Anda di halaman 1dari 12

POLITIK DALAM ISLAM

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam

Oleh :

EMMALIA NUR AFIFAH 190611643397


HASNA AHSANI TAQIYYA ZAMZAMI 190612642803
NADINDA INAS SHABIRA 190612642866
RIZKA LAILA ILMI 190612642904
RIVQO SAIFUL ISLAM 190611643381

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMI KEOLAHRAGAAN
Maret 2020

1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan adalah
sebagai berikut :
1. Apa pengertian Islam politik?
2. Bagaimana pendekatan Islam politik dengan negara Indonesia?
3. Bagaimana hubungan politik muslim dengan dinamika sistem demokrasi
di Indonesia?
4. Bagaimana implikasi Islam politik terhadap sikap dan perilaku politik di
Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian Islam politik dan hubungannya dengan
politik negara Indonesia
2. Untuk memahami Islam politik dalam hubungannya dengan dinamika
kontemporer demokrasi di Indonesia
3. Untuk mempelajari implikasi Islam politik terhadap sikap dan perilaku
serta aliran-aliran politik di Indonesia

2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Hubungan Islam dengan Politik dan Negara di Indonesia
2.1.1 Islam Politik (Tinjauan Teoritis)

Masalah hubungan politik antara Islam dan negara, seringkali muncul dari
pandangan bahwa di antara keduanya tidak mungkin untuk membangun hubungan
yang saling menguntungkan. Jika memang teori ini benar, maka tinjauan umum
tentang teori politik Islam dapat berguna sebagai landasan untuk pemahaman yang
lebih baik tentang masalah tersebut.

  Agama, sebagaimana dinyatakan oleh banyak orang, dapat dilihat sebagai


instrumen Ketuhanan untuk memahami dunia Islam, dibandingkan dengan agama
lain. Oleh karena itu, Islam adalah agama yang paling nyaman untuk menerima
pandangan ini karena Islam hadir diman- mana dan selalu memberikan pedoman
moral sejati untuk tindakan manusia.

Politik Islam tidak lepas dari sejarah Islam yang multi interpretatif.
Hampir setiap Muslim percaya akan pentingnya prinsip-prinsip kehidupan
kontemporer, Islam multi-interpretatif, tidak pernah ada satu pandangan pun
tentang bagaimana Islam dan politik harus sesuai dengan tepat dikaitkan. Bahkan
ada banyak pendapat yang berbeda, beberapa bahkan kontradiktif mengenai
hubungan yang tepat antara Islam dan politik.

Pada umumnya, ada dua pola pemikiran Islam yang sekarang


berkembang. Pola pikir pertama, adalah kehadiran sekelompok musim yang
mengasumsikan bahwa Islam harus menjadi dasar ideologi negara; bahwa syariah
harus diterima sebagai konstitusi negara. Sebab kelompok kedaulatan politik ini
ada di tangan Tuhan. Pola pikir kedua, adalah kehadiran sekelompok Muslim
yang menemukan Islam "tidak menggambarkan pola standar teori negara (sistem
politik) yang akan dieksekusi oleh umat (komunitas Muslim)" .

Model teori Islam politis terlebih dahulu, mencerminkan kecenderungan


untuk menekankan aspek hukum formal idealisme politik Islam. Kecenderungan
ini biasanya ditandai oleh keinginan untuk memaksakan hukum Islam secara

3
langsung sebagai konstitusi negara. Dalam konteks negara bangsa yang ada saat
ini, bisa disebut sebagai Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia,
Aljazair, Arab Saudi, dan Indonesia. Model formal ini praktis memiliki potensi
untuk bertabrakan dengan sistem politik modern.

 Sebaliknya, model pemikiran kedua lebih fokus pada substansi daripada


bentuk hukum negara yang substantif formal. Karena berkarakter, mereka
menekankan bagaimana menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kesetaraan,
konsultasi, dan partisipasi publik, yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
Islam. Model kecenderungan berpikir memiliki potensi untuk melayani sebagai
pendekatan untuk menghubungkan Islam dan sistem politik modern, di mana
negara adalah salah satu elemen utama.

2.1.2 Pendekatan Akomodasi terhadap Islam

 Pendekatan ini diperkenalkan oleh Van Nieuwenhuijze. Dalam dua tulisan


pada 1950-an dan pertengahan 1960-an, ia mencoba menjelaskan hubungan
politik antara Islam dan negara nasional modern Indonesia, khususnya peran
Islam dalam revolusi nasional dan pembangunan bangsa. Sebagai seorang
Indonesiais, konsep-konsep yang dikemukakan sangat dipengaruhi oleh tradisi
sosial dari akar intelektual mereka sendiri, yaitu kecenderungan akomodasi
kelompok-kelompok sosial-budaya dan politik Belanda.

Kasus Indonesia pada periode postkolonial dipandang sebagai tahap yang


memiliki banyak aktor dengan latar belakang sosial dan agama yang berbeda.
Bahkan, diperlihatkan bahwa mereka yang berasal dari tradisi agama yang sama
juga terkadang memiliki pandangan berbeda. Tetapi ketika menghadapi musuh
bersama, pandangan yang berbeda mampu menyatukan dan bersama-sama,
terutama ketika menghadapi tantangan bagaimana mewujudkan cita-cita negara
Indonesia yang merdeka dalam pengertian modern. Untuk mencapai tujuan
bersama ini, berbagai faktor-faktor yang menjadi perbedaan memudar dan bersatu
dalam proses membangun kerangka kerja bersama yang sama-sama dapat
dimengerti dan dapat diterima. Islam adalah faktor dominan dalam revolusi
nasional di Indonesia. Meskipun demikian, Van Nieuwenhuijze, melihat bahwa
situasi di mana Islam harus berperan dalam proses pembangunan bangsa kurang

4
lebih sama dengan yang berlaku di Belanda. Akomodasi adalah konsep yang
digunakan untuk memperluas penerimaan umum, termasuk semua kelompok
kepentingan konsep Muslim berdasarkan pertimbangan kemanusiaan bersama.

Pesan utama pendekatan akomodasi terhadap Islam politik modern di


Indonesia, kemungkinan adalah perlunya menunjukkan diri dalam bentuk yang
objektif, bukan subyektif. Dalam konteks ini, harus dilihat sebagai "interpretasi
kreatif dari prinsip-prinsip Islam" untuk membangun kembali relevansinya dengan
kehidupan di Indonesia abad ke-20 atau era kontemporer Indonesia.

2.1.3 Pendekatan Domestikasi Islam Politik

Pendekatan yang dibangun berdasarkan analisis historis Islam Jawa pada


abad ke 16 M hingga abad ke 18 M, terutama pada periode perebutan kekuasaan
antara penguasa Islam kerajaan yang mematuhi aturan hukum Islam di wilayah
pesisir Jawa, seperti Demak melawan kerajaan Mataram yang sinkretisme di
daerah pedesaan Jawa. Ketika kerajaan Mataram memeluk Islam, kemudian ia
memperluas wilayah itu ke wilayah lain di pantai kekaisaran Islam. Tindakan ini
adalah strategi untuk membendung laju dinamika komunitas Muslim di pulau
pesisir Jawa, dengan tujuan penegakan aturan kekuasaan. Penaklukan kerajaan
Islam ortodoks yang berpola di pantai Jawa, telah memberi bentuk pada proses
karantina politik Islam Indonesia, khususnya yang dikembangkan di Jawa. Upaya-
upaya ini, terus dilakukan agar setiap perebutan kekuasaan yang terjadi dalam
sejarah Islam di Indonesia, sebuah kelompok yang diwakili oleh aristokrasi Jawa
Mataram telah memenangkan pertempuran. Terlihat dalam kasus ini kolonial
Belanda, menginginkan Islam adalah sinkretis Islam yang berkembang. Dengan
memusnahkan pemberontakan Darul Islam dan Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia dan Perjuangan Rakyat (PRRI-PERMESTA), dan kembalinya
kendali Jawa dari 1958.

Dari uraian di atas, jelas telah menunjukkan salah satu elemen penting
dalam pendekatan adalah bahwa hal itu merupakan pengembangan dari perebutan
kekuasaan politik antara elemen-elemen Islam dan non-Islam di masyarakat
Indonesia sejak lama, hampir bersamaan dengan kehadiran Islam di Indonesia
sendiri. Non-Muslim diidentifikasi sebagai elemen untuk Jawa. Seperti di masa

5
lalunya, Indonesia pada masa pascakolonial memiliki duplikat sengketa wilayah,
yang menyebabkan perebutan kekuasaan antara Islam dan kelas-kelas Jawa yang
sinkretis, di mana tampaknya dimenangkan oleh kelompok-kelompok terakhir.
Mengapa itu terjadi? Salah satu elemen penting yang menjadi faktor penentu
dalam memenangkan pertarungan politik, adalah kemampuan kelompok untuk
membuat blunder sinkretis Jawa untuk mencapai tujuan dengan cara yang benar-
benar mengikis cengkeraman politik Islam. Dari upaya ini, dapat dikatakan bahwa
Islam kontemporer di Indonesia telah kehilangan akarnya dalam arti politik.

2.1.4 Pendekatan Alur Sosial Budaya dan Islam Politik

Dalam proses islamisasi dari kebudayaan Hindu-Budha yang belangsung


di Pulau Jawa tentu tidak akan lepas dari perebutan kekuasaan agar dapat
menggantikan agama Hindu-Budha di Indonesia yang mana pada proses itu ada
kaitannya dengan masalah politik. Seorang ilmuwan bernama Jay melakukan
sebuah studi tentang bagaimana perbedaan politisasi yang dilakukan antara daerah
dengan pengaruh Hindu-Budha yang kuat dan daerah dengan pengaruh yang
lemah. Di daerah dengan pengaruh yang lemah terdapat perpecahan agama antara
kelompok pelajar dengan kelompok abangan di wilayah Mojokerto. Kelompok
abangan adalah seseorang yang dia resmi dinyatakan islam akan tetapi tidak
mematuhi perintah Allah dan mengacaukan nilai-nilai Hindu-Budha. Sementara
daerah dengan pengaruh Hindu-Budha yang kuat sangat sengit karena tidak
mudah untuk saling menundukkan kekuasaan, proses islamisasi bahkan harus
menghapus unsur agama formal tradisional mereka seperti pemujaan para dewa
dan roh tapi tanpa menghapus cara hidup tradisional mereka. Dapat disimpulkan
bahwa perjalanan politisasi islam berpusat pada ortodoksi versus sinkretisme yang
akhirnya kedua kelompok tersebut saling berebut pengikut dan kekuasaan hingga
menggaet partai-partai politik dan beradu di pemilu. Hal ini menimbulkan dua
kelompok di dalam masyarakat, yaitu kelompok abangan dan kelompok pelajar.
Kelompok abangan bersekutu dengan partai-partai nesionalis seperti Partai
Nasionalis Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sementara
kelompok pelajar bersekutu dengan partai-partai islam yang besar pada masanya
seperti Masyumi dan Nahdhatul Ulama (NU). Akan tetapi dua kelompok tersebut
memiliki porsi yang berbeda terhadap intensitasnya dalam kehidupan politik, dan

6
berbagai keberagaman lainnya sehingga dapat dirumuskan tiga faktor pendeketan
dalam masyarakat islam yaitu politik fundamentalis, reformis, dan akomodasi.

Pendekatan politik dapat dilihat dari kekalahan partai-partia politik


terutama partai islam karena melawan negara hegemonik pada waktu itu. Selain
itu dapat dilihat dari pola interaksi antara umat muslim dan non-muslim serta
peran yang besar dalam mewujudkan partai agama-politik masih terdapat
perbedaan yang cukup besar. Pendekatan yang lain seperti fundamentalis,
reformis dan akomodasi juga memiliki pandangan yang berbeda, pendekatan
fundamentalis lebih menekankan keutamaan agama daripada politik, pendekatan
reformis juga demikian akan tetapi tetap ingin adanya kerjsama dengan kaum
sekuler, sementara pendekatan akomodasi lebih menitik beratkan pada
kepentingan sosial dan ekonomi. Hal ini diteliti oleh ilmuwan bernama Samsons.
Ketiga pendekatan ini menimbulkan kelompok-kelompok masyarakat baru
dengan pemikiran yang berbeda, sehingga menimbulkan respon politik dan
ideologi yang berbeda yang membuat upaya untuk menyelaraskan aspirasi
masyarakat terhadao ideologi politik hanya berhasil sebagian saja karena terdapat
kegagalan dalam upaya kompromi dan tawar-menawar politik.

Tujuan islam pada ranah politik sebenarnya adalah untuk memberikan


nilai moral yang mana politik dan islam tidak dapat dipisahkan. Muncul sebuah
konsep model islam bahwa untuk menonjolkan kekuatan kebudayaan islam maka
harus dengan cara memperkuat kesalehan, toleransi, demokratis, dan meingkatkan
peran dalam dunia politik akan menunjukkan islam yang lebih simpatik. Islam dan
politik diapandang sebagai dua hal besar yang terkait satu sama lain dengan
simbolisme ppolitik islam seperti partai politik, ideologi dan elemen formal yang
secara tidak langsung membentuk kepribadian islam. Pendekatan yang damai,
demokratis, tidak anarkis, dan toleransi akan sangat dibutuhkan bagi islam untuk
dapat dipahami dalam panggung politik nasional.

2.2 Politik Muslim dan Demokrasi di Indonesia

Menurut World Value Survey, tidak ada perbedaan signifikan dalam


pandangan tentang demokrasi di antara umat Islam yang tinggal di 'Negara-negara
Muslim' dan umat Kristen yang hidup di daerah dominan Kristen.

7
Demokrasi bukan satu dimensi. ini benar bahwa tujuannya yang diterima
secara umum adalah kontrol populer atas urusan publik atas dasar kesetaraan
politik. Tapi ini pada gilirannya, membutuhkan sejumlah sarana atau lembaga
promosi yg besar dengan kinerja yang wajar, substansi dan cakupan geografis;
institusi yang mana adalah semua orang pada akhirnya juga harus mampu
mempromosikan dan menggunakan secara wajar. Bentuk khusus dari lembaga-
lembaga tentu saja bisa kontekstual.

Misalnya, sistem pemilihan dapat bervariasi. Tetapi semua instrumen itu


seharusnya menghasilkan, pertama, sistem peradilan yang tidak memihak
(termasuk kewarganegaraan yang sama, keadilan dan supremasi hukum) dan
sejumlah warga negara, politik dan hak asasi manusia lainnya; kedua, langsung
dan representatif mekanisme untuk pemerintahan dan administrasi yang setara
secara politik dari urusan publik; dan ketiga, keterlibatan sipil langsung dengan
cara sipil masyarakat (termasuk media, budaya)

Demikian pula, kapasitas orang untuk membina dan menggunakan


institusi-institusi itu tentunya bervariasi dengan kondisi sosial dan ekonomi.
Namun, kebutuhan persyaratan minimum perlu dihadirkan di medan politik.

Orang-orang yang seharusnya mengendalikan urusan publik cenderung


didefinisikan atas dasar kesamaan identitas (ras, etnis, tempat tinggal) daripada
didefinisikan secara keanggotaan komunitas secara publik, kesetaraan politik.
Sehingga cenderung terbatas pada kelompok khusus daripada ke populasi pada
umumnya. Hal ini merupakan persoalan mendasar dalam demokrasi.

2.2.1 Aspek Historis

Para pedagang yang membawa Islam ke Indonesia tidak menggunakan


metode yang sama dengan represi, penjarahan, dan okupasi yang didukung negara
seperti yang dilakukan para penjajah Eropa dalam mengejar tanah dan kekayaan.
Fondasi politik Muslim agaknya sudah menjadi kombinasi hubungan bisnis dan
komunitarian, dalam negosiasi kesepakatan dengan berbagai pusat kekuatan
politik.

8
Gerakan anti-kolonial terkemuka di awal hingga pertengahan Abad 20
mengkombinasikan iman dan etika Muslim dengan cita - cita Revolusi Perancis,
deklarasi kebebasan Amerika, dan kritik terhadap kapitalisme dan imperialisme.
Tentu saja, ada yang secara politis, Muslim yang lebih taat daripada yang lain.
Tapi poin mendasarnya adalah itu semua merupakan aliran politik yang
mengkompromikan program sipil dan aspirasi mereka dengan mediasi
komunitarian serta hubungan langsung karismatik-populis antara politik dan
masyarakat.

2.2.2 Dinamika Kontemporer

Masalah utama demokrasi diIndonesia hari ini adalah bahwa keberadaan


sejumlah kebebasan dan masyarakat sipil yang luas belum mampu
mempromosikan dan mengamankan kebutuhan pokok masyarakat, sistem hukum
yang berfungsi dengan baik, atau kepemimpinan yang representatif dan
bertanggung jawab. Ini menyiratkan bahwa Pemilu demokratis sebenarnya belum
mengarah pada kepentingan dan konflik masyarakat umum. Ini juga menyiratkan
bahwa pertempuran penting melawan korupsi, nepotisme, dan sentralisme telah
melemahkan sumber daya dan kapasitas negara di bawah rezim neo-liberalis
daripada memperkuat kapasitas publik yang demokratis, artinya klientelisme dan
korupsi terus beroperasi. Elit memonopoli dan menyalahgunakan lembaga yang
secara nominal demokratis.

2.3 Kebangkitan Ideologi di Indonesia: Islam Politik, Aliran dan Politik


Tingkah Laku

Antropolog Clifford Geertz terkenal membagi masyarakat Jawa menjadi


tiga sosial kelompok budaya, yaitu abangan, Muslim nominal yang
mempraktikkan versi sinkretik Islam dengan pengaruh Hindu-Budha yang kuat.
Meliputi santri yang lebih mematuhi ortodoks, bentuk ideologis Islam dan priyayi
yang meupakan orang Jawa sosio berstatus ekonomi yang menduduki posisi elit di
birokrasi negara.

Selama Orde Lama ketika politik Indonesia didominasi oleh tokoh


Presiden Sukarno, partai politik Indonesia dibagi menjadi dua kubu utama. Di satu

9
pihak, partai sekuler seperti Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Komunis
Indonesia (PKI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang sebagian dari mereka
didukung dari orang Indonesia abangan. Di sisi lain, santri Indonesia terpecah
antara dua bentuk Islam politik, yaitu Islam "tradisionalis" yang disebarkan
khususnya di pedesaan Jawa oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Islam "modernis"
lebih umum di kota-kota dan daerah di luar Jawa, yang diwakili oleh
Muhammadiyah dan partai Masyumi.

Partai-partai politik memiliki perbedaan posisi dalam pandangan mereka


tentang hubungan negara-Islam, sebagai kunci yang telah mendorong persaingan
ideologis dalam politik Indonesia sejak dekolonisasi. Meningkatnya pengaruh
kelompok-kelompok Islam garis keras yang sebelumnya marginal seperi dalam
hasil pemilihan Presiden 2019 yang menunjukkan bahwa perdebatan berakhir
dengan Islam dan politik masih mendefinisikan politik Indonesia (Mietzner dan
Muhtadi, 2018). Implikasi dari perkembangan baru ini jelas yaitu ideologi,
keberpihakan, dan kebijakan seharusnya tidak lagi menjadi kategori residual
dalam studi politik Indonesia.

Dimensi ideologis utama dalam politik Indonesia sama seperti Negara-


negara Asia mayoritas Muslim lainnya yaitu menyangkut peran Islam dalam
urusan politik. Politik Islam berperan sebagai dimensi ideologis mengenai peran
Islam dalam politik yang bervariasi antar individu. Di satu sisi, orang Indonesia
yang sekuler menyukai hal demarkasi yang jelas antara Islam dan
negara. Sementara individu-individu ini belum tentu bertentangan dengan nilai-
nilai agama yang berperan dalam kehidupan publik.

Dalam hal ini orang Indonesia sekuler juga dapat digambarkan sebagai
"pluralis." Di ujung berlawanan dari penggambaran ideologis, orang Islam
Indonesia percaya bahwa Islam harus memiliki hak istimewa posisi dalam
kehidupan publik vis-a`-vis semua agama lain. Sebuah prinsip yang mungkin
memiliki luas dan konsekuensi konsekuensial dalam berbagai domain
kebijakan. Di antara perbedaan besar ini adalah posisi tingkat individu berbeda-
beda, apakah islam harus memainkan peran yang lebih menonjol dalam urusan
public Indonesia.

10
Kepentingan politik harus berkorelasi dengan pengetahuan politik. Sebagai
pemilih dengan minat yang lebih tinggi dalam politik lebih cenderung
menghabiskan waktu dan upaya untuk memperoleh informasi tentang masalah
politik, mereka cenderung lebih canggih dalam masalah mereka pengetahuan dan
pemahaman tentang politik.

Sebuah pertanyaan lebih lanjut tentang hubungan antara identitas aliran


dan dimensi ideologis yang diperkenalkan pada bagian sebelumnya, yaitu Islam
politik. Sementara ada tingkat heterogenitas substansial dalam posisi ideologis
dalam Islam politik Indonesia, santri Indonesia secara tradisional lebih mungkin
untuk mendukung pemahaman Islamis tentang negara Indonesia, sementara
abangan telah mendukung pandangan yang lebih sekuler / pluralis tentang
hubungan negara-Islam.

2.3.1 Korelasi Sikap Islam Politik di Indonesia

Bagian ini membahas analisis implikasi Islam politik, dimensi kunci


persaingan ideologis dalam politik Indonesia, terhadap sikap dan perilaku politik.
Karena itu saya mengalihkan fokus analisis dari aliran dan provinsi Jawa dan
bekerja dengan seluruh sampel survei untuk menjawab pertanyaan yang lebih luas
tentang sifat dan peran ideologi dalam politik Indonesia.

Dukungan untuk desentralisasi Islam politik dan otonomi daerah telah


terjalin erat di Indonesia, negara di mana hubungan pusat-pinggiran menjadi
masalah penting bagi negara.pembentukan. menciptakan negara federal di
Indonesia pada pertengahan 1940-an. Inisiatif ini sangat ditentang oleh nasionalis
Indonesia, yang datang untuk melihat dukungan untuk federalisme sebagai
kerjasama dengan penguasa kolonial dan sebagai gantinya menganjurkan visi
kesatuan negara baru Indonesia (Feith, 1962: 70-71). Titik kritis yang penting ini
menciptakan hubungan yang kuat antara ideologi nasionalis-sekuler dan
preferensi daripada pemerintahan terpusat.

2.3.2 Perilaku Politik

Untuk memastikan apakah dimensi hubungan antara Islam politik dan


perilaku politik.ini berimplikasi pada cara orang Indonesia mengevaluasi politisi

11
dan memilih, difokuskan pada dua hasil, yaitu persetujuan atas kinerja Joko
“Jokowi” Widodo sebagai Presiden Republik dan pilihan partai. Seperti yang
disoroti oleh beberapa pengamat politik Indonesia, Islam radikal telah
menghadapi tantangan besar terhadap jabatan Jokowi sejak demonstrasi massal
akhir 2016 di Jakarta.

Indonesia sering digambarkan sebagai demokrasi yang cacat karena


hubungan antara warga negara dan politisi cenderung didasarkan pada patronase
dan klientelisme daripada kompetisi terprogram. Berbeda dengan demokrasi maju,
di mana politik biasanya diikat di sekitar poros kiri-kanan yang dapat
diidentifikasi, partai-partai politik di Indonesia tidak menawarkan alternatif
kebijakan yang diartikulasikan dan dibedakan dengan pemilih, dan sebagian besar
penelitian yang ada menunjukkan bahwa ideologi adalah faktor yang agak
marjinal dalam perilaku memilih.

DAFTAR PUSTAKA

12

Anda mungkin juga menyukai