Anda di halaman 1dari 11

Makalah Pancasila dan Hubungannya dengan Ajaran Islam

Dosen Pengampu:

Ririn fauziyah M.H.I

Disusun oleh:

1. Moh Nur Hidayatullah (210401002)


2. Ummi Hanifah (210401008)

Universitas Nahdlatul Ulama’ Sunan Giri Bojonegoro

Fakultas Syariah dan Adab

Hukum Ekonomi Syariah

2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.,

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan kenikmatnya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu yang ditentukan. Shalawat dan salam
semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW. Makalah yang berjudul
“Pancasila dan Hubungannya dengan Ajaran Islam” ini disusun guna memenuhi tugas Ririn Fauziyah
M.H.I dari mata kuliah Pendidikan Pancasila. Tak lupa ucapan terimakasih kami ucapkan kepada
semua pihak yang telah membantu kami sehingga makalah kami dapat terselesaikan dengan
baik.Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna baik dalam segi
bahasa,penyusunan, maupun pengetikannya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran untuk
kami terkait makalah ini agar kami bisa menyusun makalah lebih baik lagi.

Sekali lagi kami selaku penulis mengucapkan maaf dan terimakasi dan memohon maaf
sebesarbesarnya kepada para pembaca makalah ini.

Wassalamu’alaikum Wr, Wb,.

Bojonegoro, 15 Desember 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................................................2

Daftar Isi.................................................................................................................................................3

BAB I ......................................................................................................................................................4

Pendahuluan..........................................................................................................................................4

I. Latar belakang...........................................................................................................................4
II. Rumusan Masalah.....................................................................................................................4
III. Tujuan........................................................................................................................................4

BAB II......................................................................................................................................................5

Pembahasan...........................................................................................................................................5

A. Hubungan antara Islam dan Pancasila.......................................................................................5


B. Relasi Islam dengan Pancasila...................................................................................,..............,.6
C. Pancasila dalam Perspektif Islam dan Hubungannya.................................................................7
D. Dinamika Pancasila Dan Agama Islam.......................................................................................8

BAB III....................................................................................................................................................11

Penutup................................................................................................................................................11

A. Kesimpulan..............................................................................................................................11
B. Saran........................................................................................................................................11

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperti diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah
peradaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara
keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara
bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad
pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern
sekarang ini). Diskusi mengenai agama dan negara masih terus berlanjut di kalangan para ahli. Pada
dasarnya yang diperdebatkan adalah perlu tidaknya campur tangan agama dalam urusan
kenegaraan. Oleh karenanya, kajian terhadap urgensi beragama dan bernegara menjadi sangat
penting. Dari sana kita akan dapat menyimpulkan sebarapa besar peranan agama terhadap negara.
Juga perlu dimengerti pandangan berbagai ideologi menyangkut masalah ini. Maka pada makalah ini
akan diuraikan tentang pentingnya bernegara dan beragama. Dilanjutkan dengan hubungan antara
agama dan negara ditinjau dari paham teokrasi, sekuleris dan komunis. Sehingga nantinya kita dapat
menyimpulkan seberapa penting keterlibatan agama dalam negara. Orientasi ke depan adalah kita
dapat menjelaskan relasi agama dan negara dalam berbagai ideologi, mampu menganalisa konsep
hubungan agama dan negara dalam Islam serta dapat mengkritisi hubungan agama dan negara di
Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hubungan antara Islam dan Pancasila?
2. Bagaimana relasi Islam dengan Pancasila?
3. Bagaimana Pancasila dalam Perspektif Islam dan Hubungannya?
4. Bagaimana Dinamika Pancasila dan agma Islam?

C. Tujuan
1. Mengetahui Hubungan antara Islam dan Pancasila
2. Mengetahui relasi dengan Pancasila
3. Mengetahui Pancasila dalam perspektif Islam dan hubungannya
4. Mengetahui dinamika Pancasila dan agma Islam

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hubungan antara Islam dan Pancasila

Kalau kita menengok kembali perdebatan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara NKRI di sidang
Konstituante 1957, tampak jelas bahwa keberatan kaum agama lain terhadap klaim keunggulan
Islam sebagai Dasar Negara adalah Islam dalam sejarahnya di dunia maupun di Indonesia masih
mengandung ketidakadilan dalam artian demokrasi modern. Prof Mr. R.A. Soehardi dari partai
Katholik dan perwakilan dari kaum nasionalis seperti Soedjatmoko dan sebaginya serta wakil agama
lain dalam sidang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila yang ada seperti
yang dijabarkan oleh pendiri Bangsa ada di setiap agama termasuk Islam maupun Katholik dan
sebagainya. Oleh karenanya, Pancasila lebih luas dan universal dari pada pandangan Islam yang
meletakkan umat agama lain dalam status dibawahnya (dzimmi, pen). Ada ketidakadilan yang
signifikan dalam menempatkan status dzimmi bagi bangsa yang didirikan diatas pengorbanan semua
kaum yang ingin menjadi satu bangsa dalam satu tatanan kenegaraan, NKRI. Keberatan lainnya
adalah bahwa fakta sejarah yang memperlihatkan bahwa penguasa dan kaum intelektual Islam
zaman dahulu di dunia maupun di Indonesia hingga kini selalu dalam perbedaan dalam
menginterpretasi dan memaknai (shariat) Islam. Bila direfleksikan pada kondisi sekarang ini, dunia
Islam seperti Iran dan Pakistan misalnya penuh dengan pertentangan ideologi Islam yang bahkan
menyeret umat Islam pada perpecahan yang berdarah antar sesama Muslim dan lebih senang
melupakan makna dan tujuan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena politik Islam selama ini lebih
cenderung pada politik ideologi daripada politik kebangsaan dan kebernegaraan. Politik shariat Islam
boleh jadi hingga kini masih berkutat pada politik interpretasi ideologi (teologis). Berdakwah politis
untuk mencapai satu shariat Islam sepertinya jauh dari pada kenyataan, dan ini akan berakibat fatal
karena nafsu syahwat kekuasaan politik lebih dominan dan menarik daripada niat untuk
membangun kehidupan yang rahmatan lil alamin dalam satu bangsa dan negara.

Umat Islam dan umat agama lainnya di Indonesia dalam kebangsaan yang tunggal ini sebenarnya
lebih memungkinkan untuk bekerjasama dalam membangun bangsa, lepas dari keterpurukkan
ekonomi maupun sosial, dan filsafat Pancasila disini bisa menjadi kalimat al sawaauntuk semua
golongan. Hal inilah yang sebenarnya menjadi ‘kesepakatan’ bersama dalam rekap laporan Komisi I
Konstituante Tentang Dasar Negara 1957. Nilai dan falsafah Pancasila bagi dasar negara Indonesia
tidak diragukan lagi ada di setiap agama yang menjunjung keadilan dan kemanusiaan. Sesuatu dasar
neagra yang memuat semua hal yang merupakan kepribadian luhur bangsa Indonesia, dijiwai
semangat revolusi 17 Agustus 1945 yang menjamin hak asasi manusia dan menjamin berlakunya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yang menjadikan musyawarah sebagai dasar segala perundingan
dan penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan, menjamin kebebasan beragama dan
beribadat dan berisikan sendi-sendi perikemanusiaan dan kebangsaan yang luas .

Terpuruknya suatu bangsa yang memiliki pandangan yang luhur seperti Indonesia kini bukanlah
kesalahan dan kegagalan dari dasar negaranya Pancasila. Bahkan fakta sosial bahwa banyak umat
agama yang terpuruk bukan berarti agama itu salah atau gagal. Pandangan bijak seperti ini
sebenarnya telah diucapkan oleh para wakil Komisi I di sidang Konstituante ini. Kiranya pernyataan
ini adalah pernyataan bijak yang abadi. Islam atau agama apapun dalam sejarah bangsa dan negara
di dunia ini banyak yang mengalami kegagalan dan kehancuran, hal ini dikarenakan penguasa saat

5
itu tidaklah demokratis dan menjunjung keadilan bagi terciptanya kesejahteraan rakyatnya. Hal itu
diperparah oleh elite penguasa dan agama yang korup, mementingkan kepentingan diri sendiri dan
kelompoknya. Pancasila juga mengalami hal itu terutama sejak (dan bila) penguasa melupakan
tujuan dari pancasila itu sendiri yakni menciptakan keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh
rakyatnya. Jadi bukan salah Pancasila apalagi Agama bila suatu bangsa terpuruk, namun lebih
daripada itu semua dalah kesalahan elite penguasa dan agama yang rakus pada kekuasaan dan
kemakmuran diri sendiri. Namun demikian, dibanding dengan agama yang selalu eksklusif sifatnya,
Pancasila dengan nilai demokratisnya lebih menjanjikan bagi suatu kebangsaan yang multi-segalanya
seperti Indonesia ini. Akan tetapi, bukan berarti dasar negara tidak boleh diganti (dengan suatu
agama misalnya) seperti yang diingatkan oleh Soedjamoko di Sidang Konstituante ini. Sebab bila
rakyat semua berkehendak untuk dirubah maka sah lah dasar negara yang disepakatinya nanti.
Walaupun demikian, Soedjatmoko mengingatkan bahwa tujuan dasar negara itu adalah untuk
menciptakan keadilan, kemanusiaan, dan kemakmuran sebesar-besarnya bagi seluruh bangsa. Hal
yang hanya bisa diciptakan dalam mekanisme demokrasi modern. Disinilah arti daripada demokrasi
modern bagi semua agama yang memiliki naluri eksklusifitas bisa direkonstruksi demi tujuan yang
lebih mulia yakni kemanusiaan yang adil dan beradab dalam mencapai kesejahteraan sosial dan
ekonomi serta politik yang seluas-luasnya. Demokrasi bukan berarti kesempatan bagi sekelompok
elite agama untuk memaksakan kehendaknya seperti halnya tampak dalam kasus akhir-akhir ini di
Indonesia lewat Islamisasi Perda maupun RUUP yang sepihak tanpa adanya musyawarah dan rasa
keadilan.

Meskipun begitu, nilai etik dan moral pada Pancasila sesungguhnya berasal dari nilai-nilai tradisi dan
agama itu sendiri yang tentu saja musti disempurnakan dengan imbangan nilai-nilai kemanusiaan
modern seperti yang dimaktub dalam deklarasi HAM. Doktrin Agama yang tumbuh dalam ruang dan
waktu sejarah tertentu jelas mengalami dislokasi dengan rasa budaya dan kemanusiaan yang ada,
apalagi agama yang datang dari satu daerah ke daerah lain. Dislokalitas dan temporalitas agama jelas
terkandung didalamya suatu nilai budaya tertentu -misal Islam dan Arab atau Kristen dan Barat.
Negoisasi dan akulturasi yang terjadi di ruang dan waktu sejarah selanjutnya juga ikut mewarnai
sosok agama tersebut hingga tercipta simbiosis semacam Islam Jawa atau Kristen Batak. Nilai-nilai
modern ini sebenarnya tumbuh dari pengalaman manusia dalam mencari dan mamaknai keadilan
dan kemanusiaan akibat perjumpaan antar dan inter agama dan budaya. Pancasila yang tumbuh dari
kepribadian bangsa inilah (yakni agama yang memiliki nilai demokrasi modern) yang akan mampu
membawa manusia menjalani dan mengekspresikan agamanya menjadi lebih dewasa. Beragama
dalam bingkai keindonesiaan berarti mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan berpancasila dalam
segala tindakan etik dan moral kita sejatinya buah dari religiusitas beragama yang dewasa dan
modern. Celakanya agama modern sekarang lebih berorientasi pada masa lalu yang dianggap otentik
dan murni, mirip dengan Pancasila di Zaman Orba yang memfosilkan Pancasila itu sendiri.

B. Relasi Islam Dengan Pancasila

Umat Islam menerima pancasila hanyalah sebagai dasar negara,tidak lebih daripada itu karena umat
Islam memiliki pedoman/pandangan hidup sendiri yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits .Al-Qur’an tidak
bisa disamakan atau dibandingkan apalagi di ganti, dengan pancasila.Pancasila bukan wahyu,akan
tetapi umat Islam menjadikan pancasila sebagai cerminan seperti yang disampaikan K.H. Ahmad
Siddiq ( Rois Am ), orang yang boleh dikatakan konseptor utama keputusan Munas 1983 dan
Muktamar 1984, dalam kutipan makalahnya yang disampaikan pada Muktamar mengatakan:”Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam akan keesaan Allah, yang dikenal pula

6
dengan sebutan Tauhid”.Dan dalam “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”. Deklarasi
ini merupakan simpul dan titik akhir dari pembahasan keagamaan (bahtsul masa’il) ulama NU
tentang Pancasila sebagai ideologi negara, tentang wawasan kebangsaan, dan posisi Islam dalam
negara-bangsa. Secara lengkap deklarasi itu berbunyi sebagai berikut :

1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak
dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.

2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut
pengertian keimanan dalam Islam.

3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia
dengan Allah dan hubungan antar manusia.

4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam
Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.

5. Sebagai konsekwensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan


pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh
semua fihak.

Sikap NU adalah menjadikan pancasila sebagai asas negara dan Islam sebagai aqidahnya.NU bukan
hanya pertama menerima tetapi juga yang paling mudah menerima Pancasila.
Sedangkan,Muhammadiyah menerima Pancasila setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (voa Islam.com,Dikutip dari buku:NU dan Pancasila).Paham
pancasila akan sulit diterima,kecuali dengan pendekatan agama,yakni Islam.

C. Pancasila dalam Perspektif Islam dan Hubungannya

Bangsa Indonesia patut berterima kasih kepada founding father-nya yang telah menyatukan
kemajemukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak semua negara di dunia mampu
melakukannya. Semangat nasionalisme mampu dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dari
puluhan ribu pulau, suku bangsa, bahasa, lebih-lebih agama sebagai perbedaan yang paling
mendasar.

Kini, ada satu ancaman baru dengan pudarnya nasionalisme sebagian masyarakat Indonesia yang
ingin merubah tatanan dan ideologi bangsa dengan menginginkan penerapan syari’at Islam di
tengah pluralisme beragama bahkan dengan sistem khilafah. Mereka muncul untuk menegakkan
syari’at Islam dengan membawa simbol mayoritas dan lupa bahwa Indonesia ada, juga karena
adanya agama lain. Padahal Pancasila tidak membawa agama, namun mengatur hal-hal yang
berbaur dengan agama.

Sebagai bentuk perlawanan, akhirnya muncul dikotomi antara kelompok Islamis dan nasionalis yaitu
kelompok yang menginginkan penerapan syari’at Islam serta membentuk Indonesia dalam sistem
khilafah dan kelompok yang tetap mempertahankan pancasila sebagai ideologi bangsa. Kelompok
Islamis seolah-olah merasa tidak kaffah menjalankan syari’at Islam di negara pancasila, demikian
pula kelompok nasionalis merasa mengkhianati bangsanya ketika syari’at Islam diformalisasikan di
negara pancasila. Padahal Islam adalah agama yang syumul (universal) yang berlaku dalam setiap
ruang dan waktu hingga akhir zaman. Demikian pula pancasila adalah ideologi yang terbangun atas
dasar nilai-nilai agama termasuk Islam. Memang, pertarungan dua kelompok ini telah dimulai sejak

7
masa kolonial. Di mana pada tahun 1930, Soekarno versus Natsir telah berpolemik tentang masalah-
masalah dasar perjuangan kemerdekaan dan tentang masa depan bangsa Indonesia. Keduanya
adalah tokoh yang representasi mewakili kelompok nasionalis dan Islamis. Demikian pula pasca
kemerdekaan, dua kelompok ini bertarung melalui Piagam Jakarta terutama dalam konsep dasar
ideologi bangsa yaitu pada kalimat “…dengan berdasar kepada ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” meskipun pada akhirnya berdasarkan
musyawarah dapat diganti dengan kalimat “….berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.

Meskipun demikian, kita mestinya tidak menjadikan sejarah pertentangan di atas sebagai semangat
pemberontakan terhadap Pancasila ataupun melawan nilai dari ajaran Islam sebab mereka telah
tuntas dalam satu kesepakatan dengan menjadikan Pancasila sebagai azas negara dengan
rumusannya yang sempurna serta mengambil nilai dari ajaran-ajaran agama.

Namun semangat penerapan syari’at Islam atas nama mayoritas masih terus mengalir hingga ke
parlemen dan eksekutif dengan lahirnya partai-partai berazaskan Islam dan melahirkan Undang-
Undang serta Perda-Perda bernuansa syari’at Islam. Di sisi lain semangat mempertahankan pancasila
sebagai ideology yang legitimed dan melindungi minoritas pun terus dilontarkan melalui parlemen
dan gerakan-gerakan nasionalisme. Mereka menginginkan pancasila sebagai harga mati bagi azas
negara Indonesia.

Pada dasarnya, Islam dan pancasila adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan sebab keduanya
bertujuan mewujudkan perdamaian di muka bumi. Untuk itu perlu ada rumusan dan diplomasi baru
guna menjadikan keduanya sebagai ruh bangsa Indonesia. Indonesia yang dapat membentuk
masyarakatnya dapat berbangsa tanpa merasa berdosa kepada Tuhannya, demikian pula dapat
beragama tanpa merasa mengkhianati bangsanya. Menjadikan agama untuk mengisi pancasila agar
tidak bertentangan secara vertical kepada Tuhan. Yakinlah bahwa pancasila merupakan
impelementasi atau turunan dari ajaran Islam melalui ajaran hablun minannas (hubungan kepada
sesame manusia). Begitu pula melalui ajaran persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah)
dan persaudaraan sesama anak bangsa (ukhuwah wathoniyah).

Jadi mengamalkan Pancasila adalah bagian dari ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam dan
mengamalkan Islam adalah bentuk pengabdian dan kesetiaan kepada bangsa Indonesia. Sebaliknya,
melanggar ketentuan Pancasila dapat melanggar nilai-nilai dari ajaran Islam dan tidak melaksanakan
Islam adalah pengkhianatan kepada bangsa Indonesia.

D. Dinamika Pancasila Dan Agama Islam

1.1 Pancasila

1. Ketuhanan yang Maha Esa

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuaan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan/perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

2.1 Negara Islam

8
1. Hukum rajam atau cambuk bagi para pezina dan pemerkosa

2. Hukum Potong tangan bagi para pemcuri dan korupto

3. Hukum khisos, adalah hukum mati bagi para pembunuh ( nyawa di balas dengan nyawa.

Masalah hubungan antara Islam dan Pancasila rupanya masih menarik perhatian banyak kalangan.
Munculnya beragam peraturan daerah (perda) yang bernuansa syariat Islam di beberapa daerah di
era refromasi sedikit banyak kembali memancing perdebatan lama mengenai hubungan antara Islam
dan Pancasila atau wacana hubungan antara negara dan agama.

Bagi sebagian kalangan, perdebatan ini mungkin membosankan. Dalam konteks sejarah Indonesia,
polemik ini sudah ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Perdebatan itu dilakoni para tokoh
pergerakan nasional sebagai bagian dari proses pencaharian identitas bersama. Asumsi mendasari
perdebatan mereka, bagaimana caranya menjalankan negara dan bangsa jika kelak kemerdekaan
nasional diperoleh.

3.1 Konflik Ideologis

Pada pertengahan 1940-an, perdebatan berlangsung dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Asumsi
perdebatan itu kembali berkisar pada persoalan prinsipil, yakni atas dasar apa negara Indonesia
didirikan dan dioperasikan kelak? Dari sekian banyak unsur bangsa yang tergabung dalam panitia
persiapan kemerdekaan itu, pada akhirnya mengerucut hanya menjadi dua kelompok utama
(mainstream), yakni pendukung dasar negara Islam dan nasionalisme (kebangsaan) sekuler.

Dari naskah sidang-sidang BPUPKI kelihatan, perdebatan mengenai dasar negara sangat keras,
sekalipun prosesnya masih dalam batas-batas wajar dan civilized. Ini bisa dipahami karena The
Founding Father and Mothers adalah generasi baru yang terpelajar, baik dari hasil pendidikan Barat,
pendidikan Islam maupun kombinasi kedua sistem pendidikan. Sejarah mencatat, pada akhirnya,
perdebatan itu berakhir pada satu titik “kompromi”. Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara
Indonesia dinilai sebagai hasil kompromi maksimal pada tokoh nasional saat itu. Sekalipun demikian,
secara prinsipil, hasil kompromi itu masih bersifat longgar. Dasar negara rupanya menjadi “kitab”
terbuka untuk dipersoalkan lagi. Mungkin di masa revolusi (1945-1949) perdebatan itu agak terhenti,
karena para tokoh avant garde itu harus menghadapi musuh bersama yakni upaya-upaya
rekolonisasi Belanda, akan tetapi pada tahun 1950-an, polemik klasik itu mencuat lagi ke pemukaan
dalam bentuknya yang lebih keras. Perseteruan antara kelompok pendukung ide Pancasila
(nasionalisme sekuler)) dan Islam (nasionalisme-religius) kembali mendapatkan tempat.

Pada dasarnya perdebatan di Konstituante itu positif, sebagai manifetsasi demokrasi liberal, akan
tetapi karena tidak pernah menemui ujung penyelesaian, proses perdebatan itu akhirnya memicu
munculnya malapetaka baru dalam perpolitikan Indonesia. Bukan Islam atau Pancasila yang
diimplementasikan sebagai dasar penyelenggaraan negara, akan tetapi justru sistem
otoriterianisme. Islam maupun Pancasila dalam pengertiannya yang idealistik akhirnya harus
“minggir” ke belakang.

Demokrasi Terpimpin (1959-1066) menjadi titik balik (the turning point) demokrasi paling krusial
dalam sejarah Indonesia. Rezim mengikrarkan kembali ke UUD 1945, sebuah naskah historis yang di
dalamnya termaktub butir-butir Pancasila, akan tetapi praktiknya justru despotisme. Pancasila dan
UUD 1945 menjadi kredo belaka bagi kekuasaan absolut. Namun demikian, bagi sejumlah ahli tata
negara, praktik antidemokrasi yang berlangsung sejak 1959 tidak mengherankan, karena secara
prinsipil, UUD 1945 memang sangat mungkin untuk diselewengkan.

9
4.1 Dominasi Pancasila

Sejak saat itu, kalangan Islam ideologis tidak mendapatkan panggung yang sebanding untuk
memperjuangkan kembali dasar negara Islam. Otoritarianisme membuat ekspresi politik kelompok
ini “mati kutu”. Sebaliknya, sebagian kelompok nasionalis-sekuler mendapatkan panggung justru
karena berlindung di balik otoriterianisme. Memang, muncul pula kelompok agama dalam formasi
kekuatan politik saat itu, akan tetapi eksistensi mereka tak lebih sebagai “pelengkap” belaka untuk
sebuah formalitas unsur kebangsaan. Mereka tidak mewakili arus utama kelompok Islam idiologis.

Pada masa Orde Baru, suasana politik berubah, karena pergantian rezim. Polemik Islam dan
Pancasila kembali mendapatkan sedikit ruang, sekalipun di batasi dalam kerangka wacana belaka.
Despotisme yang panjang, termasuk dalam bentuk deislamisasi dan depolitisasi, telah membuat
kredibilitas kelompok Islam ideologis surut. Orde Baru yang pada awalnya dinilai berbaik hati kepada
kelompok Islam idiologis, ternyata justru tak kalah kerasnya dibandingkan Orde Lama. Kelompok-
kelompok idiologis ditekan. Pada masa inilah Pancasila sebagai sebuah ideologi menjadi unsur
determinan dalam wacana politik. Celakanya, Pancasila kembali berubah menjadi kredo untuk
membenarkan perilaku otoriter penguasa. Pancasila menjadi “makhluk” yang menakutkan bagi
banyak kalangan, termasuk kelompok Islam idiologis (juga kelompok kiri, mahasiswa dan kelompok
pro-demokrasi yang jumlahnya minoritas). Perdebatan lama tadi pun akhirnya beralih tempat dari
parlemen ke komunitas intelektual. Beberapa generasi intelektual malah memberikan
“pembenaran” bagi eksistensi Pancasila, sekalipun idiologi ini telah dieksploitasi bagi kepentingan
otoritarianisme.

Akan tetapi di balik itu, pada masa Orde Baru, juga terjadi transformasi lain, yakni munculnya
kelompok dalam Islam yang mencari argumentasi untuk mensinergikan antara Islam dan Pancasila.
Bagi mereka, tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila. Sejarawan Kuntowijoyo, misalnya,
melihat Pancasila sebagai objektivikasi Islam. Baginya, tidak ada sila dalam Pancasila yang
bertentangan dengan Islam dan sebaliknya tidak ada ajaran dalam Islam yang tidak cocok dengan
Pancasila. Hanya saja, karena dikemukakan di zaman Orde Baru, muncul spekulasi bahwa pandangan
para sarjana Islam itu memberikan pembenaran terhadap praktik otoriatanisme. Rezim ini justru
menyelenggaraan otoritarianisme dengan klaim telah melaksanakan Pancasila. Karena itu masih
menjadi pertanyaan, apakah pemikiran sarjana Islam perihal kesesuaian antara Islam dan Pancasila
menjadi justifikasi intelektual bagi praktik otoriterianisme?

Ketika rezim otoriter runtuh dan reformasi menyeruak, pemikiran soal hubungan antara negara dan
agama kembali mencuat ke permukaan. Hanya saja konteks sosio-politiknya sudah berbeda. Para
sarjana pun harus mencari formula baru hubungan antara Islam dan kebangsaan dalam konteks
demokrasi dan reformasi. Sebab aktualisasi hubungan keduanya bisa berbeda antara zaman otoriter
dengan zaman demokrasi.

Di era reformasi dan demokrasi, bentuk hubungan antara Islam dan negara tak serta merta koheren
satu sama lain. Demokrasi justru memungkinkan menyeruaknya segala macam aspirasi, termasuk
aspirasi “laten” dari kalangan Islam idiologis, yakni memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Aspirasi itu mungkin tidak lagi menjadi benchmark partai-partai Islam,
karena reputasinya merosot drastis pasca-depolitisasi dan deparpolisasi Orde Baru.

Aspirasi syariat Islam justru lahir dari lembaga-lembaga demokrasi baru, seperti parlemen lokal.
Lahirnya sejumlah perda bernuansa syariat Islam di beberapa daerah justru lahir dalam konteks
demokrasi lokal. Persoalan sekarang, bagaimana mencari formula yang tepat supaya Islam, Pancasila
dan demokrasi tidak berbenturan satu sama lain.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pancasila adalah asas negara Indonesia,artinya segala hukum yang berlaku di Indonesia harus
berasaskan kepada pancasila atau sebagai sumber tertib hukum Indonesia.

2. Dengan dikeluarkannya dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959 , untuk kembali ke UUD 1945,maka
dengan begitu segala tertib hukum yang berlaku di Indonesia harus sesuai dengan syariah
Islam.Karena sumber pembentuk UUD 1945 adalah Piagam Jakarta,meskipun anak kalimat dari sila
pertama pancasila telah di hapus.

3. Dalam negara yang berpaham Pancasila,hubungan agama dalam sangat penting ;dimana
agama berperan sebagai aqidah yang mewarnai hukum dalam negara tersebut.

B. Saran

Untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan memadukannya dengan agama, diperlukan usaha
yang cukup keras. Salah satunya kita harus memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Selain itu, kita
juga harus mempunyai kemauan yang keras guna mewujudkan negara Indonesia yang aman,
makmur dan nyaman bagi setiap orang yang berada di dalamnya.

11

Anda mungkin juga menyukai