Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

Di susun untuk memenuhi Tugas pada Mata Kuliah


Kewarganegaraan

Dosen Pengampuh : Ade Muchlas Supandi M.Pd

Di susun oleh kelompok 11

Maulana Imam Pratama : (231210191)

Muhamad Arlan Alfiansyah Maghribi : (231210196)

PAI F

Pendidikan Agama Islam

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN MAULANA HASANUDIN BANTEN

TAHUN 2023M/1445H
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam yang telah memberikan
taufiq, hidayah dan inayah-Nya kepada penulis. Sehingga kami sebagai penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga dan sahabat-Nya. Semoga kelak kita
mendapatkan syafa’at di yaumil qiyamah. Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamin.
Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Ade Muchlas
Supandi M.Pd. yang telah memberikan tugas membuat makalah yang berkaitan
dengan “HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA” yang Alhamdulillah berkat rahmat
dan karunia Allah Swt. tugas tersebut telah kami selesaikan sebelum berakhirnya
waktu yang ditentukan.
Penulis menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan
krtitik yang bersifat membangun dari berbagai pihak. Akhirnya penulis berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Serang, 17 Desember 2023 M


12 Jumadil Awwal 1443 H

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................
B. Perumusan Masalah.......................................................................................
C. Tujuan Penulisan............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Problematika agama dalam bernegara...........................................................
B. Toleransi agama dalam bernegara.................................................................
C. hubungan agama dan bernegara.....................................................................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan....................................................................................................
B. Saran..............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan bermasyarakat dan bernegara merupakan kebutuhan asasi umat
manusia di manapun, karena ia ciptaan tuhan yang maha esa yang dibekali dengan
karakter dan fitrah sosial. Praktik pengaturan kenegaraan dipengaruhi oleh nilai-nilai
sosial, budaya politik, dan agama. Sebagai insan religious, karakter dan fitrah sosial
manusia untuk hidup bermasyarakat dan bernegara tidaklah bebas nilai, karena itu
perlu dicari model hubungan antara agama dengan negara.
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk memiliki komposisi etnis,
suku, bahasa, ras dan agama yang kompleks. Hubungan di antara perbedaan sifat dan
budaya itu menghendaki upaya untuk mencari jalan keluar agar dapat hidup bersama
dan damai. Prinsip hidup bersama dengan rukun dan damai menjadi nilai-nilai luhur
yang dipelihara dan dilestasikan dalam ideologi Pancasila dan UUD 1945.1
Komitmen untuk hidup rukun dan damai selaras dengan prinsip hukum Islam yang
dirumuskan dan diterapkan dengan landasan semangat kemaslahatan bagi umat
manusia sehingga tercipta toleransi agama dalam bernegara (Paradigma Integralistik).
Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep hubungan negara dan
agama yang menganggap bahwa negara dan agama merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Ini juga
memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus
lembaga agama. Menurut teori Integralistik, kepala negara adalah pemegang
kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahan diselenggarakan atas dasar
“kedaulatan ilahi” (divine sovereignty), karena pendukung teori ini meyakini bahwa
kedaulatan berasal dan berada di “tangan Tuhan”.12 Dari sinilah kemudian
paradigma integralistik dikenal juga dengan paham Islam: din wa dawlah, dengan
hukum agama sebagai sumber landasan mengatur agama.
B.Perumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka dapat diperoleh beberapa perumusan masalah yaitu
antara lain :
1. Bagaimana Hubungan Agama dan Negara
2. Apa itu Paradigma hubungan agama dan negara
3. Hubungan Negara dan Agama dari pandangan beberapa aspek

C.Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas maka dapat diambil beberapa tujuan yaitu antara lain :
1. Pengertian Hubungan Agama dan Negara
2. Penjelasan Paradigma hubungan agama dan negara
3. Merinci Hubungan Negara dan Agama dari pandangan beberapa aspek
BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Hubungan Agama dan Negara


Agama yaitu peraturan yang mengatur keadaan manusia, maupun mengenai
sesuatu yang gaib, mengenai budi pekerti dan pergaulan hidup bersama. Negara
merupakaan salah satu bentuk organisasi yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Pada prinsipnya setiaap warga mayaraka menjadi anggota dari suatu negara dan harus
tunduk pada kekuasaan negara.
Dalam kaitan antara agama dan negara, paling tidak kita mengenal tiga tipe
negara. Pertama adalah negara theokrasi, yaitu negara yang mendasarkan
pemerintahannya kepada satu agama tertentu. Kerajaan Arab Saudi, Republik Islam
Iran, Pakistan, dan sebagainya adalah contoh profil negara yang secara konstitusional
menjadikan Islam sebagai dasar negara. Pada kasus yang lain, Negara Jepang,
Thailand dan Kamboja meski secara eksplisit tidak menyatakan Budha atau
Konghuchu sebagai agama resmi negara, akan tetapi mereka meyakini raja mereka
sebagai titisan dewa. Sedangkan Vatican secara resmi menyatakan Katholik sebagai
agama resmi negara.
Tipe negara kedua adalah negara sekuler, yang beranggapan agama sebagai
masalah privat yang karenanya negara tidak berhak mencampuri urusan keagamaan
setiap warga negaranya. Runtuhnya Kesultanan Turki Usmani oleh Mustafa Kemal
Attaturk menandai lahirnya sekulerisme ekstreem di Turki, di mana simbol-simbol
agama sangat dilarang untuk hadir dalam wilayah publik. Sekulerisme juga
diterapkan di negara-negara Barat, meski dalam tataran praksis, sekulerisme yang
diterapkan di Amerika Serikat berbeda dengan sekulerisme yang diterapkan di
Perancis. Tipe berikutnya adalah komunis, yang menganggap agama sebagai candu.
China dan Kuba adalah sedikit contoh dari negara yang berpandangan seperti ini.1
1
Buletin Al-Turas
Indonesia lebih memilih menjadikan Pancasila sebagai falsafah hidup dan
dasar Negara Indonesia Secara garis besar Pancasila telah hadir didalam hubungan
antara agama dan Negara dan senantiasa menghadirkan kenyamanan terhadap
berbangsa dan bernegara dapat dipahami pada sila pertama yang berbunyi
“Ketuhanan yang maha esa” oleh karenanya Hubungan Agama dan Negara yang ada
di Indonesia telah diperjelas dalam beberapa pasal-pasal dalam UUD yaitu: Pasal 28E
UUD bahwa: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya
” serta Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa” dan Pasal 29 ayat (2) UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.”
UUD 1945 tidak memisahkan hubungan agama dan Negara dan ini dapat kita
lihat pada Sila pertama Pancasila dan Bab XI UUD 1945 yang berjudulkan agama.
Hubungan negara dan agama yang seperti dijelaskan di atas seringkali menjadi
”rumit”. Agama seringkali dipergunakan untuk bertentangan dengan pemerintahan
atau pemerintahan sering dijadikan kekuatan untuk menekan agama. Dalam diskursus
politik dan ketatanegaraan serta agama jalinan tersebut masih diperdebatkan dan
dikaji baik di (negara) Barat maupun di (negara) Timur.
Agar hubungan antar agama dan negara tetap harmonis di tengah-tengah
dinamika kehidupan politik, ekonomi, dan budaya kita perlu mendiskusikannya terus
menerus, sehingga kita sampai pada pemahaman bahwa agama dan negara bagai dua
sisi mata uang, di mana keduanya berbeda, namun tidak bisa dipisahkan satu sama
lain karena keduanya saling membutuhkan.2
Dalam praktik kehidupan kenegaraan masa kini, hubungan antara agama dan
negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yakni integrated (penyatuan
antara agama dan negara), intersectional (persinggungan antara agama dan negara),

Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya dan Agama - Vol. XXV No. 1 Bulan Januari Tahun 2019
2
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu HukumVolume 1, Nomor 2,
Tahun 2019
dan sekularistik (pemisahan antara agama dan negara. Bentuk hubungan antara agama
dan negara di negara-negara Barat dianggap sudah selesai dengan sekularismenya
atau pemisahan antara agama dan negara. Paham ini menurut The Encyclopedia of
Religion adalah sebuah ideologi, dimana para pendukungnya dengan sadar
mengecam segala bentuk supernaturalisme dan lembaga yang dikhususkan untuk itu,
dengan mendukung prinsipprinsip non-agama atau anti-agama sebagai dasar bagi
moralitas pribadi dan organisasi sosial. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa
negara mengakui eksistenasi lembaga-lembaga keagamaan dalam negara dan
masyarakat. Hanya saja, terdapat per bedaan visi dan aspirasi di kalangan warga
tentang sejauh mana keterlibatan agama itu dalam negara.
Dalam konteks ini, orientasi warga negara tentang keagamaan dalam konteks
kehidupan negara cukup bervariasi, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan
menjadi tiga bentuk. Pertama, agama sebagai ideologi, yang didukung oleh mereka
yang ingin menjadikan agama sebagai ideologi negara, yang manifestasinya
berbentuk pelaksanaan ajaran agama (syariah dalam konteks Islam) secara formal
sebagai hukum positif. Kedua, agama sebagai sumber etika-moral (akhlak), yang
didukung oleh mereka yang memiliki orientasi kebangsaan lebih besar daripada
orientasi keagamaan. Ketiga, agama sebagai sub-ideologi atau sebagai sumber
ideologi jika kata “sub-ideologi” dianggap bisa menimbulkan penolakan dari
sebagian kelompok masyarakat. Pelibatan agama dalam penguatan etika-moral
(akhlak) bangsa saat ini sangat dibutuhkan, terutama ketika kondisi akhlak bangsa ini
secara umum masih sangat lemah, seperti maraknya kebohongan, korupsi, penipuan,
kekerasan, radikalisme, pemerkosaan, egoisme, keserakahan, dan sebagainya, baik
dalam kehidupan masyarakat maupun kehidupan politik, hukum, dan birokrasi.
Di samping itu, agama menjadi sumber atau input bagi pengambilan kebijakan
publik, agar perundangundangan dan kebijakan publik itu sejalan atau tidak
bertentangan dengan ajaran-ajaran agama (Islam) serta sesuai dengan aspirasi umat.
Dalam kenyataannya, ajaran-ajaran agama itu di samping mengandung nilai-nilai
yang bersifat universal, juga mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat
pertikular, dan oleh karenanya, aspirasi umat itu juga adakalanya bersifat umum
(universal) dan adakalanya bersifat khusus (partikualr).3

B. Paradigma hubungan agama dan nrgara


Negara dipahami sebagai lembaga politik yang merupakan manifestasi dari
kebersamaan dan keberserikatan sekelompok manusia untuk mewujudkan kebaikan
dan kesejahteraan bersama. Sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan
kesejahteraan bersama, negara memerlukan pemberlakuan hukum (law enforcement).
Oleh karena itu, doktrin dasar negara, seperti diungkapkan Immanuel Kant, adalah
negara berdasarkan hukum dan bertujuan untuk menciptakan perdamaian abadi.
Dalam pemikiran politik Islam terdapat, paling tidak, tiga paradigma tentang
hubungan agama dan negara yaitu:
1.Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik ini memunculkan paham negara agama atau Teokrasi.
Dalam paham teokrasi, hubungan Negara dan Agama digambarkan sebagai dua hal
yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan Agama, karena pemerintahan
dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam
masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan
kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi juga diyakini sebagai manifestasi
firman Tuhan. Pengertian integralistik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
merupakan satu keseluruhan. Sedangkan menurut Soepomo, integralistik adalah
dimana semua kelompok sosial dan individu secara organis terkait satu dengan yang
lainnya secara menyeluruh.

Paradigma integralistik dalam konteks kajian toleransi umat beragama,


dimaknai sebagai paham dan konsep hubungan antar umat beragama yang toleran.
Dalam paradigma integralistik, upaya mewujudkan toleransi umat beragama

3
Ahkam: Vol. XIII, No. 2, Juli 2013
memerlukan kerjasama dan peran dari semua pihak, termasuk pemerintah dan tokoh
agama. Hal ini karena, agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
tidak dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (interated). Ini
juga memberikan pengertian bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan
sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak
mengenal pemisahan antara agama dan politik atau Negara.

Paradigma ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara. Yang


berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip
keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma integralistik dikenal juga dengan
paham Islam: din wa dawlah. Yang sumber positifnya adalah hukum agama.
Paradigma integralistik ini anatara lain dianut oleh kelompok Islam Syi’ah. Hanya
saja Syi’ah tidak menggunakan term dawlah tetapi dengan term imamah Selain Syiah,
juga ada para pemikir Sunni yang mendudukung paradigma terintegral ini, seperti
Muhammad Rasyid Ridha, Sayyid Qutub dan Abu A’la Maududi. Ketiga pemikir ini
mengatakan bahwa Islam adalah agama yang lengkap dengan instruksi yang
mengatur semua aspek kehidupan, termasuk kehidupan masyarakat dan negara.
Untuk mengatur kehidupan politik, umat Islam tidak perlu atau meniru sistem lain.
Ketiga pemikir ini menentang kebijakan sistem Barat. Proporsi sistem politik Barat
itu tidak konsisten dengan prinsip dan ajaran Islam.4

2.Paradigma Simbiotik

yaitu agama dan negara saling terkait dan terhubung. Agama membutuhkan
negara untuk dapat berkembang dan negara membutuhkan agama untuk membuat
kemajuan dalam masalah moral dan etika (Fauzi, 2009, p. 19).Menurut paradigma ini,
Islam hanya menetapkan prinsip-prinsip peradaban manusia, termasuk prinsip dalam
bernegara. Jadi, Islam tidak mempunyai sistem pemerintahan. Dengan kata lain umat
Islam bisa membuat sistem pemerintah yang sesuai dengan prinsip-prinsip universal

4
Intizar, Vol. 23, No. 1, 2017
yang ditetapkan oleh Islam. Tokoh yang dikategorikan kedalam paradigma ini adalah
Muhamad Iqbal, Ibnu Taymiyyah, Muhammad Husain Haykal, Mawardi, dan Fazrul
Rahman.

Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya
kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban Agama yang
paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama tidak bisa berdiri tegak.
Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara Negara dan Agama
merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan.5

3.Paradigma

Paradigma ini menolak kedua paradigma diatas. Sebagai gantinya, paradigma


sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan
negara atas agama. Negara dan Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu
sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya
harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar pada
pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum
yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak
ada kaitannya dengan hukum Agama. Tokoh yang mendukung paradigma ini adalah
Ali Abdul Raziq, Thoha Husain dan Musthafa Kemal Attaruk. Ali Abdul Raziq,
dalam bukunya "Al Islam Wa Usul al-Hukum", menerangkan alasan mengapa ia
mendukung paradigma Sekularistik ini. Ada empat alasan.

utamanya yaitu pertama, hukum Islam hanyalah pola spiritual yang tidak ada
hubungannya dengan hukum dan praktik duniawi. Kedua, Islam tidak memiliki
koneksi ke sistem pemerintahan selama masa Nabi ataupun para sahabat. Ketiga,
kekhalifahan bukan sistem agama atau Islam, melainkan sistem duniawi. Keempat,
kekhalifahan tidak memiliki dasar dalam Alquran atau hadis. Sejalan dengan Ali
Abdul Raziq, Thoha Husain juga mengatakan bahwa AlQuran tidak mengatur rezim

5
Resolusi Vol. 2 No. 2 Desember 2019
pemerintah secara umum dan khusus. Pemerintahan yang ada pada masa Nabi dan
sahabat bukan berasal dari pemerintah berdasarkan wahyu, tetapi lebih kepada
pemerintahan kemanusiaan, jadi tidaklah pantas untuk menjadi sakral dan suci.6

C.Hubungan Negara dan Agama dari pandangan beberapa aspek

Agama dan negara menimbulkan perdebatan yang terus berkelanjutan


dikalangan para ahli. Pada hakekatnya Negara merupakan suatu persekutuan hidup
bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai mahluk individu dan
makhluk sosial oleh karena itu sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat
dasar negara pula sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara
horizontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan
bersama. Dengan demikian negara mempunyai sebab akibat langsung dengan
manusia karena manusia adalah pendiri negara itu sendiri.

Dalam hal ini ada beberapa pandangan dari berbagai aspek mengenai hubungan
antara agama dan negara yaittu:

1. Hubungan Agama Dan Negara Menurut Paham Teokrasi

Dalam paham teokrasi hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua hal
yang tidak dapat dipisahkan, negara menyatu dengan agama karena pemerintahan
menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman- firman Tuhan segala tata
kehidupan masyarakat bangasa dan negara dilakukan atas titah Tuhan dengan
demikian urusan kenegaraan atau politik dalam paham teokrasi juga diyakinkan
sebagai manifestasi Tuhan. Sebagaimana halnya dengan kekhalifahan dan kesultanan
di Timur Tengah, negara tidaklah memisahkan kekuasaan politik dengan kekuasaan
agama. Akan tetapi kekuasaan politik dengan kekuasaan tradisional sultan telah ada
jauh sebelumnya, mendahului masuknya Islam di Indonesia pada raja-raja Mataram

6
Resolusi Vol. 2 No. 2 Desember 2019
dan mendahului rajaraja sebelumnya di Jawa, di zaman praIslam dan bahkan di
zaman pra-Hindu".7

2. Hubungan Agama Dan Negara Menurut Paham Sekuler

Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara.


Dalam paham ini, tidak ada hubungan antara sistim kenegaraan dengan agama.
Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia.
Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan.8

Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara dalam
negara sekuler tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam
paham ini agama adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain atau urusan
dunia, sedangkan urusan agama adalah hubungan manusia dengan tuhan dua hal ini
menurut paham sekuler tidak dapat dipersatukan meskipun memisahkan antara agama
dan negara lazimnya Negara sekuler mmbebaskan warga negaranya untuk memeluk
agama apa saja yang mereka yakini tapi negara tidak ikut campur tangan dalam
urusan agama.

3. Hubungan Agama Dan Negara Menurut Paham Komunisme

Paham komunisme ini memendang hakekat hubungan agama dan negara


berdasarkan filosofi dialektis dan materialisme histories paham ini menimbulkan
paham Atheis (tak bertuhan) yang dipelopori Karl marx menurutnya manusia
ditentukan oleh dirinya agama dalam hal ini dianggap suatu kesadaran diri bagi
manusia sebelum menemukan dirinya sendiri.

4. Hubungan Agama Dan Negara Menurut Islam

Umat Islam tetap memperhatikan faktor agama dalam kehidupan berbangsa


dan bernegara, meski negara itu telah melakukan modernisasi dan sekularisasi politik

7
RELASI AGAMA DAN NEGARA Teokrasi - Sekuler - Tamyiz Ahmad Sadzali, Lc., M.H
8
https://graduate.uinjkt.ac.id/?p=15667
bersamaan dengan proses globalisasi.Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari
karakteristik ajaran Islam itu sendiri, yang tidak hanya merupakan sistem teologis,
tetapi juga cara hidup yang berisi standar etika moral dan norma-norma dalam
kehidupan masyarakat dan negara. Islam tidak membedakan sepenuhnya antara hal-
hal sakral dan profan, sehingga Muslim yang taat menolak pemisahan antara agama
dan negara.9

Tentang hubungan agama dan negara dalam islam adalah agama yang
paripurna yang mencakup segala-galanya termasuk masalah negara oleh karena itu
agama tidak dapat dipisahkan dari negara dan urusan negara adalah urusan agama
serta sebaliknya aliran kedua mengatakan bahwa islam tidak ada hubungannya
dengan negara karena islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan
menurut aliran ini Nabi Muhammad tidak mempunyai misi untuk mendirikan negara.

BAB III

9
https://graduate.uinjkt.ac.id/?p=15667
PENUTUP
KESIMPULAN
Agama dan negara merupakan dua hal yang saling melengkapi. Tanpa negara,
agama tidak bisa dilaksanakan dangan maksimal. Begitu pula tanpa agama, negara
tidak akan memiliki kontrol moral.
Hubungan antara agama dan negara, yang sering disebut dengan “hubungan
agama dan negara”, mempunyai peranan penting dalam pembentukan dan
pembangunan suatu bangsa. Hubungan ini mempunyai banyak segi, dimana masing-
masing aspek mempengaruhi yang lain dalam berbagai cara
Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan
mengembang kan agama. Demikian sebaliknya, negara juga memerlukan agama
karena dapat membantu negara dalam pembinaan moral dan etika.
SARAN
Kita harus bisa membangun kerukunan umat beragama dan tercapai lah
hubungan ideal yang di harapkan oleh pendiri Negara ini dan pejuang-pejuang yang
telah susah payah mempertahankan kemerdekan karena jika rasa aman, tentram, dan
damai dan jiwa Bhineka Tunggal Ika melekat di jiwa masyarakat Indonesia. Dewasa
ini mendefinisikan bukan negara sekuler dan agama, maka dengan tegas Indonesia
adalah negara bertuhan. Negara bertuhan adalah mengdedikasikan tuhan yang maha
esa sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA
Ahkam: Vol. XIII, No. 2, Juli 2013
Buletin Al-Turas Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya dan Agama - Vol. XXV No. 1
Bulan Januari Tahun 2019
Intizar, Vol. 23, No. 1, 2017
https://graduate.uinjkt.ac.id/?p=15667
Resolusi Vol. 2 No. 2 Desember 2019
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu
HukumVolume 1, Nomor 2, Tahun 2019

Anda mungkin juga menyukai