Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Islam Dan Negara

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Islam dan Ilmu Sosial Humaniora

Dosen Pengampuh : Muhammad Irfan, M.E

Disusun Oleh :

Alfi Fauziyah
Rahmat Arroby
Putri wulandari

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM RAUDHATUL AKMAL
BATANG KUIS -DELI SERDANG
SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................2
C. Tujuan ............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................3


A. Negara.............................................................................................3
B. Konsep Islam Tentang negara.....................................................4
C. Wacana islam dan negara.............................................................5
D. Islam dan Negara modern.............................................................6

BAB III PENUTUP..............................................................................................10


A. Kesimpulan...................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama dan negara merupakan dua hal yang memang sangatlah sulit untuk dipisahkan
dari kehidupan manusia. Agama dan negara seperti sebuah fitrah kehidupan yang harus diterima
oleh manusia. Pentingnya Agama dan Negara bagi manusia terletak pada seberapa besar
pentingnya manusia memuliakan kehidupannya. Atau setidaknya, sejauh mana manusia ingin
memanusiakan dirinya sendiri.
Menurut KBBI Agama diartikan sebagai ajaran, sistem yang mengatur keimanan dan
peribadahan kepada tuhan yang maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia . Kenyataan itu bahwa semua manusia dan kelompok-kelompoknya selalu
mempunyai kepercayaan tentang adanya suatu wujud maha tinggi, maha besar, dan bahwa
mereka selalu mengembangkan suatu cara tertentu untuk memuja dan menyembahnya,
menunjukkan dengan pasti adanya naluri keagamaan manusia.
Manusia pada dasarnya mempunyai naluri untuk percaya kepada tuhan dan
menyembahnya, dan disebabkan berbagai latar belakang masing-masing manusia yang
berbedabeda dari satu tempat ke tempat dan dari satu masa ke masa, maka agama menjadi
beraneka ragam dan berbeda-beda meskipun pangkal tolaknya sama, yaitu naluri untuk percaya
pada wujud maha tinggi tersebut. Keanekaragaman Agama itu menjadi lebih nyata akibat usaha
manusia sendiri untuk membuat agamanya lebih berfungsi dalam kehidupan seharihari, dengan
mengaitkannya kepada gejala-gejala yang secara nyata ada disekitarnya. Dilihat dari ajaran itu
agama sebagai ajaran Islam telah memberikan banyak pada negara Indonesia. Islam membentuk
civic culture (budaya bernegara), “national” solidarity, ideology jihad, dan control social.

B. Rumusan masalah
1. Apa saja konsep islam dan negara?
2. Bagaimana wacana islam dan negara ?
3. Bagaimana islam dan negara modern ?
C. Tujuan penulisan
1. Memahami konsep islam dan negara
2. Mengetahui bagaimana wacana islam dan negara
3. Mengetahui islam dan negara modern
BAB II
PEMBAHASAN

NEGARA DAN KONSEP ISLAM TENTANG NEGARA

A. Negara

Negara merupakan konsep yang paling penting dalam ilmu politik. Negara

selalu menjadi wilayah kajian karena di sana terdapat pergulatan politik dan

kekuasaan yang paling mudah untuk dilihat dan dikenali. Negara merupakan integrasi

dari kekuasaan politik.1

Negara adalah suatu badan atau organisasi tertinggi yang mempunyai

wewenang untuk mengatur hal-hal yang berkaitan untuk kepentingan orang banyak

serta mempunyai kewajiban-kewajiban untuk melindungi, menyejahterakan

masyarakat yang dinaunginya. Sedangkan menurut istilah negara atau "state" berasal

dari bahasa Latin status (stato dalam bahasa Itali, estat dalam bahasa Perancis dan

state dalam bahasa Inggris).2

Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas kekuasaan dapat digunakan

dalam kehidupan bersama baik yang dilakukan oleh individu maupun golongan atau

asosiasi, maupun oleh negara itu sendiri. Negara dapat menyatukan dan membimbing

kegiatan-kegiatan social dari penduduknya kearah tujuan bersama. Dalam hal ini,

dapat dikatakan bahwa sebuah negara mempunyai dua tugas :

1
Abu Bakar Abyhara, Pengantar Ilmu Politik, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010, hlm. 229.
2
Ahmad Syafi'i Maarif, Islam dan Cita-cita dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES,
1985, Cet. ke-1, hlm. 12.
1. mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang a-sosial,

yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi

antagonisme yang membahayakan, dan

2. mengorganisasi dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-

golongan kearah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya.

Negara menentukan bagaimana kegiatan asosiasi-asosiasi

kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan

nasional.3

Miriam Budiardjo mendefinisikan negara sebagai suatu organisasi yang

dalam suatu wilayah yang dapat memaksakan kekuasaanya secara sah terhadap

semua golongan dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan

bersama itu.4

Menurut Harold J. Laski, tujuan negara adalah menciptakan keadaan yang

rakyatnya dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal.

Negara harus memiliki fungsi sebagai berikut :

1. melaksanakan penertiban (law and order). Untuk mencapai tujuan

bersama dan mencegah terjadinya bentrokan-bentrokan dalam

masyarakat, negara harus melaksanakan penertiban atau negara

bertindak sebagai stabilisator.

3
Abu Bakar Abyhara, Pengantar Ilmu Politik, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010, hlm. 230.
4
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1984, hlm. 38.
1. mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.

2. pertahanan, untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar

3. menegakkan keadilan. Hal ini dilaksanakan melalui badan-badan

pengadilan.5

Keseluruhan fungsi negara di atas diselenggarakan oleh pemerintah untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Akan tetapi ada yang

berpandangan lain mengenai tujuan negara tersebut. Teori marxis menganggap

bahwa suatu negara bukanlah alat untuk mencapai tujuan bersama, akan tetapi

tujuan kelas yang berkuasa. Kelas berkuasa di zaman perbudakan adalah tuan

(pemilik budak), di zaman feodal yang sistemnya monarki atau kerajaan kelas

yang berkuasa adalah kelas tuan tanah atau penguasa tanah, sedangkan dalam

masyarakat kapitalis yang berkuasa adalah kapitalis atau pemilik modal. Negara

dalam era saat ini merupaka alat kapitalisme untuk memperjuangkan kepentingan

mereka yang menjadi pemilik modal, mereka mencari keuntungan yang sebesar-

besarnya dan menindas kaum buruh dan kelas pekerja.6

Kaum Marxis berpendapat bahwa tujuan negara adalah melanggengkan

ketimpangan kelas, dan itu terjadi karena negara (kelas berkuasa) memiliki alat-

alat pemaksa dan menguasai aparatur-aparatur hukum, sosial dan politik. Negara

hadir dalam arena pertentangan kelas ini. Bagi kaum Marxis, perjuangan politik

5
Ibid, hlm. 45-46.
6
Abu Bakar Abyhara, Pengantar Ilmu Politik, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010, hlm. 235.
pada ranah kenegaraan adalah mengalahkan kelas penguasa atau kapitalis dengan

jalan revolusi kelas kerja.

Revolusi yang menang akan mengganti negara berkelas dengan kekuasaan

kelas pekerja dan menghilangkan kelas-kelas dalam masyarakat (terjadinya

masyarakat komunis). Di awal terbentuknya revolusi, para dictator pemimpin

buruh atau kekuasaan yang mendominasi (dictator proletariat) diharapkan bisa

merubah tatanan menjadi demokrasi penuh ketika kelas-kelas menghilang.

Kediktatoran akan diganti dengan demokrasi dan kontradiksi ekonomi yang

dihancurkan akan membuat kontradiksi politik diasumsikan hilang dan negara

dianggap akan lenyap.7

B. Konsep Islam Tentang Negara

Dalam sejarah perkembangan ilmu politik, konsep negara merupakan

konsep yang dominan, sehingga bila membicarakan ilmu politik berarti

7
Tohir Bawazir, Jalan Tengah Demokrasi antara Fundamentalisme dan Sekularisme,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015, hlm. 79.
membicarakan negara dan segala sesuatu yang berhubungan denganya. Pada

awalnya ilmu politik mempelajari masalah negara. Dengan itu, pendekatan yang

muncul dalam ilmu politik adalah pendekatan legal-formal, yaitu suatu

pendekatan yang memahami ilmu politik dari sudut formal legalistic dengan

melihat lembaga-lembaga politik sebagai obyek studinya, termasuk didalamnya

masalah negara.

Dalam konsep Islam dalam negara ada 2 perspektif yaitu Islam dan

demokrasi, Pemerintah (Islam).

1. Islam dan Demokrasi

Sebelum masa Islam, orang-orang Arab memiliki suatu lembaga yang

disebut “dewan” (nadi), di mana orang-orang tua dari suatu suku atau suatu

kota memilih kepala pemerintah di tingkat suku maupun tingkat kota, hal

tersebut dengan tujuan untuk memusyawarahkan urusan-urusan mereka.

Lembaga inilah yang kemudian didemokratisasikan oleh Al-Qur‟an, dengan

menggunakan istilah nadi atau syura’.

Perubahan yang dilakukan oleh revolusi Islam adalah dalam rangka

menghargai suku-suku tersebut, suatu pemerintah pusat dibentuk dengan

diberi kekuasaan penuh oleh para orang tua suku-suku itu, yang benar-benar

mencerminkan adanya kesepakatan di antara seluruh anggota masyarakat.30

8
Ibid, hlm. 133.
9
Ibid, hlm. 134.
Model-model gerakan Islam modern dapat dilihat dari sikapnya yang

demokratis terhadap suatu negara. Sampai saat ini ada tiga model gerakan

Islam yang berkembang. Pertama, menolak demokrasi sebagai bagian dari

Islam, model ini beranggapan bahwa demokrasi merupakan sistem yang kufur

yang harus ditolak dan dijauhkan dari kehidupan masyarakat Islam. Karena

demokrasi itu produk Barat, sehingga harus dibuang jauh-jauh dalam

kehidupan masyarakat Islam. Kelompok ini menolak proses demokrasi seperti

pemilu dan sebagainya, sekaligus menolak hasil-hasil proses demokrasi, serta

tidak menghormati segala produk dan penguasaa hasil pemilu.

Kedua, menerima demokrasi dan menerima semua hasil demokrasi.

Ketiga, menolak semua proses demokrasi namun menerima hasil demokrasi.

Adanya ketiga model pemikiran Islam terkait demokrasi menunjukan bahwa

umat Islam masih belum sepakat dengan demokrasi yang dipakai sebagai alat

untuk memperoleh kepemimpinan dalam masyarakat modern. 31 Namun ketiga

model pemikiran tadi masih sepakat bahwa sistem Khalafaur Rasyidin yang

pernah ada dan berjalan selama kurang lebih tiga puluh tahun semenjak

Rasulullah SAW wafat sebagai sistem yang paling baik, ideal dan patut

diteladani.

10
ketika pasca kemerdekaan RI, umat Islam Indonesia sepakat untuk memperjuangkan
aspirasi politik dengan partai Islam tunggal, yaitu masyumi. Kemudian di tahun 1955 ketika pemilu
pertama digelar partai Islam sudah tidak satu lagi karena ada partai Islam lain, yaitu partai NU, Partai
PSII dan Partai Perti. Anehnya, di tahun 2015 umat Islam justru sebagian menolak adanya Partai Islam
dan system demokrasi sebagai alat perjuangan politik umat Islam. Ketika umat Islam kompak saja
masih belum menang pemilu apalagi tidak kompak.
2. Pemerintahan

Pemerintahan negara harus dipimpin oleh seorang yang mampu

mengelola secara efektif mengenai persoalan-persoalan negara yang

dipimpinnya. Menurut Islam, kepala negara merupakan pusat dari segala

kekuasaan eksekutif, kekuasaan sipil dan militer, serta kekuasaan yang secara

teknis dikenal dengan istilah kekuasaan “keagamaan”. Kepala negara

memegang kekuasaan tertinggi, baik dalam urusan sipil maupun keagamaan

dan sebagai panglima tertinggi dari angkatan bersenjata.

Salah satu pemikir berpengaruh di dunia Islam, Ibnu Khaldun,

membagi proses pembentukan kekuasaan politik (siyâsah) atau pemerintahan

menjadi tiga jenis. Pertama, politik atau pemerintahan yang proses

pembentukannya didasarkan atas naluri politik manusia untuk bermasyarakat

dan membentuk kekuasaan. Kedua, politik atau pemerintahan yang proses

pembentukannya didasarkan atas pertimbangan akal semata dengan tanpa

berusaha mencari petunjuk dari cahaya ilahi. Ia hanya ada dalam spekulasi

pemikiran para filosof. Ketiga, politik atau pemerintahan yang proses

pembentukannya dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah agama

yang telah digariskan oleh syari‟ah. Politik ini didasarkan atas keyakinan

bahwa Tuhan sebagai pembuat syari‟ah adalah yang paling tahu maslahat

yang diperlukan manusia agar mereka bisa bahagia di dunia dan akhirat. Ibnu
Khaldun menyebut jenis yang pertama dengan sebutan al-Mulk al-Thabi’iy32

yang kedua dengan sebutan al-siyâsah al-madaniyah dan yang ketiga dengan

sebutan al-siyasah al-diniyah atau syar’iyah.

Pada perkembangan berikutnya, kajian-kajian tentang negara dan

kaitannya dengan agama, selalu mendapat porsi lebih khusus. Inilah yang

menyebabkan munculnya kesepakatan para ulama yang mewajibkan adanya

pemerintahan, mekipun kajian klasik dan kontemporer punya pendapat yang

beragam mengenai bentuk pemerintahan itu. Kewajiban ini didasarkan pada :

a) ijma shahabat,

b) menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan yang kacau balau

akibat tidak adanya pemerintahan,

c) melaksanakan tugas-tugas keagamaan,

d) mewujudkan keadilan yang sempurna.33

Kajian-kajian mengenai pemerintahan, dan negara lebih unggul ketika

zaman kekhalifahan Usmani runtuh, konsep negara bangsa (nation state)

muncul pada awal abad XX. Dinamika itu menyebabkan para pemikir muslim

11
Ibn Khaldun, Muqaddimah, teksnya berbunyi al-mulk manshibun hab‟iyyun li alinsân li
annâ qad bayyannâ anna al-basyar la yumkinu hayâtuhum wa wujûduhum illa bi ijtimâ‟ihim wa
ta‟âwunihim wa ihtâjû min ajli dzâlika ila al-wâzi‟ wa huwa al-hâkim „alaihim. hlm. 187. Dalam teks
lain dikatakan: al-Mulk althabi‟iy huwa hamlu al-kâffah „ala muqtadla al-ghardli wa al syahwah wa
al- siyâsi wa huwa hamlu al-kâffah „ala muqtadla al-nazhri al-aqliyyi fi jalbi al-mashâlih
aldunyâwiyyah wa daf‟u al-madlâr hlm. 191.
12
Hasby Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam, 2002, Yogyakarta, Ar-Ruzz
hlm. 50-57.
mencari sintesa terbaik untuk merumuskan kembali konsep

kenegaraan Islam, relasi antara agama dan negara, serta

posisi agama dalam negara.

C. Wacana islam dan negara

Rasionalitas Politik Islam


Salah satu problematika yang dihadapi Islam adalah cibiran teori
pedas yang pernah ditulis oleh Kuntowijoyo, bahwa agama (Islam)
berdimensi banyak, sementara politik berdimensi tunggal yaitu dimensi
rasional. Maka menjadikan agama sebagai politik adalah reduksi besar-
besaran atas makna agama. Di sisi lain, urusan politik kenegaraan adalah
perkara yang rasional, sementara agama adalah urusan kembali kepada
wahyu.6 Menurut Kuntowijoyo, umat harus berada di garis depan dalam
pembentukan politik Islam yang rasional, sebab bila tidak, umat Islam
Indonesia mayoritas hanya akan menjadi penumpang dan bukan menjadi
pengemudi, yang selama ini pengemudinya adalah negara atau non-
Muslim.
Di antara dua entitas yaitu Islam (agama) dan negara, terdapat muatan
“politik”. Politik ini kemudian membentuk teori “politik Islam” dan
“politik negara”. Oleh karena itu, baik memisahkan maupun
menyandingkan agama (Islam) dan negara bukan persoalan gampang.
Dalam wacana politik, dua entitas tersebut selalu berada dalam
ketegangan dan senantiasa terjadi perdebatan yang cukup panjang. Oleh
karena itu, sebuah tawaran pemahaman

5Penggunaan term “Politik Islam” dimaksudkan untuk sebuah paradigma yang memandang

perlunya komunitas Islam yang berfungsi secara maksimal sehingga tercipta masyarakat Islam, dan
“politik
yang lebih longgar, mengakar dan rasional7 dalam menyikapi masalah-
masalah dunia dan agama, atau Islam dan negara, telah disampaikan al-
Shahrastanī seorang ahli kalam:

‫ﻮ ﻗ ﺋﻊ ﻏ ﻣﺘﻨ ﻫﻴﺔ وﻣ ﻻ ﻳ ﻨ ﻻ ﻳﻀﺒﻄﻪ ﻣ‬h‫ وا"ﺼﻮص إذا ﻧﺖ ﻣﺘﻨ ﻫﻴﺔ و ا‬...


8"... ‫ﻨ ﻳ‬
“…. bahwa naṣ atau teks (al-Qur’an dan al-Hadis) sudah berakhir, sedangkan
peristiwa-peristiwa (realita kehidupan) baru yang memerlukan penyelesaian
senantiasa terjadi (berkembang), dan sesuatu yang tiada berakhir tidak dapat
diatur oleh sesuatu yang sudah berakhir….”

Pandangan al-Shahrastanī di atas kemudian melahirkan kaidah yang men-


dasar yakni bahwa “wahyu sudah berakhir diturunkan, sedangkan peristiwa-
peristiwa baru yang memerlukan penyelesaian dan solusi tidak pernah ber-
akhir”. Kaidah ini dapat disebut sebagai teori yang relevan sehingga menjadi
keniscayaan untuk dijadikan pijakan guna melakukan dan mengembangkan
ijtihad atau pemikiran-pemikiran baru.

Objektivitas Negara terhadap Agama


Negara, sebagaimana dirumuskan dalam kamus bahasa Indonesia
me- miliki dua pengertian. Pertama, organisasi di suatu wilayah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat; Kedua,
kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang
diorganisir di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif,
mempunyai kesatuan politik,

13Diskursus sejarah politik Islam Indonesia dibahas oleh Bahtiar Effendy, dalam bukunya Islam dan

Negara terbit 1998, yang sebelumnya telah terbit karya lainnya yang ditulis bersama Fachry Ali, dalam
Merambah Jalan Baru Islam, terbit tahun 1986 dan Re-politisasi Islam; Pernahkah Islam
berpolitik? terbit tahun 2000, serta Teologi Baru Politik Islam terbit 2001.
berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.14 Dengan demi-
kian negara dalam pengertian modern adalah negara yang memiliki unsur-
unsur: wilayah, kekuasaan dan rakyat serta kedaulatan.
Berdasarkan pengertian di atas, maka Indonesia sebagai sebuah negara
adalah ciptaan masyarakat Indonesia sendiri, yang karenanya negara dalam
posisi objek menjalankan fungsinya sesuai dengan aturan-aturan yang ditetap-
kan pada tubuh negara. Disinilah objektivitas negara menjalankan cita-
citanya dalam berbagai aspek kehidupan penciptanya yaitu kepentingan-
kepentingan warganya mulai dari politik, ekonomi, pendidikan, budaya dan
agama.
Nilai-nilai ajaran agama (termasuk Islam) dipandang oleh banyak kalangan
secara representatif telah termuat di sebagian besar dari keseluruhan undang-
undang dan peraturan negara, secara normatif maupun secara yuridis formal15
sesuai dengan amanat rakyat. Mulai dari UUD 1945,16 pengesahan
Undang- Undang Pendidikan Nasional (UUPN) tahun 1988, hingga pada
legalitas lembaga-lembaga Islam seperti Peradilan Agama (Islam) melalui
pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) 1989,17 Majelis
Ulama Indonesia (MUI)18 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)19 di
Indonesia tahun 1991.

14Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 685.


15Muhammad Daud Ali membagi pemberlakuan hukum Islam di Indonesia menjadi dua yaitu
secara normatif dan yuridis, lihat Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, cet. XII (Jakarta: Raja Grafindo,
2004), h. 6.
16Menganalisis Undang-Undang Dasar 1945, hingga setelah mengalami amandemen selama

empat kali selama era reformasi masing-masing tahun 1999, 2000, 2001, dan 2004, tampak
keseluruhan isinya sesuai dengan pesan-pesan Islam, dan tidak ditemukan pertentangan yang fatal. Lihat:
UUD ’45 dan Amandemennya di bawah Kabinet Indonesia Bersatu, terbitan Fokus Media.
17Tentang teori dan praktek Peradilan Agama dapat dilihat dalam; Bustanul Arifin, Pelembagaan
Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1996); Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di
Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996); Amrullah Ahmad, dkk., Dimensi Hukum Islam dalam
Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1996); Jaih Mubarak (Editor), Peradilan Agama di
Indonesia (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004).
18Himpunan fatwa MUI sebagai lembaga legal negara tidak saja memuat fatwa-fatwa hukum

agama tetapi juga fatwa-fatwa politik dalam berbagai dimensi sosial kemasyarakatan, ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan sebagainya. Baca: Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 2003.
19Kompilasi Hukum Islam adalah kumpulan produk hukum Islam Indonseia yang diracik pada masa

‘Orde Baru’, sehingga disebut sebagai “Fikih Mazhab Negara” atau “Fikih Mazhab Orde Baru”.
Marzuki dan Rumadi megistilahkan dengan “fikih Islam berwawasan Pancasila”. Isi KHI meliputi tiga
buku (Pembahasan) yaitu; buku tentang Hukum Perkawinan terdiri dari 19 Bab dan 170 Pasal, buku
kedua tentang
Bahkan dalam perkembangan yang sangat monumental, sejak era refor-
masi, tahun 1998, kebebasan “berekspresi” semakin terbuka luas hingga
pada pendirian sejumlah partai-partai yang berbasis Islam, yang secara
historis dapat dirunut hingga pada masa pendirian partai politik Sarekat
Islam (SI) pada 11 November 1912.
Dengan demikian kedudukan agama (Islam) dalam konstelasi negara, jika
ditinjau dari perspektif politik, negara telah merespons keberadaan agama di
negara Republik Indonesia, ini di satu sisi. Pada sisi yang lain, posisi
agama, khususnya Islam telah menawarkan partisipasinya secara
konseptual di bawah sebuah negara yang berdasarkan Pancasila.

D. Islam dan negara modern

Sejak awal abad ke-19, salah satu tema yang paling


banyak menyita perhatian dalam kajian keislaman adalah hubungan
antara Islam dan modernitas. Populernya tema ini ditunjukkan oleh
banyaknya literatur yang ditulis tentangnya oleh penulis Muslim
maupun penulis bukan Muslim.8 Tema modernisasi Islam ini menjadi
objek kajian yang kontroversial

7
Survei singkat mengenai kegiatan pendidikan Islam pada masa kemandekan ini
dapat dilihat dalam Hasan Asari, Sejarah Pendidikan Islam: Membangun Relevansi Masa
Lalu dengan Masa Kini dan Masa Depan (Medan: Perdana Publishing, 2018), h. 61-
68.
8
Beberapa di antarannya: Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of
an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1984); H.A.R.
Gibb, Aliran-Aliran Moderen Dalam Islam, terjemahan M. Husein (Jakarta: Rajawali,
1992); Hassan Hanafi, Islam in the Modern World (Heliopolis: Dar Kebaa, 2000);
John Obert Voll, Islam: Continuity and Change in the Modern World (Boulder: Westview
Press, 1982); Nurcholish Madjid, The True Face of Islam: Essays on Islam and Modernity
in Indonesia (Jakarta: Voice Center Indonesia, 2003); dan lain-lain.
melibatkan kubu yang memandangnya sebagai keharusan di satu
sisi dan kubu yang melihatnya sebagai sesuatu yang terlarang di sisi
lain. Terlepas dari kontroversi yang sangat ramai pada tataran
filosofisnya, tak berlebihan bila modernitas disebut sebagai faktor
utama dinamika sejarah umat Islam sejak abad ke-19.
Pada bagian awal sudah disebutkan bahwa periode setelah abad
ke- 19 lumrah disebut sebagai periode modern dalam kajian sejarah
Islam. Dalam konteks ini kata ‘modern’ digunakan sebagai kata sifat yang
menunjukkan satu rentangan waktu sebagai kelanjutan dari periode
klasik dan periode pertengahan. Maka ketika disebutkan kata ‘Islam
Modern’, yang dimaksudkan adalah fenomena historis Islam yang
terjadi sejak tahun 1800 hingga saat ini. Sebuah periode sejarah tentu
saja terbentuk karena adanya perubahan yang serius dan substantif.
Para pengkaji sejarah Islam pada umumnya menyarankan tiga periode
dimaksud sebagai mewakili masa kemajuan pesat (klasik), masa
kemandekan (pertengahan), dan kebangkitan kembali (modern). Jika
gerak dinamika naik-turunnya sejarah Islam digambarkan dengan
sebuah kurva, maka periode modern mewakili garis tanjakan yang
kedua.
Zaman modern menjadi relevan bukan semata karena namanya
yang menarik, tetapi karena kandungan substantifnya yang disebut
modernitas. Dalam wacana pemikiran tentang modernitas ditemukan
banyak sekali saran dan pendapat tentang nilai-nilai fundamental dari
modernitas tersebut. Dalam kesempatan ini akan dikutipkan pandangan
yang diramu oleh Syahrin Harahap. Beliau berpendapat bahwa
manusia modern, yaitu manusia yang telah menghayati modernitas,
menganut dan menerapkan nilai-nilai fundamental berikut:9
1. Penghormatan terhadap akal. Manusia modern menghormati akal sebagai
anugerah Allah swt. yang membedakannya dari segala jenis ciptaan
lainnya. Penghormatan di sini bermakna pemanfaatan yang sebaik-
baiknya fungsi akal dalam kehidupan manusia.
2. Jujur dan memiliki tanggungjawab personal. Kejujuran adalah salah satu
simpul akhlak yang sangat fundamental dan semua lawan dari kejujuran
adalah tercela dalam sistem Islam. Kejujuran juga merupakan
awal dari sikap dan perilaku bertanggungjawab. Seorang yang
tidak jujur atau curang pada dasarnya adalah mengalihkan
tanggungjawab personalnya kepada orang lain dan pada saat yang
sama mengalihkan hak orang lain kepadanya.
3. Kemampuan menunda kesenangan sesaat demi kesenangan abadi. Kemampuan
menunda adalah kompetensi mental manusia modern. Secara sistemik,
kemampuan ini memungkinkan orang melihat sesuatu yang kompleks dan
mampu mengelola sebuah proses berjangka panjang. Dalam konteks
kesalehan, kesenangan sesaat adalah dunia dan segala dimensi material
kehidupan; sementara kesenangan abadi adalah kehidupan akhirat yang
kekal.
4. Komitmen waktu dan etos kerja tinggi. Manusia modern menghargai
waktu dan mampu mengelola penghargaan itu menjadi perilaku tepat
waktu, efisiensi waktu, dan prioritas waktu. Komitmen waktu yang baik
harus pula diimbangi dengan etos kerja yang baik. Maka manusia modern
adalah seseorang pekerja keras, pantang menyerah, dan menghargai waktu.
5. Keyakinan akan keadilan yang merata. Manusia modern meyakini bahwa
keadilan dapat diperjuangkan sehingga merata di tengah masyarakat.
Keadilan sosial, dengan demikian, menjadi salah satu cita-cita dari
seorang manusia modern. Sebaliknya, manusia modern memusuhi
kesenjangan sosial dan mengambil bagian dalam menguranginya.
6. Penghargaan tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Manusia modern menghargai
ilmu pengetahuan: mendorong pengembangannya, memanfaatkannya
secara baik dalam kehidupannya. Ia tidak akan tebelenggu oleh mitos,
klenik, dan aneka praktik yang tidak berbasis ilmu pengetahuan.
7. Perencanaan masa depan. Manusia modern, karena berpikiran jangka
panjang, memiliki perencanaan tentang masa depan. Ia memiliki proyeksi
masa depan dan bagaimana perannya dalam masa depan itu. Lalu ia
berupaya keras dan sistematis untuk merealisasikan rencananya itu.
Manusia modern tidak pasif dan menunggu garis nasib menentukan masa
depannya.
8. Penghargaan terhadap bakat dan kemampuan. Manusia modern menghargai
setiap bakat yang kemudian ditransformasikan ke dalam serangkaian
kemampuan. Ia menghargai orang lain berdasarkan kompetensi dan
profesionalitas.
9. Penegakan moralitas. Manusia modern menerapkan dan memperjuangkan penegakan moralitas,
baik pada tataran personal maupun pada tataran sosial. Ia percaya bahwa moralitas adalah
anasir mutlak dalam eksistensi dan perkembangan masyarakat manusia.

Dalam konteks sejarah Islam, modernitas jelas menjadi tujuan atau cita-cita utama
dalam dua abad terakhir. Ini dikatakan dengan tetap mengingat adanya perbedaan-
perbedaan yang terkadang sangat tajam tentang apa yang dimaksud dengan modernitas
tersebut. Rangkaian pengupayaan yang dilakukan untuk mencapai modernitas itu disebut
sebagai modernisasi. Modernisasi dapat diposisikan sebagai tema besar sejarah Islam
periode modern. Modernisasi merambah semua aspek kehidupan umat Islam tanpa
kecuali. Modernisasi berlangsung di semua wilayah Dunia Islam, meskipun dengan
intensitas dan tingkat kemajuan yang saling berbeda.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam dan negara tidak dapat diuraikan dalam satu pandangan tunggal, karena
keragaman interpretasi dan implementasi prinsip-prinsip Islam di berbagai konteks.
Beberapa negara menerapkan hukum Islam secara eksplisit, sementara yang lain
menggabungkan prinsip-prinsip Islam dengan sistem hukum sekuler.

Penting untuk diakui bahwa wacana ini terus berkembang, dan bagaimana Islam
diintegrasikan dalam ranah politik dan hukum suatu negara dapat sangat bervariasi.
Kesimpulan tergantung pada perspektif masing-masing individu, masyarakat, dan pemimpin
politik, serta bagaimana nilai-nilai Islam diinterpretasikan dan diimplementasikan dalam
konteks modern.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Rabi’, Ibrahim (ed.) Islam at the Crossroads: On the Life and Thought of
Bediuzzaman Said Nursi. Albany: SUNY Press, 2003.
al-Faruqi, Isma’il Raji. Islamization of Knowledge. Herndon: VA: Inter- national Institute of
Islamic Thought, 1982.
al-Faruqi, Ismail Raji dan Abdullah Omar Nassef, Social and Natural Sciences: The Islamic
Perspective. Jeddah: King Abdulaziz University, 1981.
al-Mubârakfûrî, Shafî al-Rahmân. Al-Rahîq al-Makhtûm (The Sealed Nectar): Biography of the
Noble Prophet. Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, 1995.
al-Sijistânî, Abû Dâwud. Sunan Abî Dâwud, edisi M. Muhy al-Dîn ‘Abd al- Hâmid.
Mesir: Al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1935.
Ananta, Aris, et al. Demography of Indonesia’s Ethnicity. Singapore: Institute of Southeast
Asian Studies, 2015.
Arkoun, Mohammed. Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers,
terjemahan Robert D. Lee. Boulder: Westview Press, 1994.
Asad, Muhammad. Islam at the Crossroads. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1975.
Asari, Hasan. “Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Refleksi Historis,” dalam Asrul Daulay &
Ja’far (ed.) Falsafah Pendidikan Islami: Menguak Nilai- nilai Pendidikan dalam Tradisi
Islam. Medan: Perdana Publishing, 2016.
Asari, Hasan. Modernisasi Islam: Tokoh, Gagasan, dan Gerakan. Bandung: Citapustaka Media,
2002
Tohir Bawazir, Jalan Tengah Demokrasi antara Fundamentalisme dan Sekularisme,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015, hlm. 79.
El-Ashker, Ahmed and Rodney Wilson, Islamic Economics: A Short History.
Leiden: E. J. Brill, 2006.
Esposito, John L. & John O. Voll. Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan
Prospek, terjemahan Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1999.
Friedman, Thomas L. From Beirut to Yerusalem. New York: Farrar Straus Giroux, 1990.
Gibb, H.A.R. Aliran-Aliran Moderen Dalam Islam, terjemahan M. Husein.
Jakarta: Rajawali, 1992.
Grunebaum, Gustav von. Classical Islam: A History 600-1258, terjemahan Katherine Watson.
London: George Allen & Unwin, 1970.
Grunebaum, Gustav von. Medieval Islam: A Study in Cultural Orientation.
Chicago: The University of Chicago Press, 1966.
Grunebaum, Gustav von. Modern Islam: The Search for Cultural Identity.
Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1983.
Hanafi, Hassan. Islam in the Modern World. Heliopolis: Dar Kebaa, 2000.
Harahap, Syahrin. “Universitas Islam sebagai Pusat Pembaharuan,” dalam Hasan Asari (ed.)
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara: Memperkokoh Eksistensi, Memperluas Kontribusi.
Medan: IAIN Press, 2015.

Anda mungkin juga menyukai