Anda di halaman 1dari 15

HUBUNGAN ANTARA KONSTITUSI

DENGAN NEGARA DAN AGAMA


Makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata
kuliah Kewarganegaraan

Dosen Pengampu Mata Kuliah : Andi Saputra, M.Bmd


Disusun oleh Kelompok :
1. Dhea Elsya (23011430013)
2. Syifa Mariska (23011430002)
3. Putri Febrianti (23011430025)

PRODI BIOLOGI
FALKUTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN 2024
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan karunia alam yang telah memberikan kita
nikmatnya, kehidupan dan nikmat kasih sayang yang teranugerahkan dengan
sempurna hingga kita diberi kemudahan untuk melakukan segala aktifitas dengan
mudah. Shalawat beserta salam mari kita hadiahkan kepada sang suri tauladan
pembawa kebenaran dan kabar kebahagiaan yang telah mengangkat derajat
kejahiliaan menuju derajat yang penuh dengan kemuliaan dan penuh dengan
kecanggihaan seperti yang telah kita nikmati pada saat ini.
Kami sebagai penulis sangat bersyukur kepada Allah karena telah diberi
kemampuan untuk menyelesaikan kewajiban kami sebagai mahasiswi dengan
menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Hubungan Antara Konstitusi Dengan
Negara dan Agama” dengan penuh rasa tanggung jawab. Terima kasih juga kami
sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah “Kewarganegaraan” yakni Andi
Saputra, M.Bmd yang telah mempercayai kami untuk membuat makalah.
Kami menyadari bahwa makalah yang telah kami buat jauh dari
kesempurnaan , masih dipenuhi kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu,
kepada siapapun yang bersangkutan penulis mengharapkan adanya sebuah kritik
dan saran demi perbaikan selanjutnya, karena kami hanyalah manusia yang jauh
dari kesempurnaan dan tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi semuanya dan mendapat ridha
Allah SWT. Amin

Palembang, Maret 2024

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HUBUNGAN ANTARA KONSTITUSI DENGAN NEGARA DAN AGAMA i

KATA PENGANTAR............................................................................................... ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................4

A. Latar Belakang ....................................................................................4

B. Rumusan Masalah ...............................................................................5

C. Tujuan ...................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................6

A. Dinamika Hukum Dalam Relasi Agama dan Negara....................6

B. Implikasi Polemik Relasi Agama dan Negara dalam Pembentukan


dan Perubahan Konstitusi ..................................................................................10

BAB III PENUTUP ..................................................................................................14

A. Kesimpulan .........................................................................................14

B. Saran....................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara dan agama dalam konteks ke-Indonesia memiiki pola yang dinamis.
Pasca reformasi konstitusi, agama dan negara memiliki pola simbiosis mutualisme.
Negara dan agama adalah dua hal yang saling membutuhkan, agama menjadi salah
satu sumber hukum materil bagi hukum negara. Pancasila adalah titik tengah antara
bandul negara agama dan negara sekuler.
Manusia sebagai makhluk berakal yang memiliki ciri khas tersendiri
dibanding makhluk hidup lainnya. Melalui akal dan intuisinya tersebut, manusia
memiliki dan membangun dimensi hubungan yang bersifat vertikal dan horizontal.
Dalam hubungannya yang vertikal, manusia memiliki hubungan transdental
metafisis kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga ia akan mengabdikan diri pada
Tuhannya secara ikhlas untuk mencapai ketenangan, kemuliaan, dengan berbagai
ikhtiarnya untuk menyambut kehidupan setelah kematiannya. Oleh karenanya
Tuhan menurunkan agama untuk manusia.
Rumitnya relasi agama dan negara (politik) ini diuraikan dengan jelas oleh
J. Philip Wogemen Menurutnya, secara garis besar terdapat tiga pola umum
hubungan politik dan agama. Pertama, pola teokrasi dimana agama menguasai
negara; kedua, erastianisme bila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu negara
mengkooptasi agama, atau negara menguasai agama; dan ketiga hubungan sejajar
antara agama dan negara – dalam pemisahan yang unfriendly dan friendly.
Pemisahan yang unfriendly antara agama dan negara merupakan hal yang mustahil,
karena kehidupan keagamaan selalu memiliki dimensi sosial dan dengan demikian
bersentuhan dengan aspek hukum yang menjadi wewenang negara. Wogeman,
menganggap alternatif terbaik adalah pemisahan yang friendly – meskipun tetap
menyimpan persoalan wewenang negara.
Makalah ini, untuk memberikan refleksi filosofis-teoritis terhadap relasi
negara dan agama secara umum, dan juga kontekstualisasi terhadap Indonesia
beserta praktiknya.

4
B. Rumusan Masalah
Atas uraian singkat diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas:
1. Jelaskan Relasi agama dan negara dalam arus sejarah.
2. Jelaskan Implikasi Polemik Relasi Agama dan Negara dalam Pembentukan
dan Perubahan Konstitusi

C. Tujuan
Atas uraian singkat diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas:
1. Menjelaskan Relasi agama dan negara dalam arus sejarah.
2. Menjelaskan Implikasi Polemik Relasi Agama dan Negara dalam
Pembentukan dan Perubahan Konstitusi

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dinamika Hukum Dalam Relasi Agama dan Negara


Hubungan agama dengan negara merupakan diskursus lama yang hingga
saat ini masih mengalami perdebatan di berbagai kalangan, sehingga pembahasan
mengenai hubungan kedua institusi tersebut masih sangat relevan untuk
membentuk suatu tata nilai dan tata sosial kehidupan masyarakat kearah yang lebih
baik dan moderen. Hubungan antara keduanya selalu dipengaruhi oleh sejarah
sosial budaya yang berbeda di setiap wilayah atau negara. Bahkan terdapat
disebagian wilayah mengenai hubungan agama dan negara telah diformulasikan di
dalam konstitusi. Hubungan antara agama dan negara selalu menjadi wacana aktual
dan dinamis dalam setiap fase perkembangan peradaban baik di dunia Barat
maupun di dunia Timur. Perdebatan tersebut selalu berfokus terhadap masalah
bentuk negara, apakah bersifat integral, simbiotik ataukah sekuler. (Moh Dahlan,
‘Hubungan Agama Dan Negara Di Indonesia’ (2014) 14 Analisis: Jurnal Studi
Keislaman 1.[2].)
Perkembangan pemikiran tentang pola hubungan antara agama dan negara
di Indonesia mengalami diskurus yang sangat menarik. Hal ini terjadi pada sidang
penyusunan dasar negara dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Pada sidang tersebut terjadi pembelahan sikap
dan respon para anggota BPUPKI yang terbagi dua kelompok. Kelompok pertama
mengajukan usul agar negara Indonesia kelak berdasarkan kebangsaan tanpa ikatan
khas pada ideologi keagamaan. Sementara terdapat kelompok anggota yang
mengajukan Islam sebagai dasar negara. Perbedaan dalam menyikapi hal itu
melahirkan beberapa pemikiran yang berkembang dalam sidang BPUPKI.
Sebagai pembahasan pertama dalam sidang BPUPKI. Moh. Yamin,
Soepomo dan Soekarno, masing-masing mengemukakan pandangannya tentang
bagaimana kaitannya antara negara dan agama. Moh. Yamin berpandangan
mengenai bahwa agama mengandung makna universal dan tidak menunjukan
simbol makna indentitas agama tertentu. Yamin tidak menyinggung tentang format

6
relasi antara negara dan agama, titik tekannya pada bagaimana membangun negara
dan masyarakat yang berperadaban luhur.
Sedangkan, Soepomo berpendapat mengenai negara dan agama
menghasilkan beberapa hal yaitu: 1. Tentang masyarakat agama mayoritas dan
minoritas. Soepomo menyadari bahwa Islam adalah agama yang dianut mayoritas
penduduk kala itu, dan ia menghendaki agar negara tidak terhegemoni dengan
agama tersebut (Islam yang terbilang golongan besar). Soepomo menghendaki
negara yang disusun memberikan kenyamanan bagi seluruh masyarakat beragama,
sehingga masyarakat agama bisa menganut keyakinanya masing-masing dengan
khidmat, 2. Soepomo memberikan pandangan yang menyinggung tentang format
relasi negara dan agama. Ia mengusulkan ada pemisahan negara dan agama.
Selain itu, Soekarno juga turut memberikan pandangannya tentang agama
dan negara pada tanggal 1 Juni 1945. Pandangan Soekarno tidak jauh berbeda dan
tetap konsisten untuk menyampaikan prinsip persatuan (unity) dalam keberagaman
di Indonesia Pemikiran dari Soekarno yang dituangkan dalam tulisan berjudul:
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, dapat dikatakan sebagai benih Soekarno
menyampaikan persatuan. Dalam tulisan itu, ia menjelaskan titik singgung antara
masing-masing ideologi dalam usaha membangun bangsa. (ibid.)
Dalam tulisannya ia mengatakan: “Kita harus menerima, tetapi juga harus
memberi. Inilah rasahasianya persatuan itu. Persatuan tidak akan bisa tercipta
kalau masing-masing pihak tidak mau memberi sedikit pula”. Format Soekarno
dalam menyatukan ideologi-ideologi, digunakan juga olehnya untuk menyatukan
agama-agama di Indonesia hidup dalam hati masyarakat. Soekarno meyakini bahwa
semakin tinggi tingkat keimanan seseorang terhadap agamanya, maka semakin
tinggi kebijaksanaannya dalam kehidupan bernegara dan menghadapi ragam
perbedaan. Dengan cara demikian, maka tidak ada yang namanya ‘egoisme agama’
dalam kehidupan negara. Soekarno juga mencotohkan bagaimana sikap Nabi
Muhammad SAW dapat dijadikan sebagai teladan yang penuh toleransi.
Perdebatan BPUPKI tentang agama dan negara, akhirnya melahirkan format
relasi negara dan agama dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945
(UUD 1945) sebagai berikut: 1. Negara disusun tidak berdasarkan pada identitas
agama tertentu. 2. Pancasila dan UUD 1945 naskah asli tidak menyebutkan agama

7
tertentu sebagai agama negara. 3. Negara menjamin kebebasan beragama bagi tiap-
tiap warganya. Kesepakatan tidak menjadikan agama tertentu sebagai dasar negara
adalah satu dari sekian format relasi negara dan agama dalam Pancasila dan UUD
1945 Naskah Asli.
Akan tetapi identitas Islam masih mewarnai UUD 1945. Hal itu terlihat
dalam Pembukaan UUD 1945: “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha
Kuasa……..”. Selanjutnya, dalam Pasal 9 UUD 1945: Sebelum memangku
jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji
dengan sungguhsungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai berikut : Sumpah Presiden (Wakil Presiden) : “Demi
Allah, saya bersumpah..........” Walaupun syarat menjadi Presiden tidak berasal dari
agama tertentu (terbuka buat seluruh warga agama), tetapi jika sumpahnya
demikian, secara ‘tidak langsung’ UUD 1945 menghendaki Presiden dari agama
Islam oleh karena sumpah jabatannya atas nama “Allah SWT”.( Hamzah dan
Samiang katu, ‘Pemikiran Islam Tentang Hubungan Negara Dengan Agama’
(2020) 1 Dirasat Islamiah: Jurnal Kajian Keislaman.[13])
UUD 1945, meminjam istilah dari Jimly Asshiddiqie adalah konstitusi yang
tergolong a very godly constitution, UUD 1945 adalah konstitusi yang sangat
berketuhanan, sehingga tidak mungkin ditafsirkan sebagai ‘Godless Constitution’
yang dapat mengusung ide ‘freedom from religion’ sebagai bentuk yang ekstrim
dari prinsip ‘freedom of religion’. Penyebutan nama ‘Allah’ sebagaimana lazim
digunakan oleh umat Islam dan juga oleh penganut agama Kristiani, tidak boleh
ditafsirkan secara eksklusif hanya mencakup pengertian Tuhan sebagaimana
dipahami oleh 1 atau 2 golongan agama saja. Tuhan dalam UUD 1945 adalah Tuhan
yang universal (the universal God).
Agama dan negara akan terus mengalami fluctuative discourse dalam
percaturan politik di Indonesia.20 Hubungan negara dan agama selalu menjadi
survive pada momen tertentu seperti selalu terjadinya ketegangan pada saat
berlangsungnya Pemilu baik pada skala nasional atau skala daerah. Hal ini memang
disebabkan oleh golongan-golongan tertentu yang memanfaatkan momentum ini
untuk memperjuangkan aspirasi politiknya.

8
Gelombang pemikiran hubungan negara dan agama telah menghasilkan dua
gelombang,22 dan saat ini Indonesia dalam perkembangan pemikirannya tentang
hubungan agama dan negara telah memasuki gelombang ketiga pada gelombang
ketiga ini lah disebut sebagai gender pemikiran yang disebut dengan Islam Liberal.
Karakteristik dari pemikiran gelombang ketiga ini adalah sikap kritisnya terhadap
bentuk otoritarianisme dan toleransi atau menghargai segala keberagaman yang ada
di dunia.(ibid [64]].)
Apabila diperhatikan Negara Indonesia lebih kepada sikap sebagai bentuk
negara yang bersifat simbiotik. Hal ini berangkat dari pemikiran yang dimana
negara tidak menyatakan dirinya secara tegas hubungan antara agama dan negara
dimana bahwa agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda namun saling
memerlukan. Sehingga dari dasar tersebut penulis menganggap bahwa Indonesia
merupakan negara yang bersifat simbiotik hal ini juga dibuktikan dengan fakta
empiris, yang kenyataannya terdapat sebagian regulasi-regulasi yang bersumber
dari nilai-nilai universal agama khususnya islam contohnya ialah Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lebih lanjut Indonesia juga
memformalkan hukum yang pada awalnya merupakan hukum agama, hal ini
dicontohkan oleh Undang-undang tentang Penyelenggaraan Haji, Undang-undang
tentang Wakaf, Undang-undang tentang Otonomi Khusus Aceh, Undang-undang
tentang Perbankan Syariah dan Undang-undang yang lain. Sebaliknya, agama yang
ada di Indonesia juga telah memperoleh jaminan perlindungan atas
keberlangsungannya yang diakibatkan oleh kekuasaan. Kekuasaan negara
Indonesia mengambil kekuasaan terhadap agama yang bertujuan untuk melindungi
keberlangsungan dalam hal peribadatan hingga perayaan-perayaan keagamaan.
Negara menjadi suatu pilar penting untuk menjaga eksistensi agama dari
penghinaan yang akan dilakukan oleh oknumoknum yang tidak bertanggung jawab.
Di Indonesia sendiri penegasan terhadap jaminan perlindungan seluruh agama telah
dituangkan secara langsung di dasar negara Indonesia yaitu pada Pasal 29 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan ditegaskan pada undang-
undang organiknya yaitu UndangUndang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalagunaan dan/atau Penodaan Agama.

9
B. Implikasi Polemik Relasi Agama dan Negara dalam
Pembentukan dan Perubahan Konstitusi

Dengan memperhatikan perdebatan mengenai dasar negara dan


pengaturan agama dalam perjalananan pembentukan dan perubahan UUD 1945,
terlihat jelas efek dari polemik dan diskursus mengenai relasi agama dan
negara. Polemik ini setidaknya dipengaruhi oleh cara pandang masing-masing
kelompok soal posisi agama terhadap negara dan sebaliknya. Dalam bahasa lain,
polemik ini muncul sebagai manifestasi dari ideologi atau cara pandang yang
dianut mengenai relasi agama dan negara. Perbedaan ideologi mengenai cara
pandang relasi agama dan negara sudah dipaparkan pada bagian awal artikel ini.
Cara pandang ideologis mengenai relasi agama dan negara ternyata
sangat berpengaruh dan sangat menentukan dalam peru-musan suatu konstitusi,
khususnya dalam konteks kajian ini adalah konstitusi Indonesia UUD 1945.
Perbedaan ideologis ini sangat tampak tulus dan murni ketika perumusan
UUD 1945 menjelang kemerdekaan. Pilihan politik soal dasar negara dan
relasinya dengan agama murni berlatar belakang ideologi. Sehingga sangat tidak
mudah untuk menyatukan ideologi yang berbeda ke dalam sebuah kesepakatan
bersama, terlebih menyangkut dasar negara yang akan mempengaruhi jalannya
negara dan masa depan negara.
Perbedaan ideologi mengenai relasi agama dan negara tersebut telah
berimplikasi pada polemik dan diskursus yang sudah muncul jauh sebelum
kemerdekaan. Menjelang kemerdekaan, polemik ini semakin tajam dan nyata
di ambang penentuan bentuk dan dasar negara yang akan dibentuk. Namun
akhirnya, para pendiri bangsa berhasil mencapai suatu kesepakatan luhur yang
mendamaikan pertentangan antar ideologi. Kesepakatan luhur itu disebut
dengan Pancasila, sebuah sintesis dari ideologi-ideologi yang muncul dalam
perdebatan perumusan UUD 1945.
Polemik relasi agama dan negara ternyata tidak sepenuhnya selesai
dengan disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara. Pasca kemerdekaan,
polemik ini kembali muncul dalam beberapa kali pembahasan perumusan
konstitusi. Namun pada akhirnya, polemik ini harus tunduk kembali pada
10
kesepakatan mulia, Pancasila. Dengan begitu, implikasi dari polemik relasi
agama dan negara sejauh ini berakhir pada kesepakatan mulia berupa
Pancasila. Konsep negara berdasarkan Pancasila inilah yang sampai saat ini
masih dianggap ampuh untuk mempersatukan bangsa Indonesia di dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam hal ini, makalah ini ingin mengatakan bahwa implikasi
(kbbi.kemdikbud) paling mendasar—yang kemudian disebut implikasi pokok—
dari polemik relasi agama dan negara dalam pembentukan dan perubahan
Konstitusi UUD 1945 adalah tercapainya sebuah kesepakatan mulia yang dapat
diterima semua kalangan, yaitu Pancasila. Sebagai sebuah kesepakatan,
Pancasila dapat dikatakan merupakan kontrak sosial. (Negara Madani: Aktualisasi
Nilai-nilai Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara [Yogyakarta:
SUKA-Press, 2015], hlm. 217) Perlu pula dicatat, kesepakatan tersebut tidak
hanya terjadi sekali melainkan berulang kali, sehingga menjadi kokoh dan
dapat dikatakan telah teruji oleh zaman dan generasi hingga sejauh ini.
Polemik yang terjadi telah mampu menurunkan tensi kepentingan dari semua
pihak, dan menerima Pancasila sebagai landasan negara, sekaligus menjadikan
Indonesia memiliki konsep negara yang khas dari negara-negara lainnya di
dunia. Proses, dinamika, serta diskursus dalam polemik relasi agama dan negara
telah berimplikasi pada lahirnya suatu sintesis konsep negara dari tawaran
konsep-konsep negara yang ada menjelang kemerdekaan.
Selain dari implikasi pokok tersebut, masih ada sejumlah impli-kasi
turunan—yang dapat disebut dengan implikasi cabang atau turunannya.
Setidaknya ada lima implikasi cabang yang diidentifikasi dalam artikel ini, yaitu,
pertama, Indonesia adalah negara yang berketuhanan dan mengakui eksistensi
agama. Hal ini tercermin dari sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha
Esa. Namun begitu, Indonesia tidak menyatakan suatu agama tertentu sebagai
agama resmi atau agama yang menjadi landasan negara. Hal ini berdampak pada
konsep negara Indonesia yang tidak dapat disebut sebagai negara sekuler sekaligus
secara bersamaan juga bukan negara teokrasi (negara agama). Indikator
mengenai hal ini paling terlihat pada Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang
Maha Esa. Selain itu dalam isi Konstitusi, hal ini terlihat pada penegasan bahwa

11
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam Konstitusi UUD
1945 terdapat pada pasal 29 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (1) dalam UUDS
1950.
Kedua, semua agama memiliki kedudukan yang sama di dalam negara
Indonesia, baik dengan pemeluk yang mayoritas maupun minoritas, serta tidak
mengenal adanya keistimewaan berdasarkan agama. Hal ini dibuktikan dengan
setiap warga negara, apapun agamanya, secara konstitusional memiliki hak
yang sama di dalam politik, bahkan hingga hak untuk mencalonkan diri sebagai
presiden. Pada mulanya, dalam kesepakatan persiapan kemerdekaan, “Presiden
ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”, lalu dalam Konsti-tusi yang
dibentuk dan berlaku menjadi “Presiden ialah orang Indo-nesia asli”, dan yang
sekarang menjadi “warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri”. Indikator
tentang ini bisa dilihat pada Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, Pasal 69 ayat (3)
Konstitusi RIS, dan Pasal 45 ayat (5) UUDS 1950.
Keempat, nilai-nilai agama menjadi salah satu pertimbangan yang
dipakai untuk membatasi kebebasan dalam menjalankan hak asasi. Dengan
begitu tidak ada kebebasan mutlak dalam menjalankan hak asasi. Indikator tentang
ini terutama pada Konstitusi UUD 1945 setelah mengalami serangkaian
amandemen pada 1999-2002, yang memang memberi perhatian yang lebih
pada persoalan hak asasi manusia. Pada Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, nilai-nilai
agama disebut sebagai bagian dari yang dipertimbangkan dalam pembatasan
hak asasi.
Kelima, peningkatan aspek spiritual keagamaan menjadi basis serta
tujuan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Sesuai dengan amanat
konstitusi, penyelenggaraan sistem pendidikan nasional agar mencapai pada
peningkatan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia. Indikatornya dapat
dilihat dalam rumusan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945, Pasal 18 Konstitusi RIS,
dan Pasal 41 UUDS 1950.
Itulah implikasi pokok beserta implikasi cabang atau turunan dari
adanya polemik relasi agama dan negara dalam pembentukan dan perubahan
Konstitusi UUD 1945. Kelima implikasi cabang yang disebutkan di atas berkorelasi

12
langsung dan eksplisit di dalam batang tubuh UUD 1945. Sedangkan implikasi
lain yang tidak disebutkan secara eksplisit di dalam UUD 1945 bisa menjadi
bahan kajian selanjutnya.
Akan tetapi perlu juga menjadi catatan, bahwa melihat perja-lanan
polemik relasi agama dan negara dalam setiap perumusan konstitusi Indonesia,
maka tidak menutup kemungkinan polemik yang sama akan muncul kembali di
kemudian hari. Terlebih ketika amandemen UUD 1945 di era reformasi,
keputusan akhir dalam Sidang Tahunan MPR-RI mengenai perdebatan soal
Pasal 29 hanya menyimpulkan bahwa permasalahan tersebut belum sempat
dibahas dalam Rapat Pleno Komisi A Majelis. Diskursus yang demikian itu, jika
pun berulang, akan menguji tentang keampuhan dan kesaktian kesepakatan luhur
bernama Pancasila. Namun demikian, juga diharapkan, agar polemik yang
demikian itu tidak melupakan latar belakang historis sejauh ini.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Relasi agama dan negara di Indonesia memiliki pola yang dinamis sejak
awal kemerdekaan hingga saat ini. Relasi agama dan negara, memiliki pola
simbiosis mutualisme. Negara membutuhkan agama sebagai sumber moralitas bagi
penyelenggaraan negara dan tata sosial kemasyrakatan, agama membutuhkan
negara untuk memfasilitasi peribadatan dan kebutuhan keagaamaan tertentu dari
tiap-tiap agama. Indonesia tidak menenetapkan satu agama tertentu menjadi agama
negara, Indonesia juga tidak memisahkan dasar-dasar negara dari agama. Indonesia
ada dalam posisi melekatkan agama dan negara di satu sisi, tetapi di sisi lain
menjaga jarak yang cukup konsisten antara agama dan negara.
Polemik agama dan negara ini berimplikasi pada lahir-nya sebuah
kesepakatan mulia berupa Pancasila sebagai dasar negara. Konsep Pancasila
menjadi sintesis dari ideologi yang berseberangan mengenai relasi agama dan
negara. Selain itu, dalam isi atau batang tubuh Konstitusi, polemik ini
berimplikasi lebih lanjut pada pengakuan negara terhadap eksistensi agama -
agama tertentu; perlakuan secara sama terhadap semua agama yang diakui;
pemberian jaminan kebebasan penduduk untuk memeluk dan menjalankan
ajaran agama; pengakuan dan penghormatan hak-hak asasi yang
mempertimbangkan nilai-nilai agama; dan pengembangan pendidikan nasional
yang berbasis dan berorientasi pada peningkatan aspek spiritual keagamaan.

B. Saran
Dalam makalah ini ada beberapa hal yang belum sempurna, untuk itu kami
meminta kritik,sarandan usulan bagi pembaca untuk menyempurnakan makalah
yang akan datang.

14
DAFTAR PUSTAKA

Sadzali, Ahmad. Relasi Agama dan Negara: Teokrasi-Sekular-Tamyiz.


Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Islam Fakultas Hukum UII,
2018
Kleden I, ‘Agama Dan Negara’ (Opini Kompas 2017).
M Mahfud MD, Hukum Islam Dalam Hukum Nasional (Kolom Opini Kompas
2018).
Ahmad Sholikin, ‘Pemikiran Politik Negara Dan Agama Ahmad Syafii
Maarif,’ (2012) 2 Jurnal Politik Muda.
Dahlan M, ‘Hubungan Agama Dan Negara Di Indonesia’ (2014) 14 Analisis:
Jurnal Studi Keislaman 1

15

Anda mungkin juga menyukai