Ahmad Fadli Syakir 1, Arief Rahman Hakim 2 , Arina Nafisatul Muna 3 , Azzahra
Putri Darmawan 4 , Egi Restu Fadilah 5 , Emil Maula 6 , Fauzan 7
Abstract
Islamic political thought in Indonesia has a strong basis and has grown in line with
the course of history, also interacting with the two main forces that shape its political identity,
namely nationalism and Islamism. From the classical period to the period of independence,
Indonesia gave rise to things in political thought, one of which was Islamic political thought,
considering that Indonesia was a country where the majority of the population embraced Islam.
Facing four famous lifetimes, the classical period, Dutch colonialism, Japanese colonialism, up to
the period of Indonesian independence, especially thinkers and figures insisted on making Islam
a big part of the country. However, from the long previous journey, both Islamism and
Nationalism in Indonesia played a full role in the presence of these thoughts.
Keywords: Indonesian Islamic Politics, Islamism, Nationalism
Abstrak
Pemikiran politik Islam di Indonesia memiliki dasar yang kuat dan tumbuh
sejalan dengan perjalanan sejarah, turut berinteraksi dengan dua kekuatan utama
yang membentuk identitas politiknya, yakni nasionalisme dan Islamisme. Sejak
masa klasik hingga masa kemerdekaan, Indonesia memunculkan hal-hal dalam
pemikiran politik salah satunya yaitu pemikiran polik Islam, mengingat Indonesia
menjadi negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Menghadapi
empat kali masa kehidupan yang terkenal, masa klasik, penjajahan Belanda,
penjajahan Jepang, hingga sampai ke masa kemerdekaan Indonesia apalagi para
pemikir dan para tokoh bersikukuh menjadikan Islam sebagai bagian besar dari
negara. Namun dari panjangnya perjalanan sebelumnya baik Islamisme dan
Nasionalisme di Indonesia berperan penuh atas hadirnya pemikiran-pemikiran ini.
Kata kunci: Politik Islam Indonesia, Islamisme, Nasionalisme
Author’s Name
Title
Pendahuluan
Pemikiran politik Islam di Indonesia memiliki akar yang dalam dan
berkembang seiring dengan dinamika sejarah, serta bersentuhan dengan dua
kekuatan besar yang membentuk karakter politiknya, yaitu nasionalisme dan
Islamisme. Sejak zaman kolonial hingga era kontemporer, pemikiran politik Islam
di Indonesia menjadi landasan bagi berbagai gerakan dan ideologi yang
memainkan peran penting dalam perjalanan politik dan sosial bangsa. 1 Dalam
konteks ini, pemahaman terhadap sejarah pemikiran politik Islam di Indonesia
tidak dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah panjang yang melibatkan interaksi
antara Islam, nasionalisme, dan aliran-aliran politik seperti Islamisme. 2 Sejarah
pemikiran politik Islam di Indonesia dimulai seiring dengan penyebaran agama
Islam di kepulauan Nusantara. Pada awalnya, Islam hadir sebagai ajaran agama,
namun seiring waktu, elemen-elemen politik juga mulai tumbuh dan terkait erat
dengan otoritas keagamaan. Dalam sejarahnya, pemikiran politik Islam di
Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis, dari peran ulama dalam
perlawanan terhadap penjajahan hingga lahirnya gerakan-gerakan politik Islam
modern. 3 Kehadiran nasionalisme sebagai kekuatan politik utama di Indonesia
membawa dinamika baru dalam pemikiran politik Islam. Sejak periode pergerakan
nasional, terdapat interaksi kompleks antara pemikiran politik Islam dan semangat
nasionalisme. Keterkaitan antara nasionalisme dan pemikiran politik Islam
menjadi fokus utama sepanjang perjalanan sejarah politik Indonesia.4
Meskipun terdapat perbedaan pendekatan, namun hubungan simbiosis
antara nilai-nilai nasionalisme dan Islam menjadi dasar bagi perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Hubungan antara nasionalisme dan Islamisme di
Indonesia mencerminkan kompleksitas politik dan budaya. Sementara
nasionalisme menekankan persatuan bangsa dan identitas nasional, Islamisme
menyoroti implementasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan politik. 5 Pada awal
kemerdekaan, dilema antara identitas nasional dan identitas agama menciptakan
perdebatan yang mendalam. Gagasan “Negara Kesatuan Republik Indonesia”
mencerminkan semangat nasionalisme, tetapi pada saat yang sama, muncul
aspirasi untuk menerapkan hukum Islam secara lebih ketat. Dinamika ini terus
berkembang, dan pergeseran politik serta perkembangan sosial selalu menjadi
bagian dari interaksi antara nasionalisme dan Islamisme di Indonesia. Dalam
1 Zaprulkhan, Dinamika Pemikiran Politik Islam di Indonesia, Jurnal Review Politik Vol. 3 No. 2/2013,
hlm. 155 (Arina Nafisatul Muna
2 Ridwan, Hubungan Islam dan Politik di Indonesia Perspektif Pemikiran Hasan Al-Banna, Jurnal
Hukum Samudra Keadilan Vol. 12 No. 2/2017, hlm. 225 (Arina Nafisatul Muna)
3 Dikutip pada 04 November 2023 pukul 18:48 https://www.indonesia-
investments.com/id/budaya/agama/islam/item248? (Arina Nafisatul Muna)
4 Muhammad Fauzan Naufal, Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik Islam di Indonesia
(Analisis Pemikiran Politik Bahtiar Efendy), Jurnal Raden Intan Repostiry/2017, hlm. 53 (Arina
Nafisatul Muna)
5 Mugiyono, Relasi Nasionalisme dan Islam serta Pengaruhnya Terhadap Kebangkitan Dunia Islam Global,
Jurnal Ilmu Agama UIN Raden Fatah/2014, hlm. 6 (Arina Nafisatul Muna)
2
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
Metodologi
Penelitian ini menerapkan pendekatan kualitatif deskriptif sebagai metode
penelitian, sementara jenis penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian
kepustakaan atau penelitian berbasis literatur. Dalam upaya menggali data yang
relevan untuk penelitian ini, metode dokumentasi digunakan sebagai pendekatan
utama. Teknik pengumpulan data ini melibatkan pencarian informasi dan variabel
yang terkait dengan subjek penelitian dari berbagai sumber literatur, termasuk
buku-buku, artikel, jurnal, majalah, dan sumber-sumber lain yang relevan. Teknik
analisis data yang diterapkan dalam penelitian ini melibatkan pengolahan, reduksi,
dan sintesis data guna menyusun kesimpulan yang tepat berdasarkan temuan
penelitian.
6Ahmad Hafidh, Pertarungan Wacana Politik Hukum Islam di Indonesia, Jurnal Yustisia Edisi 90/2014,
hlm. 110 (Arina Nafisatul Muna)
3
Author’s Name
Title
mengalami perkembangan dan pengaruh yang luar biasa setelah melalui kalangan
elit penguasa.7
Berbagai jalur proses Islamisasi di Nusantara, khususnya secara sosio-
politik telah melahirkan institusi-institusi politik, baik institusi politik yang lahir
melalui jalur perkawinan, maupun yang lahir buah dari proses Islamisasi yang
simpatik itu sendiri. Dari sini seperti terlihat dalam sejarah lahirlah kerajaan-
kerajaan Islam, baik di Jawa, Maluku, dan Sulawesi. Di Sumatera juga terdapat
kerajaan Islam, seperti Samudera Pasai di Aceh. Kerajaan-kerjaan Islam inilah
yang kemudian menjadi basis perlawanan menentang kolonialisme bersama
penguasa-penguasa lokal. Islam seperti dikatakan oleh Roeslan Abdulgani “ikut
menumbuhkan jiwa patriotisme dan Nasionalisme Indonesia, serta ikut
memperkembangkan dan me-“religius”-kan paham-paham serta cita-cita sosio-
politik modern, seperti paham demokrasi dan sosialisme”.8 Kelahiran kerajaan-
kerajaan Islam, seperti Samudera Pasai, Demak dan lain-lainnya itu, dianggap
sebagai awal zaman Islam di Nusantara. Kelahiran Demak telah memunculkan
Islam sebagai elemen integratif yang mampu mengintegrasikan kekuatan
ekonomi, politik, dan agama di dalam negara. A.E. Priyono 9 mencatat bahwa
Islamisasi penduduk Nusantara telah menyebabkan terintegrasinya kelas
menengah saudagar muslim dengan pusat-pusat perdagangan internasional,
sehingga memberikan basis material bagi munculnya pelembagaan politik yang
baru. Seiring dengan munculnya kekuasaan-kekuasaan Islam tersebut, Simbol-
simbol Islampun diperkenalkan di dalam beberapa kerajaan Islam, misalnya
sebutan Sultan, Sayyidin, dan Khalifatullah yang telah digunakan sebagai sebutan
bagi para penguasa Nusantara. Selain itu sifat akomodasi kerajaan terhadap Islam
semakin tampak. Kraton misalnya, selain sebagai tempat tinggal raja dan pusat
pemerintahan, didirikan juga masjid sekaligus diangkat penghulu kraton sebagai
orang yang menangani urusan keagamaan di lingkungan kraton. Bahkan, sebagai
tempat tinggal para penghulu dan para stafnya pun dibangun perkampungan yang
bernama Kauman.10
Tiga serangkai jabatan pelaksana kekuasaan dalam pemerintahan di Jawa,
seperti: Raja/Bupati, Patih, dan Penghulu (termasuk tata kotanya dengan pola
Kraton, Masjid, dan alun-alun) adalah manifestasi gelar raja Jawa yang berbunyi
Hingkang Sinuhun (Yang Dipertuan), Senopati Hing Ngalaga (Panglima Parang),
Sayidin Panatagama Kalifatu Rasulillah (Pengatur Urusan Agama sebagai
Pengganti Rasulullah). Dalam pandangan Z.A. Noeh, gelar raja Jawa itu tidak lain
merupakan pengembangan dari teori al-Mâwardî dari kitabnya al-Ahkam al-
Sulthaniyyah, yang menyatakan bahwa: “negara adalah kepemimpinan kesatuan
7 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan
XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 23-59. (Arief Rahman Hakim)
8 Roeslan Abdulgani, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Antar Kota,
4
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
umat yang disebut Imamat, yang berkedudukan sebagai pelanjut tugas kenabian
dalam memelihara agama dan mengatur dunia. 11 Perkembangan Islam yang
sedemikian baik itu kemudian terinterupsi oleh kedatangan kolonialisme, yang
dimulai dari kedatangan bangsa Portugis yang menguasai Malaka (1511). Demak
kemudian berupaya merebut Malaka pada tahun 1546. Akan tetapi upaya Demak
belum berhasil. Perlawanan terhadap kolonialisme ini kemudian diikuti oleh
kerajaan-kerajaan Islam Nusantara lain, seperti Sulawesi, Kalimantan dan
sebagainya.
Kedua, Masa Penjajahan Belanda. Kolonial Belanda pada masa-masa awal
pemerintahannya menerapkan kebijakan yang terlalu berhati-hati terhadap
Indonesia, terutama dalam hal urusan agama; dan menimbulkan sikap kontradiksi
antara rasa takut dan sikap kehati-hatian.12 Ini dapat difahami karena di seluruh
kepulauan Nusantara yang dihadapi Belanda mayoritas penduduknya adalah
beragama Islam. Tambahan lagi bahwa timbulnya berbagai peperangan atau
pergolakan seperti Perang Paderi, Perang Diponegoro, Perang Aceh, dan lain-lain
tidak lepas dari kaitan agama Islam. Setelah datangnya Snouck Hurgronje tahun
1889, pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan yang jelas. Ia
menasehatkan bahwa dalam Islam tidak dikenal bentuk kependetaan seperti yang
ada dalam Katolik. Ulama tidak apriori dan fanatik seperti yang digambarkan
semula. Juga bukan komplotan jahat yang setiap saat siap membrontak. Mereka
hanya beribadah dan pergi haji ke Mekkah.13
Politik Islam Snouck yang diutarakan di depan civitas NIBA
(Nederlandsch Indicshe Bestuurs Academie) di Delft, pada 1911 adalah: (1)
Terhadap dogma dan perintah hukum yang murni agama, hendaknya pemerintah
bersikap netral. (2) Masalah perkawinan dan pembagian harta warisan dalam
Islam, menuntut penghormatan, dan (3) Tidak satupun bentuk Pan-Islamisme
yang diterima oleh kekuasaan Eropa. 14 Snouck Hurgronje ditugaskan oleh
Belanda sebagai penasehat urusan pribumi dan Arab. Kehadirannya mempunyai
arti penting, karena sebagai kolonialis, pemerintah Belanda memerlukan
inlandsche politiek (kebijakan terhadap kaum pribumi, untuk memahami dan
menguasainya). Berdasarkan penelitian Snouck selanjutnya, ditemukan bahwa
sekalipun umat Islam Indonesia itu cinta damai, namun mereka tidak buta politik.
Untuk itu, menurutnya, musuh pemerintah bukanlah Islam sebagai agama,
melainkan Islam sebagai doktrin politik.15 Sehubungan dengan itu, dalam tesisnya
Snouck membedakan Islam dalam arti “ibâdah” (ritual), dan Islam sebagai
“kekuatan sosial politik”. Ia membagi Islam dalam tiga kategori: (1) Bidang agama
11 Zaini Ahmad Noeh, “Kepustakaan Jawa Sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum
Islam”, dalam Amrullah dkk. (ed.) Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum
Nasional di Indonesia, (Jakarta: PP IKAHA, 1994), hlm. 108. (Arief Rahman Hakim)
12 Deliar Noer, “Islam Politik: Mayoritas atau Minoritas?” dalam Prisma, No.8., 1988, hlm.4-6.
13 Lihat Harry J. Benda, op. cit., hlm. 21 (Arief Rahman Hakim)
14 H.A. Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 13
15 Harry J. Benda, The Crescent and the Rissing Sun, op. cit., hlm. 22-23; H.A. Suminto, Politik
murni atau ibâdah, (2) Bidang sosial-kemasyarakatan, dan (3) Bidang politik.
Ketiga masalah tersebut mempunyai alternatif pemecahan masalah yang berbeda-
beda. Kebijakan Snouck tersebut disebut Islam Politiek (kebijakan pemerintah
kolonial dalam menangani masalah Islam Indonesia). Dalam aspek agama murni
(ibâdah), pemerintah kolonial pada dasarnya memberikan kemerdekaan kepada
umat Islam untuk menjalankan ibâdah agamanya sepanjang tidak mengganggu
kekuasaan pemerintah. Dalam aspek sosial kemasyarakatan, pemerintah
memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku agar rakyat dekat dengan kolonial.16
Politik ini oleh sebahagian orientalis disebut splitsing theorie.17
Politik Islam Hindia Belanda dalam bidang kemasyarakatan adalah untuk
mendekatkan masyarakat pribumi agar menyesuaikan diri dengan kebudayaan
Belanda. Prinsip ini bertujuan untuk memenangkan persaingan pihak kolonial
terhadap umat Islam. Untuk itu pemerintah kolonial menjalankan politik asosiasi
lewat jalur budaya, terutama pendidikan. Snouck berharap melalui politik asosiasi
ini Islam dapat dikalahkan dengan melarutkan umat Islam ke dalam kebudayaan
Belanda.18 Namun dalam kebijakan legislatif, pemerintah selalu memihak kaum
adat, bila terjadi perbenturan antara keduanya. Pada saat yang sama muncul pula
persaingan antara kaum nasionalis yang netral agama dengan golongan adat.
Karena bagi nasionalis, kaum adat dianggap sebagai wakil feodalisme, sementara
bagi nasionalis Islami kaum adat dianggap sebagai kaum khurafat dan bid´ah. Atas
dasar ini cukup beralasan jika kaum kolonial selalu berpihak kepada kaum adat,
karena penghalang utama kolonial adalah Islam.
Menghadapi kaum adat, tampaknya antara pihak sekuler dan pihak Islam
satu visi, yakni sama-sama menentang. Kelompok Islam melihat kaum adat
sebagai penghalang realisasi kehidupan santri, sedangkan kaum sekuler (netral
agama) melihat bahwa kaum adat sebagai benteng terakhir feodalisme yang perlu
dilenyapkan. Namun karena dukungan kolonial terhadap kaum adat yang
demikian kuat, maka upaya-upaya mengurangi atau menghilangkan peran kaum
adat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan tidak efektif. Bahkan sebaliknya
posisi kaum adat semakin diuntungkan dengan beberapa hal. Salah satu di
antaranya adalah munculnya hukum adat, padahal sebelum masa kolonial ia hanya
disebut adat-istiadat saja. Politik Islam yang diikuti oleh politik asosiasi, telah
melahirkan dua kelompok terpelajar sejak dekade 1920-an yaitu, golongan sekuler
dan golongan Islam, karena sistem pendidikan kolonial dirancang sebagai upaya
penghancuran kekuatan Islam. Melalui politik asosiasi di bidang pendidikan ini,
16 Gagasan politik Snouck Hugronje secara resmi menjadi gagasan pemerintah Hindia Belanda.
tetapi sejarah memperlihatkan bahwa tidak mungkin menghadapi Islam dengan titik tolak
demikian
17 Splitsing Theorie artinya teori pemisahan. Menurut Kernkamp,pada dasarnya agama Islam tidak
begitu jauh membedakan ketiga persoalan tersebut. Dalam tradisi Barat, masalah perkawinan dan
waris termasuk dalam persoalan sosialkemasyarakatan, tetapi orang Islam memandang bahwa
masalah tersebut teramat penting dan dianggap masuk dalam masalah ibâdah. H.A. Aqib Suminto,
op. cit., hlm.12. (Arief Rahman Hakim)
18 H.A. Aqib Suminto, op. cit., hlm. 43. (Arief Rahman Hakim)
6
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
19 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Grafiti Pers, 1987), hlm. 21.
(Arief Rahman Hakim)
20 Harry J.Benda, Indonesian Islam Under The Japanese Occupation, op. cit., hlm. 15. (Arief
Rahman Hakim)
21 “Gerakan Tiga A” adalah Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Cahaya
Asia.
22 Deliar Noer, Partai Islam, op. cit., hlm. 23. (Arief Rahman Hakim)
7
Author’s Name
Title
bersamaan pada akhir tahun 1943, ketika policy Jepang mulai berubah. Ini berarti
menurut Benda, maksud Jepang yang sebenarnya menjadi tersingkap, yaitu
mengeksploitir rakyat Indonesia.23
Jepang menerapkan politik mendekati golongan nasionalis Islami,
sebaliknya memalingkan kelompok nasionalis sekuler. Jepang mendorong dan
memberi prioritas kepada kelompok nasionalis Islami untuk mendirikan
organisasi. Ini berarti untuk pertama kalinya dalam sejarah modern Indonesia ada
pemerintah yang memberikan tempat penting kepada golongan Islam. 24
Pemerintah Jepang secara bertahap mengakui kembali organisasi-organisasi Islam
yang sebelumnya dibekukan. Pada tanggal 10 September 1943 Muhammadiyah
dan NU disahkan kembali, disusul dengan Persyarikatan Umat Islam di
Majalengka pada tanggal 1 Februari 1944 dan Persatuan Umat Islam di Sukabumi.
Pada masa-masa awal kedatangannya, Jepang segera menciptakan Shumubu
(Kantor Departemen Agama) di ibukota. Kemudian pada bulan Agustus 1944,
disusul dengan dibubarkannya cabang-cabangnya yang dinamakan dengan
shumuka di seluruh Nusantara.25 Shumubu yang dibentuk Jepang tersebut kira-
kira seperti Office for Native Affairs (Kantor Urusan Pribumi) pada masa kolonial
Belanda, tapi kemudian berkembang menjadi sebuah kantor yang mengurusi
masalah-masalah yang dulunya berada di bawah wewenang Departemen Dalam
Negeri, Departemen Kehakiman, Departemen Pendidikan, dan Upacara
Keagamaan Umum (Public Worship). 26 Pada awalnya shumubu dikepalai oleh
Jepang yang bernama kolonel Horie. Kemudian digantikan oleh K.H. Hasjim
Asj’ari, tokoh ulama terkenal dari Jombang Jawa Timur.
Kebijakan Jepang memberi peran lebih besar kepada umat Islam daripada
golongan sekuler dibandingkan dengan kebijakan Belanda, pada saat yang sama
juga diikuti dengan pembubaran MIAI pada bulan Oktober 1943 dan kemudian
menggantinya dengan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) dengan
pendukung utamanya ialah dari Muhammadiyah dan NU. Kelihatannya Jepang
berusaha menguasai organisasi ini. Namun demikian, sulit dilacak sejauhmana
sebenarnya Jepang dalam mengeksploitasi Masyumi untuk kepentingannya,
seperti kesimpulan penelitian Nieuwenhuije. 27 Memang tidak dapat dipungkiri
bahwa pembenukan Masyumi adalah untuk mendukung kolonial Jepang. Akan
tetapi sebahagian para pemimpinnya berusaha melencengkan tujuan tersebut,
seperti diakui oleh K.H. Wahid Hasyim. 28 Upaya ini berhasil. Tokoh-tokoh
Masyumi tetap memegang peran politik penting meskipun Jepang telah menyerah
Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 81. (Arief Rahman
Hakim)
8
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
bahwa negara dan masyarakat harus diatur oleh Islam sebagai agama dalam arti yang luas, bukan
hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga hubungan antara sesama
manusia, sikap manusia terhadap lingkungannya, alam, dan lain sebagainya.
9
Author’s Name
Title
pertama bangsa Indonesia yang disusun dengan bentuk modern dan yang besar
artinya.”63 Dari akar inilah gerakan-gerakan sekuler lainnya muncul, seperti Partai
Nasional Indonesia (PNI) 4 Juli 1927, Partai Indonesia (Partindo) April 1931),
Partai Nasional Indonesia (PNI-Baru) Desember 1933, Partai Indonesia Raya
(Parindra) 26 Desember 1935, dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) 24 Mei
1937.64 Gerakan-gerakan ini lahir sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan
mencita-citakan Indonesia merdeka berdasarkan kebangsaan. Itulah yang menjadi
tujuan dan titik berat pergerakan ini. Pada tahuntahun kehadirannya yang pertama,
Boedi Oetomo tidak mengarahkan perhatiannya pada seluruh rakyat Indonesia,65
melainkan semata-mata merupakan suatu himpunan untuk seluruh Jawa.
Pandangan dan perhatiannya secara sosio-kultural hanya menarik penduduk Jawa
Tengah, itupun terbatas pada orang-orang terpelajar dan ningrat.
Sebaliknya golongan Islam banyak yang berpendapat bahwa berdirinya
Sarekat Islam pada tanggal 16 Oktober 1905 sebagai titik tolak pergerakan
nasional. Sebagian yang lain mengklaim bahwa perjuangan untuk kemerdekaan itu
telah dimulai jauh sebelum awal abad XX dalam bentuk pembelaan diri terhadap
kolonialisme. K.H.M. Isa Anshari, seorang tokoh Masyumi menekankan bahwa
perjuangan dan peperangan untuk kemerdekaan Indonesia itu bukanlah dimulai
pada generasinya; bukan pula hanya menyangkut pahlawan-pahlawan 10
November 1945, melainkan merupakan riwayat perlawanan ratusan tahun, yakni
pada masa-masa Abdul Hamid Diponegoro, Imam Bonjol, Sultan Babullah
Ternate, Teuku Tjik di Tiro, dan lainnya. Beberapa penulis menyebut masa
perjuangan mereka sebagai “The periode of Prenationalism” (periode pra-
nasionalisme). Salah seorang dari mereka yakni Pangeran Diponegoro, dilukiskan
oleh Justus M.
Van Kroef sebagai “The Pregenitor of Indonesian Nationalism” (Cikal
Bakal Nasionalisme Indonesia). Dengan demikian jelas bahwa bipolarisasi ada
dalam gerakan rakyat Indonesia sejak permulaan abad XX ini, seperti pada
penjelasan awal bahwa Boedi Oetomo yang kontras dengan Sarekat Islam.
Dengan cara yang sama Jong Java (didirikan 1915) punya imbangan dengan Jong
Islamiten Bond (1925). Taman Siswa (1922) dengan Muhammadiyah (1912), dan
Nahdatul Ulama (1926). Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI, 1927), dan Gabungan Politik Indonesia (GAPI, 1939) yang
didominasi kelompok sekuler ada Majelis al-Islam A’la Indonesia (MIAI, 1937),
serta Djawa Hokokai (1944) dengan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi,
1943).
Perbedaan-perbedaan bahkan terkadang perseteruan yang ada itu antara
lain jelas tercermin dalam polemik antara Soekarno dengan Muhammad Natsir
sekitar tahun 1940 tentang hubungan negara dan agama. Soekarno sebagai juru
bicara golongan sekuler, menulis berbagai artikel dalam Panji Islam, kemudian
dibalas oleh Natsir dalam media yang sama. Menurut Noer, bahwa Soekarno dan
Natsir mewakili pandangan pandangan dua kelompok terpenting di Indonesia,
yakni golongan Islam dan golongan sekuler. Polemik mereka pada akhir tahun tiga
puluhan dan awal empat puluhan bukan hanya merupakan suatu kelanjutan,
10
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
32 Keterangan lebih rinci mengenai perbedaan-perbedaan antara kedua kelompok tersebut lihat
Deliar Noer, The Modernist, op. cit., hlm. 294, 279. (Arief Rahman Hakim)
33 H. Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, (Jakarta:
negara terjadi perdebatan sengit (45 suara memilih dasar negara kebangsaan, dan
15 suara memilih dasar Islam).34 Untuk menjembatani perbedaan tersebut, setelah
sidang pertama selesai dibentuklah panitia kecil (panitia sembilan) yang terdiri dari:
Soekarno, Mohammad Hatta, A.A, Maramis, Achmad Soebardjo, Muhammad
Yamin. Kelima tokoh ini mewakili golongan sekuler. Sedangkan empat
selebihnya: Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Abdul Wahid Hasyim, dan
Abikoesno adalah mewakili golongan Islami. Dari 9 orang anggota panitia ini,
yang beragama Kristen hanya A.A. Maramis, selebihnya beragama Islam.
Setelah melalui jalan yang berliku-liku, diiringi dengan
perdebatanperdebatan yang cukup tegang dan panas, panitia kecil ini berhasil
mencapai satu modus vivendi antara kelompok sekuler di satu sisi dengan
kelompok Islam di sisi yang lain. Preambul tersebut ditandatangani oleh
kesembilan anggota pada tanggal 22 Juni 1945 di Jakarta. Kemudian dikenal
dengan Piagam Jakarta (The Jakarta Charter), nama yang tampaknya pertama kali
digunakan Yamin. Piagam Jakarta ini sebenarnya adalah sebuah preambul bagi
konstitusi yang diajukan dalam sidang BPUPKI. Dalam piagam tersebut juga
disepakati bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila yang dalam sila
pertamanya disebutkan “Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan syari‘at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tuntutan golongan Islam lainnya ialah
ditetapkan ketentuan bahwa kepala negara haruslah beragama Islam dan
dicantumkan kalimat “kewajiban menjalankan syari‘at Islam” di dalam konstitusi.
Sidang selanjutnya dibentuklah PPKI yang terdiri dari 15 orang anggota. Dari
jumlah tersebut wakil Islam hanya dua orang yaitu: Ki Bagus Hadikusumo, dan
K.H.A. Wachid Hasyim. Komposisi yang tidak seimbang ini berakibat
dibatalkannya semua tuntutan-tuntutan golongan Islam. Bahkan sehari setelah
proklamasi kemerdekaan, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Demikian
juga kata “Allah” dalam mukadimah diganti dengan “Tuhan” dan kata mukadimah
diubah menjadi pembukaan. Perubahan-perubahan di atas dianggap oleh sebagian
tokoh-tokoh Islam sebagai kekalahan politik wakil-wakil umat Islam.
Pemikiran Politik Islam di Indonesia
Dalam pembahasan mengenai pemikiran politik Islam di Indonesia. Kami
membahas dua tokoh yang sangat penting, yaitu Ir. Soekarno dan M. Natsir.
Pertama, Ir. Soekarno. Islam telah menyentuh daratan Indonesia sejak berabad-
abad lamanya, tatanan politik dalam kehidupan masyarakat Nusantara juga banyak
dipengaruhi oleh ajaran Islam. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya
kerajaan-kerajaan Islam yang tersebar di seluruh Nusantara. Kehidupan kerajaan-
kerajaan Islam ini menjadikan ajaran Islam masuk dalam ranah politik, sehingga
mengantarkan Islam di Nusantara tidak hanya sebagai ajaran agama, melainkan
sebuah negara. Pengintegrasian Islam dan negara di kerajaan-kerajaan Islam ini
34Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante, Jilid III, hlm. 35-36. (Arief
Rahman Hakim)
12
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
terjadi di Kerajaan Samudra Pasai dan Perlak.35 Selain itu, ada pula kerajaan di
Nusantara yang memisahkan kehidupan negaranya dengan kehdiupan agama
(paradigma sekulasisme) sebagaimana yang terjadi pada kerajaan Mataram di Jawa.
Namun, di tengah perbedaan tersebut (ada yang mengintegrasikan dan ada pula
yang memisahkan), terdapat Kerajaan Goa yang tidak mengintegrasikan agama
dengan negara, tetapi agama menjadi warga bagi kehidupan bernegara. Dengan
demikian, pandangan agama dan negara di Nusantara telah ada sejak zaman
kerajaan.36
Tatkala penjajahan bangsa Barat masuk ke Indonesia dan setelah berabad-
abad melakukan kolonialisme dan imperialisme, maka persentuhan pemikiran
barat dengan dunia Timur tidak dapat dihindarkan. Kaum terdidik yang memiliki
pemikiran progresif, terutama yang telah mengenyam pendidikan formal memiliki
pemikiran yang terkontaminasi oleh pemikiran barat, tidak terkecuali paham
sekularisme. Di antara tokoh yang bersentuhan dengan pendidikan Barat adalah
Soekarno, yang mana beliau memiliki pemikiran sekularisme akibat bersentuhan
dengan pendidikan ala penjajah. Pemikiran Soekarno terhadap Politik Islam
diilhami oleh dua tokoh pemikir Islam yakni Al-Afgani dan Mustafa Kemal
Atatruk. Dari Al-Afgani, ia terilhami untuk melakukan perlawanan terhadap
penjajah barat, serta kebebasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sedangkan Kemal Atatruk memberikan pengaruh sekulerismenya pada pemikiran
Soekarno,37 karena Kemal lah yang pertama kali mencetuskan gagasan sekulerisme
dalam dunia Islam dengan meruntuhkan kesultanan Turki Utsmani pada 1924.
Sikap sekulerisme Soekarno, selain dipengaruhi oleh pendidikan baratnya,
dan bacaan-bacaan tentang tokoh-tokoh sekuler dari Barat maupun dari dunia
Islam, juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, terutama keluarga. Keluarga yang
sangat menganut kebudayaan Jawa Kental (kejawen) membuat Soekarno lebih
senang menonton wayang, dengan tokoh yang diidolakannya adalah Bima. Sikap
yang cenderung tidak melibatkan agama pada keluarganya, sebagaimana kerajaan
Jawa yang sekuler (dijelaskan di atas), turut mempengaruhi pemikirannya terkait
agama dan negara. Pemikiran transformatif politik Islam Soekarno sebelum
kemerdekaan tergolong dalam kelompok pembaharu (moserenis) dan Islam
intelektual, Soekarno banyak mengemukakan gagasan terkait pemikiran ke-
Islaman. Salah satu tulisan Soekarno yang populer yang terdapat dalam buku
berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi” mencakup beberapa topik seperti
“Nasionalisme Islamisme Markisme”, “kearah Persatuan”, “Islam Sontolojo
35 Muhammad Soleh Aminullah. “Agama dan Politik: Studi Pemikiran Soekarno tentang Relasi
Agama dan Negara. Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan
Sosial, Vol. 12. No. 1 Januari- Juni 2020, h. 40. (Emil Maula).
36
Ibid, (Emil Maula)
37 Budiarti. “Islam dan Negara Modern: Ijtihad Pemikiran Politik Soekarno Tentang Hubungan
Agama dan Negara Pancasila. Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 4 No. 1 Juli 2018, h. 53. (Emil
Maula).
13
Author’s Name
Title
38
Anwar Sansuri. “Pemikiran Transformatif Soekarno Dalam Politik Islam (Pendekatan
Transformaif Bill Gould, Karl Stenbrink dan Kuntowijoyo), Empower: Jurnal Pengembangan
masyarakat Islam, Vol. 3, No. 2 2018, h. 66. (Egi Restu)
39
Ibid, h. 72. (Egi Restu).
40
Muhammad Soleh Aminullah. Op. Cit, h. 66. (Emil Maula)
41
Ibid, (Emil Maula)
42
Ibid, h. 67. (Emil Maula)
43
Ahmad Jumham. ”Konsep Pemikiran Islam Soekarno.” https://jurnal.um-palembang.ac.id.
(Emil Maula)
44
Ibid, (Emil Maula)
14
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
45
Anwar Sansuri. Op. Cit. (Egi Restu)
46
Muhammad Soleh Aminullah. Op. Cit, h. 41-42 (Emi Maula)
47
Ibid, (Emil Maula)
15
Author’s Name
Title
48
Sudarti. “Relasi Agama dan Negara: Telaah Pemikiran Politik Soekarno dan
Fadzlurahman”. Politika: Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam, Vol. 7 No. 2 Juli-
Desember 2020, h. 71. (Egi Restu)
49
Ibid, h. 72. (Egi Restu)
50
Soekarno. Islam Sontoloyo: Pikiran-Pikiran Progresif Pemikiran Islam. (Bantul: Basabasi,
2017), h. 145. (Emi Maula).
51
Ibid, h. 147. (Emil Maula)
16
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
Negara yang mengikatkan diri pada agama menjadikan agama sebagai aturan
tertingginya, bukan ayat kitab suci yang dijunjungnya tetapi perkataan atau
pendapat dari otoritas agama lah yang menjadi tumpuannya. Otoritas agama
dalam menyikapi demikian tentunya untuk kepentingan dirinya sendiri, dan ini
banyak dilegitimasi oleh semua orang atas dasar ketakutannya pada dosa.
Hubungan yang terikat antara otoritas negara (pemerintah) dan otoritas agama
(syaikhul Islam) juga akan membuat suatu agama tidak berkembang dan menjadi
terpuruk. Hal tersebut tentunya dikarenakan diurusnya oleh pemerintah dengan
politik pemerintah itu sendiri, bukan diurus oleh otoritas agama yang seharunya.
Dengan demikian agama menjadi terikat atau terbelenggu oleh negara. 52 Maka
kedua otoritas tersebut tidak sepantasnya mengatur yang bukan menjadi
kewenangannya. Walau demikian, sekulerisme Soekarno menurut penulis tidaklah
dapat dikatakan sebagai sekulerisme murni karena Soekarno juga sempat melirik
prinsip-prinsip yang berbau agama. Di samping gagasan-gagasan pemikirannya
tentang sekulerisme, terdapat prinsip agama yang perlu dijalankan dalam
kehidupan bernegara. Menurutnya ajaran agama tidak perlu diterapkan dalam
negara, namun jika parlemen dikuasai oleh Islam, maka prinsip keislaman itu yang
akan dijadikan dalam aturannya. Begitu juga tatkala Kristen yang menguasai
parlemen, maka prinsip yang digunakan untuk membuat peraturan.
Dalam menjelajahi pemikiran politik Islam khususnya tentang hubungan
antara Islam dan Negara, Soekarno mendapat kritik yang sebanding dari
Muhammad Natsir yaitu seorang kritikus yang selalu terlibat dalam perdebatan
baik sebagai sahabat maupun lawan politik Soekarno. Mengenai pengagungan
Soekarno terhadap rasionalisme, Natsir menyatakan bahwa rasionalisme tidak
dapat dijadikan pijakan kebenaran karena kebenaran yang dikansung oleh akal
sangat relatif. Menurutnya kebenaran mutlak hanya dapat ditemukan dalam
agama. Seperti gurunya yaitu Ahmad Hasan, Natsir juga khawatir bahwa konsep
Nasionalisme yang dianut Soekarno dapat berkembang menjadi suatu bentuk
ashabiyah baru. Menurut pandangan Natsir, hal tersebut bisa mengarah pada
fanatisme yang merusak ikatan persaudaraan antara Umat Islam dari berbagai
bangsa.53
Kedua, pemikiran M. Natsir. Nama lengkapnya Dr. Mohammad Natsir, lahir
di Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Kab, Solok, Sumatera Barat, tanggal 17 Juli
1908.M. Natsir belajar di HIS Adabiyah di padang Sumatera Barat ketika dia
berusia delapan tahun. Setelah dewasa, Mohammad Natsir diberi gelar Datur
Sinaro Panjang. 54 M. Natsir adalah negarawan muslim, ulama, pembaru, serta
politisi muslim yang dihormati.55 Natsir terjun ke dunia politik sejak usia muda
hingga lanjut usia. Natsir berafiliasi dengan Badan Kerja KNIP pada tahun 1945-
52
Ibid, h. 145. (Emil Maula)
53 Buduarti. Op. Cit., h. 56. (Egi Restu)
54
Yusuf Abdullah Puar, “Muhammad Natsir Sewaktu Remaja Merangkul Dewasa, dalam panji
masyarakat, No.251 (15 juli 1978), hlm 13”.
55
“Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 4, (Jakarta : Ichtiar Baru Van
Hoeven, 2001), hal. 21”.
17
Author’s Name
Title
1946. Ia lalu menjabat Menteri Penerangan Republik Indonesia pada tahun 1946-
1949. Ia menjabat Menteri Penerangan pada empat Kabinet berbeda: pertama
dipimpin Sjahrir I (3 Januari 1946-12 Maret 1946), kedua dipimpin Sjahrir II (12
Maret 1946-2 Oktober 1946), ketiga dipimpin dipimpin oleh Hatta I (29 Januari
1948-4 Agustus 1949), dan keempat dipimpin oleh Mbonyumutwa (14 September
1950-2 Februari 1951). Natsir menjabat Ketua Umum Dewan Syura Islam
(Masyumi) pada tahun 1949-1958.56
Keberhasilannya dalam mengajukan Mosi Integral, Natsir ditunjuk
Presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri Indonesia pada tahun 1950-1951,
yang merupakan puncak karir politiknya. Selain itu, ia jadi anggota parlemen
Republik Indonesia dari tahun 1950-1958. Selain itu, hasil dari pemilu tahun 1955,
Natsir jadi anggota Majelis Konstituante dari tahun 1956 sampai 1958. Kemudian,
dari tahun 1958 hingga 1960, ia gabung PRRI. Pada tahun 1998, Natsir diberi gelar
"Bintang Republik Indonesia Adhipradana" dan pada tahun 2008, dia dinobatkan
sebagai "Pahlawan Nasional".57 Sementara itu, Natsir pernah menjabat di bidang
dakwah di organisasi Islam internasional. Pada tahun 1967, dia menjabat sebagai
Wakil Presiden World Muslim Congress, berbasis di Karachi, Pakistan. Setelah
itu, tahun 1969, dia diangkat jadi anggota Liga Muslim Sedunia di Mekah, Saudi
Arabia. Pada tahun 1972, dia juga jadi anggota Majlis A‘la al-‘Aslam li al-Masajid
di Mekah, Saudi Arabia. Dia juga jadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
dari tahun 1967 hingga 1993.58 Mohammad Natsir tentang Partai Politik Islam: M.
Natsir berdasarkan al-Qur'an surat adz-Dzariat Ayat 56 untuk menunjukkan
keyakinannya tentang hubungan abadi antara Islam dan Negara, Artinya : “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembah
kepada Ku”. 59
Kehidupan individu, keluarga, dan negara harus mencerminkan ajaran
Islam. "Seorang muslim, hidup di dunia ini dengan cita-cita kehidupan supaya
menjadi seorang hamba Allah dalam arti yang sesungguhnya," kata M. Natsir
berdasarkan firman Allah ini60, dengan asas Al-Quran dan Sunnah. Asas artinya
dasar dari prinsip, inspirasi, dan kekuatan61. Muslim memiliki idiologi yang tidak
dapat dipisahkan dari dunia dan akhirat. Menurut Natsir 62 untuk membuat
undang-undang dasar negara ini berhasil, mereka harus bertolak dari prinsip dasar
bahwa undang-undang dasar wajib meletakkan negara di hubungan erat dengan
masyarakatnya. Undang-undang dasar itu harus berasal dari dasar rakyat negara,
56
“Hakiem, ed, M. Natsir di Panggung Sejarah Republik…. hal. 149-150”
57
ibid
58
“M. Habib Chirzin, Pak Natsir: Peran dan Pandangan Dunia Internasional, dalam Lukman
Hakiem, ed. 100 Tahun Mohammad Natsir: Berdamai Dengan Sejarah (Jakarta: Republika,
2008), 376-377 Bandingkan dengan Thohir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, cet.
ke-2 (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hal. 9”
59
“Al-Qur’an dan Tafsinya, Departemen Agama RI, Jilid 10, 2009, hal. 56”
60
“Mohammad Natsir, Islam Sebagai dasar Negara, (Jakarta: Media Dakwah, 2000), hal. 3”
61
“Mohammad Natsir, Indonesia di Persimpangan Jalan , (Jakarta : PT Abadi, 1994), hal. 15”
62
“Mohammad Natsir. Islam Sebagai Dasar Negara ..., hal. 55”
18
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
63
“Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam,..hal. 86”
64
Ibid. hal. 88
65 “Muhammad Natsir. Islam Sebagai Dasar Negara, hal. 55”
66 Ibid hal. 57
67 Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, ..., hal. 199
19
Author’s Name
Title
M. Natsir bisa menerima Pancasila selaku dasar negara. Ini berarti bahwa Pancasila
dilihat sesuai Islam dan bahwa inti seluruh sila dipenuhi serta dijalankan secara
benar. Ketiga, periode konstituante. Pada periode ini, perjuangan M. Natsir
menggunakan intrumen partai politik, diizinkan konstitusional oleh lembaga
ditunjuk konstitusi, yakni parlemen.
Menurut M. Natsir,68 Muslim secara otomatis wajib mengikuti ideologi Islam
di politik; Perintah Allah wajib dipatuhi, tidak Cuma di ibadah, tetapi dalam
masalah sosial; Dalam persoalan sosial, segala sesuatu mungkin terjadi, kecuali
yang sebenarnya dilarang oleh Allah. M. Natsir bahkan mengakui bahwa sistem
non-agama lainnya dapat diterapkan di negara-negara Islam jika sistem tersebut
efektif. M. Natsir berpendapat bahwa hanya Islam yang dapat menjadi landasan
negara karena hanya Islam yang dapat mencapai tujuan tersebut di atas. Tujuan
kemerdekaan Republik Indonesia adalah katalisator pergerakan nasional, dan
konflik antara umat Islam dan non-Muslim tidak akan terselesaikan sebelum
tujuan tersebut tercapai. Bagi mereka, mandiri saja tidak cukup, sehingga mereka
tetap akan berjuang "selama negeri (negara Indonesia) belum didirikan dan diatur
menurut susunan kenegeraan Islam." Natsir berpendapat bahwa agama harus
menjadi dasar negara. Islam adalah lebih dari sekadar sistem peribadatan manusia
dan Tuhan YME. Yakni kebudayaan dan peradaban sempurna.69
M. Natsir,70 menyatakan bahwa Islam bersifat demokratis karena menjauhkan
diri dari kekuasaan absolut dan perilaku sewenang-wenang, serta mendefinisikan
hak manusia sebagai makhluk sosial, dan hubungan antara pemerintah serta yang
diperintah. Dalam Islam, istilah “demokrasi” mengacu pada hak masyarakat untuk
mengkritik, membantah, dan menantang pemerintah yang tidak adil. Jika
hukuman dan kritik tidak cukup, Islam memberikan hak kepada masyarakat untuk
menggunakan kekerasan untuk menghilangkan kesalahan, apabila dibutuhkan. M.
Natsir mengakui demokrasi memang bermanfaat, namun sistem negara Islam
kurang membutuhkan pembahasan di parlemen dalam setiap keputusan.
Dalam majelis parlemen suatu negara Islam, perintah Allah mengenai suatu
hal tidak perlu dibicarakan atau dijaga keputusan parlemen agar dapat
dilaksanakan. Yang perlu dibahas adalah bagaimana semua prinsip dan metode
yang telah ditetapkan tersebut diterapkan. Berdasarkan pemikiran di atas,
M.Natsir 71 dengan tegas menyatakan Ia mengatakan Islam tidak mensyaratkan
demokrasi yang utuh atau monarki absolut, ia menyatakan hal tersebut karena
mayoritas anggota parlemen tidak mempunyai kekuasaan untuk mengambil
keputusan, dan juga karena mereka tidak melebihi batas yang telah ditentukan oleh
68 “Anwar Harjono, dkk. Pemikiran Dan Perjuangan Muhammad Natsir, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), hal 21”
69
“Anwar Harjono, et. al., Op.cit., hal.,. 12”.
70
“Muhammad Natsir, Capita Selecta 2, (Jakarta: PT Abadi, 2008), Hal 221”
71
Ibid . Hal 223
20
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
72
“Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara hasan Al-Banna dan
Mohammad Natsir, (Kementrian Agama RI, 2011), Hal 79”
73 “Muhammad Natsir, Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Media Dakwah. 2001),
Rangka Pengembangan Karakter Bangsa, Vol. 6 No. 3., Jurnal Filsafat Indonesia, 2023., hlm. 347
(Azzahra Putri Darmawan)
21
Author’s Name
Title
kesadaran kolektif dalam kelompok orang yang bersatu melalui persamaan bahasa,
budaya, dan sejarah, dengan fokus pada pengalaman bersama baik dalam kejayaan
maupun penderitaan. Secara dasarnya, lahirnya nasionalisme dapat disebabkan
oleh beragam faktor, seperti kesamaan sejarah, budaya, aspirasi, ketidakadilan,
penindasan, atau sebagai bentuk perlawanan suatu kelompok bangsa.75
Ketika mengulas sejarah nasionalisme Indonesia, tidak boleh terlupakan
kontribusi penting yang diberikan oleh orang-orang Indis sebagai salah satu
pembentuknya. Dalam banyak kajian sejarah, sering kali fokus hanya pada tokoh-
tokoh kemerdekaan, padahal nasionalisme Indonesia melibatkan banyak faktor
yang membentuknya. Sebagai contoh, “Sumpah Palapa” yang dinyatakan oleh
Maha Patih Gadjah Mada menjadi manifestasi awal upaya menyatukan nusantara,
menunjukkan bahwa semangat nasionalisme telah ada sebelum Negara Indonesia
terbentuk. Lalu peran nasionalisme Indis yang dilakukan oleh keturunan Eropa
yang mengalami percampuran budaya dengan bangsa pribumi. Hal ini juga
memberikan kontribusi signifikan terhadap pembentukan nasionalisme
Indonesia, sebagai bentuk penolakan terhadap kolonialisme dan melahirkan
berbagai ide dan gerakan yang membantu membentuk kesadaran nasional,
dampak politik Etis Pemerintah Hindia Belanda yang akhirnya memunculkan
Perhimpunan Indonesia. Seluruh peristiwa tersebut, ketika dianalisis secara
keseluruhan, menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia muncul sebagai reaksi
terhadap penjajahan, menjadi antitesis dari keberadaan penjajahan itu sendiri.76
Dalam konteks nasionalisme Indonesia, Anderson menekankan
pentingnya mempertahankan nasionalisme tradisional karena adanya indikasi
penurunan semangat nasional, terutama di kalangan yang lebih kaya dan
berpendidikan. Anderson menyarankan untuk menghidupkan kembali semangat
nasionalisme yang pernah ada di kalangan pejuang pergerakan dan revolusi. Ia
mengusulkan pembentukan semangat “nasionalisme kerakyatan” yang bersifat
inklusif, tidak elitis, dan berpihak kepada masyarakat luas, terutama yang lemah
dan terpinggirkan. Nasionalisme kerakyatan ditandai oleh penguatan rasa
kebersamaan dan solidaritas sebagai satu bangsa.77 Tentunya di barengkan dengan
nilai nilai nya. Nilai-nilai nasionalisme Indonesia bersumber dari semangat
kebangsaan yang diharapkan menjadi pedoman perilaku warga negara dalam
kehidupan bersama. Menurut Ki Supriyoko, nilai-nilai tersebut mencakup
persatuan, kesatuan, solidaritas, toleransi, kekeluargaan, tanggung jawab, sopan
santun, dan gotong royong. Berbagai bentuk nasionalisme dan gerakannya yang
terjadi di Indonesia dapat dikelompokkan sebagai berikut: Pertama, Nasionalisme
Kemandirian Bangsa. Ini mencakup semangat untuk membangun negara dan
mencapai kejayaan bangsa.
78Kabul Budiyono, Nilai-Nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia, (Bandung: Alfabeta,
2007), hlm 209-210 (Azzahra Putri Darmawan)
23
Author’s Name
Title
79
Noor Bakry, Pendidikan Pancasila. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm 132.
(Azzahra Putri Darmawan)
80 Bassam Tibi, Islamism and Islam (Yale University Press), diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul: Islam dan Islamisme (Bandung: Mizan, 2016) (Fauzan)
81 Siti Mahmudah, Reformasi Syariat Islam (Kritik Pemikiran Khalil Abdul Karim), dalam Jurnal
al-Adalah., (Fauzan)
24
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
nasional. Namun, di samping itu, terdapat juga gerakan Islam radikal yang muncul
sebagai respons terhadap ketidakpuasan terhadap pemerintah dan melibatkan diri
dalam kegiatan-kegiatan ekstremis. Kemudian, serangkaian peristiwa terorisme,
termasuk serangan teroris Bali pada tahun 2002 dan bom Jakarta pada tahun 2009,
menyoroti eksistensi gerakan Islamisme militan di Indonesia. Meskipun mayoritas
Muslim Indonesia menganut Islam moderat, beberapa kelompok radikal terus
mencoba mempromosikan agenda mereka dengan cara-cara yang menantang
stabilitas dan toleransi agama di negara ini. Seiring berjalannya waktu, dinamika
hubungan antara Islam dan negara di Indonesia terus berkembang, menciptakan
landskap yang kompleks dan terus berubah dalam sejarah Islamisme di Indonesia.
Eksistensi dan perkembangan Islamisme di Indonesia mencerminkan
sejumlah peristiwa konkrit sepanjang sejarah modern negara ini. Pada awalnya,
periode Orde Baru (1966-1998) di bawah kepemimpinan Soeharto melihat
pembatasan terhadap gerakan Islam independen, sedangkan pemerintah lebih
mendukung organisasi Islam resmi yang bersifat moderat. Namun, setelah
Reformasi tahun 1998, terjadi liberalisasi politik yang membuka ruang lebih besar
bagi partisipasi politik Islam. 82 Partai-partai Islam, seperti Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), memainkan peran yang
semakin signifikan dalam politik nasional. Gerakan Islamisme juga meningkat
melalui organisasi sosial dan pendidikan, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah, yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat Indonesia.83 Di
samping itu, eksistensi kelompok radikal seperti Jemaah Islamiyah dan Abu
Sayyaf, yang terlibat dalam serangkaian tindakan terorisme di Indonesia,
menyoroti keberadaan Islamisme militan. Serangan terorisme di Bali pada tahun
2002 dan serangkaian serangan bom di Jakarta memperkuat kekhawatiran
terhadap ekstremisme di tengah masyarakat.84
Penting juga untuk mencatat bahwa mayoritas Muslim Indonesia
mengikuti Islam yang moderat, dan upaya untuk mempromosikan toleransi antar
agama terus menjadi bagian penting dari identitas bangsa ini. Sementara
pemerintah terus mengambil langkah-langkah untuk mencegah radikalisasi dan
terorisme, kompleksitas hubungan antara Islam dan negara terus menjadi fokus
perdebatan dan perkembangan yang dinamis dalam sejarah Islamisme di
Indonesia.
82 Fuad Zakaria, Mitos dan Realitas dalam Gerakan Islamisme Kontemporer (Yogyakarta: LkiS,
2014)., (Fauzan)
83 Noorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Geneologi, dan Teori
RoutledgeCurzon., (Fauzan)
25
Author’s Name
Title
Kesimpulan
Secara keseluruhan, perkembangan Islam di Nusantara dipengaruhi oleh
faktor-faktor politik, sosial, dan ekonomi selama masa klasik, kolonial Belanda,
kolonial Jepang, dan masa kemerdekaan. Perdebatan dan ketegangan antara
kelompok sekuler dan Islam telah membentuk dinamika sejarah Indonesia,
menciptakan tantangan dan penyesuaian dalam pembentukan identitas dan sistem
politik negara. Dalam pemikiran M. Natsir dan Soekarno perdebatan antara Islam
sebagai dasar negara dan pemisahan agama dan negara tetap menjadi aspek sentral
dalam perkembangan pemikiran politik Islam di Indonesia. Dalam konteks
Islamisme di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa sejarahnya mencerminkan
dinamika kompleks antara politik, sosial, dan agama. Mulai dari periode inklusif
pada masa awal kemerdekaan hingga era Orde Baru yang mencoba mengendalikan
Islam sebagai alat politik, serta fase Reformasi yang membuka ruang bagi
partisipasi politik Islam. Perkembangan ini juga disertai dengan kehadiran gerakan
Islam radikal dan serangkaian peristiwa terorisme, menyoroti eksistensi Islamisme
militan. Meskipun mayoritas Muslim Indonesia menganut Islam moderat,
tantangan terus muncul, dan hubungan kompleks antara Islam dan negara tetap
menjadi fokus perdebatan yang dinamis. Kemudian nasionalisme adalah fondasi
bagi warga negara dalam membentuk sikap terkait perilaku dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Hal ini mencakup kesadaran akan nilai-nilai bersama, loyalitas terhadap
negara, dan semangat kebersamaan. Dalam konteks Indonesia, sejarah
nasionalisme melibatkan berbagai faktor, termasuk peran penting orang-orang
Indis dan peristiwa-peristiwa seperti Sumpah Palapa yang mencerminkan
semangat menyatukan nusantara. Nasionalisme Indonesia juga mencakup
berbagai bentuk, seperti kemandirian bangsa, nasionalisme agama, nasionalisme
sekuler, dan nasionalisme anti-agama. Pancasila sebagai ideologi bangsa
mencerminkan nilai-nilai dasar seperti keadilan, persatuan, dan demokrasi yang
menjadi landasan bagi nasionalisme Indonesia. Meskipun nasionalisme terus
beradaptasi dengan perubahan kondisi dan konteks, nilai-nilai seperti
penghargaan terhadap sejarah dan semangat untuk hidup bersama tetap menjadi
pilar penting dalam membangun identitas nasional Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, R. (1983). Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Antar
Kota.
Alfaq, M. Z. (2016). Melihat Sejarah Nasionalisme Indonesia untuk Memupuk
Sikap Kebangsaan Generasi Muda. Junal Civics, 14.
26
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
Ali, F., & Effendy, B. (1986). Merambah Jalan Baru Islam: Rekontruksi Pemikiran Islam
Indonesia Masa Orde Baru. Bandung: Mizan.
Aminullah, M. S. (2020). Agama dan Politik: Studi Pemikiran Soekarno tentang
Relasi Agama dan Negara. Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial,
40.
Arianto, A. (2023). Konsep Nasionalisme Michael Sastrapratedja: Sebuah
Tinjauan Filsafat Pancasila dalam Ragka Pengembangan Karakter Bangsa.
Jurnal Filsafat Indonesia, 347.
Azra, A. (1995). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepuluan Nusantara abad XVII dan
XVIII. Bandung: Mizan.
Bakry, N. (2010). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Benda, H. (1958). The Crescent and The Rising Sun: Indonesian Islam Under The Japanese
Occupation. Amsterdam: The Hauge.
Benedict, A. (2008). Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang. Pustaka
Pelajar: 2008.
Boland, B. (1982). The Struggle of Islam in Modern Indonesia. The Hague: Martinus
Nijhoff.
Budiarti. (2018). Pemikiran Transformatif Soekarno dalam Politik Islam:
Pendekatan Transformasi Bill Goud, Karl Stenbrink dan Kuntowijoyo.
Jurnal Pengembangan Masyrakat Islam, 66.
Budiyono, K. (2007). NIlai-Nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia.
Bandung: Alfabeta.
Harjono, A. (1997). Perjalnan Politik Bangsa Menoleh ke Belakang Menatap Masa
Depan. Jakarta: Gema Insani Press.
Hasan, N. (2012). Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konseo, Genelogi dan Teori.
Yogyakarta: SUKA-Press.
Islam, D. R. (2001). Ensiklopedia Islam Jilid 4. Jakarta: PT. Ichitiari Baru Van
Hoeve.
Laffan, M. (2003). Kebangsaan Islam dan Indonesia Kolonial: Ummat di Bawah
Angin. RoutledgeCurzon, 24.
Luth, T. (2005). M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta: Gema Isnani Press.
M, L. H. (2008). M. Natsir di Panggung Sejarah Politik. Jakarta: Panitia Peringatan
Refleksi Seabad M. Natsir.
Maarif, A. S. (1984). Islam dan Masala Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan
Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Mahmudah, S. (2016). Reformasi Syariat Islam: Kritik Pemikiran Khalil Abdul
Karim. Jurnal al-Adalah, 155.
27
Author’s Name
Title
© 2020 by the authors. Submitted for possible open access publication under the
terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY
SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).
28