PAI F
TAHUN 2023M/1445H
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam yang telah memberikan
taufiq, hidayah dan inayah-Nya kepada penulis. Sehingga kami sebagai penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga dan sahabat-Nya. Semoga kelak kita
mendapatkan syafa’at di yaumil qiyamah. Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamin.
Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Ade Muchlas
Supandi M.Pd. yang telah memberikan tugas membuat makalah yang berkaitan
dengan “HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA” yang Alhamdulillah berkat rahmat
dan karunia Allah Swt. tugas tersebut telah kami selesaikan sebelum berakhirnya
waktu yang ditentukan.
Penulis menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan
krtitik yang bersifat membangun dari berbagai pihak. Akhirnya penulis berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................
B. Perumusan Masalah.......................................................................................
C. Tujuan Penulisan............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Problematika agama dalam bernegara...........................................................
B. Toleransi agama dalam bernegara.................................................................
C. hubungan agama dan bernegara.....................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan bermasyarakat dan bernegara merupakan kebutuhan asasi umat
manusia di manapun, karena ia ciptaan tuhan yang maha esa yang dibekali dengan
karakter dan fitrah sosial. Praktik pengaturan kenegaraan dipengaruhi oleh nilai-nilai
sosial, budaya politik, dan agama. Sebagai insan religious, karakter dan fitrah sosial
manusia untuk hidup bermasyarakat dan bernegara tidaklah bebas nilai, karena itu
perlu dicari model hubungan antara agama dengan negara.
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk memiliki komposisi etnis,
suku, bahasa, ras dan agama yang kompleks. Hubungan di antara perbedaan sifat dan
budaya itu menghendaki upaya untuk mencari jalan keluar agar dapat hidup bersama
dan damai. Prinsip hidup bersama dengan rukun dan damai menjadi nilai-nilai luhur
yang dipelihara dan dilestasikan dalam ideologi Pancasila dan UUD 1945.1
Komitmen untuk hidup rukun dan damai selaras dengan prinsip hukum Islam yang
dirumuskan dan diterapkan dengan landasan semangat kemaslahatan bagi umat
manusia sehingga tercipta toleransi agama dalam bernegara (Paradigma Integralistik).
Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep hubungan negara dan
agama yang menganggap bahwa negara dan agama merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Ini juga
memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus
lembaga agama. Menurut teori Integralistik, kepala negara adalah pemegang
kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahan diselenggarakan atas dasar
“kedaulatan ilahi” (divine sovereignty), karena pendukung teori ini meyakini bahwa
kedaulatan berasal dan berada di “tangan Tuhan”.12 Dari sinilah kemudian
paradigma integralistik dikenal juga dengan paham Islam: din wa dawlah, dengan
hukum agama sebagai sumber landasan mengatur agama.
B.Perumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka dapat diperoleh beberapa perumusan masalah yaitu
antara lain :
1. Bagaimana Hubungan Agama dan Negara
2. Apa itu Paradigma hubungan agama dan negara
3. Hubungan Negara dan Agama dari pandangan beberapa aspek
C.Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas maka dapat diambil beberapa tujuan yaitu antara lain :
1. Pengertian Hubungan Agama dan Negara
2. Penjelasan Paradigma hubungan agama dan negara
3. Merinci Hubungan Negara dan Agama dari pandangan beberapa aspek
BAB II
PEMBAHASAN
Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya dan Agama - Vol. XXV No. 1 Bulan Januari Tahun 2019
2
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu HukumVolume 1, Nomor 2,
Tahun 2019
dan sekularistik (pemisahan antara agama dan negara. Bentuk hubungan antara agama
dan negara di negara-negara Barat dianggap sudah selesai dengan sekularismenya
atau pemisahan antara agama dan negara. Paham ini menurut The Encyclopedia of
Religion adalah sebuah ideologi, dimana para pendukungnya dengan sadar
mengecam segala bentuk supernaturalisme dan lembaga yang dikhususkan untuk itu,
dengan mendukung prinsipprinsip non-agama atau anti-agama sebagai dasar bagi
moralitas pribadi dan organisasi sosial. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa
negara mengakui eksistenasi lembaga-lembaga keagamaan dalam negara dan
masyarakat. Hanya saja, terdapat per bedaan visi dan aspirasi di kalangan warga
tentang sejauh mana keterlibatan agama itu dalam negara.
Dalam konteks ini, orientasi warga negara tentang keagamaan dalam konteks
kehidupan negara cukup bervariasi, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan
menjadi tiga bentuk. Pertama, agama sebagai ideologi, yang didukung oleh mereka
yang ingin menjadikan agama sebagai ideologi negara, yang manifestasinya
berbentuk pelaksanaan ajaran agama (syariah dalam konteks Islam) secara formal
sebagai hukum positif. Kedua, agama sebagai sumber etika-moral (akhlak), yang
didukung oleh mereka yang memiliki orientasi kebangsaan lebih besar daripada
orientasi keagamaan. Ketiga, agama sebagai sub-ideologi atau sebagai sumber
ideologi jika kata “sub-ideologi” dianggap bisa menimbulkan penolakan dari
sebagian kelompok masyarakat. Pelibatan agama dalam penguatan etika-moral
(akhlak) bangsa saat ini sangat dibutuhkan, terutama ketika kondisi akhlak bangsa ini
secara umum masih sangat lemah, seperti maraknya kebohongan, korupsi, penipuan,
kekerasan, radikalisme, pemerkosaan, egoisme, keserakahan, dan sebagainya, baik
dalam kehidupan masyarakat maupun kehidupan politik, hukum, dan birokrasi.
Di samping itu, agama menjadi sumber atau input bagi pengambilan kebijakan
publik, agar perundangundangan dan kebijakan publik itu sejalan atau tidak
bertentangan dengan ajaran-ajaran agama (Islam) serta sesuai dengan aspirasi umat.
Dalam kenyataannya, ajaran-ajaran agama itu di samping mengandung nilai-nilai
yang bersifat universal, juga mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat
pertikular, dan oleh karenanya, aspirasi umat itu juga adakalanya bersifat umum
(universal) dan adakalanya bersifat khusus (partikualr).3
3
Ahkam: Vol. XIII, No. 2, Juli 2013
memerlukan kerjasama dan peran dari semua pihak, termasuk pemerintah dan tokoh
agama. Hal ini karena, agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
tidak dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (interated). Ini
juga memberikan pengertian bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan
sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak
mengenal pemisahan antara agama dan politik atau Negara.
2.Paradigma Simbiotik
yaitu agama dan negara saling terkait dan terhubung. Agama membutuhkan
negara untuk dapat berkembang dan negara membutuhkan agama untuk membuat
kemajuan dalam masalah moral dan etika (Fauzi, 2009, p. 19).Menurut paradigma ini,
Islam hanya menetapkan prinsip-prinsip peradaban manusia, termasuk prinsip dalam
bernegara. Jadi, Islam tidak mempunyai sistem pemerintahan. Dengan kata lain umat
Islam bisa membuat sistem pemerintah yang sesuai dengan prinsip-prinsip universal
4
Intizar, Vol. 23, No. 1, 2017
yang ditetapkan oleh Islam. Tokoh yang dikategorikan kedalam paradigma ini adalah
Muhamad Iqbal, Ibnu Taymiyyah, Muhammad Husain Haykal, Mawardi, dan Fazrul
Rahman.
Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya
kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban Agama yang
paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama tidak bisa berdiri tegak.
Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara Negara dan Agama
merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan.5
3.Paradigma
utamanya yaitu pertama, hukum Islam hanyalah pola spiritual yang tidak ada
hubungannya dengan hukum dan praktik duniawi. Kedua, Islam tidak memiliki
koneksi ke sistem pemerintahan selama masa Nabi ataupun para sahabat. Ketiga,
kekhalifahan bukan sistem agama atau Islam, melainkan sistem duniawi. Keempat,
kekhalifahan tidak memiliki dasar dalam Alquran atau hadis. Sejalan dengan Ali
Abdul Raziq, Thoha Husain juga mengatakan bahwa AlQuran tidak mengatur rezim
5
Resolusi Vol. 2 No. 2 Desember 2019
pemerintah secara umum dan khusus. Pemerintahan yang ada pada masa Nabi dan
sahabat bukan berasal dari pemerintah berdasarkan wahyu, tetapi lebih kepada
pemerintahan kemanusiaan, jadi tidaklah pantas untuk menjadi sakral dan suci.6
Dalam hal ini ada beberapa pandangan dari berbagai aspek mengenai hubungan
antara agama dan negara yaittu:
Dalam paham teokrasi hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua hal
yang tidak dapat dipisahkan, negara menyatu dengan agama karena pemerintahan
menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman- firman Tuhan segala tata
kehidupan masyarakat bangasa dan negara dilakukan atas titah Tuhan dengan
demikian urusan kenegaraan atau politik dalam paham teokrasi juga diyakinkan
sebagai manifestasi Tuhan. Sebagaimana halnya dengan kekhalifahan dan kesultanan
di Timur Tengah, negara tidaklah memisahkan kekuasaan politik dengan kekuasaan
agama. Akan tetapi kekuasaan politik dengan kekuasaan tradisional sultan telah ada
jauh sebelumnya, mendahului masuknya Islam di Indonesia pada raja-raja Mataram
6
Resolusi Vol. 2 No. 2 Desember 2019
dan mendahului rajaraja sebelumnya di Jawa, di zaman praIslam dan bahkan di
zaman pra-Hindu".7
Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara dalam
negara sekuler tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam
paham ini agama adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain atau urusan
dunia, sedangkan urusan agama adalah hubungan manusia dengan tuhan dua hal ini
menurut paham sekuler tidak dapat dipersatukan meskipun memisahkan antara agama
dan negara lazimnya Negara sekuler mmbebaskan warga negaranya untuk memeluk
agama apa saja yang mereka yakini tapi negara tidak ikut campur tangan dalam
urusan agama.
7
RELASI AGAMA DAN NEGARA Teokrasi - Sekuler - Tamyiz Ahmad Sadzali, Lc., M.H
8
https://graduate.uinjkt.ac.id/?p=15667
bersamaan dengan proses globalisasi.Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari
karakteristik ajaran Islam itu sendiri, yang tidak hanya merupakan sistem teologis,
tetapi juga cara hidup yang berisi standar etika moral dan norma-norma dalam
kehidupan masyarakat dan negara. Islam tidak membedakan sepenuhnya antara hal-
hal sakral dan profan, sehingga Muslim yang taat menolak pemisahan antara agama
dan negara.9
Tentang hubungan agama dan negara dalam islam adalah agama yang
paripurna yang mencakup segala-galanya termasuk masalah negara oleh karena itu
agama tidak dapat dipisahkan dari negara dan urusan negara adalah urusan agama
serta sebaliknya aliran kedua mengatakan bahwa islam tidak ada hubungannya
dengan negara karena islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan
menurut aliran ini Nabi Muhammad tidak mempunyai misi untuk mendirikan negara.
BAB III
9
https://graduate.uinjkt.ac.id/?p=15667
PENUTUP
KESIMPULAN
Agama dan negara merupakan dua hal yang saling melengkapi. Tanpa negara,
agama tidak bisa dilaksanakan dangan maksimal. Begitu pula tanpa agama, negara
tidak akan memiliki kontrol moral.
Hubungan antara agama dan negara, yang sering disebut dengan “hubungan
agama dan negara”, mempunyai peranan penting dalam pembentukan dan
pembangunan suatu bangsa. Hubungan ini mempunyai banyak segi, dimana masing-
masing aspek mempengaruhi yang lain dalam berbagai cara
Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan
mengembang kan agama. Demikian sebaliknya, negara juga memerlukan agama
karena dapat membantu negara dalam pembinaan moral dan etika.
SARAN
Kita harus bisa membangun kerukunan umat beragama dan tercapai lah
hubungan ideal yang di harapkan oleh pendiri Negara ini dan pejuang-pejuang yang
telah susah payah mempertahankan kemerdekan karena jika rasa aman, tentram, dan
damai dan jiwa Bhineka Tunggal Ika melekat di jiwa masyarakat Indonesia. Dewasa
ini mendefinisikan bukan negara sekuler dan agama, maka dengan tegas Indonesia
adalah negara bertuhan. Negara bertuhan adalah mengdedikasikan tuhan yang maha
esa sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Ahkam: Vol. XIII, No. 2, Juli 2013
Buletin Al-Turas Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya dan Agama - Vol. XXV No. 1
Bulan Januari Tahun 2019
Intizar, Vol. 23, No. 1, 2017
https://graduate.uinjkt.ac.id/?p=15667
Resolusi Vol. 2 No. 2 Desember 2019
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu
HukumVolume 1, Nomor 2, Tahun 2019