Anda di halaman 1dari 15

HUBUNGAN ISLAM DAN BUDAYA LOCAL

DALAM KONTEKS NEGARA

( Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam )

Dosen pengampu : M. Indra Saputra M.Pd.I

DISUSUN OLEH :
Kelompok 11
Nabila nur Aisyah 2111100260
Amelia vega 2111100158

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MADRASAH


IBTIDAIYAHFAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah
Sejarah Peradaban Islam. Makalah ini membahas mengenai Hubungan Islam dan
Budaya Local dalam Konteks Negara. Kami mengucapkan banyak terimah kasih
kepada bapak dosen atas segala arahan dan bimbingan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini.

Penulis berharap makalah ini dapat memberi manfaat kepada pembaca dan
utamanya kepada penulis sendiri. Penulis menyadari, bahwa masih banyak
kesalahan dan kekurangan pada makalah ini. Hal ini Karena keterbatasan
kemampuan dari penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun dari semua pihak guna penyempurnaan makalah ini.

Bandar lampung, 26 April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................1
1

B. Rumusan Masalah..............................................................................................1
C. Tujuan................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................2
A. Hubungan antara Islam dan Negara....................................................................2
B. Fenomena demokrasi di Indonesia dalam perspektif Islam................................5
BAB III PENUTUP..................................................................................................11
Kesimpulan................................................................................................................11
Daftar Pustaka

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan
perdebatan yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli bahkan di kalangan
para pakar muslim hingga kini. Ketegangan perdebatan tentang hubungan agama
dan negara dalam Islam disulut oleh hubungan yang agak canggung dan
perbedaan pandangan dalam menerjemahkan antara agama sebagai bagian dari
negara dan negara bagian dari agama.
Perdebatan Islam dan negara berangkat dari pandangan dominan Islam
sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli) yang mengatur
semua kehidupan manusia termasuk persoalan politik. Banyak para ulama
berargumentasi bahwa Islam merupakan sistem kepercayaan di mana agama
memiliki hubungan erat dengan politik. Sedangkan negara secara umum
diartikan sebagai suatu persekutuan hidup bersama, sebagai penjelmaan sifat
kodrati manusia, sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hubungan antara Islam dan Negara ?
2. Bagaimana Fenomena demokrasi di Indonesia dalam perspektif Islam ?

C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan Hubungan antara Islam dan Negara
2. Menjelaskan Fenomena demokrasi di Indonesia dalam perspektif Islam

1
BAB I
PEMBAHASAN

A. Hubungan antara Islam dan Negara


1. Pengertian Negara
Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing, yakni
state (Inggris), staat (Belanda dan Jerman), dan etat (Perancis). Kata – kata
tersebut berasal dari bahasa latin status atau statum yang memiliki
pengertian tentang keadaan yang tegak dan tetap. Pengertian status atau
station (kedudukan). Istilah ini sering pula dihubungkan dengan kedudukan
persekutuan hidup antar manusia yang disebut dengan istilah status
republicae. Dari pengertian yang terakhir inilah kata status selanjutnya
dikaitkan dengan kata negara.
Sedangkan secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi
tertinggi di antara suatu kelompok masyarakat yang mempunyai cita cita –
cita untuk bersatu, hidup di suatu kawasan dan mempunyai pemerintahan
yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah
negara yang pada hakikatnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat, yaitu
masyarakat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.1 Beberapa tokoh
mendefinisikan pengertian negara sebagai berikut :
1. Roger H. Soultau: negara didefinisikan sebagai agency (alat) atau
authority (wewenang) yang mengatur atau mengendalikan persoalan –
persoalan bersama, atas nama masyarakat.
2. Harold J. Laski mengemukakan menurutnya negara merupakan suatu
masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang
bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu
atau manusia yang hidup bekerjasama untuk mencapai terkabulnya
keinginan – keinginan mereka bersama.
3. Max Weber mendefinisikan bahwa negara adalah suatu masyarakat
yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah
dalam suatu wilayah.2
1
Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006), hlm. 24
2
Miriam Budiarjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Media, 1987), hlm. 39-40

2
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa negara
adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah
pejabat yang berhak menuntut dari warga negaranya untuk taat pada
peraturan perundang – undangan melalui penguasaan monopolistis dari
kekuasaan yang sah.3 Dalam konsep ajaran Plato, tujuan adanya negara
adalah untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan dan
sebagai makhluk sosial.

2. Hubungan antara Islam dan Negara


Hubungan Islam dengan Negara telah terjadi sejak lama. Dalam
Islam sudah sejak abad 7 muncul melalui gagasan Rosulullah SAW yang
melahirkan Piagam Madinah sehingga banyak tokoh atau ilmuwan barat
yang mengapresasi kepemimpinan dan keteladanan Rasul dalam mengurus
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Pendapat para pakar berkenaan
dengan relasi agama dan negara dalam Islam dapat dibagi atas tiga
pendapat yakni paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan
paradigma sekularistik:
1. Paradigma Integralistik
Menurut paradigma integralistik, konsep hubungan agama dan
negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini
memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga
politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan bahwa
Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik (negara).
Paradigma integralistik ini dianut oleh kelompok Islam Syi’ah.

2. Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara
dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama
membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan

3
Khairon, dkk, Pendidikan Politik bagi Warganegara, (Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm. 111-114

3
mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara memerlukan
agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral,
etika, dan spiritualitas.
3. Paradigma sekularistik
Menurut paradigma sekularistik, ada pemisahan (disparitas)
antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua (2)
bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya
masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak
boleh satu sama lain melakukan intervensi (campur tangan).
Dalam Islam, hubungan agama dan negara menjadi perdebatan
yang cukup panjang di antara para pakar Islam hingga kini. Bahkan
menurut Azyumardi Azra, perdebatan ini telah belangsung sejak
hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. lebih lanjut
Azra mengatakan bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan
agama dan negara diilhami oleh hubungan yang agak canggung dalam
Islam sebagai agama dan negara. Berbagai eksperimen dilakukan
dalam menyelaraskan antara din dan konsep kultur politik masyarakat
muslm, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragam.
Samir Amin mengungkapkan bahwa selayaknya dunia Islam
melakukan diferensiasi antara utopia – utopia yang muncul di masa
lalai dan mengekspresikan konflik sosial antarkalangan yang
dieksploitir, penguasa yang dizalimi, dan kalangan yang menyeru pada
gerakan – gerakan kontemporer untuk mendirikan Negara Islam.
Hanya saja menurut Amir, sejarah yang benar membukktikan bahwa
penyatuan agama dan kekuasaan tidak terwujud kecuali pada masa –
masa belakangan dari perkembangan masyarakat Islam.

B. Fenomena Demokrasi di Indonesia dalam Perspektif Islam


1. Pengertian Demokrasi

4
Secara etimologis, demokrasi merupakan gabungan antara dua kata
dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan cratein atau cratos
yang berarti kekuasaan. Jadi,secara terminologis demokrasi berarti
kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Dengan kata lain, kedaulatan
rakyat mengandung pengetian bahwa sistem kekuasaan tertinggi dalam
sebuah Negara dibawah kendali rakyat.4
Pengertian demokrasi secara istilah menurut para ahli, adalah sebagai
berikut
2. Joseph A. Shumpter “Demokrasi merupakan suatu perencanaan
institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-
individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan
kompetitif atas suara rakyat”.
3. Sidney Hook: “Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana
keputusan-keputusan pemerintahan yang penting secara langsung atau
tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan
secara bebas dari rakyat dewasa”.
4. Henry B. Mayo: “Demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu
sistem yang menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-
pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik”.
Makna demokrasi dalam sebuah ideologi adalah bahwa ketika
sebuah Negara sebagai sebuah organisasi tertinggi dalam wilayah tertentu
menganut demokrasi, Negara tersebut harus mau menyerahkan kekuasaan
kepada rakyat, sehingga :
a) Rakyat yang membuat aturan dasar,
b) Rakyat yang membentuk pemerintahan
c) Rakyat yang membuat kebijakan untuk dilaksanakan oleh pemerintah
tersebut, dan
d) Rakyat yang mengawasi dan menilai pelaksanaan kebijakan tersebut
atau kinerja pemerintah.

4
Masri Sareb Putra. Etika dan Tertib Warga Negara, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010),hal.148

5
2. Demokrasi di Indonesia dalam Perspektif Islam
Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang terkait
dengan prinsip-prinsip utama demokrasi, antara lain QS. Ali Imran:
159 dan al-Syura: 38 (yang berbicara tentang musyawarah); al-
Maidah: 8; al-Syura: 15 (tentang keadilan); al-Hujurat: 13 (tentang
persamaan); al-Nisa’: 58 (tentang amanah); Ali Imran: 104 (tentang
kebebasan mengkritik); al-Nisa’: 59, 83 dan al-Syuro: 38 (tentang
kebebasan berpendapat) dst.7 Jika dilihat basis empiriknya, menurut
Aswab Mahasin, agama dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal
dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumpulan pemikiran
manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri.
Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk
berdampingan dengan demokrasi. Sebagaimana dijelaskan di depan,
bahwa elemen-elemen pokok demokrasi dalam perspektif Islam
meliputi: as-syura, al-musawah, al-‘adalah, al-amanah, al- masuliyyah
dan al-hurriyyah
a. As-syura
Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan
keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an.
Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura: 38: “Dan urusan mereka
diselesaikan secara musyawarah di antara mereka”. Dalam surat Ali
Imran: 159 dinyatakan:“Dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu”. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga
yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-
l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai
tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah,
jelaslah bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan
pertimbangan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap
mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap
keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung
jawab bersama

6
b. Al-‘Adalah
al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan
hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan
harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan
nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah
pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-
Nya, antara lain dalam surat an-Nahl: 90:
‫اِ َّن هّٰللا َ يَْأ ُم ُر بِ ْال َع ْد ِل َوااْل ِ حْ َسا ِن َواِ ْيت َۤاِئ ِذى ْالقُرْ ٰبى َويَ ْن ٰهى َع ِن ْالفَحْ َش ۤا ِء‬
َ‫َو ْال ُم ْن َك ِ{ر َو ْالبَ ْغ ِي يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُوْ ن‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
berbuat keji, kemungkaran dan permusuhan”
Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum
dengan adil tanpa pandang bulu ini, banyak ditegaskan dalam al-
Qur’an, bahkan disebutkan sekali pun harus menimpa kedua orang
tua sendiri dan karib kerabat. Nabi juga menegaskan, , bahwa
kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah karena jika “orang kecil”
melanggar pasti dihukum, sementara bila yang melanggar itu “orang
besar” maka dibiarkan berlalu8. Betapa prinsip keadilan dalam
sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang
“ekstrem” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati
ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia
negara (yang mengatasnamakan) Islam”5
c. Al-Musawah
al-Musawah adalah kesejajaran, egaliter, artinya tidak ada pihak
yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan
kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya
terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini
penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni
penguasa atas rakyat. Dalam perspektif Islam, pemerintah
adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan
5
Madani, Malik. “Syura, Sebagai Elemen Penting Demokrasi” . Jurnal Khazanah, UNISMA
Malang, 1999. hal 12.

7
kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk
melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang
telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab
besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu
pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat
dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al- musawah
ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah.
Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini
adalah surat al- Hujurat:13, sementara dalil Sunnah-nya cukup
banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi
kepada keluarga Bani Hasyim. Dalam hal ini Nabi pernah berpesan
kepada keluarga Bani Hasyim sebagaimana sabdanya: “Wahai Bani
Hasyim, jangan sampai orang lain datang kepadaku membawa
prestasi amal, sementara kalian datang hanya membawa pertalian
nasab. Kemuliaan kamu di sisi Allah adalah ditentukan oleh kualitas
takwanya”.
d. Al-Amanah
al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang
diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan
atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks
kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan
oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut
dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait
dengan sikap adil. Sehingga Allah SWT. menegaskan dalam surat
an-Nisa’: 58:
ۙ ٓ ‫ا َّن هّٰللا يْأم ُر ُكم اَ ْن تَُؤ ُّدوا ااْل َمٰ ٰن‬
ِ َّ‫ت اِ ٰلى اَ ْهلِهَا َواِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬
‫اس اَ ْن‬ ِ ْ ُ َ َ ِ
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ َ‫تَحْ ُك ُموْ ا بِ ْال َع ْد ِل ۗ اِ َّن َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْ{م بِ ٖه ۗ اِ َّن َ َكانَ َس ِم ْيع ًۢا ب‬
‫ص ْيرًا‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu supaya menyampaikan
amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil”. Karena jabatan pemerintahan adalah
amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan orang yang

8
menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah
bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam.
e. Al-Mas’uliyyah
al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita
ketahui, bahwa kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang harus
diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung
jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan
kekuasaan sebagai amanah ini memiliki dua pengertian, yaitu
amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan
juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.
Sebagaimana Sabda Nabi: Setiap kamu adalah pemimpin dan
setiap pemimpin dimintai pertanggung jawabannya. Seperti yang
diakatakn oleh Ibn Taimiyyah, ’’bahwa penguasa merupakan wakil
Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat
manusia dalam mengatur dirinya”. Dengan dihayatinya prinsip
pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing- masing
orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi
masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/ penguasa tidak
ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al- ummah (penguasa
umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dus
dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi
pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para
penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.
f. Al-Hurriyyah
Al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang,
setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk
mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan
cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam
rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak
ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus
diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak
yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya

9
keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat,
maka kezaliman akan semakin merajalela. Patut disimak sabda Nabi
yang berbunyi:“Barang siapa yang melihat kemunkaran, maka
hendaklah diluruskan dengan tindakan, jika tidak mampu, maka
dengan lisan dan jika tidak mampu maka dengan hati, meski yang
terakhir ini termasuk selemah-lemah iman”.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hubungan Islam dengan Negara telah terjadi sejak lama. Dalam Islam
sudah sejak abad 7 muncul melalui gagasan Rosulullah SAW yang
melahirkan Piagam Madinah sehingga banyak tokoh atau ilmuwan barat yang
mengapresasi kepemimpinan dan keteladanan Rasul dalam mengurus
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Pendapat para pakar berkenaan
dengan relasi agama dan negara dalam Islam dapat dibagi atas tiga pendapat
yakni paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma
sekularistik.
Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari
pergumpulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki
dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan
bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Sebagaimana dijelaskan
di depan, bahwa elemen-elemen pokok demokrasi dalam perspektif Islam
meliputi: as-syura, al-musawah, al-‘adalah, al-amanah, al- masuliyyah dan al-
hurriyyah

B. Saran

Demikian makalah ini penulis buat, jika terdapat kesalahan


dalam penulis maupun penyampaiannya penulis mengharapkan kritikan
dan saran dari pembaca. Atas kritikan dan saran dari pembaca penulis
ucapkan terima kasih

11
DAFTAR PUSTAKA

Rozak, Abdul. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: ICCE UIN Syarif


Hidayatullah.

Budiarjo, Miriam. 1987. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Media.

Khairon, dkk. 1999. Pendidikan Politik bagi Warganegara. Yogyakarta: LKIS.

Madani, Malik. 1999. “Syura, Sebagai Elemen Penting Demokrasi” . Jurnal


Khazanah, Malang : UNISMA.

Putra, Masri Sareb. 2010. Etika dan Tertib Warga Negara. Jakarta: Salemba
Humanika.

Anda mungkin juga menyukai