Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah “Politik Islam di Indonesia”
Dosen Pengampu : Dr. H. Muhammad Shofin Sugito, M. A
Disusun Oleh :
Kelompok 11
SPI 4 C
Dalam proses penyusunannya tak lepas dari bantuan, arahan dan masukan dari
berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya dalam
menyelesaikan makalah ini.
Meski demikian, penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dan kekeliruan
di dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tanda baca, tata bahasa maupun isi. Sehingga
penulis secara terbuka menerima segala kritik dan saran positif dari pembaca.
Demikian apa yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
untuk masyarakat umumnya, dan untuk kami sendiri khususnya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nasionalisme merupakan sikap politik masyarakat yang mempunyai kesamaan
wilayah, budaya, bahasa, idiologi, cita-cita dan tujuan, kemudian mengkristal menjadi
paham kebangsaan. Paham ini berkembang lalu mempengaruhi politik kekuasaan
dunia dan berdampak luas bagi negara-negara bangsa. Ketika nasionalisme masuk di
dunia Islam, mereka sudah memiliki nilai-nilai universal yang dianut masyarakat
muslim sebagai unsur pemersatu. Umat Islam senyikapi nasionalisme ini beragam,
ada yang menerima, ada yang apriori, dan ada yang menolak. Sebagian umat Islam
berpendapat bahwa nasionalisme murni adalah nasionalisme Eropa yang sekuler.
Hanya ini yang dapat dijadikan energi Perubahan sosial politik di dunia Islam.
Sebagian lain berpendapat bahwa nasionalisme ala Eropa adalah sekuler,
mengabaikan agama, yang menyebabkan lemahnya dunia Islam. Islam tidak
kompatibel dengan nasionalisme, karena secara ideologis saling berlawanan. Ia
bersifat nasional-lokal, sedangkan Islam bersifat universal. Sebagian lagi umat Islam
bersikap netral, nasionalisme harus memperhatikan kepentingan seluruh warga bangsa
dengan basis ukhuwah Islamiyah. Nasionalisme ini merupakan bagian integral dari
konsep “Pemerintahan Madinah” dan Ini yang disebut nasionalisme Islam. Paham
nasionalisme Islam ini lalu menjadi spirit dan inspirasi kaum muslimin secara global
untuk bangkit dan membebasakan negara-negara Islam dari kolonialisme negara-
negara Eropa. Di beberapa negara Islam, paham nasionalisme Islam menjadi alat
pemersatu sekaligus alat perjuangan untuk merebut kemerdekaan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Nasionalisme dan Islamisme?
2. Bagaimana politik Indonesia pasca reformasi?
3. Bagaimana hubungan Nasionalisme dan Demokrasi?
4. Bagaimana perkembangan Ide Khilafah?
1
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui maksud dari Nasionalisme dan Islamisme
2. Mengetahui kondisi politik pasca reformasi
3. Mengetahui hubungan Nasionalisme dan Demokrasi
4. Mengetahui perkembangan Ide Khilafah
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1995), p. 49
3
mengemuka adalah bagaimana menempatkan Islam dalam konteks kenegaraan yang
notabene multi-agama dan keyakinan. Meskipun pada akhirnya polemik itu berhasil
didamaikan dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, namun ketegangan
antara Islam dan negara tidak bisa dihilangkan begitu saja. Pemerintah, baik Orde
Lama maupun Orde Baru, menempatkan Islam politik sebagai pesaing kekuasaan
yang mengancam basis kebangsaan. Politik muslim dianggap berpotensi melahirkan
kekacauan nasional karena pengingkarannya terhadap identitas paling dasar dari
nasionalisme Indonesia, yaitu keragaman agama, etnisitas serta kebudayaan
penduduknya.2
4
politik di negeri ini keduanya terintegrasi dalam proses dialektis. Mendefinisikan
relasi keduanya dalam kerangka oposisional hanya akan melahirkan ketegangan dan
chaos yang kontra produktif bagi upaya pembangunan masyarakat yang berkeadilan.
Mayoritas muslim di Indonesia tidak bisa hanya dijadikan mitos statistik yang
abstrak, tetapi harus diberi saluran politik yang bisa menampung aspirasi dan
kepentingannya sejauh tidak bertentangan dengan kerangka konstitusional negara.
Jika katup politik bagi masyarakat muslim terus ditutup besar kemungkinan akan
muncul gejala radikalisme yang hanya akan bisa diatasi dengan penanganan yang
otoriter dan militeristik. Sebaliknya jika konfigurasinya semakin terbuka dan
akomodatif maka politik muslim akan berkembang wajar sejalan dengan mekanisme
demokrasi yang diinginkan. Pertumbuhan dan perkembangan Nasionalisme diawal
abad dua puluh memberikan catatan tersendiri bagi sumbangsih Islam politik.
Demikian pula berbagai kenyataan sejarah yang terjadi setelahnya.
3
Gamal Komandoko, Boedi Oetomo Awal Kebangkitan Kesadaran Bangsa, (Yogyakarta: Med Press,
2014), p. 20
5
Dalam analisis Bahtiar Effendy, gerakan Islam baru ini memasuki tiga wilayah
utama, yaitu (1) pembaharuan pemikiran keagamaan (2) pembaharuan
politik/birokrasi, dan (3) transformasi sosial.4
6
utama karena selama ini institusi itu memiliki basis yang kuat di kalangan muslim
pedesaan. Maka diperkenalkanlah sejumlah program pemberdayaan yang melibatkan
tokoh dan aktifis pesantren, terutama dikalangan NU.5
7
sejarah sendiri. Akan tetapi penting diingat bahwa betapapun kuatnya unsur luar
tersebut, ia akan mengalami disjuncture.
Sungguhpun sebagian dari lima partai di atas, yaitu PKS, PPP, dan PBR,
masih mencantumkan asas formal Islam sebagai dasar kepartaian tetapi arah
kepartaiannya berdiri di atas paradigma yang baru. Dalam tujuan partai, tidak satupun
yang merumuskan cita-cita pendirian negara Islam ataupun pencantuman kembali
Piagam Jakarta. Untuk masalah yang terakhir, pasca Pemilu 1999 memang muncul
perdebatan kecil tentang Piagam Jakarta akan tetapi segera dengan cepat hilang
tergantikan oleh isu-isu lain. Mereka lebih memilih langkah politik pragmatis dan
inklusif dengan memasuki sistem politik yang tersedia untuk meraih akses besar
dalam proses pembuatan keputusan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip Islam. Isu-isu
lain seperti perbaikan ekonomi, pendidikan, penanggulangan bencana, pemberantasan
KKN, dan demokratisasi tampaknya lebih menarik minat. Sedangkan PAN dan PKB
bergerak lebih jauh lagi dengan memakai Pancasila sebagai asas partai.7
Kembali pada masalah Islam politik, partai-partai Islam, dengan variasi isu
dan gerakannya, tampaknya akan kembali masuk sebagai pemain utama dalam
panggung politik nasional. Meskipun partai-partai Islam dalam tiga kali Pemilu, tahun
1999, 2004 dan 2009, gagal meraih suara mayoritas, kepemimpinan kenegaraan dan
6
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003), p. 79
7
Asef Bayat, Post-Islamisme; Wajah Baru Islam Politik, (Yogyakarta: LkiS, 2002), p. 105
8
birokrasi pemerintahan memperlihatkan representasi kaum santri yang mencolok.
Dialektika antara Islam dan Nasionalisme telah merubah arah dari gerakan Islam.
Kenyataan yang seharusnya merubah persepsi masyarakat politik di Indonesia yang
semata-mata melihat Islam politik berangkat dan bertujuan sektarian. Dalam
konfigurasi perpolitikan nasional, kian terlihat dibutuhkannya suatu mekanisme yang
memberikan ruang aspirasi bagi Islam politik. Jika seluruh elemen bangsa setia
dengan upaya demokratisasi berdasarkan prinsip meritokrasi, mekanisme tersebut
sudah tersedia sehingga konstituen Islam politik tidak mengalami frustasi, apalagi
ketidakpercayaan, yang mendorong mereka ke arah ekstrimisme politik. Menenpatkan
kaitan antara Islam dan Nasionalisme dalam relasi oposisional hanya akan melahirkan
situasi yang kontra produktif, sebaliknya jika ditempatkan dalam relasi dialektis akan
menjadi raison d’etre bagi terwujudnya bangsa yang demokratis dan berkeadilan.
9
C. Nasionalisme dan Demokrasi
Nasionalisme dan demokrasi sebagai pemikiran politik yang dibawa oleh
Barat menimbulkan berbagai respon intelektual dalam dunia Islam, yaitu munculnya
pemikiran pro dan kontra yang tidak ada habisnya untuk diperbincangkan. Pihak pro
beranggapan bahwa ide Nasionalisme dan demokrasi walau dibawa oleh Barat
ternyata nilai-nilainya bisa disesuaikan dengan Islam, sebaliknya pihak kontra
beranggapan bahwa isme-isme yang dibawa oleh Barat bertujuan untuk mendominasi
dunia Islam. Berbagai macam argumen yang mereka kemukakan untuk merespon dua
pemikiran politik tersebut.
10
abad ke-19 istilah-istilah semacam tanah air, bangsa dan konsep-konsep terkait
lainnya mulai muncul dalam bahasa Arab dan Turki. 9 Dia menyatakan pentingnya
Patriotisme (hubb al-waṭan) untuk dimiliki setiap orang. Patriotisme adalah dasar
yang kuat untuk mendorong orang mendirikan suatu masyarakat yang mempunyai
peradaban. Dengan ide hubb al-waṭan ini, maka pemahaman “seluruh dunia Islam
adalah tanah air bagi setiap muslim” telah bergeser tekanannya. Tanah air sekarang
ditekankan artinya pada tumpah darahseseorang, bukan seluruh dunia Islam.
Menurutnya, patriotisme suatu sarana untuk mengawasi gap antara wilayah Islam dan
Barat. Para pendukung Nasionalisme awal ini beranggapan, bahwa kaum muslim
seharusnya meminjam ilmu pengetahuan yang dikembangkan Barat, sembari tetap
teguh pada ajaran Islam yang sejati.10
11
konstitusi Indonesia. Ada tiga konsep demokrasi yang digunakan untuk menandai
berbagai sistem politik Indonesia, yaitu demokrasi liberal atau demokrasi parlementer
(1950-1958), demokrasi terpimpin (1959-1965) dan demokrasi pancasila (1966
hingga sekarang). 13 Sebagaimana di sebagian besar negara berkembang lainnya,
demokrasi di Indonesia belum diwujudkan secara penuh, dan masih bergerak
menujuideal. Ini dibuktikan dengan belum cukupnya kebebasan pers, banyaknya
protes akan kecurangan hasil pemilu dan lain sebagainya. Bahkan dalam sejarahnya,
demokrasi terpimpin ciptaan Bung Karno pada hakikatnya adalah sistem politik
otoriter yang ditutupi dengan jubah demokrasi. Penyimpangan demokrasi tidak hanya
terjadi diIndonesia, tapi juga di berbagai negara. Bila Soekarno di Indonesia
menggunakan istilah demokrasi terpimpin, maka Nasser menggunakan istilah
demokrasi tanpapartai, Ayub Khan menamakan demokrasi dasar, Mao Ze Dong
menamakan rezimnya ”Republic of New democracy” atau “socialist democracies”.14
D. Ide Khilafah
Runtuhnya Baghdad pada pertengahan abad XIII M, akibat serangan bangsa
Mongol menandai berakhirnya masa kejayaan Islam. Sejak saat itu, kekuatan politik
Islam mengalami kemunduran secara drastis, bahkan wilayah kekuasaannya tercabik-
cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu dengan yang lain saling bermusuhan
bahkan saling memerangi.16
Baru pada abad XVI M. muncul tiga kerajaan besar yangmenggantikan posisi
Dinasti Abbasiyah. Pertama, Turki Usmani yang bermazhab Sunni, di Turki. Kedua,
13
Masykur Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim Indonesia
Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), p. 14
14
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, (Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-
1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), p. 198
15
Tim Indonesian Center for civic Education (ICCE) UIN Syarif Hidayatullah, Peny. A Ubaedillah dkk,
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, p. 162
16
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), p.129
12
Safawi yang bermazhab Syiah di Persia, dan terakhir Mughal yang bermazhab Sunni
di Anak Benua India. Diantara tiga kerajaan tersebut, Turki Utsmani yang terbesardan
paling lama bertahan bahkan kekuasaannya meliputi kawasan Timur Tengah dan
bagian Timur Benua Eropa. Namun Kerajaan Turki Utsmani yang dipandang sebagai
khalifah dan pemerintahan Islam sedunia tidak dapat mempertahankan eksistensinya.
Ia dibubarkan pada bulan Maret 1924 setelah pembentukan Negara nasional sekuler
Republik Turki yang dipelopori oleh Kemal Attaturk. Dengan demikian institusi yang
dipandang sebagai lambang supremasi politik Islam lenyap. 17 Kehancuran khilafah
Utsmani telah membuat umat Islam kehilangan wibawa kekuasaan di matadunia,
umat Islam yang dulu jaya dan menjadi imam peradaban kini harus menjadi anak
yatim yang selalu diperlakukan dengan tidak adil. Pikiran mereka terpecah oleh
adanya sebuah sistem pemerintahan yang disebut dengan nasionalisme dimana Islam
bukan lagi sebagai perekat utama bagi kehidupan mereka.18
17
Abd. Mu’in Salim, Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja
GrafindoPersada, 1995), p. 2
18
Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniah, Terj. Samson Rahman,
(Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2003), p. 19
19
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Edisi 5, (Jakarta: PT. UI Press, 1993), p. 111
13
berskalain ternasional. Menurut HTI: bahwasanya problematika utama yang menimpa
kaum Muslimin saat ini disebabkan tidak diterapkannya hukum-hukum Islam di
tengahmasyarakat‟. Satu-satunya wadah yang mampu menjamin penerapan sistem
dan hukum-hukum Islam secara total di tengah-tengah masyarakat hanyalah khilafah
al-Islamiyah. Gagasan HTI tersebut mendapat penolakan khususnya dari
Muhammadiyah, al-Washliyah dan Nadhlatul Ulama, ketiga ormas terbesar di
Indonesia ini dengan berbagai alasan. Salah satu alasannya adalah bahwa Indonesia
merupakan negara Pancasila yangdihuni oleh berbagai macam ragam budaya.
Indonesia juga bukan negara yang berideologi Islam. Sejak dibubarkannya sistem
khilafah di Turki sebenarnya sudah muncul perbedaan pendapat di kalangan para
pemikir maupun aktivisi politik Islam saatitu, tentang perlu atau tidak menegakkan
kembali sistem khilafah. Sebab, baik ayat-ayat al-Qur‟an maupun hadis-hadis Nabi
yang dijadikan dasar hukum wajib didirikannya khilafah ternyata hanya berbicara
tentang perlunya kepemimpinan menurut ketiga ormas tersebut diatas.
Sementara itu Nahdatul Ulama (NU), mengatakan bahwa khalifah itu hanya
berlangsung selama tiga puluh tahun (30) setelah wafatnya Nabi SAW, yaitu masa-
masa pemerintahan Sahabat, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali ra. Dan setelah
mereka adalah para raja yang berkuasa dengan tangan besi. Nahdatul Ulama yang
mengatakan bahwa menegakkan Khilafah tidaklah Wajib, melainkan sebuah pilihan
karena Hujjahnya lebih kuat, dari pada pendapat Hizbut Tahrir Indonesia, ini
14
dibuktikan dengan pendapat Hizbut Tahrir Indonesia yang mengemukakan dalil dari
Bisyarah (Kabar Gembira), atau bisa dikatakan mereka berhujjah atas dalil Motivasi
saja. Hizbut Tahrir Indonesia mengemukakan dalil dari Hadits Riwayat Muslim No
3429, hadits riwayat Ahmad No17680, 22030 dan 16344, adalah kurang tepat sasaran
karena Hadits-hadits tersebut dapat di Naskah oleh Hadits-hadits yang dikemukakan
oleh Nahdatul ulama yakni (Mansukh) Hadits Riwayat Ahmad No 20910 dan al-
Tirmidzi No 2152, hadits Riwayat Muslim 3393 dan lain-lainnya, bahkan para
ulamapun sepakat bahwa Khilafah itu adalah sebuah pilihandan bukannya syariat
yang wajib dilaksanakan.
Hal yang sama juga di tegaskan al-Washliyah bahwa NKRI adalah harga mati,
MUI yang diwakili Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia KH Ma`ruf Amin
menyatakan jangan mempertentangkan antara agama dan Pancasila sebagai ideologi
dan dasar negara Indonesia. Pancasila, kata Ma`ruf, adalah solusi kebangsaan (hulul
15
wathaniyah) yang menjadi titik kesepakatan dan kompromi dalam berbangsa dan
bernegara. Bahkan, roh agama menjadi kekuatan besar yang mengilhami kelahiran
Pancasila itu.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia yang kaya akan suku dan beragam akan agama berdiri di atas
demokrasi Pancasila yang mengakomodir semua kepentingan masyarakat yang hidup
didalamnya. Indonesia bukanlah negara teokrasi. Banyak tanggapan yang mengenai
ide nasionalisme dan islamisme serta demokrasi bukan khilafah. Hal itu sangatlah
wajar karena kesemuanya adalah sebuah konstruksi cara berpikir yang masing-masing
memiliki parameternya.
17
DAFTAR PUSTAKA