiro, dan lainnya. Beberapa penulis menyebut masa
perjuangan mereka sebagai “The periode of Prenationalism” (periode pra-
nasionalisme). Salah seorang dari mereka yakni Pangeran Diponegoro, dilukiskan
oleh Justus M.
Van Kroef sebagai “The Pregenitor of Indonesian Nationalism” (Cikal
Bakal Nasionalisme Indonesia). Dengan demikian jelas bahwa bipolarisasi ada
dalam gerakan rakyat Indonesia sejak permulaan abad XX ini, seperti pada
penjelasan awal bahwa Boedi Oetomo yang kontras dengan Sarekat Islam.
Dengan cara yang sama Jong Java (didirikan 1915) punya imbangan dengan Jong
Islamiten Bond (1925). Taman Siswa (1922) dengan Muhammadiyah (1912), dan
Nahdatul Ulama (1926). Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI, 1927), dan Gabungan Politik Indonesia (GAPI, 1939) yang
didominasi kelompok sekuler ada Majelis al-Islam A’la Indonesia (MIAI, 1937),
serta Djawa Hokokai (1944) dengan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi,
1943).
Perbedaan-perbedaan bahkan terkadang perseteruan yang ada itu antara
lain jelas tercermin dalam polemik antara Soekarno dengan Muhammad Natsir
sekitar tahun 1940 tentang hubungan negara dan agama. Soekarno sebagai juru
bicara golongan sekuler, menulis berbagai artikel dalam Panji Islam, kemudian
dibalas oleh Natsir dalam media yang sama. Menurut Noer, bahwa Soekarno dan
Natsir mewakili pandangan pandangan dua kelompok terpenting di Indonesia,
yakni golongan Islam dan golongan sekuler. Polemik mereka pada akhir tahun tiga
puluhan dan awal empat puluhan bukan hanya merupakan suatu kelanjutan,
10
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

melainkan juga suatu klimaks perbedaan-perbedaan pendapat antara dua


kelompok itu semasa kolonial.”32 Ketegangan antara dua aliran utama ideologi ini
untuk sebagian besar menentukan bentuk dan perkembangan diskusi di dalam
Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Masa-masa yang
dipandang paling genting dan sangat menentukan dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan Indonesia bagi umat Islam adalah tiga bulan menjelang proklamasi
kemerdekaan di proklamirkan. Karena sejak masa inilah wakil-wakil pejuang dari
berbagai latar belakang aliran ideologi politik terlibat dalam persiapan perumusan
dasar negara yang diwarnai oleh perbedaan-perbedaan visi yang cukup tajam.
Perbedaanperbedaan tersebut kemudian dapat diatasi dengan adanya persetujuan
bersama (gentleman’s agreement) Piagam Jakarta.
Ketika Jepang menyadari bahwa dirinya semakin terdesak dalam Perang
Pasifik kekaisaran Jepang (dengan ini) mengumumkan kemerdekaan pada masa
yang akan datang bagi segenap rakyat Indonesia (“The Japanese empire (hereby)
announce the future Independence of All Indonesian People”). Demikian bunyi
maklumat Perdana Mentri Jepang Kuniaki Koiso di depan resepsi istimewa “The
Imperial Diet” yang ke-85 pada tanggal 7 September 1944. Langkah awal sebagai
realisasi janji Jepang tersebut dibentuklah “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai”. (Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat BPUPKI)
pada tanggal 29 April 1945, 33 hari ulang tahun Kaisar Jepang. Badan yang
beranggotakan 62 orang, termasuk Ketua dan wakil ketua tersebut dilantik pada
tanggal 28 Mei. Kemudian ditambah 6 anggota menjadi 68 orang. Panitia ini
menyelesaikan tugasnya di gedung Pejambon setelah melalui dua sidang. Sidang
pertama berlangsung dari tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945, dan sidang kedua
berlangsung dari tanggal 10-16 Juni 1945.
Dilihat dari komposisi anggota, dari 68 jumlah anggota, 15 orang dari
golongan Islam, 8 orang dari Jepang, dan selebihnya dari golongan nasionalis
sekuler. Ini berarti hanya sekitar 20% saja yang mewakili aspirasi politik kelompok
pendukung dasar negara Islam bagi negara yang hendak diciptakan. Delapan
anggota dari pihak Jepang tidak turut serta dalam pembicaraan, sehingga
sebenarnya yang saling berhadapan adalah golongan sekuler dan golongan Islam.
Sementara golongan priyayi berpihak kepada golongan nasionalis sekuler. Dipihak
Islam sendiri, pendukung reformis dan tradisionalis bersatu dalam menghadapi
golongan nasionalis sekuler. Tema sentral yang dibahas dalam BPUPKI berkisar
pada masalah bentuk negara, batas negara, dasar filsafat negara, dan hal-hal yang
terkait dengan konstitusi. Persoalan-persoalan yang dibahas tersebut hampir
seluruhnya dapat disepakati, misalnya dalam hal bentuk negara, hampir seluruh
anggota memilih bentuk republik (dengan perbandingan 53 suara memilih bentuk
republik, dan 7 suara memilih bentuk kerajaan). Namun dalam masalah dasar

32 Keterangan lebih rinci mengenai perbedaan-perbedaan antara kedua kelompok tersebut lihat
Deliar Noer, The Modernist, op. cit., hlm. 294, 279. (Arief Rahman Hakim)
33 H. Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, (Jakarta:

Yayasan Prapanca, 1960), hlm. 239. (Arief Rahman Hakim)


11
Author’s Name
Title

negara terjadi perdebatan sengit (45 suara memilih dasar negara kebangsaan, dan
15 suara memilih dasar Islam).34 Untuk menjembatani perbedaan tersebut, setelah
sidang pertama selesai dibentuklah panitia kecil (panitia sembilan) yang terdiri dari:
Soekarno, Mohammad Hatta, A.A, Maramis, Achmad Soebardjo, Muhammad
Yamin. Kelima tokoh ini mewakili golongan sekuler. Sedangkan empat
selebihnya: Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Abdul Wahid Hasyim, dan
Abikoesno adalah mewakili golongan Islami. Dari 9 orang anggota panitia ini,
yang beragama Kristen hanya A.A. Maramis, selebihnya beragama Islam.
Setelah melalui jalan yang berliku-liku, diiringi dengan
perdebatanperdebatan yang cukup tegang dan panas, panitia kecil ini berhasil
mencapai satu modus vivendi antara kelompok sekuler di satu sisi dengan
kelompok Islam di sisi yang lain. Preambul tersebut ditandatangani oleh
kesembilan anggota pada tanggal 22 Juni 1945 di Jakarta. Kemudian dikenal
dengan Piagam Jakarta (The Jakarta Charter), nama yang tampaknya pertama kali
digunakan Yamin. Piagam Jakarta ini sebenarnya adalah sebuah preambul bagi
konstitusi yang diajukan dalam sidang BPUPKI. Dalam piagam tersebut juga
disepakati bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila yang dalam sila
pertamanya disebutkan “Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan syari‘at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tuntutan golongan Islam lainnya ialah
ditetapkan ketentuan bahwa kepala negara haruslah beragama Islam dan
dicantumkan kalimat “kewajiban menjalankan syari‘at Islam” di dalam konstitusi.
Sidang selanjutnya dibentuklah PPKI yang terdiri dari 15 orang anggota. Dari
jumlah tersebut wakil Islam hanya dua orang yaitu: Ki Bagus Hadikusumo, dan
K.H.A. Wachid Hasyim. Komposisi yang tidak seimbang ini berakibat
dibatalkannya semua tuntutan-tuntutan golongan Islam. Bahkan sehari setelah
proklamasi kemerdekaan, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Demikian
juga kata “Allah” dalam mukadimah diganti dengan “Tuhan” dan kata mukadimah
diubah menjadi pembukaan. Perubahan-perubahan di atas dianggap oleh sebagian
tokoh-tokoh Islam sebagai kekalahan politik wakil-wakil umat Islam.
Pemikiran Politik Islam di Indonesia
Dalam pembahasan mengenai pemikiran politik Islam di Indonesia. Kami
membahas dua tokoh yang sangat penting, yaitu Ir. Soekarno dan M. Natsir.
Pertama, Ir. Soekarno. Islam telah menyentuh daratan Indonesia sejak berabad-
abad lamanya, tatanan politik dalam kehidupan masyarakat Nusantara juga banyak
dipengaruhi oleh ajaran Islam. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya
kerajaan-kerajaan Islam yang tersebar di seluruh Nusantara. Kehidupan kerajaan-
kerajaan Islam ini menjadikan ajaran Islam masuk dalam ranah politik, sehingga
mengantarkan Islam di Nusantara tidak hanya sebagai ajaran agama, melainkan
sebuah negara. Pengintegrasian Islam dan negara di kerajaan-kerajaan Islam ini

34Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante, Jilid III, hlm. 35-36. (Arief
Rahman Hakim)
12
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

terjadi di Kerajaan Samudra Pasai dan Perlak.35 Selain itu, ada pula kerajaan di
Nusantara yang memisahkan kehidupan negaranya dengan kehdiupan agama
(paradigma sekulasisme) sebagaimana yang terjadi pada kerajaan Mataram di Jawa.
Namun, di tengah perbedaan tersebut (ada yang mengintegrasikan dan ada pula
yang memisahkan), terdapat Kerajaan Goa yang tidak mengintegrasikan agama
dengan negara, tetapi agama menjadi warga bagi kehidupan bernegara. Dengan
demikian, pandangan agama dan negara di Nusantara telah ada sejak zaman
kerajaan.36
Tatkala penjajahan bangsa Barat masuk ke Indonesia dan setelah berabad-
abad melakukan kolonialisme dan imperialisme, maka persentuhan pemikiran
barat dengan dunia Timur tidak dapat dihindarkan. Kaum terdidik yang memiliki
pemikiran progresif, terutama yang telah mengenyam pendidikan formal memiliki
pemikiran yang terkontaminasi oleh pemikiran barat, tidak terkecuali paham
sekularisme. Di antara tokoh yang bersentuhan dengan pendidikan Barat adalah
Soekarno, yang mana beliau memiliki pemikiran sekularisme akibat bersentuhan
dengan pendidikan ala penjajah. Pemikiran Soekarno terhadap Politik Islam
diilhami oleh dua tokoh pemikir Islam yakni Al-Afgani dan Mustafa Kemal
Atatruk. Dari Al-Afgani, ia terilhami untuk melakukan perlawanan terhadap
penjajah barat, serta kebebasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sedangkan Kemal Atatruk memberikan pengaruh sekulerismenya pada pemikiran
Soekarno,37 karena Kemal lah yang pertama kali mencetuskan gagasan sekulerisme
dalam dunia Islam dengan meruntuhkan kesultanan Turki Utsmani pada 1924.
Sikap sekulerisme Soekarno, selain dipengaruhi oleh pendidikan baratnya,
dan bacaan-bacaan tentang tokoh-tokoh sekuler dari Barat maupun dari dunia
Islam, juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, terutama keluarga. Keluarga yang
sangat menganut kebudayaan Jawa Kental (kejawen) membuat Soekarno lebih
senang menonton wayang, dengan tokoh yang diidolakannya adalah Bima. Sikap
yang cenderung tidak melibatkan agama pada keluarganya, sebagaimana kerajaan
Jawa yang sekuler (dijelaskan di atas), turut mempengaruhi pemikirannya terkait
agama dan negara. Pemikiran transformatif politik Islam Soekarno sebelum
kemerdekaan tergolong dalam kelompok pembaharu (moserenis) dan Islam
intelektual, Soekarno banyak mengemukakan gagasan terkait pemikiran ke-
Islaman. Salah satu tulisan Soekarno yang populer yang terdapat dalam buku
berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi” mencakup beberapa topik seperti
“Nasionalisme Islamisme Markisme”, “kearah Persatuan”, “Islam Sontolojo

35 Muhammad Soleh Aminullah. “Agama dan Politik: Studi Pemikiran Soekarno tentang Relasi
Agama dan Negara. Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan
Sosial, Vol. 12. No. 1 Januari- Juni 2020, h. 40. (Emil Maula).
36
Ibid, (Emil Maula)
37 Budiarti. “Islam dan Negara Modern: Ijtihad Pemikiran Politik Soekarno Tentang Hubungan

Agama dan Negara Pancasila. Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 4 No. 1 Juli 2018, h. 53. (Emil
Maula).
13
Author’s Name
Title

(1940)”, dan lain-lain. 38 Setelah kemerdekaan pemikiran politik transformatif


Soekarno termasuk kelompok nasionalis sekular. Soekarno dengan sungguh-
sungguh membahas gagasan Indonesia yang bersifat sekular melalui berbagai
diskusi serta tulisan. Beberapa karyanya yang mencatatkan upaya Soekarno untuk
memisahkan Islam dari ranah kehidupan berbangsa, diantaranya: “Apa Sebab
Turki Me-misahkan Agama dari Negara”, “Masyarakat Onta dan Masyarakat
Kapal Udara”, “Islam Sontoloyo” dan lain-lain. Konsep sekularisme Indonesia ini
berhasil diwujudkan setelah Proklamasi Indonesia, di mana Soekarno terpilih
sebagai presiden pertama RI. Sebelumnya upaya tersebut bahkan telah menjadi
topik perdebatan yang intensif si sidang BPUPKI dan PPKI.39
Kondisi dunia Islam yang menolak produk pemikiran Barat, serta
menganggap setiap produk Barat sebagai sesat membawa Soekarno menyesali hal
tersebut. Dunia Barat yang semakin maju di tengat-tengah dunia Islam yang kian
stagnan dalam pemikiran membuatnya semakin penasaran terhadap produk
pemikiran Barat. Maka gagasan sekularisme diminatinya sebagaia cara untuk
memajukan pemikiran Islam. Kondiri umat Islam yang membuat Soekarno
menggandrungi pemikiran Barat yakni sikap taklid buta yang membawa umat
Islam tidak bisa mengembangkan kreativitasnya dalam menjalankan ajaran
agama.40 Kondisi umat Islam yang menolak demokrasi karena dianggap demokrasi
adalah produk Barat. 41 Padahal demokrasi merupakan warisan Rasulullah dan
Khulafaur Rasyidin yang kemudian dimatikan oleh sistem dinasti dari awal Bani
Umayah sampai Turki Utsmani, sehingga dunia Barat tatkala bangkit telah dikenal
sampai sekarang sebagai pencetus demokrasi modrn.
Kebodohan umat Islam juga membawa keprihatinan Soekarno, di mana
ulama-ulama hanya lebih memfokuskan pada amalan ukhrawi atau yang
bernuansa akhirat dan menyampingkan dunia. 42 Pengetahuan ulama tentang
sejarah kemajuan pemikiran Islam terbatas hanya sampai sejarah para sahabat.
Mereka umumnya tidak mengetahui kejayaan Islam pada masa Dinasi Abasiyah
yang menjunjung kebebasan berpikir. 43 Ilmu dan pemikiran yang kerap kali
dijunjung dan dikedepankan adalah ilmu-ilmu agama, seperti ilmu fiqih belaka.
Kebodihan umat Islam juga alergi terhadap Barat, padahal dunia Barat juga tatkala
Islam memegang kendali peradaban tidak alergi untuk belajar kepada dunia
Islam.44 Pemikiran politik Islam Soekarno bisa diamati dari sistem kepercayaan,
perilaku, seperti teorinya Bill Gould, versi transformatif Kuntowijoyo yang

38
Anwar Sansuri. “Pemikiran Transformatif Soekarno Dalam Politik Islam (Pendekatan
Transformaif Bill Gould, Karl Stenbrink dan Kuntowijoyo), Empower: Jurnal Pengembangan
masyarakat Islam, Vol. 3, No. 2 2018, h. 66. (Egi Restu)
39
Ibid, h. 72. (Egi Restu).
40
Muhammad Soleh Aminullah. Op. Cit, h. 66. (Emil Maula)
41
Ibid, (Emil Maula)
42
Ibid, h. 67. (Emil Maula)
43
Ahmad Jumham. ”Konsep Pemikiran Islam Soekarno.” https://jurnal.um-palembang.ac.id.
(Emil Maula)
44
Ibid, (Emil Maula)
14
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

mengartikan transformatif sebagai liberalisasi, humanisasi, dan transcendental,


serta dinamika gerak intelektual dan sosial politik Karl Stembrink, dapat dianalisis
melalui lensa pemikiran Soekarno, yang bisa dilihat dari dua aspek, pertama adalah
pemikiran transformatif sebelum kemerdekaan, khususnya terkait ide-ide
pembaharuan Soekarno dalam Islam. Sementara itu, aspek kedua adalah
pemikiran transformatif setelah kemerdekaan yang berfokus pada konsep
Sekularisasi politik Islam menurut pandangan Soekarno.45 Soekarno mempunyai
pemikiran politik Islam yang transformatif, hal ini sangat menarik karena
setidaknya dapat memunculkan berbagai gagasan yang bervariasi dalam konteks
pemikiran Islam.
Terdapat poin penting yang menjadi buah pikir sekulerisme Soekarno.
Perama, pada prinsipnya agama merupakan urusan pribadi masing-masing,
tanggung jawab seseorang terhadap Tuhannya adalah tanggung jawab diri
pribadinya dan tidak boleh diintervensi oleh urusan publik, dalam hal ini adalah
negara. Penghilangan simbol-simbol ketuhanan yang diterima oleh Nabi saat
perjanjian Hudaybiyah menjadi dasar akan sekulerisme Soekarno. Melalui
hilangnya simbol ketuhanan dalam perjanjian tersebut, umat Islam dapat
menjalankan ibadah Umroh. Menurut Soekarno, Nabi Muhammad sendiri tidak
pernah mendeklarasikan negara Madinah sebagai negara Islam, melainkan prinsip-
prinsip Islam (egaliter, inklusif, pluralis dan aspiratif) diterapkan.46
Kedua, tidak terdapatnya ijma ulama yang khsusu membahas mengenai
keharusan bersatunya agama dan negara. Pendapat ini di dasarkan pada pemikiran
Ali Abduraziq yang menyatakan bahwa tidak ada ayat Al-Qur’an yang mewajibkan
umat Islam memiliki sistem pemerintahan tersendiri. Ketiga, tidak adanya konsep
negara yang khusus yang diwajibkan oleh Nabi Muhammad. Nabi Muhammad
sendiri menyebutnya bukan negara Islam, melainkan Umat Islam. Dengan
demikian Soekarno meyakini apabila Indonesia mengintegrasikan negara dan
agama, dalam hal ini Islam, maka terjadi kekacauan karena ketidaksetujuan pihak
non-Islam. 47 Soekarno mengembangkan nasionalisme yang mencerminkan
ketidaksetujuan terhadap kolonialisme dan imperialisme. Dalam kerangka ideologi
nasionalisme yang dibangunnya, Soekarno menghadirkan kontrast terhadap
ideologisasi yang bersifat puritan. Terjadi gesekan antara kelompok agama
khususnya Islam dan kelompok kiri seperti kaum Marxisme yang bersaing untuk
menjadikan diantara keduanya sebagai ideologi bangsa. Soekarno sendiri lebih
condong terhadap wacana sekularisme yang menganjurkan pemisahan Agama dan
Negara, serupa dengan model yang diterapkan di Turki dan beberapa Negara
Erofa di Barat. Menurut pandangan Soekarno agama dapat dan seharusnya

45
Anwar Sansuri. Op. Cit. (Egi Restu)
46
Muhammad Soleh Aminullah. Op. Cit, h. 41-42 (Emi Maula)
47
Ibid, (Emil Maula)
15
Author’s Name
Title

dipisahkan dari urusan negara dan pemerintahan karena agama menyangkut


aturan spiritual (masalah akhirat) sedangkan negara bersifat duniawi (sekular).48
Sebagai kelompok nasionalis sekuler soekarno dengan kuat meyakini bahwa
pengideologisasian agama dengan negara bertentangan dengan konsep
kebangsaan. Pandangan Soekarno ini didasarkan pada teori kebangsaan yang
dikemukankan oleh Ernest Renan, yang menyatakan bahwa dasar ideologi
perjuangan suatu bangsa merupakan pengalaman sejarah bersama dan kehendak
hidup bersatu. Soekarno mengacu pada salah satu kutipan tulisan Renan yang
mengusulkan bahwa pembentukan ideologi bangsa adalah suatu entitas yang
hidup, prinsip rohaniah yang muncul dari konteks sejarah serta keinginan bersama
untuk bersatu. Renan menegaskan bahwa semua elemen seperti persamaan ras,
bahasa, agama, atau letak geografis bukanlah faktor utama yang membentuk
ideologi bangsa tersebut. 49 Pemisahan agama dan negara sebenarnya akan
membawa pada kemandirian dan kemajuan keduanya. Agama yang dipisahkan
dari negara akan semakin mandiri dan berkembang pesat serta memiliki kualitas
dan kuantitas yang baik. Sedangkan negara yang dipisahkan dari agama akan
memiliki keleluasaan dalam menjalankan hukum dan kedaulatannya tanpa
larangan dari pemuka agama yang dianggap memiliki pengaruh dan penentu besar
atas kehidupan dunia dan untuk akhirat. Soekarno menyebutnya, jika agama
“disapih” dari negara atau lepas dari asuhan negara, maka agama itu akan tumbuh
subur, lepas dari kejumudan yang sejatinya keluara dari substansi Islam itu sendiri.
Beliau tentunya melihat kehidupan Islam di Turki tatkala dijadikan sekuler oleh
Kemal Atatruk, Islam di Turki justru memiliki pemikiran yang maju dan
progresif.50
Kemandirian negara dari agama membawa arah yang baik untuk kemajuan
pemikiran bangsanya. Agamanya seharunya tidak mengatur hal-hal yang bersifat
publik karena agama adalah urusan privat dan hanya akan menjadi raja pada hati
masing-masing individu. Negara yang bergantung pada agama cenderung tidak
memiliki kebebasan (dibatasi agama) sebagaimana yang terjadi pada Dinasti Ibn
Saud yang mengharamkan sesuatu yang baru.51 Agama masuk dalam ranah negara
sehingga tindakan-tindakan negara dapat dibenarkan selama otoritas agama
membenarkannya. Pada awal berdirinya Dinasti Ibn Saud, banyak sekali
ketidakbolehan benda-benda baru apalagi produk barat. Hal tersebut yang disebut
sebagai kejumudan dan bahkan agama menjadi alasan untuk dijalankannya
hukum-hukum yang dzalim yang dilakukan oleh negara.

48
Sudarti. “Relasi Agama dan Negara: Telaah Pemikiran Politik Soekarno dan
Fadzlurahman”. Politika: Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam, Vol. 7 No. 2 Juli-
Desember 2020, h. 71. (Egi Restu)
49
Ibid, h. 72. (Egi Restu)
50
Soekarno. Islam Sontoloyo: Pikiran-Pikiran Progresif Pemikiran Islam. (Bantul: Basabasi,
2017), h. 145. (Emi Maula).
51
Ibid, h. 147. (Emil Maula)
16
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Negara yang mengikatkan diri pada agama menjadikan agama sebagai aturan
tertingginya, bukan ayat kitab suci yang dijunjungnya tetapi perkataan atau
pendapat dari otoritas agama lah yang menjadi tumpuannya. Otoritas agama
dalam menyikapi demikian tentunya untuk kepentingan dirinya sendiri, dan ini
banyak dilegitimasi oleh semua orang atas dasar ketakutannya pada dosa.
Hubungan yang terikat antara otoritas negara (pemerintah) dan otoritas agama
(syaikhul Islam) juga akan membuat suatu agama tidak berkembang dan menjadi
terpuruk. Hal tersebut tentunya dikarenakan diurusnya oleh pemerintah dengan
politik pemerintah itu sendiri, bukan diurus oleh otoritas agama yang seharunya.
Dengan demikian agama menjadi terikat atau terbelenggu oleh negara. 52 Maka
kedua otoritas tersebut tidak sepantasnya mengatur yang bukan menjadi
kewenangannya. Walau demikian, sekulerisme Soekarno menurut penulis tidaklah
dapat dikatakan sebagai sekulerisme murni karena Soekarno juga sempat melirik
prinsip-prinsip yang berbau agama. Di samping gagasan-gagasan pemikirannya
tentang sekulerisme, terdapat prinsip agama yang perlu dijalankan dalam
kehidupan bernegara. Menurutnya ajaran agama tidak perlu diterapkan dalam
negara, namun jika parlemen dikuasai oleh Islam, maka prinsip keislaman itu yang
akan dijadikan dalam aturannya. Begitu juga tatkala Kristen yang menguasai
parlemen, maka prinsip yang digunakan untuk membuat peraturan.
Dalam menjelajahi pemikiran politik Islam khususnya tentang hubungan
antara Islam dan Negara, Soekarno mendapat kritik yang sebanding dari
Muhammad Natsir yaitu seorang kritikus yang selalu terlibat dalam perdebatan
baik sebagai sahabat maupun lawan politik Soekarno. Mengenai pengagungan
Soekarno terhadap rasionalisme, Natsir menyatakan bahwa rasionalisme tidak
dapat dijadikan pijakan kebenaran karena kebenaran yang dikansung oleh akal
sangat relatif. Menurutnya kebenaran mutlak hanya dapat ditemukan dalam
agama. Seperti gurunya yaitu Ahmad Hasan, Natsir juga khawatir bahwa konsep
Nasionalisme yang dianut Soekarno dapat berkembang menjadi suatu bentuk
ashabiyah baru. Menurut pandangan Natsir, hal tersebut bisa mengarah pada
fanatisme yang merusak ikatan persaudaraan antara Umat Islam dari berbagai
bangsa.53
Kedua, pemikiran M. Natsir. Nama lengkapnya Dr. Mohammad Natsir, lahir
di Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Kab, Solok, Sumatera Barat, tanggal 17 Juli
1908.M. Natsir belajar di HIS Adabiyah di padang Sumatera Barat ketika dia
berusia delapan tahun. Setelah dewasa, Mohammad Natsir diberi gelar Datur
Sinaro Panjang. 54 M. Natsir adalah negarawan muslim, ulama, pembaru, serta
politisi muslim yang dihormati.55 Natsir terjun ke dunia politik sejak usia muda
hingga lanjut usia. Natsir berafiliasi dengan Badan Kerja KNIP pada tahun 1945-

52
Ibid, h. 145. (Emil Maula)
53 Buduarti. Op. Cit., h. 56. (Egi Restu)
54
Yusuf Abdullah Puar, “Muhammad Natsir Sewaktu Remaja Merangkul Dewasa, dalam panji
masyarakat, No.251 (15 juli 1978), hlm 13”.
55
“Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 4, (Jakarta : Ichtiar Baru Van
Hoeven, 2001), hal. 21”.
17
Author’s Name
Title

1946. Ia lalu menjabat Menteri Penerangan Republik Indonesia pada tahun 1946-
1949. Ia menjabat Menteri Penerangan pada empat Kabinet berbeda: pertama
dipimpin Sjahrir I (3 Januari 1946-12 Maret 1946), kedua dipimpin Sjahrir II (12
Maret 1946-2 Oktober 1946), ketiga dipimpin dipimpin oleh Hatta I (29 Januari
1948-4 Agustus 1949), dan keempat dipimpin oleh Mbonyumutwa (14 September
1950-2 Februari 1951). Natsir menjabat Ketua Umum Dewan Syura Islam
(Masyumi) pada tahun 1949-1958.56
Keberhasilannya dalam mengajukan Mosi Integral, Natsir ditunjuk
Presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri Indonesia pada tahun 1950-1951,
yang merupakan puncak karir politiknya. Selain itu, ia jadi anggota parlemen
Republik Indonesia dari tahun 1950-1958. Selain itu, hasil dari pemilu tahun 1955,
Natsir jadi anggota Majelis Konstituante dari tahun 1956 sampai 1958. Kemudian,
dari tahun 1958 hingga 1960, ia gabung PRRI. Pada tahun 1998, Natsir diberi gelar
"Bintang Republik Indonesia Adhipradana" dan pada tahun 2008, dia dinobatkan
sebagai "Pahlawan Nasional".57 Sementara itu, Natsir pernah menjabat di bidang
dakwah di organisasi Islam internasional. Pada tahun 1967, dia menjabat sebagai
Wakil Presiden World Muslim Congress, berbasis di Karachi, Pakistan. Setelah
itu, tahun 1969, dia diangkat jadi anggota Liga Muslim Sedunia di Mekah, Saudi
Arabia. Pada tahun 1972, dia juga jadi anggota Majlis A‘la al-‘Aslam li al-Masajid
di Mekah, Saudi Arabia. Dia juga jadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
dari tahun 1967 hingga 1993.58 Mohammad Natsir tentang Partai Politik Islam: M.
Natsir berdasarkan al-Qur'an surat adz-Dzariat Ayat 56 untuk menunjukkan
keyakinannya tentang hubungan abadi antara Islam dan Negara, Artinya : “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembah
kepada Ku”. 59
Kehidupan individu, keluarga, dan negara harus mencerminkan ajaran
Islam. "Seorang muslim, hidup di dunia ini dengan cita-cita kehidupan supaya
menjadi seorang hamba Allah dalam arti yang sesungguhnya," kata M. Natsir
berdasarkan firman Allah ini60, dengan asas Al-Quran dan Sunnah. Asas artinya
dasar dari prinsip, inspirasi, dan kekuatan61. Muslim memiliki idiologi yang tidak
dapat dipisahkan dari dunia dan akhirat. Menurut Natsir 62 untuk membuat
undang-undang dasar negara ini berhasil, mereka harus bertolak dari prinsip dasar
bahwa undang-undang dasar wajib meletakkan negara di hubungan erat dengan
masyarakatnya. Undang-undang dasar itu harus berasal dari dasar rakyat negara,

56
“Hakiem, ed, M. Natsir di Panggung Sejarah Republik…. hal. 149-150”
57
ibid
58
“M. Habib Chirzin, Pak Natsir: Peran dan Pandangan Dunia Internasional, dalam Lukman
Hakiem, ed. 100 Tahun Mohammad Natsir: Berdamai Dengan Sejarah (Jakarta: Republika,
2008), 376-377 Bandingkan dengan Thohir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, cet.
ke-2 (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hal. 9”
59
“Al-Qur’an dan Tafsinya, Departemen Agama RI, Jilid 10, 2009, hal. 56”
60
“Mohammad Natsir, Islam Sebagai dasar Negara, (Jakarta: Media Dakwah, 2000), hal. 3”
61
“Mohammad Natsir, Indonesia di Persimpangan Jalan , (Jakarta : PT Abadi, 1994), hal. 15”
62
“Mohammad Natsir. Islam Sebagai Dasar Negara ..., hal. 55”
18
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

yaitu dari pikiran, perasaan, dan kepercayaan mereka. Golongan sekuler


mempertanyakan bagaimana Islam bisa mengatur negara modern saat Natsir ingin
Islam menjadi landasan negara. Al-Quran memberi arahan tentang cara membuat
anggaran belanja negara. Menurut Natsir63 , hal-hal tentang keduniaan senantiasa
berubah sesuai dengan tempat, zaman, serta keadaannya, sehingga semua tidak
ada serta tak perlu diatur oleh wahyu Ilahi kekal.
Islam diciptakan untuk keselamatan manusia; itu hanya menetapkan dasar
dan prinsip untuk mengatur masyarakat manusia, yang selalu penting bagi mereka
selama manusia masih hidup. Misalnya, Islam menetapkan standar untuk seorang
pemimpin, seperti agama, sifat, tabiat, akhlak, sert kemampuan memegang
amanah. Saat kelompok sekuler menghilangkan UU Islam karena mereka
menganggapnya tak selaras sekarang. Mereka tak menyadari bahwa pemimpin
dengan kekuasaan dari jenjang paling bawah hingga paling tinggi dalam
pemerintahan dan partai politik harus bermoral serta mempunyai budi pekerti
sehingga kemajuan politik dapat terhalang. Natsir menyatakan bahwa jika ada
sistem hukum di negara lain, orang Islam mempunyai hak mencontohnya selama
tak bertentangan atau berlawanan dengan aturan Islam64. Negara bukan Islam juga
membuat aturan negara mereka sebagian mencontoh UU negara lain lebih tua
atau lebih bijak dalam hal ini.
Sebagai dasar negara, dasar Islam harus mengandung beberapa hal.
Pertama, Konstitusi wajib bebas dari tekanan. Untuk menjaga konstitusi ini, tidak
hanya tanggung jawab pejabat, tetapi juga negara (institusi) atau masyarakat.
Institusi adalah suatu organisasi dengan tujuan memenuhi kebutuhan fisik dan
rohani masyarakat. Organisasi ini diakui masyarakat, memiliki alat guna mencapai
tujuan tersebut, memiliki anggota, memiliki wilayah operasinya, dan memberikan
hukuman untuk pelanggaran. Kedua, Dasar Negara wajib berakar di hati
masyarakat. Islam wajib kuat tertanam di tiap orang yang beragama Islam; ini
berarti tidak hanya nama Islam tetapi juga pengamalan yang paling penting. 65
Ketiga, Masyarakat jangan melanggar Demokrasi. Ada aturan yang wajib dipatuhi,
yaitu 66 kelompok terbesar, atau mayoritas, wajib memberikan persetujuan kepada
mereka yang berkuasa dan kelompok kecil yang tidak setuju dengan mayoritas
dijamin hak untuk hidup di masyarakat.
Perjuangan M. Natsir membuat Islam menjadi dasar negara, ini telah
diupayakan setidaknya tiga periode berbeda, yang memiliki pendekatan
pemikirannya sendiri, misalnya: 67 Pertama, pada tahun 1930-1940, M. Natsir
memperjuangkan ide "Islam sebagai Dasar Negara" dalam tulisannya diterbitkan
di berbagai media cetak, menimbulkan polemik antara pemikiran politik Islam dan
pemikiran politik nasional sekuler diwakili Soekarno. Kedua, setelah kemerdekaan,

63
“Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam,..hal. 86”
64
Ibid. hal. 88
65 “Muhammad Natsir. Islam Sebagai Dasar Negara, hal. 55”
66 Ibid hal. 57
67 Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, ..., hal. 199

19
Author’s Name
Title

M. Natsir bisa menerima Pancasila selaku dasar negara. Ini berarti bahwa Pancasila
dilihat sesuai Islam dan bahwa inti seluruh sila dipenuhi serta dijalankan secara
benar. Ketiga, periode konstituante. Pada periode ini, perjuangan M. Natsir
menggunakan intrumen partai politik, diizinkan konstitusional oleh lembaga
ditunjuk konstitusi, yakni parlemen.
Menurut M. Natsir,68 Muslim secara otomatis wajib mengikuti ideologi Islam
di politik; Perintah Allah wajib dipatuhi, tidak Cuma di ibadah, tetapi dalam
masalah sosial; Dalam persoalan sosial, segala sesuatu mungkin terjadi, kecuali
yang sebenarnya dilarang oleh Allah. M. Natsir bahkan mengakui bahwa sistem
non-agama lainnya dapat diterapkan di negara-negara Islam jika sistem tersebut
efektif. M. Natsir berpendapat bahwa hanya Islam yang dapat menjadi landasan
negara karena hanya Islam yang dapat mencapai tujuan tersebut di atas. Tujuan
kemerdekaan Republik Indonesia adalah katalisator pergerakan nasional, dan
konflik antara umat Islam dan non-Muslim tidak akan terselesaikan sebelum
tujuan tersebut tercapai. Bagi mereka, mandiri saja tidak cukup, sehingga mereka
tetap akan berjuang "selama negeri (negara Indonesia) belum didirikan dan diatur
menurut susunan kenegeraan Islam." Natsir berpendapat bahwa agama harus
menjadi dasar negara. Islam adalah lebih dari sekadar sistem peribadatan manusia
dan Tuhan YME. Yakni kebudayaan dan peradaban sempurna.69
M. Natsir,70 menyatakan bahwa Islam bersifat demokratis karena menjauhkan
diri dari kekuasaan absolut dan perilaku sewenang-wenang, serta mendefinisikan
hak manusia sebagai makhluk sosial, dan hubungan antara pemerintah serta yang
diperintah. Dalam Islam, istilah “demokrasi” mengacu pada hak masyarakat untuk
mengkritik, membantah, dan menantang pemerintah yang tidak adil. Jika
hukuman dan kritik tidak cukup, Islam memberikan hak kepada masyarakat untuk
menggunakan kekerasan untuk menghilangkan kesalahan, apabila dibutuhkan. M.
Natsir mengakui demokrasi memang bermanfaat, namun sistem negara Islam
kurang membutuhkan pembahasan di parlemen dalam setiap keputusan.
Dalam majelis parlemen suatu negara Islam, perintah Allah mengenai suatu
hal tidak perlu dibicarakan atau dijaga keputusan parlemen agar dapat
dilaksanakan. Yang perlu dibahas adalah bagaimana semua prinsip dan metode
yang telah ditetapkan tersebut diterapkan. Berdasarkan pemikiran di atas,
M.Natsir 71 dengan tegas menyatakan Ia mengatakan Islam tidak mensyaratkan
demokrasi yang utuh atau monarki absolut, ia menyatakan hal tersebut karena
mayoritas anggota parlemen tidak mempunyai kekuasaan untuk mengambil
keputusan, dan juga karena mereka tidak melebihi batas yang telah ditentukan oleh

68 “Anwar Harjono, dkk. Pemikiran Dan Perjuangan Muhammad Natsir, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), hal 21”
69
“Anwar Harjono, et. al., Op.cit., hal.,. 12”.
70
“Muhammad Natsir, Capita Selecta 2, (Jakarta: PT Abadi, 2008), Hal 221”
71
Ibid . Hal 223
20
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Tuhan. M. Natsir,72 mempunyai pendapat demokrasi Islam hampir sama dengan


demokrasi liberal karena keduanya berpusat pada doktrin yang diwahyukan Allah,
atau “Theistic Demonracy”,yang berpusat pada nilai ketuhanan. Menurut M. Natsir,
negara Islam bukan negara theokrasi atau sekuler, tetapi lebih dari itu adalah
demokrasi.
M. Natsir tidak selalu menentang Pancasila sebagai dasar negara. M. Natsir
memuji Pancasila dalam pidatonya di Karachi, Pakistan, pada tahun 1952, ketika
ia berbicara tentang penerapan Pancasila sebagai landasan moralitas, hati nurani,
dan kepedulian sosial di negara tersebut, ia mengatakan bahwa Pancasila memiliki
sifat-sifat ilahi yaitu keadilan, kebebasan. , dan kesetaraan, tidak ada satupun yang
dapat bertentangan dengan Islam. Namun M. Natsir memberi penekanan
pentingnya Pancasila. Di kesempatan ini, M. Natsir bertanya retoris kepada
hadirin bagaimana Al-Quran itu:73 M. Natsir menyatakan “Pancasila tidak identik
atau merupakan bagian dari seluruh iman Islam”, oleh karena itu ia menegaskan
ada prinsip tambahan yang harus dijaga oleh umat Islam. M. Natsir menunjukkan
dalam pernyataannya di hadapan Majelis Konstituante pada tahun 1957 bahwa
teori politik Islam sepenuhnya jujur dan menghindari konsesi apa pun. M. Natsir
menjelaskan Pancasila merupakan konsep keagamaan (diniyah) atau sekuler (la
diniyah). Karena tidak mengakui wahyu sebagai asal usulnya, Pancasila dianggap
sekuler. M. Natsir menyinggung pidato Soekarno di Istana Negara Jakarta pada
17 Juni 1954 yang terkesan kaidah ketuhanan Tuhan YME diciptakan oleh
manusia. Selain itu, negara sekuler selalu masuk dalam pemikiran Soekarno.
Seperti disebutkan sebelumnya, pandangan M. Natsir tidak menunjukkan bahwa
ia telah mengubah pendiriannya pada Pancasila. Sebelumnya, N. M. Natsir
mengamati Pancasila dirujuk dalam Al-Qur'an (Islam).
Nasionalisme
Nasionalisme adalah dasar bagi warga negara untuk membentuk sikap
terkait perilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan utamanya
adalah membentuk hubungan yang kuat antara warga, pemerintah, dan negara
dalam rangka pelaksanaan suatu pemerintahan sebagai cita-cita bersama. Dengan
kata lain, nasionalisme harus mencakup aturan-aturan yang dapat meningkatkan
kesadaran yang nyata tentang semangat kebangsaan. Namun, bentuk nasionalisme
yang harus ditanamkan dan metodenya dapat berbeda-beda disetiap negara 74 .
Kohn, menyatakan bahwa nasionalisme adalah keyakinan yang mengakui bahwa
loyalitas utama individu terletak pada negara bangsa, dengan tujuan mencapai cita-
cita bersama. Sementara itu, Perry mengartikan nasionalisme sebagai ikatan

72
“Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara hasan Al-Banna dan
Mohammad Natsir, (Kementrian Agama RI, 2011), Hal 79”
73 “Muhammad Natsir, Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Media Dakwah. 2001),

hal 67” (Azzahra Putri Darmawan)


74 Agus Arianto, Konsep Nasionalisme Michael Sastrapratedja:Sebuah Tinjauan Filsafat Pancasila dalam

Rangka Pengembangan Karakter Bangsa, Vol. 6 No. 3., Jurnal Filsafat Indonesia, 2023., hlm. 347
(Azzahra Putri Darmawan)
21
Author’s Name
Title

kesadaran kolektif dalam kelompok orang yang bersatu melalui persamaan bahasa,
budaya, dan sejarah, dengan fokus pada pengalaman bersama baik dalam kejayaan
maupun penderitaan. Secara dasarnya, lahirnya nasionalisme dapat disebabkan
oleh beragam faktor, seperti kesamaan sejarah, budaya, aspirasi, ketidakadilan,
penindasan, atau sebagai bentuk perlawanan suatu kelompok bangsa.75
Ketika mengulas sejarah nasionalisme Indonesia, tidak boleh terlupakan
kontribusi penting yang diberikan oleh orang-orang Indis sebagai salah satu
pembentuknya. Dalam banyak kajian sejarah, sering kali fokus hanya pada tokoh-
tokoh kemerdekaan, padahal nasionalisme Indonesia melibatkan banyak faktor
yang membentuknya. Sebagai contoh, “Sumpah Palapa” yang dinyatakan oleh
Maha Patih Gadjah Mada menjadi manifestasi awal upaya menyatukan nusantara,
menunjukkan bahwa semangat nasionalisme telah ada sebelum Negara Indonesia
terbentuk. Lalu peran nasionalisme Indis yang dilakukan oleh keturunan Eropa
yang mengalami percampuran budaya dengan bangsa pribumi. Hal ini juga
memberikan kontribusi signifikan terhadap pembentukan nasionalisme
Indonesia, sebagai bentuk penolakan terhadap kolonialisme dan melahirkan
berbagai ide dan gerakan yang membantu membentuk kesadaran nasional,
dampak politik Etis Pemerintah Hindia Belanda yang akhirnya memunculkan
Perhimpunan Indonesia. Seluruh peristiwa tersebut, ketika dianalisis secara
keseluruhan, menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia muncul sebagai reaksi
terhadap penjajahan, menjadi antitesis dari keberadaan penjajahan itu sendiri.76
Dalam konteks nasionalisme Indonesia, Anderson menekankan
pentingnya mempertahankan nasionalisme tradisional karena adanya indikasi
penurunan semangat nasional, terutama di kalangan yang lebih kaya dan
berpendidikan. Anderson menyarankan untuk menghidupkan kembali semangat
nasionalisme yang pernah ada di kalangan pejuang pergerakan dan revolusi. Ia
mengusulkan pembentukan semangat “nasionalisme kerakyatan” yang bersifat
inklusif, tidak elitis, dan berpihak kepada masyarakat luas, terutama yang lemah
dan terpinggirkan. Nasionalisme kerakyatan ditandai oleh penguatan rasa
kebersamaan dan solidaritas sebagai satu bangsa.77 Tentunya di barengkan dengan
nilai nilai nya. Nilai-nilai nasionalisme Indonesia bersumber dari semangat
kebangsaan yang diharapkan menjadi pedoman perilaku warga negara dalam
kehidupan bersama. Menurut Ki Supriyoko, nilai-nilai tersebut mencakup
persatuan, kesatuan, solidaritas, toleransi, kekeluargaan, tanggung jawab, sopan
santun, dan gotong royong. Berbagai bentuk nasionalisme dan gerakannya yang
terjadi di Indonesia dapat dikelompokkan sebagai berikut: Pertama, Nasionalisme
Kemandirian Bangsa. Ini mencakup semangat untuk membangun negara dan
mencapai kejayaan bangsa.

75 Ibid., (Azzahra Putri Darmawan)


76 Mifdal Zusron Alfaq, Melihat Sejarah Nasionalisme Indonesia Untuk Memupuk Sikap Kebangsaan
Generasi Muda, Vol. 13 No. 2., Jurnal Civics, 2016., hlm. 247 (Azzahra Putri Darmawan)
77 Anderson Benedict, Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang), (Yogyakarta: INSIST

dan Pustaka Pelajar 2008), hlm. 14 (Azzahra Putri Darmawan)


22
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Contohnya dapat ditemukan dalam sejarah Zaman Sriwijaya, Majapahit


(Arianto, 2023), dan Samudera Pasai. Kedua, Nasionalisme Agama. Gerakan ini
didorong oleh semangat keagamaan untuk mencapai kemerdekaan. Contohnya
adalah upaya yang dilakukan oleh Serikat Islam (SI) sejak tahun 1911 untuk
melawan kolonialisme Belanda. Ketiga, Nasionalisme Sekuler. Ini merupakan
gerakan yang berusaha mencapai kemerdekaan tanpa menonjolkan agama sebagai
inspirasi utama. Meskipun tidak menolak peran agama dalam politik, contohnya
terdapat dalam gerakan yang dilakukan oleh Soekarno pada tahun 1927 melalui
Partai Nasional Indonesia. Keempat, Nasionalisme Anti Agama (Komunis). Ciri
khas nasionalisme ini lebih mengarah pada Internasionalisme dan tidak
memberikan peran penting kepada agama. Sebaliknya, agama dianggap tidak
berperan dalam gerakan ini dan harus dihindari.78
Di Indonesia, semangat nasionalisme tercermin dalam ideologi bangsa
yang dikenal sebagai Pancasila. Arif Rohman menjelaskan bahwa Pancasila
memiliki lima prinsip nilai dasar yang menjadi norma fundamental, menjadi
pedoman bagi seluruh warga negara dalam tataran individu maupun kelompok.
Kelima nilai dasar tersebut meliputi: Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa,
mencerminkan kepercayaan pada Tuhan dan sikap saling menghormati dalam
kehidupan sehari-hari. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
menekankan pengakuan hak yang sama bagi semua warga negara dengan tetap
menjaga toleransi. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, menempatkan kepentingan
bangsa dan negara sebagai prioritas utama, mengutamakan kebersamaan daripada
golongan, suku, atau individu. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menekankan
pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat untuk menghargai
perbedaan pendapat. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,
mengakui hak warga untuk mencapai kesejahteraan tanpa merugikan orang lain.
Perwujudan nasionalisme selalu mengalami adaptasi seiring perubahan
kondisi dan konteks suatu negara. Pada masa penjajahan, nasionalisme Indonesia
termanifestasi dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan mendirikan negara,
menentang penjajahan asing. Namun, setelah negara terbentuk, nasionalisme
mengambil bentuk berbeda dengan fokus pada pengisian dan pemertahanan
kemerdekaan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Terdapat dua aspek
yang menjadi pendorong nasionalisme, mengenang masa lalu dalam hidup
bersama sebagai bangsa melibatkan memahami sejarah sebagai dasar
pembentukan jati diri kita sebagai bangsa. Ini termasuk mengingat kejayaan
bersama pada masa kerajaan yang gemilang dan kesulitan bersama saat di bawah
penjajahan asing. Peristiwa seperti Sumpah Pemuda pada tahun 1928 menjadi
momen penting di mana pemuda Indonesia bersatu untuk mewujudkan persatuan
bangsa dan keinginan untuk bersatu dalam kehidupan berbangsa mencerminkan
tekad untuk hidup bersama sebagai satu kesatuan. Keinginan ini menjadi syarat
utama bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti yang diwujudkan dalam

78Kabul Budiyono, Nilai-Nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia, (Bandung: Alfabeta,
2007), hlm 209-210 (Azzahra Putri Darmawan)
23
Author’s Name
Title

Sumpah Pemuda. Semangat "Bhinneka Tunggal Ika" menjadi landasan persatuan


bagi bangsa Indonesia, dan negara ini didefinisikan sebagai negara kesatuan
melalui sebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian,
semangat nasionalisme Indonesia terus tumbuh seiring waktu, namun nilai-nilai
seperti persatuan, keinginan untuk hidup bersama, dan penghargaan terhadap
sejarah tetap menjadi dasar yang penting dalam membangun identitas nasional. 79
Islamisme
Islamisme merujuk pada gerakan politik dan sosial yang mendukung
penerapan ajaran Islam secara menyeluruh dalam kehidupan masyarakat dan
negara. Sementara Islam sebagai agama mencakup dimensi spiritual, moral, dan
sosial, islamisme80 berupaya untuk menjadikan prinsip-prinsip Islam sebagai dasar
untuk bentuk pemerintahan dan hukum negara. Hal ini mencakup usaha untuk
menerapkan syariah atau hukum Islam dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk
politik, ekonomi, dan sosial. Islamisme dapat bervariasi dalam tingkat radikalisme,
mulai dari bentuk yang moderat hingga ekstremis. Beberapa kelompok islamis
berpartisipasi dalam proses politik konvensional untuk mencapai tujuannya,
sementara yang lain mungkin menggunakan metode kekerasan atau tindakan
terorisme. Penting untuk diingat bahwa islamisme tidak mencakup seluruh umat
Islam, dan mayoritas Muslim mengikuti bentuk-bentuk Islam yang lebih moderat.
Isu-isu yang terkait dengan islamisme sering kali menjadi perbincangan kompleks
dan kontroversial dalam konteks hubungan antara agama dan negara di berbagai
masyarakat.
Islamisme di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan kompleks,81
mencerminkan dinamika politik, sosial, dan agama dalam perkembangan negara
ini. Pada awalnya, kehadiran Islam di Indonesia bersifat kosmopolitan dan
pluralistik, diintegrasikan dengan budaya lokal yang beragam. Namun, pada abad
ke-20, terjadi perkembangan politik yang signifikan yang mempengaruhi wajah
Islam di Indonesia. Periode awal kemerdekaan Indonesia, khususnya era Presiden
Sukarno, mencirikan inklusi dan toleransi terhadap berbagai kelompok agama.
Namun, pasca-kemerdekaan, Indonesia menghadapi tantangan serius dalam
bentuk pergeseran politik dan konflik internal. Pada masa Orde Baru di bawah
kepemimpinan Soeharto, rezim otoriter ini mencoba mengendalikan dan
mengelola Islam sebagai instrumen politik, mendirikan lembaga-lembaga Islam
resmi dan menekan gerakan-gerakan Islam independen.
Pada era Reformasi di akhir tahun 1990-an, Indonesia mengalami
liberalisasi politik dan munculnya ruang lebih besar bagi partisipasi politik Islam.
Beberapa organisasi Islam mulai memainkan peran yang lebih aktif dalam politik

79
Noor Bakry, Pendidikan Pancasila. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm 132.
(Azzahra Putri Darmawan)
80 Bassam Tibi, Islamism and Islam (Yale University Press), diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia dengan judul: Islam dan Islamisme (Bandung: Mizan, 2016) (Fauzan)
81 Siti Mahmudah, Reformasi Syariat Islam (Kritik Pemikiran Khalil Abdul Karim), dalam Jurnal

al-Adalah., (Fauzan)
24
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

nasional. Namun, di samping itu, terdapat juga gerakan Islam radikal yang muncul
sebagai respons terhadap ketidakpuasan terhadap pemerintah dan melibatkan diri
dalam kegiatan-kegiatan ekstremis. Kemudian, serangkaian peristiwa terorisme,
termasuk serangan teroris Bali pada tahun 2002 dan bom Jakarta pada tahun 2009,
menyoroti eksistensi gerakan Islamisme militan di Indonesia. Meskipun mayoritas
Muslim Indonesia menganut Islam moderat, beberapa kelompok radikal terus
mencoba mempromosikan agenda mereka dengan cara-cara yang menantang
stabilitas dan toleransi agama di negara ini. Seiring berjalannya waktu, dinamika
hubungan antara Islam dan negara di Indonesia terus berkembang, menciptakan
landskap yang kompleks dan terus berubah dalam sejarah Islamisme di Indonesia.
Eksistensi dan perkembangan Islamisme di Indonesia mencerminkan
sejumlah peristiwa konkrit sepanjang sejarah modern negara ini. Pada awalnya,
periode Orde Baru (1966-1998) di bawah kepemimpinan Soeharto melihat
pembatasan terhadap gerakan Islam independen, sedangkan pemerintah lebih
mendukung organisasi Islam resmi yang bersifat moderat. Namun, setelah
Reformasi tahun 1998, terjadi liberalisasi politik yang membuka ruang lebih besar
bagi partisipasi politik Islam. 82 Partai-partai Islam, seperti Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), memainkan peran yang
semakin signifikan dalam politik nasional. Gerakan Islamisme juga meningkat
melalui organisasi sosial dan pendidikan, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah, yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat Indonesia.83 Di
samping itu, eksistensi kelompok radikal seperti Jemaah Islamiyah dan Abu
Sayyaf, yang terlibat dalam serangkaian tindakan terorisme di Indonesia,
menyoroti keberadaan Islamisme militan. Serangan terorisme di Bali pada tahun
2002 dan serangkaian serangan bom di Jakarta memperkuat kekhawatiran
terhadap ekstremisme di tengah masyarakat.84
Penting juga untuk mencatat bahwa mayoritas Muslim Indonesia
mengikuti Islam yang moderat, dan upaya untuk mempromosikan toleransi antar
agama terus menjadi bagian penting dari identitas bangsa ini. Sementara
pemerintah terus mengambil langkah-langkah untuk mencegah radikalisasi dan
terorisme, kompleksitas hubungan antara Islam dan negara terus menjadi fokus
perdebatan dan perkembangan yang dinamis dalam sejarah Islamisme di
Indonesia.

82 Fuad Zakaria, Mitos dan Realitas dalam Gerakan Islamisme Kontemporer (Yogyakarta: LkiS,
2014)., (Fauzan)
83 Noorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Geneologi, dan Teori

(Yogyakarta: SUKA-Press, 2012)., (Fauzan)


84 Laffan, MF (2003). Kebangsaan Islam dan Indonesia Kolonial: Ummat di Bawah Angin.

RoutledgeCurzon., (Fauzan)
25
Author’s Name
Title

Kesimpulan
Secara keseluruhan, perkembangan Islam di Nusantara dipengaruhi oleh
faktor-faktor politik, sosial, dan ekonomi selama masa klasik, kolonial Belanda,
kolonial Jepang, dan masa kemerdekaan. Perdebatan dan ketegangan antara
kelompok sekuler dan Islam telah membentuk dinamika sejarah Indonesia,
menciptakan tantangan dan penyesuaian dalam pembentukan identitas dan sistem
politik negara. Dalam pemikiran M. Natsir dan Soekarno perdebatan antara Islam
sebagai dasar negara dan pemisahan agama dan negara tetap menjadi aspek sentral
dalam perkembangan pemikiran politik Islam di Indonesia. Dalam konteks
Islamisme di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa sejarahnya mencerminkan
dinamika kompleks antara politik, sosial, dan agama. Mulai dari periode inklusif
pada masa awal kemerdekaan hingga era Orde Baru yang mencoba mengendalikan
Islam sebagai alat politik, serta fase Reformasi yang membuka ruang bagi
partisipasi politik Islam. Perkembangan ini juga disertai dengan kehadiran gerakan
Islam radikal dan serangkaian peristiwa terorisme, menyoroti eksistensi Islamisme
militan. Meskipun mayoritas Muslim Indonesia menganut Islam moderat,
tantangan terus muncul, dan hubungan kompleks antara Islam dan negara tetap
menjadi fokus perdebatan yang dinamis. Kemudian nasionalisme adalah fondasi
bagi warga negara dalam membentuk sikap terkait perilaku dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Hal ini mencakup kesadaran akan nilai-nilai bersama, loyalitas terhadap
negara, dan semangat kebersamaan. Dalam konteks Indonesia, sejarah
nasionalisme melibatkan berbagai faktor, termasuk peran penting orang-orang
Indis dan peristiwa-peristiwa seperti Sumpah Palapa yang mencerminkan
semangat menyatukan nusantara. Nasionalisme Indonesia juga mencakup
berbagai bentuk, seperti kemandirian bangsa, nasionalisme agama, nasionalisme
sekuler, dan nasionalisme anti-agama. Pancasila sebagai ideologi bangsa
mencerminkan nilai-nilai dasar seperti keadilan, persatuan, dan demokrasi yang
menjadi landasan bagi nasionalisme Indonesia. Meskipun nasionalisme terus
beradaptasi dengan perubahan kondisi dan konteks, nilai-nilai seperti
penghargaan terhadap sejarah dan semangat untuk hidup bersama tetap menjadi
pilar penting dalam membangun identitas nasional Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, R. (1983). Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Antar
Kota.
Alfaq, M. Z. (2016). Melihat Sejarah Nasionalisme Indonesia untuk Memupuk
Sikap Kebangsaan Generasi Muda. Junal Civics, 14.
26
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Ali, F., & Effendy, B. (1986). Merambah Jalan Baru Islam: Rekontruksi Pemikiran Islam
Indonesia Masa Orde Baru. Bandung: Mizan.
Aminullah, M. S. (2020). Agama dan Politik: Studi Pemikiran Soekarno tentang
Relasi Agama dan Negara. Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial,
40.
Arianto, A. (2023). Konsep Nasionalisme Michael Sastrapratedja: Sebuah
Tinjauan Filsafat Pancasila dalam Ragka Pengembangan Karakter Bangsa.
Jurnal Filsafat Indonesia, 347.
Azra, A. (1995). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepuluan Nusantara abad XVII dan
XVIII. Bandung: Mizan.
Bakry, N. (2010). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Benda, H. (1958). The Crescent and The Rising Sun: Indonesian Islam Under The Japanese
Occupation. Amsterdam: The Hauge.
Benedict, A. (2008). Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang. Pustaka
Pelajar: 2008.
Boland, B. (1982). The Struggle of Islam in Modern Indonesia. The Hague: Martinus
Nijhoff.
Budiarti. (2018). Pemikiran Transformatif Soekarno dalam Politik Islam:
Pendekatan Transformasi Bill Goud, Karl Stenbrink dan Kuntowijoyo.
Jurnal Pengembangan Masyrakat Islam, 66.
Budiyono, K. (2007). NIlai-Nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia.
Bandung: Alfabeta.
Harjono, A. (1997). Perjalnan Politik Bangsa Menoleh ke Belakang Menatap Masa
Depan. Jakarta: Gema Insani Press.
Hasan, N. (2012). Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konseo, Genelogi dan Teori.
Yogyakarta: SUKA-Press.
Islam, D. R. (2001). Ensiklopedia Islam Jilid 4. Jakarta: PT. Ichitiari Baru Van
Hoeve.
Laffan, M. (2003). Kebangsaan Islam dan Indonesia Kolonial: Ummat di Bawah
Angin. RoutledgeCurzon, 24.
Luth, T. (2005). M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta: Gema Isnani Press.
M, L. H. (2008). M. Natsir di Panggung Sejarah Politik. Jakarta: Panitia Peringatan
Refleksi Seabad M. Natsir.
Maarif, A. S. (1984). Islam dan Masala Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan
Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Mahmudah, S. (2016). Reformasi Syariat Islam: Kritik Pemikiran Khalil Abdul
Karim. Jurnal al-Adalah, 155.

27
Author’s Name
Title

Muliati, I. (2015). Pandangan M. Natsir tentang Demokrasi: Kajian Pemikiran


Politik Islam. Jurnal TINGKAP, 134.
Natsir, M. (1994). Indonesia di Persimpangan Jalan. Jakarta: PT. Abadi.
Natsir, M. (2001). Agama dan Negara dalam Perspektif Islam. Jakarta: Media Da'wah.
Natsir, M., & Riyanto, E. (2000). Islam Sebagai Dasar Negara. Jakarta: Media
Da'wah.
Noeh, Z. A. (1994). Keputusan Jawa Sebagai Sumber Sejarah Perkembanga
Hukum Islam. In Amrullah, & dkk, Prospek Hukum Islam dalam Kerangka
Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia (p. 108). Jakarta: PP IKAHA.
Noer, D. (1987). Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: Garfiti Pers.
Noer, D. (1988). Islam Politik: Mayoritas atau Minoritas? Jakarta: Prisma Pers.
Soekarno. (2017). Islam Santoloyo: Pikiran-Pikiran Progresif Pemikiran Islam. Bantul:
Basabasi.
Sudarti. (2020). Relasi Agama dan Negara: Telaah Pemikiran Politik Soekarno dan
Fadzlurahman. Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam, 71.
Suminto, H. A. (1985). Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES.
Tibi, B. (2016). Islam dan Islamisme. Bandung: Mizan.
Yamin, H. M. (1960). Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Jakarta:
Yayasan Prapanca.
Zakaria, F. (2014). Mitos dan Realitas dalam Gerakan Islamisme Kontemporer.
Yogyakarta: LkiS.

© 2020 by the authors. Submitted for possible open access publication under the
terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY
SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).

28

Anda mungkin juga menyukai