Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH ETIKA PEMERINTAHAN

“Negara, Legitimasi, dan Ideologinya”

Dosen Pengampu : Baskoro Wicaksono, SIP,MIP

DISUSUN OLEH :
Mia Salmiati 2001134831
vioni priyanto 1801112104
Fatih Zahwa 2001114479
M.Luthfi Aprilian 2001125196
Tengku Iyyzaza Zhuhrohh 2001111215
Muhammad Zahirsyah 2001110496
MATA KULIAH :
ETIKA PEMERINTAHAN (A)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “ Negara, Legitimasi, dan Ideologinya”.
Dalam penyusunan makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih pada semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
dan memberikan wawasan yang lebih luas bagi pembacanya. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini terdapat kelebihan dan kekurangannya sehingga kami mengharap kritik
dan saran yang dapat memperbaiki untuk penulisan makalah selanjutnya.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang Masalah...................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah...........................................................................................................4
1.3 Tujuan...............................................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................5
PEMBAHASAN........................................................................................................................5
2.1. Asal Usul Negara............................................................................................................5
2.2. Negara: Otoritas dan penegakan Moral...........................................................................7
2.3. Negara dan Ideologinya...................................................................................................9
2.4. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa Negara Indonesia...................................................12
2.5. Sistem Politik.................................................................................................................14
BAB III.....................................................................................................................................16
PENUTUP................................................................................................................................16
3.1   KESIMPULAN............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................17
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara adalah sebuah organisasi. Seperti layaknya sebuah organisasi, negara


memiliki anggota, tujuan dan peraturan. Anggota negara adalah warganya, tujuan negara
biasanya tercantum dalam pembukaan konstitusinya (undang-undang dasar), sedang
peraturannya dikenal sebagai hokum. Bedanya dengan organisasi yang lain, negara berkuasa
di atasin dividu-individu dan di atas organisasi-organisasi pada suatu wilayah tertentu.
Peraturan negara berhak mengatur seluruh individu danorganisasi yang ada pada suatu
wilayah tertentu, sedangkan peraturan organisasi hanya berhak mengatur fihak yang menjadi
anggotanya saja. Peraturan negara bersifat memaksa, bila ada yang tidak mematuhinya,
negara mempunyai hak untuk memberikan sanksi,dari sanksi yang bersifat lunak (denda)
sampai sanksi yang bersifatkekerasan (hukum bunuh misalnya).Sepanjang sejarah manusia
hidup di atas permukaan bumi,manusia telah bernegara. Mulai dari Negara dalam bentuknya
yang paling primitif yaitu negara kesukuan, negara kota, sampai Negara kerajaan, negara
republik dan negara demokrasi.Sampai saat ini tidak ada satupun ta’ rif negara yang diakui
semua fihak. Ahli-ahli ilmu kenegaraan saling berbeda pendapat tentang apa itu negara.
Secara sederhana bisa kita katakan bahwa yang dimaksud dengan negara adalah organisasi
yang menaungi semua fihak dalam suatu wilayah tertentu.
Negara merupakan institusi yang memiliki orientasi tertinggi yang memonopoli
berbagai perangkat perundangan untuk merealisasikan misi tertentu yang dicita-citakan oleh
suatu bangsa. Istilah Negara berasal dari kata state yang mempunyai dua makna yakni;
pertama, Negara adalah masyarakat atau wilayah yang merupakan satu kesatuan politis;
kedua, Negara adalah lembaga pusat yang menata dan dengan demikian menguasai wilayah
itu. Keragaman atau pluralitas masyarakat yang berasal dari berbagai suku, etnik, agama,
terlembaga dalam kesatuan politik yang memiliki perangkat perundangan yang sama
Negara identik sepenuhnya dengan institusi yang memiliki berbagai perangkat
perundangan yang melegalkan kekerasan untuk menjamin kehidupan yang lebih aman dan
damai, misalnya Negara berhak mengambil tindakan kekerasan terhadap terorisme, penjahat
dan atau kelompok-kelompok tertentu yang mengganggu ketertiban sosial dengan cara-cara
yang dilegalkan oleh Negara.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang di rumuskan di atas, maka rumusan masalah dalam
makalah yang berjudul “Negara, Legitimasi, dan Ideologinya” ini adalah :
1. Bagaimana asal usul terbentuknya sebuah Negara?
2. Bagaimana legitimasi sebuah negara?
3. Bagaimana konsep dari Ideiologi dan jenis-jenisnya?
1.3 Tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah yang berjudul “Negara, Legitimasi, dan
Ideologinya” ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang Negara, Legitimasi, dan
Ideologinya.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Asal Usul Negara


Secara singkat sebelum lahirnya Negara, diawali oleh perkumpulan-perkumpulan
yang akhirnya dapat membuka jalan menuju suku-suku, desa-desa, kota-kota bertembok,
perkebunan, kerajaan, kekaisaran dan bagian-bagiannya, dan yang paling baru adalah negara.
Dalam pengertian awal sebuah Negara, kelompok-kelompok sosial yang ada secara
keseluruhan adalah warga Negara yang merefleksikan pekerjaan, pandangan-pandangan
politik, kepercayaan-kepercayaan agama dan gaya hidup didalamnya. Dimana ada satu
kelompok yang meliput itu semua bernama Negara.
Pendapat ini telah dikemukan oleh Aristoteles di abad ke-4 SM yang menyebut
manusia sebagai zoon politikon. Aristoteles berpendapat bahwa “ hidup sebagi manusia hanya
mungkin dalam organisasi, tiada lain daripada binatang atau dewa.” (Hutauruk, 1977: 3;
Rapar 2002: 170). Aristoteles menganggap bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk
yang tidak pernah bisa lepas dari masyarakatnya. Manusia adalah makhluk kompleks yang
senantiasa mengarahkan kediriannya kepada ikatan kelompok ataupun kepada individu dalam
ikatan kelompok. Kenyataan terhadap hal ini, adalah mustahil untuk dapat memisahkan
kelompok dan individu dalam realitasnya, melainkan hanyalah dapat dibedakan dalam
definisi dan peristilahnya. Keluarga yang diatur secara patriarebal menurut Aristoteles
adalah cikal-bakal kelahiran Negara. Dari keluarga inilah kemudian timbul kekuasaan Negara
(gezag) karena penaklukan terhadap keluarga-keluarga lainnya.
Asal Mula Terjadinya Negara Berdasarkan Fakta Dan Teoritis Asal mula terjadinya
negara dibagi menjadi dua yaitu Secara Primer atau Asal mula terjadinya negara berdasarkan
pendekatan teoritis dan Secara Sekunder atau Asal mula terjadinya negara berdasarkan fakta.
a. Secara primer
Terjadinya negara secara primer adalah bertahap yaitu dari adanya masyarakat hukum yang
paling sederhana, kemudian berevolusi ketingkat yang lebih maju dan tidak dihubungkan
dengan negara yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian terjadinya negara secara primer
adalah membahas asal mula terjadinya negara yang pertama didunia. Menurut G. Jellinek,
terjadinya negara secara primer melalui empat tahapan (Fase) yaitu:
 Fase persekutuan manusia
 Fase kerajaan
 Fase negara
 Fase negara demokrasi dan diktatur
Tahap terjadinya negara sebagai berikut:
 Gennot Schaft (Suku)
Terhadap istilah Primus Interpares yang artinya yang
utama diantara sesama.
 Rijk/Reich (Kerajaan)
Disini mincul kesadaran hak milik dan hak atas tanah
 Staat
Kesadaran akan perlunya demokrasi dan kedaulatan
rakyat
 Diktatur natie
Pemerintahan yang dipimpin oleh seorang pilihan rakyat yang kemudian berkuasa secara
mutlak.
b. Secara Sekunder
Terjadinya negara secara sekunder adalah membahas terjadinya negara baru yang
dihubungkan dengan negara lain yang telah ada sebelumnya, berkaitan dengan hal tersebut
maka pengakuan negara lain dalam teori sekunder merupakan unsur penting berdirinya suatu
negara baru.
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan
tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Yang menekankan negara sebagai inti dari
politik (politics), memusatkan perhatiannya pada lembaga-lembaga kenegaraan serta bentuk
formalnya. Definisi-definisi ini bersifat tradisional dan agak sempit ruang lingkupnya.
Pendekatan ini dinamakan Pendekatan Institusional (Institutional approach). Berikut ini ada
beberapa definisi:
Roger F. Soltau misalnya, dalam bukunya Introduction to Politics mengatakan: “Ilmu
politik mempelajari negara, tujuan-tujuan negara... dan lembagalemabaga yang akan
melaksanakan tujuan-tujuan itu, hubungan antara negara dengan warganya serta hubungan
antar Negara.
J. Barents, dalam Ilmu Politika: “Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari
kehidupan bermasyarakat dengan negara sebagai bagiannya ilmu politik mempelajari negara
dan bagaimana negara tersebut melakukan tugas serta.

2.2. Negara: Otoritas dan penegakan Moral

Para teoritisi sosial politik menjelaskan bahawa institusi Negara merupakan institusi
yang memonopoli peraturan hukum, institusi yang diberi keabsahanuntuk melakukan
berbagai tindakan yang menjamin terselenggarakan kehidupan umum yang damai. Max
Weber seorang sosiolog mendefinisikan Negara adalah lembaga kemasyarakatan yang
berhasil memiliki monopoli hukum untuk menggunakan kekerasan fisik disuatu daerah
tertentu (Gerth dan Mills, 1962: 11)
Istilah kekuasaan mengandung rumusan atau pengertian yang amat luas, tetapl darl
berbagai rumusan atau pengertian kekuasaan yang dirumuskan para ilmuwan dari berbagai
disiplln ilmu, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kekuasaan adalah kemampuan pelaku
untuk rriempengaruhi tingkah laku orang lain sedeinlklan rupa, sehingga tingkah laku orang
lain tersebut sesual dengan kelnginan orang yang mempunyai. Dalam kaitan dengan
kekuasaan tersebut dikenal Istliah authority (otoritas, wewenang) dan legitimacy.
Pengertian kekuasaan dan authority ,(otoritas, wewenang) serta legitimacy
mempunyai hubungan eratsatu sama dengan lainhya. Karena itu dalam kepustakaan banyak
ditemukan pengertian mengenal author ity (otoritas, atau legalized power atau wewenang)
dan legitimacy yang dirumuskan oleh para ilmuan, seperti halnya rumusan atau pengertian
kekuasaan.
Setiap kekuasaan negara harus berdasarkan dan atau memiliki otoritas dan atau
wewenang.Otoritas atau wewenang yang dimaksud iaiah hak yang dimiliki oleh seseorang
atau sekelompok orang yang diorganisir dalam bentuk negara atau pemerintahan. Jadi di sini
penekanannya adalah piada hak dan bukan pada kekuasaan semata-mata, Suatu kekuasaan
tanpa disertai otoritas atau wewenang akan merupakan kekuatan tidak sah. Karenanya suatu
kekuasaan harus memperoleh pengakuan dan pengesahan dari masyarakat agar lahir suatu
otoritas atau wewenang. Kekuasaan sendiri masih bersifat abstrak. Suatu kekuasaan haruslah
disertai otoritas. Kekuasaan tanpa otoritas tidak banyak artinya, karenanya diperlukan
pengabsahan dan pelembagaan, sehingga kekuasaan baru akan diterima sebagai sesuatu yang
benar. Kekuasaan demikian inilah yang menjadi otoritas. Dengan demikian otoritas berarti
kekuasaan yang diterima dan diabsahkan.

 Otoritas.

Istilah otoritas serihg digunakan secara bergantian dengan istilah wewenang atau
berwenang (authoritative), namun Max Weber lebih sering menggunakan Istilah otorltas
daripada istilah kekuasaan. ' Otoritas berarti membuat agar orang lain mematuhi suatu
perintah dengan maksud (isi) tertentu, sehingga apabila dibandingkan dengan kekuasaan
maka kekuasaan tidak ada artinya apabila tidak disertai dengan otoritas. Demikian pula jika
dihubungkan dengan suatu organisasi misalnya negara. Suatu organisasi atau negara tidak
akan dapat menjalankan fungsi jika tidak disertai dengan otorltas, sehingga otoritas
mempunyai arti penting. Otoritas merupakan bentuk khusus dari kekuasaan karena dengan
otoritas baru terlihat bahwa suatu kekuasaan diterima dan diabsahkan. Dengan demikian
dalam suatu pemerintahan otoritas akan terwujud dan berfungsi sebagai pemerintahan karena
itu otoritas disebut kekuasaan yang dilembagakan.
Menurut Max Weber keharusan bagi otoritas iaiah keabsahan (legitimasi) dan
keabsahan itu selalu dihubungkan dengan hukum. Otoritas sah apabila otoritas ditenma oleh
pengikutnya sebagai sesuatu yang mengikat. Jadi otoritas Itu menuntut adanya ketaatan.
Otoritas yang tahan lama ialah otoritas yang sah. Otoritas berhak menuntut ketaatan dan
berhak pula memberikan perintah.
Menurut Muchtar Samad (2016), kata moral berasal dari bahasa latin mores dengan
asal kata mos yang berarti kesusilaan, tabiat dan kelakuandengan demikian kata moral dapat
diberikan makna kesusilaan, sedangkan moralitas berarti segala hal yang berkenaan dengan
kesusilaan, dengen demikian kata Muchtar Samad moral, yaitu jiwa yang mendasari perilaku
seseorang atau masyarakat yang lebih ditekankan kepada ketentuan yang bersifat sosial
(Samad, 2016). Dian Ibung mendefinisikan moral sebagai suatu keyakinan yang mendasari
tindakan atau pemikiran yang sesuai dengan kesepakatan sosial, moral yang baik akan
menjadikan modalindividu dalam berintekrasi sosial (Dian Ibung, 2013).
Sistem hukum Indonesia dijadikan groundnorm norma dasar pancasila, yang
merupakan kaidah dan norma yang menjadi dasar berlaku legalitas di Indonesia. Maka tertib
hukum Indonesia adalah pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita moral kejiwaan watak
bangsa Indonesia meliputi kehidupan keagamaan yang berbudi menjunjung tingi nilai
keadilan. Dengan demikian persyaratan penegak hukum harus jujur, adil dan memiliki
integritas dan bermoral. Jadi menurut Prof. Agus Santoso moral merupakan suasana kejiwaan
serta watak maupun keagamaan dari masyarakat atau individu yang menjunjung tinggi nilai-
nilai keadilan dalam bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat(Agus Santoso,
2015).Menurut Haryatmoko moral merupakan wacana normatif dan imperatif yang
diungkapkan dalam kerangka baik atau buruk, benar/salah yang dianggap nilai mutlak atau
transeden, sedangkan etika dipahami sebagai refleksi filosofis tentang moral, dan lebih
merupakan wacana normatif(Haryatmoko, 2011).Moral adalah kesadaran hati dari tiap-tiap
jiwa manusia; kesadaran hati nurani untuk menghormati dan mencintai sesama, membela
kaum tertindas, bersikap altruistik dengan mementingkan kepentingan masyarakat banyak
dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai humanisme. Dengan adanya kesadaran jiwa ini
maka dapat dipastikan akan terjadi pertentangan dengan sikap dan perilaku negatif.
Dengan demikian pengertian moralitas adalah pedoman yang dimiliki setiap individu
atau kelompok mengenai apa yang benar dan salah berdasarkan standar moral yang berlaku
dalam masyarakat. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan
bagaimana manusia seharusnya bertindak, berdasarkan pada nilai dan norma. Moralitas
dipertanyakan tampak (tangible) dalam perilaku dan tidak jujur dan tidak tampak (intangible)
dalam pikiran yang bertentangan dengan hati nurani dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pelaporan.moralitas yang dengan sengaja menentang hati nurani adalah soal integritas yaitu
keteguhan hati untuk berpendirian tetap mempertahankan nilai-nilai baku. Menurut Supirman
Rahman & Nurul Qomar, etika merupakan konsepsi tentang baik atau buruknya perangai atau
perilaku seseorang. Sedangkan moral adalah perilaku yang baik atau buruknya seseorang.
Etika merupakan ide-ide, cita-cita tentang dambaan kebaikan perbuatan atau perilaku
manusia contoh perilaku keteladanan, sedangkan yang bermoral adalah orang yang melakoni
keteladanan itu(Supirman Rahman, 2014).

2.3. Negara dan Ideologinya


Ideologi merupakan sebuah konsep yang fundamental dan aktual dalam sebuah
negara. Fundamental karena hampir semua bangsa dalam kehidupannya tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh ideologi. Aktual, karena kajian ideology tidak pernah usang dan
ketinggalan jaman. Harus disadari bahwa tanpa ideology yang mantap dan berakar pada nilai-
nilai budaya sendiri, suatu bangsa akan mengalami hambatan dalam mencapai cita-citanya.
Menurut Syafiie (2001:61), Ideologi adalah “sistem pedoman hidup yang menjadi cita-cita
untuk dicapai oleh sebagian besar individu dalam masyarakat yang bersifat khusus, disusun
secara sadar oleh tokoh pemikir negara serta kemudian menyebarluaskannya dengan resmi”.
Menurut Sutrisno (2006:24), istilah “ideologi pertama diciptakan oleh Desstutt de
Tracy tahun 1976 di Perancis, telah terjadi pergeseran arti begitu rupa sehingga ideologi
dewasa ini merupakan istilah dengan pengertian yang kompleks”. Menurut Syamsudin
(2009:98), ideologi adalah Ideologi secara etimologis ideologi berasal dari kata idea dan
logos. Idea berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita. Kata idea berasal dari bahasa
Yunani ideos yang berarti bentuk atau idean yang berarti melihat, sedangkan logos berarti
ilmu. Dengan demikian ideologi berarti ilmu pengertian-pengertian dasar ide-ide (the scince
of ideas) atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar. Ide dapat di artikan cita-cita yang
bersifat tetap dan yang harus dicapai”. Berarti cita-cita ini pada hakikatnya merupakan dasar
pandangan atau faham yang diyakini kebenarannya. Ideologi diharapkan dapat memberikan
tuntunan atau pedoman perilaku bagi warga masyarakat dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa. Inilah arti pentingnya sebuah ideologi bagi bangsa dan negara.
Menurut Syamsudin (2009:98), ideologi adalah “keseluruhan prinsip atau norma yang
berlaku dalam suatu masyarakat yang meliputi berbagai aspek, seperti sosial politik,
ekonomi, budaya, dan hankam”. Menurut W.White sebagaimana dikutip Kansil (2005:27),
Ideologi ialah soal cita-cita mengenai berbagai macam masalah politik dan ekonomi filsafat
sosial yang sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematis tentang cita-cita yang
dijalankan oleh kelompok atau lapisan masyarakat. Dengan demikian ideologi merupakan
alat pengikat yang baik karena didasarkan pada pemikiran yang menyatakan bahwa jika
persatuan sudah terwujud maka alat pengikat sudah tidak diperlukan. Kenyataan
menunjukkan bahwa kebersamaan masyarakat sebenarnya dibangun diatas keanekaragamaan
(budaya, etnis, bahasa, agama dan sebagainya) sehingga perpecahan merupakan benih yang
subur dan siap meledak setiap saat. Mengingat pentingnya ideologi bagi sebuah negara, maka
pembinaan secara terus menerus agar ideologi yang diterimanya semakin mengakar dan pada
gilirannya mampu membimbing masyarakat menuju pemikiran yang relatif sama. Upaya
memahami ideologi bagi suatu bangsa juga dapat dilakukan melalui pemahaman tentang
fungsi ideologi yang dianut oleh suatu negara.
Istilah ideologi sendiri pertama kali dilontarkan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754 -
1836), pada saat bergejolaknya Revolusi Prancis. De Tracy mendefinisikan ideology sebagai
ilmu tentang pemikiran manusia, yang mampu menunjukkan arah yang benar menuju masa
depan. Namun, seperti dikatakan Novel Ali pemikiran ini mengalami distorsi makna.
Napoleon Bonaparte (1769-1821) yang sebelum berkuasa sangat menghormati De Tracy,
memanipulasi pengertiannya mengenai ideologi setelah menjadi kaisar dengan cara
memojokkan De Tracy. Ideologi yang sebelumnya ditafsirkan De Tracy sebagai sebuah
konsep yang konkritpun berubah menjadi konsep yang abstrak.
Dengan hakikat yang seperti itu, dalam pandangan beberapa akademisi ideology juga
tampak memiliki arti yang tidak jauh berbeda dengan pengertian ideologi dalam artian
leksikal. Hanya saja, pengertian akademisi dimaksud tampak sudah dengan tegas
memperlihatkan fungsi dari ideologi itu. Fungsi dimasud tercermin dari kata-
kata :mengontrol” dan ”mengatur”. Terkait dengan ini, Raymond Williams misalnya,
mendefinisikan ideologi itu sebagai sebuah bentuk yang relatif formal dan mengartikulasikan
sistem makna, nilai-nilai dan kepercayaan, ataupun semacamnya yang diabstraksikan sebagai
sebuah “pandangan dunia” atau “pandanganan kelas” (Williams, 1977, p 109). Samuel
Becker (1984; p 69), ideologi merupakan “cara kita mempersepsi dunia kita dan diri kita;
ideology mengontrol apa yang kita lihat sebagai sesuatu yang “alami”. “Sebuah ideologi
merupakan suatu bentuk setting, diintegrasikan dalam bingkai referensi, di mana di dalamnya
melewati masing-masing dari kita untuk melihat dunia dan yang mengatur tindakan kita
semua” (Beckers, 1984, p 69).
Jenis-jenis Ideologi
1. Pancasila
Pancasila adalah paham ideologi yang berdasarkan lima sila dalam Pancasila.
2. Liberalisme
Kebebasan telah muncul sejak adanya manusia di dunia, karena pada hakikatnya
manusia selalu mencari kebebasan bagi dirinya sendiri. Bentuk kebebasan dalam
politik pada zaman dahulu adalah penerapan demokrasi di Athena dan Roma. Namun,
kemunculan liberalisme sebagai sebuah paham pada abad akhir abad 17.
Liberalisme berasal dari kata liberalis yang berarti bebas. Dalam liberalisme,
kebebasan individu, pembatasan kekuasaan raja (pemerintah), dan persaingan pemilik
modal (kapital). Karena itu, liberalisme dan kapitalisme terkadang dilihat sebagai
sebuah ideologi yang sama.
3. Kapitalisme
Kapitalisme (capitalism) berasal dari kata kapital (capital), yang berarti modal. Modal
disini maksudnya adalah alat produksi, seperti tanah dan uang. Jadi, arti kapitalisme
adalah ideologi di mana kekuasaan ada di tangan kapital atau pemilik modal, sistem
ekonomi bebas tanpa batas yang didasarkan pada keuntungan, di mana masyarakat
bersaing dalam batasan-batasan ini. Menurut cara pandang kapitalisme, setiap
individu bukanlah bagian dari masyarakat, tetapi merupakan suatu pihak yang harus
berjuang untuk kepentingan sendiri. Dalam perjuangan ini, faktor penentunya adalah
produksi. Produsen unggul akan tetap bertahan, dan produsen lemah akan tersingkir.
4. Sosialisme
Sosialisme adalah serangkaian sistem ekonomi dan sosial yang ditandai dengan
kepemilikan sosial atas alat-alat produksi dan manajemen mandiri pekerja, serta teori-
teori dan gerakan politik yang terkait dengannya. Kepemilikan sosial dapat berupa
kepemilikan negara, kolektif, koperasi, atau kepemilikan sosial atas ekuitas. Ada
banyak varian sosialisme dan tidak ada definisi tunggal yang merangkum semuanya,
dengan kepemilikan sosial menjadi elemen umum yang dimiliki berbagai variannya.
Sosialis merujuk pada orang yang menganut paham sosialisme.
Ideologi politik yang lain
Anarkisme / anti otoriter, atau maupun Anomie, a-: tanpa, dan nomos: hukum atau
peraturan, tanpa norma, tanpa budaya, tanpa adat, keadaan yang kacau, tanpa peraturan.
Seperti acara tanpa program. Anomie juga merupakan bentuk penyimpangan masyarakat dan
penyimpangan sosial karena ketidak pedulian terhadap aturan yang berlaku, yang seharusnya
mengikat perilaku mereka agar tidak barbar.
-Crypto-anarchism -Psychoanalytic feminism
-Collectivist anarchism -Socialist feminism
-Anarcha-feminism -Separatist feminism
-Feminisme -Sindikalisme
-Anarcha-feminism
-Anarko-Sindikalisme, percaya terhadap metode aksi langsung, instant
sindikalisme, candak langsung (dengan atau tanpa negosiasi rundingan) — yaitu, aksi
yang secara langsung memperoleh keuntungan, sebagai lawan dari aksi tak langsung,
seperti memilih perwakilan untuk duduk dalam pemerintahan.
-Politik Hijau

2.4. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa Negara Indonesia

Ideologi negara merupakan perkembangan dari ideologi bangsa. Abdurrahman Wahid


(Gus Dur) (1991:163), menyatakan Pancasila sebagai ideologi bangsa artinya setiap warga
negara Republik Indonesia terikat oleh ketentuan-ketentuan yang sangat mendasar yang
tertuang dalam sila yang lima. Kadang-kadang kedua istilah tersebut, disatukan menjadi
Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia (Kaelan, 2010: 30-31). Pancasila
sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia dimaksdukan bahwa Pancasila pada
hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau
kelompok orang sebagaimana ideologi –ideologi lain di dunia, namun Pancasila diangkat dari
nilai-nilai adat-istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai-nilai relegius yang terdapat dalam
pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara. Dengan perkataan lain
unsur-unsur yang merupakan materi (bahan) Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan
hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakan kausa materialis (asala
bahan) Pancasila. Unsur-unsur Pancasila tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan oleh
para pendiri negara. Sehingga Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara dan ideology
bangsa dan negara Indoensia.
Pembukaan UUD 1945, menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara. Dengan
demikian Pancasila merupakan nilai dasar yang normatif terhadap seluruh penyelengaraan
negara Republik Indonesia. Dengan kata lain Pancasila merupakan Dasar Falsafah Negara
atau Ideologi Negara, karena memuat norma-norma yang paling mendasar untuk mengukur
dan menentukan keabsahan bentuk-bentuk penyelenggaraan negara serta kebijaksanaan-
kebijaksanaan penting yang diambil dalam proses pemerintahan (Soerjanto Poespowardojo,
1991:44). Pancasila sebagai ideologi negara berarti Pancasila merupakan ajaran, doktrin, teori
dan/atau ilmu tentang cita-cita (ide) bangsa Indonesia yang diyakini kebenarannya, disusun
secara sistematis serta diberi petunjuk dengan pelaksanaan yang jelas.
Abdurrahman Wahid (1991:163) menyatakan Pancasila sebagai falsafah Negara
berstatus sebagai kerangka berpikir yang harus diikuti dalam menyusun undang-undang dan
produk hukum yang lain, dalam merumuskan kebijakan pemerintah dan dalam mengatur
hubungan formal antar lembaga-lembaga dan perorangan yang hidup dalam kawasan Negara
ini.Sedangkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia (Kaelan, 2010 :40-41) memiliki
konsekuensi segala peraturan perundang-undangan dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila.
Dengan lain perkataan Pancasila merupakan sumber hukum dasar Indonesia, sehingga
seluruh peraturan hukum positif Indonesia diderivasikan atau dijabarkan dari nilai-nilai
Pancasila. Kemudian Pancasila sebagai dasar kehidupan kebangsaan dan kenegaraan adalah
merupakan Identitas Nasional Indonesia (Kaelan, 2010 :39). Maksudnya bahwa asal nilai
(kausa materialis) Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri. Konsekuensinya ciri khas sifat,
serta karakter bangsa Indonesia tercermin dalam sistem nilai filsafat Pancasila. Sebagai
sistem nilai, maka susunan Pancasila (1) bersifat hierarkhis dan berbentuk Piramidal, (2)
bersifat saling mengisi dan saling mengkualifikasi (Kaelan, 2010 :10-12).
Susunan hierarkhis dan berbentuk piramidal, intinya bahwa urut-urutan lima sila
menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi-sifatnya, merupakan
pengkhususan dari sila-sila yang dimukanya. Dalam susunan hierarkhis dan berbentuk
piramidal, maka Ketuhanan yang Maha Esa menjadi basis kemanusiaan, persatuan Indonesia,
kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya Ketuhanan yang Maha Esa adalah Ketuhanan
yang berkemanusiaan, yang membangun, memelihara dan mengembangkan persatuan
Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial, demikian selanjutnya, sehingga
tiaptiap sila di dalamnya mengandung sila-sila yang lain. Kemudian susunan Pancasila dalam
hierarkhis pyramidal dapat dirumuskan dalam hubungannya saling mengisi dan saling
mengkualifikasi. Tiap-tiap sila mengandung empat sila lainnya, dikualifikasi oleh empat sila
lainnya. Rumusannya sebagai berikut:
1. Sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang
adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan/perwakilan, yang berkeadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia.
2. Sila kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang berketuhanan
Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan/perwakilan, yang berkeadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia.
3. Sila ketiga : Persatuan Indonesia adalah persatuan yang berketuhanan Yang Maha Esa,
yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, , yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan/perwakilan, yang berkeadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia.
4. Sila keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusywaratan/perwakilan adalah kerakyatan berketuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia yang berkeadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
5. Sila kelima : Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang berketuhanan
Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia,
yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusywaratan/perwakilan.

2.5. Sistem Politik

Pada hakekatnya politik sebagai aktivitas yang menentukan pola hubungan dan
hubungan manusia dan negara, maka hal ini tidak dapat dipisahkan dari aspek konstitusional
yang merupakan hukum dasar baik tertulis maupun tidak tertulis yang menyelenggarakan
pemerintahan negara. Ia memuat pengorganisasian jabatan-jabatan kenegaraan, lembaga yang
memerintah dan tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian konstitusi merupakan hukum
dasar yang menjadi norma sekaligus sebagai sumber hukum dan juga berfungsi sebagai dasar
struktur bagi sistem politik serta dasar keabsahan kekuasaan yang dimiliki lembaga-lembaga
politik sehingga mereka dapat menyelenggarakan fungsi yang dimilikinya. Oleh karena itu
ruang lingkup yang dijangkau oleh sistem politik mencakup:
1) The governmental political sphere yaitu pola kehidupan supra struktur negara atau pola
dan hubungan antara lembaga formal. Dalam bagian ini ditentukan ketentuan-ketentuan
formal kelembagaan atau fungsi peranserta tugasnya, sehingga ketentuan formal disebut pula
“constituonal law” (ketentuan konstitusi yang memuat bagaimana seharusnya pemerintahan
dan kehidupan negara dikeola.
2) The actual govermental mechanisme atau the socio political sphere, yaitu mengenai pola
keadaan dan kehidupan infra struktur, atau pola serta tata hubungan lembaga-lembaga sosio
politik yang nyata dalam mekanisme pemerintahan negara.
Dengan adanya dua sistem politik ini, idealnya antara kedua hal tersebut selalu
seirama dan selaras. Namun faktor riil kehidupan sering menyebabkan kedua hal tersebut
berbeda dan kelainan ini menciptakan berbagai akibat yang melahirkan alternatif, antaranya:
pola penyesuaian, pola yang menyimpang dan pola baru sama sekali. Dengan melihat hal di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa konstitusi merupakan pula suatu unsur dalam konsep
politik. Ia juga menetapkan lembaga-lembaga yang membangun struktur dari sistem politik
dan menetapkan fungsi-fungsinya serta melengkapinya dengan otoritas yang diperlukan
dalam penyelenggaraan fungsinya. Melihat apa yang telah dikemukakan di atas, maka dalam
konstitusi tersirat tujuan yang dicapai oleh masyarakat melalui sistem politiknya. Dan
tujuan-tujuan politik ini menjadi ideologi negara. Jadi keberadaan ideologi dalam
konstitusi berimplikasi pentingnya ideologi bagi negara dan sistem politik yang
bersangkutan. Hal ini dapat dipahami jika dikaitkan dengan kedudukan konstitusi sebagai
hukum dasar, ia menjadi pedoman bagi sistem politik dan pula menjadi kriteria dalam
pembuatan aturan-aturan hukum, pengambilan kebijaksanaan politik, dan dalam penilaian
terhadap pelaksanaannya. Pada pihak lain, ideologi merupakan salah satu faktor yang penting
dalam rekruitmen politik, hal ini dapat dipahami jika dikaitkan dengan dua hal, yaitu:
1. Berkenaan dengan dukungan rakyat, di mana rakyat memberi dukungan kepada
pemerintah jika mereka yakin bahwa pemerintahan menganut dan bertindak sesuai dengan
ideologi yang mereka miliki (Mawardi Rauf, 1985: 18);
2. Berhubungan dengan pertama, relevan dengan pelaksanaan program politik. Dalam hal ini
pejabat yang direkrut dari mereka yang memiliki kesetiaan dan tanggung jawab terhadap
ideologi negara lebih diharapkan melaksanakan program politik dibandingkan mereka yang
tidak mendukung. Hal ini amat membahayakan ideologi negara. Bahkan adanya
kemungkinan penyimpangan ideologi tidak tertutup, terutama jika karena kepentingan politik
yang memerlukan, seorang pejabat melakukan interpretasi sendiri terhadap ideologi negara.
Ideologi negara itu dapat ditelusuri dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, walaupun
tidak semua diserap atau ditingkatkan menjadi cita-cita politik. Berdasarkan sumberdaya,
ideologi dapat dibedakan atas beberapa macam atau kategori, sebagaimana dikatakan Deliar
Noer (1983:29-31) bahwa:
“ Ideologi mungkin sekali tumbuh dari kepentingan dan pemikiran manusia , bisa pula karena
pengaruh agama, pengaruh lingkungan dan tradisi serta pemikiran yang datang dari luar turut
pula mewarnai ideologi itu, malahan dalam suatu agama, ajarannya sering dijabarkan
sedemikian rupa sehingga ia merupakan ideologi. Tentu saja pemikiran yang tumbuh dari
manusia serta pemikiran yang bersumber pada ajaran agama bisa pula tercampur”.
Apabila uraian di atas ditelaah, maka dapat dikemukakan bahwa unsur-unsur yang
terkandung dalam konsep politik, ialah:
a. Nilai-nilai/ajaran-ajaran agama atau falsafah dan pemikiran manusia secara sendiri atau
bersama, yang ditransformasi menjadi ideology politik.
b. Ideologi politik yang pada satu titik merupakan pedoman dan kriteria pembuatan aturan
hukum, pengambilan kebijaksanaan politik dan penilaian terhadap aktivitas politik. Pada sisi
lain konstitusi mengungkapkan tujuan-tujuan politik yang hendak dicapai.
c. Konstitusi berfungsi sebagai hukum dasar sistem politik dari Negara bersangkutan.
d. Aktivitas politik yang dapat disimpulkan dalam lembaga fungsi-fungsi politik.
e. Subyek politik sebagai penyelenggaraan aktivitas politik dan yang terdiri dari lembaga-
lembaga pemerintahan dan masyarakat.
f. Tujuan-tujuan politik baik merupakan tujuan-tujuan antara ataupun tujuan akhir.
g. Kekuasaan politik atau kewenangan untuk menyelenggarakan aktivitasaktivitas politik.
BAB III

PENUTUP

3.1   KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan dapat dikemukakan bahwa (1) pada hakikatnya ideology itu
merupakan sebuah konsepsi seseorang atau suatu kelompok mengenai kehidupan sosial yang
mengandung prinsip dan aspirasi; (2) Istilah ideologi pertama kali dilontarkan oleh Antoine
Destutt de Tracy pada saat bergejolaknya Revolusi Prancis. De Tracy mendefinisikan
ideologi sebagai ilmu tentang pemikiran manusia, yang mampu menunjukkan arah yang
benar menuju masa depan; (3) Sejalan dengan terdistorsinya makna ideologi dalam
pandangan De Tracy, maka bermunculan beragam jenis ideologi yang terdiri dari di
antaranya demokrasi, liberalisme, nasionalisme, marxisme, komunisme, fasisme, sosialisme,
dan anarkhisme, kapitalisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, kristen,
fasisme, monarkisme, nazisme, libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial, elitism,
extremism, federalism,imperialism, leftism , meritocracy , progressivism, radicalism ,
reactionism, republicanism , rightism , dan Utopianism; (4) aplikasi suatu ideologi cenderung
inheren dengan perilaku orang per orang dalam kehidupan rutin berdasarkan pertimbangan
efek yang diinginkannnya ketimbang berdasarkan kebenaran ideologi itu sendiri. Kehidupan
rutin itu sendiri bisa dalam konteks kehidupan di lingkungan rumah tangga, tempat tinggal
maupun lingkungan pekerjaan seperti dalam organisasi media.
Pancasila sebagai ideologi bangsa dalam berbagai bidang dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Dengan kata lain, seluruh tatanan kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia menggunakan pancasila sebagai dasar moral atau
norma dan tolak ukur tentang baik buruk dan benar salahnya sikap, perbuatan dan tingkah
laku bangsa Indonesia. Pancasila merupakan jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian
bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan pancasila menjadi tujuan hidup
bangsa Indonesia. Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan pandangan hidup kesadaran
dan cita-cita moral yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah berurat akar dalam
kebudayaan bangsa Indonesia. Pada dasarnya aktivitas-aktivitas politik yang terjadi dalam
masyarakat mempunyai latar belakang pemikiran politik yang beraneka ragam. Aktivitas
seperti itu masih mempunyai permasalahan di dalam menentukan sikap terhadap nilai-nilai
politik. Oleh karena itu kiranya menjadi penting adanya upaya untuk menyeimbangkan
kemajuan-kemajuan politik di sektor lembaga formal dan lembaga-lembaga non formal.
DAFTAR PUSTAKA

Seliger, dalam John B. Thompson, Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-ideologi


Dunia, 2003, Diterjemahkan, Haqqul Yaqin, Yogyakarta, IRCiSoD, hlm. 132.
Isywara. 1982. Pengantar Ilmu Politik. Bandung : Angkasa.
Kartono, Kartini. 1989. Pendidikan Politik Sebagai Bagian dari Pendidikan Orang
Dewasa. Bandung : Penerbit Mandar Maju.
Noer, Deliar. 1983. Pengantar ke Pemikiran Politik. Jakarta : Rajawali.
Mochtar M. 1982. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta : Gadjah Mada, University
Sukarna. 1982. Sistem Politik., Bandung : Penerbit Alumni
Abdurahman Wahid.1991. Pancasila Sebagai Ideologi dalam Kaitannya Dengan
Kehidupan Beragama dan Berkepercayaan Terhadap Tuhan YME, dalam Alfian &
Oetojo
Oesman, eds. 1991. Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Jakarta : BP-7 Pusat.
Gumilar Rusliwa Somantri,2006. Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik Indonesia
Modern, dalam Restorasi Pancasila : Mendamaikan politik Identitas dan Modernitas,
Prosiding Simposium Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, Kampus FISIP UI, Depok
31 Mei 2006, halaman 34.

Anda mungkin juga menyukai