Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

POLITIKUS ISLAM DIANTARA NASIONALISME DAN ISLAMISME


“Respon Politikus Islam atas Ide Kebangsaan (Nation State), Ide Republik dan Ide
Demokrasi, Ide Indonesia berdasarkan Islam, Ide Khalifah, dan Ide Islam Yes Partai
Islam No”

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah “Politik Islam di Indonesia”
Dosen Pengampu : Dr. H. Muhammad Shofin Sugito, M. A

Disusun Oleh :
Kelompok 11

SPI 4 C

Hanifah Rizki Faisal 201350070


Hanifatuddiniyah 201350079
Lusiana Rahmadhani 201350099

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA HASANUDDIN
BANTEN
2022
KATA PENGANTAR
Segala puja hanya bagi Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Berkat
limpahan karunia Nikmat-Nya Kami dapat menyelesaikan makalah yang kami buat dengan
lancar. Penyusunan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas Sejarah Politik Islam
Indonesia.

Dalam proses penyusunannya tak lepas dari bantuan, arahan dan masukan dari
berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya dalam
menyelesaikan makalah ini.

Meski demikian, penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dan kekeliruan
di dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tanda baca, tata bahasa maupun isi. Sehingga
penulis secara terbuka menerima segala kritik dan saran positif dari pembaca.

Demikian apa yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
untuk masyarakat umumnya, dan untuk kami sendiri khususnya.

Serang, 17 Maret 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................ 3

A. Dialektika Nasionalisme dan Islamisme ............................................................... 3


B. Politik Indonesia Pasca Reformasi ........................................................................ 7
C. Hubungan Nasionalisme dan Islamisme .............................................................. 10
D. Perkembangan Ide Khilafah ................................................................................. 12

BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 17

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nasionalisme merupakan sikap politik masyarakat yang mempunyai kesamaan
wilayah, budaya, bahasa, idiologi, cita-cita dan tujuan, kemudian mengkristal menjadi
paham kebangsaan. Paham ini berkembang lalu mempengaruhi politik kekuasaan
dunia dan berdampak luas bagi negara-negara bangsa. Ketika nasionalisme masuk di
dunia Islam, mereka sudah memiliki nilai-nilai universal yang dianut masyarakat
muslim sebagai unsur pemersatu. Umat Islam senyikapi nasionalisme ini beragam,
ada yang menerima, ada yang apriori, dan ada yang menolak. Sebagian umat Islam
berpendapat bahwa nasionalisme murni adalah nasionalisme Eropa yang sekuler.
Hanya ini yang dapat dijadikan energi Perubahan sosial politik di dunia Islam.
Sebagian lain berpendapat bahwa nasionalisme ala Eropa adalah sekuler,
mengabaikan agama, yang menyebabkan lemahnya dunia Islam. Islam tidak
kompatibel dengan nasionalisme, karena secara ideologis saling berlawanan. Ia
bersifat nasional-lokal, sedangkan Islam bersifat universal. Sebagian lagi umat Islam
bersikap netral, nasionalisme harus memperhatikan kepentingan seluruh warga bangsa
dengan basis ukhuwah Islamiyah. Nasionalisme ini merupakan bagian integral dari
konsep “Pemerintahan Madinah” dan Ini yang disebut nasionalisme Islam. Paham
nasionalisme Islam ini lalu menjadi spirit dan inspirasi kaum muslimin secara global
untuk bangkit dan membebasakan negara-negara Islam dari kolonialisme negara-
negara Eropa. Di beberapa negara Islam, paham nasionalisme Islam menjadi alat
pemersatu sekaligus alat perjuangan untuk merebut kemerdekaan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Nasionalisme dan Islamisme?
2. Bagaimana politik Indonesia pasca reformasi?
3. Bagaimana hubungan Nasionalisme dan Demokrasi?
4. Bagaimana perkembangan Ide Khilafah?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui maksud dari Nasionalisme dan Islamisme
2. Mengetahui kondisi politik pasca reformasi
3. Mengetahui hubungan Nasionalisme dan Demokrasi
4. Mengetahui perkembangan Ide Khilafah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dialetika Nasionalisme dan Islamisme


Konsep negara bangsa (nation state) merupakan salah satu konsep politik dari
sebuah state ( negara) atau kelompok masyarakat yang secara bersama-sama terikat
dengan loyalitas dan solidaritas umum. Pengertian ini menjelaskan nation state
merupakan sebuah entitas teritorial dimana negara sama besarnya atau coextensive
dengan bangsa. Nation state di dunia islam kontemporer ditegakkan dengan semangat
nasionalisme atau semangat yang disertai dengan kesadaran tinggi untuk membangun
sebuah negara bangsa.

Indonesia adalah negara yang menganut paham kebangsaan (nation state),


bukan negara teokratis yang didasarkan pada ideologi keagamaan tertentu. Hampir
semua paham agama-agama besar dunia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha)
hidup dan berkembang di negeri ini. Meskipun umat Islam merupakan kelompok
terbesar dari populasi nasional (sekitar 87 persen), sikap terbuka dan toleran mereka
terhadap kelompok-kelompok agama yang lain terasa menonjol. Hal itu bukan saja
terbukti dari hubungan antar umat beragama yang selama ini relatif harmonis, tetapi
juga melalui sikap para pemimpin Muslim yang, semenjak perumusan konstitusi
kenegaraan di masa-masa pergolakan Kemerdekaan 1945, merelakan Republik
Indonesia berdiri tanpa mencantumkan secara formal Islam sebagai dasar negara.

Akan tetapi tinjauan historis secara menyeluruh membawa kita kepada


wawasan yang lebih mendalam mengenai dinamika hubungan agama dan politik di
negara ini. Penyusunan konstitusi negara dan perkembangan setelahnya
memperlihatkan dinamika konfliktual yang bukan saja menanam segregasi politik dan
sosial dalam masyarakat, tetapi juga mengancam eksistensi negara. Diterimanya
Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara menggantikan piagam Jakarta waktu
itu hanya dapat dijelaskan sebagai kontrak politik, berkat kewibawaan pemimpin
muslim moderat.1

Sejak awal kemerdekaan, terutama di saat penyusunan konstitusi negara, telah


muncul bibit antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara. Persoalan yang

1
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1995), p. 49

3
mengemuka adalah bagaimana menempatkan Islam dalam konteks kenegaraan yang
notabene multi-agama dan keyakinan. Meskipun pada akhirnya polemik itu berhasil
didamaikan dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, namun ketegangan
antara Islam dan negara tidak bisa dihilangkan begitu saja. Pemerintah, baik Orde
Lama maupun Orde Baru, menempatkan Islam politik sebagai pesaing kekuasaan
yang mengancam basis kebangsaan. Politik muslim dianggap berpotensi melahirkan
kekacauan nasional karena pengingkarannya terhadap identitas paling dasar dari
nasionalisme Indonesia, yaitu keragaman agama, etnisitas serta kebudayaan
penduduknya.2

Karena persepsi semacam itu, negara berusaha menghalangi dan melakukan


domestifikasi terhadap gerakan politik Islam sehingga meningkatkan ketegangan terus
menerus. Pemerintah membatasi perkembangan Islam politik melalui suatu politik
alienasi yang sistematik, sambil tetap mendorong Islam yang berorientasi ibadah dan
sosial. Pada tingkat tertentu negara berhasil melakukan tekanan. Islam politik tidak
saja gagal menjadikan Islam sebagai dasar negara pada dekade 1945 dan 1950-an,
tetapi juga mengalami proses marjinalisasi terutama di era rezim Orde Baru yang
mengakibatkan turunnya popularitas kelompok ini secara drastis. Hal ini terlihat pada
dasawarsa terakhir rezim Orde Baru, Islam politik kelihatannya telah berhasil
dijinakkan oleh pemerintah. Akan tetapi perkembangan pasca Orde Baru
memperlihatkan dinamisasi Islam politik yang luar biasa. Kemunculan Orde
Reformasi yang memberikan kebebasan bagi seluruh kekuatan politik membawa
landmark baru, yakni “penghijauan” dunia politik Indonesia. Gejala ini bisa di
identifikasi dari beberapa hal, diantaranya kemunculan partai-partai Islam (baik yang
berasas Islam maupun Pancasila) secara mencolok, disahkannya Perda Syari‟at di
beberapa daerah, diskursus keislaman yang menguat dalam perbincangan nasional
serta islamisasi elite politik. Meskipun partai-partai Islam dalam tiga kali Pemilu,
tahun 1999, 2004 dan 2009, gagal meraih suara mayoritas, kepemimpinan kenegaraan
dan birokrasi pemerintahan memperlihatkan representasi kaum santri yang mencolok
yang tidak ada bandingannya dalam sejarah Indonesia pasca kolonial.

Melihat fakta di atas, menarik untuk dicermati bahwa Islam politik


bagaimanapun merupakan pilar penting Nasionalisme Indonesia. Islam dan
Nasionalisme adalah dua entitas yang tidak sama, tetapi dalam perjalanan sejarah dan
2
Eep Saefullah Fatah, Membangun Oposisi, (Bandung: Rosda, 1999), p. 201

4
politik di negeri ini keduanya terintegrasi dalam proses dialektis. Mendefinisikan
relasi keduanya dalam kerangka oposisional hanya akan melahirkan ketegangan dan
chaos yang kontra produktif bagi upaya pembangunan masyarakat yang berkeadilan.
Mayoritas muslim di Indonesia tidak bisa hanya dijadikan mitos statistik yang
abstrak, tetapi harus diberi saluran politik yang bisa menampung aspirasi dan
kepentingannya sejauh tidak bertentangan dengan kerangka konstitusional negara.
Jika katup politik bagi masyarakat muslim terus ditutup besar kemungkinan akan
muncul gejala radikalisme yang hanya akan bisa diatasi dengan penanganan yang
otoriter dan militeristik. Sebaliknya jika konfigurasinya semakin terbuka dan
akomodatif maka politik muslim akan berkembang wajar sejalan dengan mekanisme
demokrasi yang diinginkan. Pertumbuhan dan perkembangan Nasionalisme diawal
abad dua puluh memberikan catatan tersendiri bagi sumbangsih Islam politik.
Demikian pula berbagai kenyataan sejarah yang terjadi setelahnya.

Nasionalisme merupakan suatu paham kebangsaan yang dikembangkan dalam


rangka mempersatukan semua elemen yang ada pada suatu bangsa. Hal ini didasarkan
pada rasa cinta terhadap tanah air, bangsa dan negara serta idiologi dan politik.
Nasionalisme juga diartikan sebagai suatu sikap politik dan sosial dari kelompok
masyarakat yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, wilayah, serta kesamaan cita-
cita dan tujuan. Mereka merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap
kelompok-kelompok yang lain dalam satu bangsa. Dalam wacana sejarah selama ini,
tonggak kebangkitan Nasionalisme biasanya dialamatkan pada organisasi Budhi
Oetomo yang berdiri tahun 1908.3

Pada perkembangannya, Islam terus mengalamin dinamisme dalam ranah


politik, kelak muncul gagasan islam kultural. Dengan tampilnya “Islam Kultural”
serta penerimaan Asas Pancasila, maka tercipta formulasi baru hubungan antara
negara dan kekuatan-kekuatan Islam. Usaha mereka tidak untuk menolak politik,
tetapi untuk menyusun kembali hubungan antara agama dan politik di dalam
masyarakat yang pluralis. Para aktifis baru tersebut berusaha mengembangkan format
pollitik di mana substansi bukan bentuk yang menjadi titik tekan utama. Dua unsur
penting, yaitu “keislaman” dan “keindonesiaan” harus diintegrasikan secara harmonis.

3
Gamal Komandoko, Boedi Oetomo Awal Kebangkitan Kesadaran Bangsa, (Yogyakarta: Med Press,
2014), p. 20

5
Dalam analisis Bahtiar Effendy, gerakan Islam baru ini memasuki tiga wilayah
utama, yaitu (1) pembaharuan pemikiran keagamaan (2) pembaharuan
politik/birokrasi, dan (3) transformasi sosial.4

Pada level yang pertama, yaitu pembaharuan pemikiran keagamaan para


aktifisnya mencoba mensintesakan antara dasar-dasar teologis/filosofis keislaman
dengan realitas keindonesiaan. Mereka menyatakan bahwa banyak ajaran-ajaran
agama yang selama ini dipraktekkan dipahami secara parsial/tekstual sehingga
mengakibatkan kesenjangan antara teks-teks keagamaan dengan realitas yang
dihadapi masyarakat. Untuk itu mereka melancarkan pembaharuan dalam bidang
keagamaan secara menyeluruh dengan memunculkan ide-ide keislaman baru yang
antara lain adalah desakralisasi, pribumisasi, dan reaktualisasi ajaran Islam. Para
pembaharu dalam bidang ini diantaranya adalah Nurcholis Madjid, Abdurrahman
Wahid, Munawwir Sadzjali, Dawam Rahardjo, dan Djohan Effendi.

Pada wilayah yang kedua, yaitu pembaharuan politik/birokrasi, bergerak


dalam upaya menjadi bagian dari politik dan birokrasi pemerintah sambil melakukan
pembaharuan. Aksi mereka penting dalam melahirkan proyek “Islamisasi Birokrasi”
di tahun 1980-an. Mereka percaya bahwa ketegangan antara Islam dan negara akan
mencair apabila pemikir dan aktifis muslim melibatkan diridan berpartisipasi aktif
dalam politik dan birokrasi negara. Aktifis dari kalangan ini diantaranya adalah
Dahlan Ranuwihardja, Hartono mardjono, Akbar Tanjung, Mar‟i Muhammad, dan
lain sebagainya.

Sedangkan pada level yang ketiga, yaitu transformasi sosial, mencoba


mengalihkan perhatian yang selama ini terfokus pada cita-cita negara Islam dengan
berbagai variasinya kearah pemberdayaan soial-ekonomi umat. Dalam uraian mereka,
proyek pembangunan yang selama ini dilakukan pemerintah hanya memperkuat
negara dan menguntungkan segelintir elit, sedangkan mayoritas umat masih terpuruk
dalam kemiskinan dan kebodohan. Mereka kemudian memunculkan sejumlah
program yang bertujuan memperkuat masyarakat, terutama pedesaan, dalam ekonomi,
sosial, pendidikan dan lain sebagainya. Para aktifis dari kalangan ini adalah Sudjoko
Prasodjo, Adi Sasono, Dawam Rahardjo, serta beberapa eksponen muda dari Ormas
Islam. Untuk tujuan itu mereka kemudian menjadikan pesantren sebagai pintu masuk
4
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,
(Jakarta:Paramadina, 1998), p. 125

6
utama karena selama ini institusi itu memiliki basis yang kuat di kalangan muslim
pedesaan. Maka diperkenalkanlah sejumlah program pemberdayaan yang melibatkan
tokoh dan aktifis pesantren, terutama dikalangan NU.5

Dinamisme baru yang diperlihatkan gerakan Islam sejak 1980-an pada


dasarnya menunjukkan bahwa bentuk artikulasi politik Islam tidak monolitik, tetapi
plural sebanding dengan variasi keberislaman itu sendiri. Hasil penting gerakan
tersebut adalah pemberdayaan di berbagai level sehingga islamisasi muncul dengan
cara yang begitu kuat dan membuktikan “filsafat garam” dari Mohammad Hatta jauh
sebelumnya. Gerakan tersebut tidak berarti pupusnya aktivisme politik islam, tetapi
tidak lain merupakan politik resiliensi atas berbagai tekanan di masa Orba yang
nantinya akan sangat berpengaruh bagi bangkitnya kembali Islam politik dalam
panggung politik Indonesia pasca reformasi 1998, suatu bentuk artikulasi baru yang
jauh dari monolitik.

B. Politik Indonesia Pasca Reformasi


Memahami politik Indonesia setelah reformasi hanya mungkin dilakukan jika
sejarah politik Indonesia pada periode sebelumnya telah dikaji dengan baik, demikian
pula pemahaman mengenai potret Islam politik hanya bisa terjadi jika perjalanannya
dalam rentangan sejarah yang panjang sejak awal abad dua puluh telah dibahas jelas
dalam studi yang objektif. Persoalan ini penting dikemukakan mengingat adanya
kecenderungan untuk melihat Islam politik pasca Orba sebagai fragmen yang terpisah.
Misalnya beberapa studiyang dilakukan terhadap PKS, partai yang dianggap sebagai
representasi paling baik dari Islam ideologis, menyimpulkan bahwa partai ini hanya
manifestasi pengaruh ideologi Pan-Islamisme dari gerakan Ikhwanul al-Muslimin di
Mesir. Akibatnya, PKS kerap kali dituding menyimpan agenda internasional yang
lebih loyal pada induk gerakannya di Mesir dari pada terhadap NKRI. Suatu bentuk
stigmatisasi yang agaknya sama dengan kejadian tahun 1960-an ketika PKI dianggap
lebih loyal kepada Komunisme Internasional poros Peking/Cina.

Studi akademik meniscayakan adanya eksplorasi beragam faktor yang


melahirkan peristiwa politik tertentu. Sebagai contoh kasus, PKS mungkin saja
meniru model ideologidan strategi Ikhwanul al-Muslimin sebagai faktor
heterochthonous, yakni unsur luar yang masuk dan tidak ada presedennya dalam
5
Martin Van Bruinessen, NU; Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, dan Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta:
LKiS,1999), p. 50

7
sejarah sendiri. Akan tetapi penting diingat bahwa betapapun kuatnya unsur luar
tersebut, ia akan mengalami disjuncture.

Kemunculan partai-partai Islam pasca reformasi 1998 cukup mengejutkan


banyak kalangan. Kekuatan Islam politik yang dianggap telah terkubur selama Orba
berkuasa muncul kembali dalam suatu dinamisme baru, yang sekaligus menunjukkan
bahwa Islam politik memiliki resiliensi kuat di tengah-tengah rezim otoriter. Slogan
“Islam Yes, Politik Islam No” yang dulu menjadi jargon populer kini dimentahkan
oleh kegairahan banyak pihak mendirikan partai-partai berbasis Islam. Dari 48 partai
peserta Pemilu 1999, 20 diantaranya merupakan partai Islam. 20 partai Islam tersebut
memiliki variasi yang berbeda, baik pada tingkat asas kepartaian, basis massa, slogan,
espektasi politik, maupun fokus program. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa
ekspresi politik muslim pada dasarnya beragam. Hasil penelitian yang dilakukan
Zainal Abidin Amir terhadap lima partai Islamyang berbasis massa paling besar,
yakni PKB, PAN, PPP, PKS, dan PBR, memperlihatkan terjadinya pergeseran
paradigmatis yang berbeda dari partai generasi sebelumnya.6

Sungguhpun sebagian dari lima partai di atas, yaitu PKS, PPP, dan PBR,
masih mencantumkan asas formal Islam sebagai dasar kepartaian tetapi arah
kepartaiannya berdiri di atas paradigma yang baru. Dalam tujuan partai, tidak satupun
yang merumuskan cita-cita pendirian negara Islam ataupun pencantuman kembali
Piagam Jakarta. Untuk masalah yang terakhir, pasca Pemilu 1999 memang muncul
perdebatan kecil tentang Piagam Jakarta akan tetapi segera dengan cepat hilang
tergantikan oleh isu-isu lain. Mereka lebih memilih langkah politik pragmatis dan
inklusif dengan memasuki sistem politik yang tersedia untuk meraih akses besar
dalam proses pembuatan keputusan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip Islam. Isu-isu
lain seperti perbaikan ekonomi, pendidikan, penanggulangan bencana, pemberantasan
KKN, dan demokratisasi tampaknya lebih menarik minat. Sedangkan PAN dan PKB
bergerak lebih jauh lagi dengan memakai Pancasila sebagai asas partai.7

Kembali pada masalah Islam politik, partai-partai Islam, dengan variasi isu
dan gerakannya, tampaknya akan kembali masuk sebagai pemain utama dalam
panggung politik nasional. Meskipun partai-partai Islam dalam tiga kali Pemilu, tahun
1999, 2004 dan 2009, gagal meraih suara mayoritas, kepemimpinan kenegaraan dan
6
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003), p. 79
7
Asef Bayat, Post-Islamisme; Wajah Baru Islam Politik, (Yogyakarta: LkiS, 2002), p. 105

8
birokrasi pemerintahan memperlihatkan representasi kaum santri yang mencolok.
Dialektika antara Islam dan Nasionalisme telah merubah arah dari gerakan Islam.
Kenyataan yang seharusnya merubah persepsi masyarakat politik di Indonesia yang
semata-mata melihat Islam politik berangkat dan bertujuan sektarian. Dalam
konfigurasi perpolitikan nasional, kian terlihat dibutuhkannya suatu mekanisme yang
memberikan ruang aspirasi bagi Islam politik. Jika seluruh elemen bangsa setia
dengan upaya demokratisasi berdasarkan prinsip meritokrasi, mekanisme tersebut
sudah tersedia sehingga konstituen Islam politik tidak mengalami frustasi, apalagi
ketidakpercayaan, yang mendorong mereka ke arah ekstrimisme politik. Menenpatkan
kaitan antara Islam dan Nasionalisme dalam relasi oposisional hanya akan melahirkan
situasi yang kontra produktif, sebaliknya jika ditempatkan dalam relasi dialektis akan
menjadi raison d’etre bagi terwujudnya bangsa yang demokratis dan berkeadilan.

Pengalaman di awal abad duapuluh menunjukkan bahwa SI (Islam Politik)


merupakan landasan pertama perkembangan Nasionalisme di tanah Hindia Belanda.
Suatu hal yang juga menarik dikaji bahwa Komunisme yang sampai kini masih
menjadi „hantu‟ dalam kehidupan politik Indonesia, hanya bisa berkembang dan
memperoleh simpati luar biasadari rakyat melalui wadah SI. Perkembangan awal
Komunisme, baik ketika berwujud sekelompok kecil aktifis Nationale Indische Partij
(NIP) maupun dalam Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang
didirikan Hendrik Sneevlit tahun 1914, terbatas pada orang-orang Eropa dan kalangan
pribumi keturunan Eropa. Komunisme memperoleh aksentuasi yang nyata pada saat
ideologi tersebut berkembang di SI. SI Cabang Semarang yang dipimpin oleh Semaun
dan Darsosno kemudian menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). Jika
bersetuju dengan gagasan Nasakom (Nasionalisme, Agamis dan Komunis) Soekarno
sebagai tiga pilar kebangsaan, maka ketiganya tumbuh dan bersemaidi atas landasan
Islam Politik. Sebab itu, harapan juga dapat disandangkan pada partai- partai Islam
yang tumbuh pasca reformasi. Momentum reformasi bisa menjadi awal dari
perubahan-perubahan besar yang akan terjadi. Jawaban terhadap masalah tersebut
memang hanya mungkin dijawab oleh perkembangan sejarah yang akan terjadi
kemudian. Yang lebih penting saat sekarang adalah mendorong iklim politik
Indonesia lebih terbuka sehingga setiap aliran ataupun kelompok merasa
mendapatkan ruang kehidupan yanglayak di negeri ini.

9
C. Nasionalisme dan Demokrasi
Nasionalisme dan demokrasi sebagai pemikiran politik yang dibawa oleh
Barat menimbulkan berbagai respon intelektual dalam dunia Islam, yaitu munculnya
pemikiran pro dan kontra yang tidak ada habisnya untuk diperbincangkan. Pihak pro
beranggapan bahwa ide Nasionalisme dan demokrasi walau dibawa oleh Barat
ternyata nilai-nilainya bisa disesuaikan dengan Islam, sebaliknya pihak kontra
beranggapan bahwa isme-isme yang dibawa oleh Barat bertujuan untuk mendominasi
dunia Islam. Berbagai macam argumen yang mereka kemukakan untuk merespon dua
pemikiran politik tersebut.

Nasionalisme yang muncul dari perjuangan melawan kekuatan penjajah yang


berkuasa dan Nasionalisme yang berasal dari suatu negeri yang tidak pernah
mengalami penjajahan mengandung perbedaan yang sangat besar. Penjajahan yang
menyerang secara langsung harga diri suatu kelompok masyarakat, meninggalkan
sebuah trauma yanghanya bisa disembuhkan dengan waktu. Di Eropa nilai-nilai
nasionalis ada hubungannya dengan bangkitnya kelas menengah. Para raja
memanfaatkan Nasionalisme untuk mendapatkan dukungan dari kelas menengah
melawan golongan bangsawan dan gereja. Sebaliknya, Nasionalisme di dunia Islam
memiliki peran ganda, yaitu sebagai katalisator utama dari perpecahan kemaharajaan
Usmaniyah dan sebagai penyulut semangat massa melawan kekuasaan penjajah.

Wilayah Islam bersentuhan dengan ide Nasionalisme Prancis ketika Napoleon


menduduki Mesir tahun 1798 M. Salah satu ide yang dibawa Napoleon adalah ide
kebangsaan yang terkandung dalam maklumatnya, bahwa orang Prancis merupakan
suatu bangsa (nation) dan kaum Mamluk adalah orang asing yang datang ke Mesir
dari Kaukus. Jadi sungguhpun Mamluk Islam, tetapi berlain bangsa dengan orang
Mesir. Ide Nasionalisme ini memang belum serta merta mempengaruhi pemahaman
umat Islam Mesir waktu itu. Ide ini baru mengemuka dalam wacana pemikiran di
lingkungan Muslim saat pertama kali diajukan oleh al-Tahtawi.8

Rifa‟ah Rafi‟ al-Tahtawi yang pernah tinggal di Prancis (1826-1831), menjadi


tokoh yang berpengaruh dalam menyebarkan Gagasan Nasionalisme melalui bukunya
yang menggambarkan pengalaman dan pengamatannya atas kebangkitan
Nasionalisme di Eropa. Karenanya, tidaklah mengejutkan apabila pada pertengahan
8
Moh. Asror Yusuf, Persinggungan Islam dan Barat; Studi Pandangan Badiuzzaman Said Nursi, (Kediri:
STAIN Kediri, Press, 2009), p. 126

10
abad ke-19 istilah-istilah semacam tanah air, bangsa dan konsep-konsep terkait
lainnya mulai muncul dalam bahasa Arab dan Turki. 9 Dia menyatakan pentingnya
Patriotisme (hubb al-waṭan) untuk dimiliki setiap orang. Patriotisme adalah dasar
yang kuat untuk mendorong orang mendirikan suatu masyarakat yang mempunyai
peradaban. Dengan ide hubb al-waṭan ini, maka pemahaman “seluruh dunia Islam
adalah tanah air bagi setiap muslim” telah bergeser tekanannya. Tanah air sekarang
ditekankan artinya pada tumpah darahseseorang, bukan seluruh dunia Islam.
Menurutnya, patriotisme suatu sarana untuk mengawasi gap antara wilayah Islam dan
Barat. Para pendukung Nasionalisme awal ini beranggapan, bahwa kaum muslim
seharusnya meminjam ilmu pengetahuan yang dikembangkan Barat, sembari tetap
teguh pada ajaran Islam yang sejati.10

Menurut Ziauddin Sardar, Pan-Arabisme agresif yang berkobar-kobar di masa


Abdul Nasser merupakan ungkapan perasaan anti penjajah. Pada masa pasca
penjajahan, perasaan ini tetap tertanam untuk melawan Imperialisme, suatu hasil
“kemajuan ideologis” di bawah pengaruh Marxisme. Di negeri Parsi, Reza Syah
Pahlavi mengiklankan suatu Nasionalisme Parsi yang mendasarkan diri pada kultur
Parsi yang dicampur dengan ajaran Syi‟ah agar bisa menjadi adonan yang enak.11

Bila menengok perkembangan demokrasi Indonesia, sebagaimana dituturkan


Moh. Hatta, sumber demokrasi, tegasnya demokrasi sosial di Indonesia ada tiga; a)
Sosialisme Barat yang membela pronsip-prinsip kemanusiaan yang sekaligus
dipandang sebagai tujuan demokrasi, b) Ajaran Islam yang memerintahkan kebenaran
dan keadilan Tuhan dalam masyarakat, c) Pola hidup dalam bentuk kolektivisme
sebagaimana terdapat di desa-desa di Indonesia. Hatta berkeyakinan bahwa fondasi
demokrasi di Indonesia sudah cukup solid karena didukung oleh kombinasi tiga
kekuatan sosio-religius di atas yang sudah mengakar dalam sebagian besar
masyarakat kita.12

Pencarian bagi bentuk demokrasi yang cocok di Indonesiadimulai ketika


persiapan kemerdekaan 1945, terutama dalam kerangka pembahasan mengenai
9
Moh. Asror Yusuf, Persinggungan Islam dan Barat; Studi Pandangan Badiuzzaman Said Nursi, (Kediri:
STAIN Kediri, Press, 2009), p. 123
10
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga
Postmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), p. 27
11
Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Islam, (Bandung: Mizan, 1991), p. 80
12
Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik; Teori belah Bambu Demokrasi Terpimpin (1959-1965),
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), p. 197

11
konstitusi Indonesia. Ada tiga konsep demokrasi yang digunakan untuk menandai
berbagai sistem politik Indonesia, yaitu demokrasi liberal atau demokrasi parlementer
(1950-1958), demokrasi terpimpin (1959-1965) dan demokrasi pancasila (1966
hingga sekarang). 13 Sebagaimana di sebagian besar negara berkembang lainnya,
demokrasi di Indonesia belum diwujudkan secara penuh, dan masih bergerak
menujuideal. Ini dibuktikan dengan belum cukupnya kebebasan pers, banyaknya
protes akan kecurangan hasil pemilu dan lain sebagainya. Bahkan dalam sejarahnya,
demokrasi terpimpin ciptaan Bung Karno pada hakikatnya adalah sistem politik
otoriter yang ditutupi dengan jubah demokrasi. Penyimpangan demokrasi tidak hanya
terjadi diIndonesia, tapi juga di berbagai negara. Bila Soekarno di Indonesia
menggunakan istilah demokrasi terpimpin, maka Nasser menggunakan istilah
demokrasi tanpapartai, Ayub Khan menamakan demokrasi dasar, Mao Ze Dong
menamakan rezimnya ”Republic of New democracy” atau “socialist democracies”.14

Jubah-jubah semacam ini hanyalah rekayasa untuk menutupi kecenderungan


otoriter pada sebagian pemimpin puncak suatu bangsa. Proses demokratisasi ini tidak
hanya bergantung pada kehendak politik pemerintah, tetapi juga bergantung pada
kondisi dan tuntutan masyarakat itu sendiri, khususnya tingkat kesejahteraan ekonomi
dan pendidikan masyarakat, serta sifat dasar budaya tradisional yang sebagian tidak
selaras dengan budaya demokrasi. Identitas Indonesia yang berbasis pada masyarakat
multikultural dapat menjadi wadah pengembangan demokrasi di Indonesia.15

D. Ide Khilafah
Runtuhnya Baghdad pada pertengahan abad XIII M, akibat serangan bangsa
Mongol menandai berakhirnya masa kejayaan Islam. Sejak saat itu, kekuatan politik
Islam mengalami kemunduran secara drastis, bahkan wilayah kekuasaannya tercabik-
cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu dengan yang lain saling bermusuhan
bahkan saling memerangi.16

Baru pada abad XVI M. muncul tiga kerajaan besar yangmenggantikan posisi
Dinasti Abbasiyah. Pertama, Turki Usmani yang bermazhab Sunni, di Turki. Kedua,
13
Masykur Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim Indonesia
Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), p. 14
14
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, (Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-
1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), p. 198
15
Tim Indonesian Center for civic Education (ICCE) UIN Syarif Hidayatullah, Peny. A Ubaedillah dkk,
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, p. 162
16
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), p.129

12
Safawi yang bermazhab Syiah di Persia, dan terakhir Mughal yang bermazhab Sunni
di Anak Benua India. Diantara tiga kerajaan tersebut, Turki Utsmani yang terbesardan
paling lama bertahan bahkan kekuasaannya meliputi kawasan Timur Tengah dan
bagian Timur Benua Eropa. Namun Kerajaan Turki Utsmani yang dipandang sebagai
khalifah dan pemerintahan Islam sedunia tidak dapat mempertahankan eksistensinya.
Ia dibubarkan pada bulan Maret 1924 setelah pembentukan Negara nasional sekuler
Republik Turki yang dipelopori oleh Kemal Attaturk. Dengan demikian institusi yang
dipandang sebagai lambang supremasi politik Islam lenyap. 17 Kehancuran khilafah
Utsmani telah membuat umat Islam kehilangan wibawa kekuasaan di matadunia,
umat Islam yang dulu jaya dan menjadi imam peradaban kini harus menjadi anak
yatim yang selalu diperlakukan dengan tidak adil. Pikiran mereka terpecah oleh
adanya sebuah sistem pemerintahan yang disebut dengan nasionalisme dimana Islam
bukan lagi sebagai perekat utama bagi kehidupan mereka.18

Menurut Munawir Sadzali penyebab runtuhnya kerajaan-kerajaan besar pasca


kerajaan Abbasiyah seperti Turki Utsmani lebih disebabkan oleh disintegrasi politik
dengan melemahnya otoritas di masing-masing pemerintah pusat dan munculnya
penguasa semi otonom di berbagai daerah dan provinsi negara-negara tersebut,
disertai dengan disalokasi sosial, memburuknya situasi ekonomi akibat persaingan
dagang dengan negara-negara Eropa, kalah perang, serta merosotnya spiritualitas dan
moralitas masyarakat, terutama para penguasa.19 Sejak saat itu pula kaum muslimin di
berbagai Negara di dunia selalu berusaha menemukan kembali serta membangun
kembali sistem politik Islam. Seperti ide pembentukan kembali Negara khilafah yang
diprakarsai oleh Hasan al-Banna dengan mendirikan gerakan Ikhwanul Muslimin
pada tahun 1928. Namun, gerakan-gerakan tersebut dimusuhi dan ditekan oleh
penguasa-penguasa, bahkan di negara-negara Islam sendiri.

Gerakan tersebut kemudian menyebar ke seluruh negeri dan dunia, tak


terkecuali Indonesia. Banyak pro dan kontra bermunculan menyikapi isu yang di
usung olehgerakan tersebut. Belakangan, wacana sistem khilafah dijadikan agenda
utama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai bagian dari Hizbut Tahrir yang

17
Abd. Mu’in Salim, Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja
GrafindoPersada, 1995), p. 2
18
Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniah, Terj. Samson Rahman,
(Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2003), p. 19
19
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Edisi 5, (Jakarta: PT. UI Press, 1993), p. 111

13
berskalain ternasional. Menurut HTI: bahwasanya problematika utama yang menimpa
kaum Muslimin saat ini disebabkan tidak diterapkannya hukum-hukum Islam di
tengahmasyarakat‟. Satu-satunya wadah yang mampu menjamin penerapan sistem
dan hukum-hukum Islam secara total di tengah-tengah masyarakat hanyalah khilafah
al-Islamiyah. Gagasan HTI tersebut mendapat penolakan khususnya dari
Muhammadiyah, al-Washliyah dan Nadhlatul Ulama, ketiga ormas terbesar di
Indonesia ini dengan berbagai alasan. Salah satu alasannya adalah bahwa Indonesia
merupakan negara Pancasila yangdihuni oleh berbagai macam ragam budaya.
Indonesia juga bukan negara yang berideologi Islam. Sejak dibubarkannya sistem
khilafah di Turki sebenarnya sudah muncul perbedaan pendapat di kalangan para
pemikir maupun aktivisi politik Islam saatitu, tentang perlu atau tidak menegakkan
kembali sistem khilafah. Sebab, baik ayat-ayat al-Qur‟an maupun hadis-hadis Nabi
yang dijadikan dasar hukum wajib didirikannya khilafah ternyata hanya berbicara
tentang perlunya kepemimpinan menurut ketiga ormas tersebut diatas.

Mewakili Muhammadiyah Misalnya, Din Syamsuddin mengatakan “Silakan


saja HTI menganggap khilafah islamiyah sebagai kepemimpinan islam. tetapi dalam
islam, makna khilafah sangat luas dan banyak persepsi. misalnya, setiap orang adalah
khalifah atau pemimpin dalam dirinya sendiri. Al Washliyah mengatakan Demokrasi
diintepretasikan di Indonesia adalah sebuah teori dan undang-undang yang dibuat
mengacu kepada wahyu (Alqur‟an dan Sunnah) yang bertujuan agar interpretasi
wahyu dalam memaknai dan menjalankan roda 4 pilar dan nasionalis di Indonesia
khususnya, tidak liar yang menyebabkan bangsa ini terus dirundung mala petaka
konflik berkepanjangan yang akan menyebabkan NKRI ini hancur dan terbelah. Prof.
Dr. Syeikh Said Thanthawi (Grand Syekh Al Azhar Mesir) mengatakan: “Negara
Islam itu tidak ada, yang ada adalah negara Islami” artinya apapun bentuk negara
tersebut selagi undang-undang negaranya tidak bertentangan dengan hukum Islam,
maka itulah yang dikatakan dengan negara yang Islami (yang bersifat Islam).”

Sementara itu Nahdatul Ulama (NU), mengatakan bahwa khalifah itu hanya
berlangsung selama tiga puluh tahun (30) setelah wafatnya Nabi SAW, yaitu masa-
masa pemerintahan Sahabat, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali ra. Dan setelah
mereka adalah para raja yang berkuasa dengan tangan besi. Nahdatul Ulama yang
mengatakan bahwa menegakkan Khilafah tidaklah Wajib, melainkan sebuah pilihan
karena Hujjahnya lebih kuat, dari pada pendapat Hizbut Tahrir Indonesia, ini

14
dibuktikan dengan pendapat Hizbut Tahrir Indonesia yang mengemukakan dalil dari
Bisyarah (Kabar Gembira), atau bisa dikatakan mereka berhujjah atas dalil Motivasi
saja. Hizbut Tahrir Indonesia mengemukakan dalil dari Hadits Riwayat Muslim No
3429, hadits riwayat Ahmad No17680, 22030 dan 16344, adalah kurang tepat sasaran
karena Hadits-hadits tersebut dapat di Naskah oleh Hadits-hadits yang dikemukakan
oleh Nahdatul ulama yakni (Mansukh) Hadits Riwayat Ahmad No 20910 dan al-
Tirmidzi No 2152, hadits Riwayat Muslim 3393 dan lain-lainnya, bahkan para
ulamapun sepakat bahwa Khilafah itu adalah sebuah pilihandan bukannya syariat
yang wajib dilaksanakan.

“Muhammadiyah menolak paham yang memutlakkan sistem kekhilafahan


Islam yang disertai sikap menegasikan pilihan politik Islam lainnya dengan menuding
sebagai sistem di luar Islam (tidak lslami, sistem thaghut), lebih-lebih apabila disertai
gerakan untuk mengganti sistem politik yang telah berlaku pada setiap negara Islam
atau negara Muslim,” tegas Muhammadiyah, dalam pernyataan sikap yang
ditandatangani oleh Ketua Umum Haedar Nashir, dan Sekretaris Umum Abdul Mu‟ti.

Bagi Muhammadiyah, paham dan gerakan yang mewajibkan berdirinya negara


Khilafah lslamiyah di Indonesia tidaklah sejalan dan bahkan bertentangan dengan
konstitusi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Pada Muktamar ke-47 Tahun 2015 di Makassar, Muhammadiyah
memutuskan sebuah dokumen penting tentang “Negara Pancasila Dar al-Ahdi Wa al-
Syahadah.” Kandungan isinya ialah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan sejalan dengan ajaran Islam, sebagai hasil konsensus
nasional yang harus dibangun menuju terwujudnya cita-cita nasional. Sebagai hasil
konsensusnasional maka Negara Pancasila mengikat bagi seluruh institusi negara dan
komponen bangsa” tegas Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Oleh karena itu,
Muhammadiyah menolak segala paham, eksistensi organisasi, dan gerakan anti
Pancasila lainnya yang berusaha mengganti Dasar Negara Pancasila dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Hal yang sama juga di tegaskan al-Washliyah bahwa NKRI adalah harga mati,
MUI yang diwakili Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia KH Ma`ruf Amin
menyatakan jangan mempertentangkan antara agama dan Pancasila sebagai ideologi
dan dasar negara Indonesia. Pancasila, kata Ma`ruf, adalah solusi kebangsaan (hulul

15
wathaniyah) yang menjadi titik kesepakatan dan kompromi dalam berbangsa dan
bernegara. Bahkan, roh agama menjadi kekuatan besar yang mengilhami kelahiran
Pancasila itu.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pasca orde baru tampilan kepemimpinan politik Islam di pentas nasional,


terasa semakin jauh dari espektasi umat Islam di Indonesia, yakni tampilnya
kepemimpinan politik Islam yang ideal karena memiliki legitimasi, efektivitas kinerja
dan akuntabillitas kepemimpinan. Kepemimpinan dari kalangan politik Islam gagal
memainkan peran utama dalam panggung yang mereka sendiri ikut membangunnya,
realitas tersebut mengharuskan adanya reafirmasi pemikiran politik Islam sebagai
upaya menemukan jalan baru bagi relevansi dan kompatibilitas Islam dan demokrasi
di Indonesia. Reafirmasi tersebut merupakan perumusan visi strategis Islam tentang
bangsa dan bagaimana partai dan cendikiawan Islam memposisikan diri dalam
merespon masalah-masalah kebangsaan.

Indonesia yang kaya akan suku dan beragam akan agama berdiri di atas
demokrasi Pancasila yang mengakomodir semua kepentingan masyarakat yang hidup
didalamnya. Indonesia bukanlah negara teokrasi. Banyak tanggapan yang mengenai
ide nasionalisme dan islamisme serta demokrasi bukan khilafah. Hal itu sangatlah
wajar karena kesemuanya adalah sebuah konstruksi cara berpikir yang masing-masing
memiliki parameternya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykur. Demokrasi di Persimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim


Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993).
Amir, Zainal Abidin. Peta Islam Politik Pasca Soeharto. Jakarta: LP3ES, 2003.
Ash-Shalabi, Ali Muhammad. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniah, Terj. Samson
Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga
Postmodernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
Bayat, Asef. Post-Islamisme; Wajah Baru Islam Politik. Yogyakarta: LKIS, 2002.
Bruinessen, Martin Van. NU; Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, dan Pencarian Wacana Baru.
Yogyakarta: LKIS, 1999.
Effendi, Bahtiar. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998).
Fatah, Eep Saefullah. Membangun Oposisi. Bandung: Rosda, 1999.
Fiqh Siyasah, Abd. Mu‟in Salim. Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Islam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1995.
Komandoko, Gamal. Boedi Oetomo Awal Kebangkitan Kesadaran Bangsa. Yogyakarta: Med
Press, 2014.
Maarif, Ahmad Syafi‟i. Islam dan Politik; Teori belah Bambu Demokrasi Terpimpin (1959-
1965). Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1995.
Sardar, Ziauddin. Rekayasa Masa Depan Peradaban Islam. Bandung: Mizan, 1991.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: PT. UI Press, 1993.
Tim Indonesian Center for civic Education (ICCE) UIN Syarif Hidayatullah, Peny. A
Ubaedillah dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Yusuf, Moh. Asror. Persinggungan Islam dan Barat; Studi Pandangan Badiuzzaman Said
Nursi. Kediri: STAIN Kediri, Press, 2009.

Anda mungkin juga menyukai