Disusun Oleh :
Kelompok 9
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang maha esa, karena atas
berkat rahmat dan karunia-nyalah, makalah ini dapat diselesaikan dengan baik
dengan judul “Konsep Islam Tentang Negara”. Yang dibuat untuk memenuhi
salah satu tugas dari mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda tercinta
kita yaitu Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat serta para
umatnya yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada orang-
orang terdekat yang telah membantu dengan memberikan dukungan,
motivasi dan doa kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih memiliki
banyak kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca yang dapat membangun
motivasi penulis untuk menyusun makalah yang lebih baik lagi
kedepannya. Semoga Allah memberikan balasan atas kebaikan dan
bantuan dari semua pihak yang telah mendukung dan memberikan do’a.
Diharapkannya makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
khususnya pembaca umum.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Masalah.............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
1. Pengertian Negara.....................................................................................3
3. Unsur-unsur negara...................................................................................5
A. KESIMPULAN...........................................................................................24
B. SARAN.......................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................26
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1
C. Tujuan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Negara
Negara merupakan konsep yang paling penting dalam ilmu politik. Negara
selalu menjadi wilayah kajian karena di sana terdapat pergulatan politik dan
kekuasaan yang paling mudah untuk dilihat dan dikenali. Negara merupakan
integrasi dari kekuasaan politik.
Negara adalah suatu badan atau organisasi tertinggi yang mempunyai
wewenang untuk mengatur hal-hal yang berkaitan untuk kepentingan orang
banyak serta mempunyai kewajiban-kewajiban untuk melindungi,
menyejahterakan masyarakat yang dinaunginya.
Negara menetapkan batasan kekuasaan yang dapat digunakan dalam
kehidupan bersama baik yang dilakukan oleh individu maupun golongan
asosiasi,negara itu sendiri. Negara dapat menyatukan dan membimbing kegiatan-
kegiatan social dari penduduknya kearah tujuan bersama. Dalam hal ini, dapat
dikatakan bahwa sebuah negara mempunyai dua tugas :
1. mengendalikan dan mengatur gejala kekuasaan yang bertentangan dengan a-
sosial, agar tidak menjadi antagonis mereka yang membahayakan.
2. mengorganisasikan dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-
golongan kearah tercapainya tujuan dari masyarakat.
3
a. melaksanakan penertiban (law and order). Untuk mencapai tujuan dengan
tindakan stabilisator.
b. mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
c. pertahanan, untuk menjaga serangan dari luar
d. menegakkan keadilan.
4
kelompok atau lembaga, akan tetapi hal tersebut tidak bisa dikatakan sebuah
negara. Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu
masyarakat dalam suatu wilayah berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan
oleh suatu pemerintah yang diberi kekuasaan yang bersifat memaksa.
3. Unsur-unsur negara
b. Wilayah
5
a) Perbatasan alam seperti sungai, danau pegunungan atau
lembah.
b) Perbatasan buatan seperti pagar tembok, pagar kawat dan
taiang tembok
c) Perbatasan menurut ilmu pasti, yaitu dengan menggunakan
ukuran garis lintang atau bujur timur pada peta bumi.
3) Udara
c. Pemerintah
6
4. Macam-Macam Bentuk Negara
7
Aristoteles mengungkapkan bahwa bentuk negara yang ideal
adalah monarki. Menurutnya negara monarki merupakan negara yang
dipimpin oleh penguasa yang berorientasi pada kepentingan, kebaikan,
dan kesejahteraan umum. Dalam bukunya La Politica mengemukakan
sebagai berikut “bentuk pemerintahan (bentuk negara) yang diperintah
oleh satu orang yang memerhatikan kepentingan bersama kita sebut
dengan kerajaan (monarki), sedangkan yang diperintah pleh lebih dari
satu kita sebut dengan aristokrasi.
Pada hakekatnya seorang raja masih memiliki peran
tradisionalnya dalam sebuah negara, namun peran politiknya dipimpin
oleh perdana menteri. Bentuk ini cukup ideal untuk mengompromikan
keinginan negara demokrasi dan keinginan menghormati.
Soehino mengemukakan tentang monarki sebagai negara yang
pemerintahanya dipegang oleh satu orang saja tetapi pemerintahanya itu
hanya ditujukan untuk kepentingan si penguasa itu sendiri, jadi ini
bersifat jelek. Negara tersebut pantas dengan sebutan negara tirani.
b. Negara Otoriter
8
penguasa yang otoriter kekuasaan adalah bukan sebagai sarana akan
tetapi menjadi tujuan itu sendiri.
c. Negara Demokrasi
9
muncul dalam ilmu politik adalah pendekatan legal-formal, yaitu suatu
pendekatan yang memahami ilmu politik dari sudut formal legalistic dengan
melihat lembaga-lembaga politik sebagai obyek studinya, termasuk didalamnya
masalah negara.
Konsep negara selalu mendapatkan tempat yang istimewa, hal itu terjadi
sejak zaman yunani bahkan sampai sekarang, para pemikir yunani kuno, seperti
Socrates, Plato, dan Aristoteles dalam karya-karyanya membicarakan tentang
konsep negara. Dalam ranah pemikiran politik Islam mengenai dasar negara
maupun politik sudah muncul sejak abad klasik, abad pertengahan dan sampai
modern. Seperti Al-Farabi, Al Mawardi, Al Ghazali yang mampu menjadi pemikir
politik di abad klasik dan pertengahan, sedangkan di abad modern yang terkenal
seperti, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal dan
tokoh-tokoh yang
Rasyid Ridha, seorang ulama terkemuka Islam, yang dianggap paling
bertanggung jawab dalam merumuskan konsep negara Islam modern, menyatakan
bahwa premis pokok dari konsep negara Islam adalah syari‟ah, menurut beliau
syari’ah merupakan sumber hukum paling tinggi. Dalam pandangan Rasyid
Ridho, syari’ah harus membutuhkan bantuan kekuasaan untuk tujuan
mengimplementasinya, dan mustahil untuk menerapkan hukum Islam tanpa
adanya Negara Islam. Karena itu, dapat dikatakan bahwa penerapan hukum Islam
merupakan satu-satunya kriteria utama yang sangat menentukan untuk
membedakan antara suatu negara Islam dengan negara non-Islam.
Dari pemahaman di atas dapat di simpul akan bahwa mustahil menerapkan
hukum Islam tanpa adanya negara Islam ini secara otomatis timbul juga
perdebatan mengenai hubungan antara agama (dalam hal ini Islam) dan negara
oleh para sarjana Muslim. Perbedaan pemahaman tentang hubungan ini sesuai
dengan setting sosiologis, historis, antropologis, dan intelektual para sarjana
tersebut. Hal itu juga dicampur dengan berbagai corak penafsiran terhadap teks
Al-Qur‟an dan al-Hadits yang dijadikan rujukan utama.
Aristoteles, berusaha membandingkan bentuk-bentuk negara pada waktu
itu, dengan ukuran baik dan buruk. Begitu pula pada abad pertengahan, pemikir
seperti Aquinas dan Agustinus juga membicarakan tentang konsep negara. Pada
10
masa pencerahan, muncul pemikir-pemikir Barat, seperti Thomas Hobbes, Jhon
Locke dan J.J. Rousseau, untuk menyebut beberapa nama sebagai pelopor teori
tentang berdirinya suatu Negara.
Dalam Islam, organisasi negara memperoleh kekuasaan dari rakyat, yaitu
masyarakat muslim yang bersifat demokratik. Menurut teori Islam, negara dapat
dibentuk apabila ada sekelompok orang yang telah menyatakan bersedia
melaksanakan kehendak Allah sebagaimana tercantum dalam Wahyu-Nya, negara
seperti itu terkenal di sejarah yang dipelopori oleh Nabi Muhammad SAW.
Negara Islam mempunyai tujuan yaitu mempertahankan keselamatan dan
integritas negara, memelihara terlaksananya undang-undang dan ketertiban serta
membangun negara. Sehingga setiap warga negaranya menyadari
kemampuankemampuan demi mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya.
Islam memberikan kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan kritik
yang konstruktif dalam pengertianya yang paling utuh, bahkan Islam menganggap
perbuatan itu sebagai tugas keagamaan. Namun hal itu tidak sama dengan
partaipartai yang melakukan oposisi (terhadap partai lain yang memerintah).
Dalam Islam, persoalan legislatif merupakan persoalan masyarakat sebagai
suatu kesatuan, karena itu peranan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan
legislatif adalah membuat undang-undang. Anggapan dari ulama yang
menyatakan bahwa persoalan legislatif dalam Islam merupakan tugas yang
dibebankan kepada para ulama,
Kepemimpinan di bidang keagamaan ini akan membantu menciptakan dan
menyusun gagasan-gagasan (ijtihad), gagasan-gagasan tersebut akan dibahas luas
dalam masyarakat melalui berbagai macam media komunikasi masa dan jika telah
timbul kesepakatan pendapat atau ijma’, maka pendapat ini akan dituangkan
dalam bentuk undang-undang oleh wakil rakyat, undang-undang hasil
kesepakatan itulah yang secara sempurna dalam peraturan hukum Islam. Dengan
perkataan lain, antara ulama dan wakil rakyat merupakan tiang utama yang
mendukung bangunan perundang-undangan Islam yaitu hasil dari pemikiran
perorangan (ijtihad) dan hasil pemikiran bersama (ijma).
11
1. Islam dan Demokrasi
2. Pemerintahan
12
Salah satu pemikir berpengaruh di dunia Islam, Ibnu Khaldun,
membagi proses pembentukan kekuasaan politik (siyâsah) atau pemerintahan
menjadi tiga jenis. Pertama, politik atau pemerintahan yang proses
pembentukannya didasarkan atas naluri politik manusia untuk bermasyarakat
dan membentuk kekuasaan. Kedua, politik atau pemerintahan yang proses
pembentukannya didasarkan atas pertimbangan akal semata dengan tanpa
berusaha mencari petunjuk dari cahaya ilahi. Ia hanya ada dalam spekulasi
pemikiran para filosof. Ketiga, politik atau pemerintahan yang proses
pembentukannya dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah agama
yang telah digariskan oleh syari‟ah. Politik ini didasarkan atas keyakinan
bahwa Tuhan sebagai pembuat syari‟ah adalah yang paling tahu maslahat
yang diperlukan manusia agar mereka bisa bahagia di dunia dan akhirat. Ibnu
Khaldun menyebut jenis yang pertama dengan sebutan al-Mulk al-Thabi’iy
yang kedua dengan sebutan al-siyâsah al-madaniyah dan yang ketiga dengan
sebutan al-siyasah al-diniyah atau syar’iyah.
Pada perkembangan berikutnya, kajian-kajian tentang negara dan
kaitannya dengan agama, selalu mendapat porsi lebih khusus. Inilah yang
menyebabkan munculnya kesepakatan para ulama yang mewajibkan adanya
pemerintahan, mekipun kajian klasik dan kontemporer punya pendapat yang
beragam mengenai bentuk pemerintahan itu. Kewajiban ini didasarkan pada :
a) ijma shahabat,
b) menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan yang kacau balau
akibat tidak adanya pemerintahan,
c) melaksanakan tugas-tugas keagamaan, d) mewujudkan keadilan yang
sempurna.
13
dikehendaki. Dalam konsep Islam, dengan mengacu pada al-Quran dan al-
Hadits, tidak ditemukan rumusan tentang negara secara eksplisit, hanya di
dalam kedua sumber hukum Islam itu terdapat prinsip-prinsip dasar dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, di antaranya adalah:
14
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, Jadikanlah
negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-
buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah
dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun
aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa
neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali". (Q.S. Al- Baqarah: 126)
Yang dimaksud dengan sistem ekonomi islam adalah ilmu ekonomi yang
dilaksanakan dalam praktek sehari-hari bagi individu, keluarga, kelompok
masyarakat maupun pemerintah/penguasa dalam rangka mengorganisasikan faktor
produksi, distribusi dan pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan tunduk
dalam peraturan/perundangundangan islam ( sunnatullah ).
Hal itu ( pluralisme sistim ekonomi ) muncul disebabkan oleh
ketidakmampuan ummat islam melahirkan suatu konsep sistim ekonomi islam
( menggabungkan sistim ekonomi dan syari,at ). Kondisi ini oleh Muhammad
Syafi,i Antonio dilukiskan dengan mengemukakan “ Di satu pihak kita
mendapatkan para ekonom, banker dan usahawan yang aktif dalam menggerakkan
roda pembangunan ekonomi, tetapi lupa membawa pelita agama karena memang
tidak mengusai syari,at terlebih lagi fiqih muamalah secara mendalam.Akibatnya
ada semacam tendensi da kulla umariddunya lil qaisar wa fawwiddh kulla umuril
akhirat lil baba ( let,s everything related to theworldly matters to the king an
religious matter to the pope )” biarlah kami mengatur urusan akhirat dan mereka
mengatur untuk urusan dunia. Padahal islam adalah risalah untuk dunia dan
akhirat ” ( Muhammad Syafi,i Antonio,1992/1993:1).
15
Sistem ekonomi islam adalah sistem ekonomi yang dijalankan berdasarkan
syariat islam atau aturan-aturan Allah. Dengan bersandarkan kepada Alquran dan
Hadits Nabi Muhammad sebagai pedoman yang tujuan akhirnya adalah keridhaan
Allah, dengan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat islam.Dalam
segala kegiatan ekonomi yang dilakukan manusia harus sesuai dengan ketentuan
Allah, baik dalam hal jual beli, pinjam meminjam maupun investasi. Allah Swt
berfirman :
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(Al-Qasas: 77).
1. Teori insting
16
dorongan atau drive tertentu. Dorongan itu berkaitan dengan kebutuhan yang
mendorong organisme untuk berperilaku.
4. Teori atribusi.
5. teori Kognitif.
Teori ini berdasarkan alternatif pemilihan perilaku yang akan
membawa manfaat yang besar baginya. Dengan kemampuan memilih ini
tersebut berarti faktor berpikir berperan dalam menentukan pilihannya
6. Teori kepribadian.
1. Faktor kebudayaan.
17
sehingga nilai, persepsi, preferensi, dan perilaku seseorang yang tinggal di
daerah tertentu akan berbeda dengan orang yang tinggal di daerah lain.
Sub-kultur merupakan lebih kecil di banding kultur yang memiliki etnis
yang lebih khas. Sedangkan kelas sosialadalah susunan yang relatif
permanen dan teratur dalam suatu masyarakat yang anggotanya memiliki
nilai, minat, dan perilaku yang sama.,
2. Faktor sosial.
3. Faktor pribadi.
18
meminjam. Gaya hidup adalah pol hidup yang diekspresikan oleh minat,
pendapatan, kegiatan yang semua itu tidak akan lepas dari interaksi
dengan lingkungannya. Konsep diri adalah karakteristik psikologis yang
berbea dari setiap yang memandang respon terhadap lingkungan yang
konsisten.
4. Faktor psikologis.
Maarif Pandangan Syafii Maarif tentang pola hubungan antara Islam dan
negara secara garis besar bukan sekedar pola hubungan dikotomis yang saling
meniadakan. Pola hubungan Islam dan negara bukan hanya semata-mata
menjadikan Islam sebagai ritual peribadatan hamba kepada Tuhannya saja, tetapi
Islam lebih dari itu juga menyangkut hal-hal yang berhubungan tentang kaedah-
kaedah, batas-batas dalam muamalah atau hubungan manusia dengan manusia
dalam masyarakat Sejalan dengan pemikiran tersebut, agar aturan-aturan dan
patokan-patokan tersebut dapat terjaga dan direalisasikan, maka menurut Syafii
Maarif harus ada Negara atau kekuasaan politik yang melindunginya dan
demokrasi (syura) adalah bentuk negara atau sistem politik yang ditawarkan oleh
19
Syafii Maarif Syafii Maarif meletakkan Islam citacita sebagai tujuan atau orientasi
pemikiran dan perjuangan politik yang tertinggi, dan menegasikan Islam sejarah
yang traumatik dan dibungkus pendekatan doktriner yang dianggapnya tidak
Islami. Syafii Maarif melihat teori dan sistem politik Islam sebagai ruang yang
terbuka dan fleksibel terhadap perubahan. Etika dan moral Al-Qur’an yang
universal harus memberikan inspirasi dan substansi terhadap teori politik dan
kenegaraan yang setiap waktu terus berubah, sesuai dengan kebutuhan umat dan
zaman Menurut pemahaman Syafii Maarif Islam bukanlah hanya cita-cita moral
dan nasehat-nasehat agama yang dapat lepas begitu saja, tetapi Islam memerlukan
sarana untuk mewujudkan cita-cita moralnya yang meliputi seluruh dimensi
kehidupan manusia, yaitu sebuah negara. Di mata Al-Qur’an tidak sedikitpun dari
dimensi kehidupan manusia yang terlepas dari sorotan wahyu, dengan demikian
jika ada pemikir muslim yang berpendapat bahwa Islam dan negara harus
dipisahkan maka pendapat tersebut tidak memiliki landasan yang teoritis.
Pemikiran Syafii Maarif tentang hubungan agama (Islam) dan negara ini
merupakan hubungan yang simbiotis atau saling memerlukan satu sama lainnya.
Pemikiran Syafii Maarif ini,bisa disandingkan dengan pemikiran politik
kenegaraan A. Hasjmy yang juga berpendapat bahwa keterkaitan agama (Islam)
dengan negara sangat diperlukan agar ajaran Islam dapat berjalan dan eksis dalam
masyarakat.48 Keterkaitan itu diperlukan mengingat institusi yang paling wajar
untuk melindungi agama adalah negara. Sedangkan negara agar terhindar dari
kesewenangan ketika memerintah rakyatnya, menjadikan tuntunan agama sebagai
sumber etik moral yang dapat memberi keadilan, kemakmuran masyarakat yang
merupakan salah satu cita Islam.
Akan tetapi, hubungan ini menurut Syafii Maarif bukan berarti bahwa
Islam adalah agama dan negara. Menurutnya, mengidealisasikan kesetaraan
agama dan negara adalah pandangan yang salah, hal ini menurut Syafii Maarif
sama artinya dengan melakukan pengsejajaran antara agama dan negara, yang
secara tidak sadar telah menyamakan risalah dengan alat. Pandangan seperti ini,
menurut Syafii Maarif, lebih didasarkan pada resistensi terhadap teori-teori politik
Barat yang akar-akarnya bisa ditelusuri dari doktrin pemisahan antara agama dan
negara. Bagi Syafii Maarif, negara adalah sesuatu yang mutable (berubah) sesuai
20
dengan tuntutan ruang dan waktu, sedangkan agama adalah sesuatu yang
immutable (tetap) tidak lekang oleh ruang dan waktu.
Pendapat Syafii Maarif yang menolak bahwa Islam adalah agama dan
negara berbeda terbalik dengan sahabatnya Amien Rais. Dalam makalahnya pada
diskusi tentang “Konsep Negara dalam Islam” yang diselenggarakan oleh Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Amien Rais berpendapat bahwa, Islam
itu adalah agama dan negara (al-Islam din wa daulah), yang mengidealisasikan
kesetaraan agama dan negara. Bagi Amien Rais, politik harus didasarkan dan
ditegakkan atas prinsip-prinsip tauhid. Bila politik lepas dari moralitas dan etika
tauhid, maka politik itu akan berjalan tanpa arah, dan bermuara pada kesengsaraan
orang banyak. Amien Rais sangat memberikan apresiasi yang tinggi terhadap
teoriteori politik Maududi tentang Khilafah, kedaulatan Tuhan, dan lain
sebagainya.
Penolakan Syafii Maarif tentang negara Islam, dikarenakan menurutnya
gagasan negara Islam tidak memiliki basis religio-intelektual yang kukuh. Piagam
Madinah yang merupakan hasil karya Rasulullah tidak menyinggung sama sekali
masalah negara Islam. Akan tetapi, tidak bisa juga diabaikan bahwa Islam
membutuhkan sebuah organisasi politik, yang merupakan suatu mesin kekuasaan
yang efektif dalam bentuk negara untuk membumikan cita-cita dan ajaran moral
yang terdapat dalam Al-Qur’an. Posisi Nabi Muhammad dalam AlQur’an
hanyalah sebagai seorang rasul, tetapi juga tidak dapat dipungkiri dalam
perjalanan sejarah Nabi Muhammad pernah menjabat sebagai pemimpin negara
sekaligus pemimpin agama. Posisi sebagai Rasulullah tidak pernah berubah
hingga beliau wafat pada tahun 632 M, kedudukan Nabi Muhammad sebagai rasul
didefinisikan di dalam Al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 144, ayat inilah yang
kemudian digunakan Syafii Maarif untuk menolak pendapat para tokoh muslim
yang mengatakan bahwa Islam adalah agama dan negara. Menurut Syafii Maarif,
Nabi Muhammad tidak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai penguasa dan
juga tidak pernah mendeklarasikan sistem dan bentuk pemerintahan yang baku,
yang harus di ikuti oleh umat Islam. Adanya negara dalam Islam sangatlah
penting menurut Syafii Maarif, akan tetapi pandangan yang mengatakan bahwa
Islam adalah agama dan negara tetap saja ditolaknya. Pandangan Syafii Maarif
21
tentang relasi Islam dan negara bertentangan dengan pendapat dari para
pengusung negara Islam dengan memformulasikan syariat Islammenjadi hukum
negara.
Mekanisme politik yang beragam dapat kita lihat dari sejarah
kepemimpinan Khulafa Rasyidin. Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, umat
Islam mengalami yang namanya krisis kepemimpinan, yang disebut krisis
konstitusional oleh Syafii Maarif.52 Umat Islam mengalami kebingungan tentang
siapa yang harus menggantikan Nabi Muhammad sebagai kepala komunitas
Islam. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad tidak meninggalkan pesan apapun
tentang siapa yang akan menggantikannya, selain itu baik Al-Qur’an maupun
Sunah Nabi tidak memberikan perintah- perintah yang tegas tentang bentuk
pemerintahan dan lembagalembaga politik lainnya.53 Islam di Indonesia
mengalami perjalanan panjang yang dimana terdapat perbedaan pendapat antara
tokoh-tokoh pemikir baik Islam maupun nasional di dalam menentukan dasar
negara Indonesia. Tokoh Islam Indonesia yang sangat menginginkan Indonesia
sebagai negara Islam adalah Mohammad Natsir. Natsir menilai bahwa agama dan
negara dapat dan harus disatukan, sebab Islam tidak seperti agama-agama lainnya,
ia merupakan agama yang serba lengkap (komprehensif). Persoalan kenegaraan
pada dasarnya merupakan bagian dari dan di atur Islam.
Menurut Syafii Maarif Islam tidak mempermasalahkan apapun nama dan
bentuk pemerintahan yang dipakai oleh umat Islam, yang terpenting adalah
bagaimana moral etik dapat berjalan dalam sebuah negara tersebut. Tujuan
terpenting dalam sebuah negara dalam Al-Qur’an dan juga Islam adalah agar
nilai-nilai dan perintah-perintah etiknya dijunjung tinggi serta bersifat mengikat
terhadap kegiatan-kegiatan sosio-politik umat Islam. Nilai- nilai tersebut secara
menyeluruh dan integral dengan prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan
kemerdekaan yang semuanya menempati posisi sentral dalam ajaran moral Al-
Qur’an. Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia menurut Syafii Maarif
memberikan suatu pondasi yang kukuh dan tidak berubah bagi semua prinsip -
prinsip etik dan moral bagi kehidupan ini. Al-Qur’an memperlakukan kehidupan
manusia sebagai suatu keseluruhan yang organik, semua bagian- bagiannya
22
haruslah dibimbing oleh petunjuk dan perintah-perintah etik dan moral yang
terdapat dalam ayat-ayatnya.
Menurut Syafii Maarif aspirasi politik umat Islam hendaknya tidak
menginginkan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dan
memformulasikan syariat Islam, akan tetapi umat Islam harus menjalankan
kehidupan atas dasar kebersamaan dan musyawarah (syura).
Jadi, menurut menurut Ahmad Syafii Maarif hubungan islam dan Negara
lebih dekat kepada sistem syura. Negara yang berbentuk demokratis, yang
menjalankan prinsip syura paling cocok untuk sistem sebuah negara. Hal ini
dikarenakan sistem tersebut lebih dekat kepada cita-cita politik Al-Qur’an, yang
menempatkan manusia pada posisi sama dalam proses pengambilan keputusan
untuk kepentingan bersama. Kedua, Hubungan Islam dan negara menurut Ahmad
Syafii Maarif adalah hubungan yang simbiotik, yaitu suatu hubungan yang saling
membutuhkan satu sama lainnya dan bersifat timbal balik. Agama (Islam)
membutuhkan negara sebagai sarana untuk mewujudkan cita-cita moral atau
ajaran-ajarannya yang ada dalam Al-Qur’an, sedangkan negara membutuhkan
agama (Islam) sebagai petunjuk moral bagi semua kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
23
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Mustahil menerapkan hukum Islam tanpa adanya negara Islam ini, secara
otomatis timbul juga perdebatan mengenai hubungan antara agama (dalam hal ini
Islam) dan negara oleh para sarjana Muslim. Perbedaan pemahaman tentang
hubungan ini sesuai dengan setting sosiologis, historis, antropologis, dan
intelektual para sarjana tersebut. Hal itu juga dicampur dengan berbagai corak
penafsiran terhadap teks Al-Qur‟an dan al-Hadits yang dijadikan rujukan utama.
Sistem ekonomi islam dijalankan berdasarkan syariat islam atau aturan-
aturan Allah. Dengan bersandarkan kepada Alquran dan Hadits Nabi Muhammad
sebagai pedoman yang tujuan akhirnya adalah keridhaan Allah, dengan
menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat islam.Dalam segala kegiatan
ekonomi yang dilakukan manusia harus sesuai dengan ketentuan Allah, baik
dalam hal jual beli, pinjam meminjam maupun investasi.
Fondasi Dan Prinsip Konsumsi Teori perilaku konsumen yang dibangun
berdasar syariat Islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan
teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar yang menjadi
fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi
anggaraan untuk berkonsumsi
Hubungan Islam dan Negara menurut Ahmad Syafii Maarif adalah
hubungan yang simbiotik, yaitu suatu hubungan yang saling membutuhkan satu
sama lainnya dan bersifat timbal balik. Agama (Islam) membutuhkan negara
sebagai sarana untuk mewujudkan cita-cita moral atau ajaran-ajarannya yang ada
dalam Al-Qur’an, sedangkan negara membutuhkan agama (Islam) sebagai
petunjuk moral bagi semua kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Jadi, Islam
dan Negara pasti saling berhubungan dan saling membutuhkan.
24
B. SARAN
Dengan adanya makalah ini kami berharap pembaca dapat memahami isi
dari makalah ini dan tentu dapat menambah pengetahuan seputar pendidikan
agama islam khususnya tentang konsep islam tentang negara. Semoga pembaca
bisa terus menggali wawasanya dengan terus mencari referensi lain selain dari
makalah ini. Kita sebagai penganut agama islam di Negara Hukum harus
memberikan kerohanian yang berbangsa dan bernegara sebagai negara penjamin
kehidupan keagamaan.
25
DAFTAR PUSTAKA
Marlena, L. (2020). Hubungan Islam dan Negara dalam Pandangan Ahmad Syafii
Maarif. Jurnal Manthiq : Voll III No 2 Tahun 2018.
26