Dibuat Oleh :
Merdiana Nursyamsiah
NIM. 0501217925
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang maha esa, karena atas
berkat rahmat dan karunia-nyalah, tugas tentang mencari sejarah asal usul
berdirinya mahdlatul ulama dapat diselesaikan dengan baik.
Saya sadar, sebagai seorang mahasiswa yaang masih dalam proses
pembelajaran bahwa tugas ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, saya
berharap adanya masukan atau penambahan materi agar tugas kedepannya lebih
baik lagi.
Merdiana Nursyamsiah
ii
.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 ASAL USUL BERDIRINYA NAHDLATUL ULAMA..........................................1
1.2 LATAR BELAKANG..............................................................................................1
1.3 RUMUSAN MASALAH.........................................................................................2
1.4 TUJUAN PENULISAN...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Pengertian Nahdlatul Ulama.....................................................................................3
2.2 Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama........................................................................3
2.3 Biografi Pendiri Nahdlatul Ulama............................................................................4
2.4 Lembaga Pendidikan Islam Nahdlatul Ulama..........................................................7
BAB III KESIMPULAN........................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................10
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar ummat Islam kembali
pada ajaran Islam yang murni, yaitu dengan cara umat Islam melepaskan diri dari
sistem bermadzhab. Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan
sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, tetapi tetap tidak dengan
meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk
itulah, Jam'iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan. Untuk
menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasjim Asy'ari merumuskan
kitab Qanun Asasi (Anggaran Dasar), kemudian juga merumuskan kitab "I'tikad
Ahlussunnah wal Jama'ah". Kedua kitab tersebut kemudian dijadikan rujukan
dalam Khittah NU dan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir serta
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan, dan politik kebangsaan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
ulama’sebelumnya) dan Qiyas (kasus-kasus yang ada dalam cerita al Qur’an dan
Hadits) seperti yang dikutip oleh Marijan dari K.H. Mustofa Bisri ada tiga
substansi, yaitu
1. Dalam bidang-bidang hukum-hukum Islam menganut salah satu ajaran dari
empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali), yang dalam praktiknya
para Kyai NU menganut kuat madzhab Syafi’i.
2. Dalam soal tauhid (ketuhanan), menganut ajaran Imam Abu Hasan AlAsy’ari
dan Imam Abu Mansur Al-Maturidzi.
3. Dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim
AlJunaidi. Proses konsulidasi faham Sunni berjalan secara evolutif. Pemikiran
Sunni dalam bidang teologi bersikap elektik, yaitu memilih salah satu
pendapat yang benar.
Hasan Al-Bashri (w. 110 H/728) seorang tokoh Sunni yang terkemuka
dalam masalh Qada dan Qadar yang menyangkut soal manusia, memilih pendapat
Qodariyah, sedangkan dalam masalah pelaku dosa besar memilih pendapat
Murji’ah yang menyatakan bahwa sang pelaku menjadi kufur, hanya imannya
yang masih (fasiq). Pemikiran yang dikembangkan oleh Hasan AlBasri inilah
yang sebenarnya kemudian direduksi sebagai pemikiran Ahlus sunnah
waljama’ah.
4
KH Hasyim Asy’ari lahir pada tanggal 10 April 1875 di Demak, Jawa
Tengah. Beliau merupakan pendiri pondok pesantren Tebu Ireng dan juga perintis
salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama
(NU). Beliau juga dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain
mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-
buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, KH Hasyim Asy’ari mendapat
pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Asyari dan Kyai Utsman.
Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan
rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di
pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.
Karena Hasrat tak puas akan ilmu yang dimilikinya, Beliaupun belajar dari
pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo
(Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan
Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai
Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.
Di tahun 1892, KH Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba
ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh
at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia
singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun
1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak
menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun
1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebu Ireng, menjadi pusat
pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan
mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari
mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan
terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kyai Hasyim Asy’ari
memosisikan Pesantren Tebu Ireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran
Islam tradisional.
5
Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga
pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan
membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan
berpidato. Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab
dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya,
mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan
menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama
perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari.
Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika
para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai
daerah dan juga menjadi besar.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional
lainnya, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti
kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya.
Pengaruh Kyai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi
NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat
menyegani kewibawaan Kyai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat.
Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa
maupun perkotaan di Jawa. Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia
tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah
perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya
menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama,
tetapi ditolaknya.
Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang,
KH Hasyim Asy’ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, KH Wahid Hasyim,
beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala
Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh
pesantrennya di Tebuireng.
Setelah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya K.H. Hasyim
Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk
6
mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947
karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng.
7
lingkungan NU. Keberadaan pendidikan di wilayah NU berawal dari keberadaan
pesantren. Para kiai pesantren, dahulu kala, ketika pulang dari Timur Tengah ke
Indonesia, sebagian besar mendirikan pesantren sebagai institusi pendidikan. Oleh
karena pendidikan pesantren, maka keilmuan yang diutamakan adalah keagamaan,
khususnya fiqih-hukum-yurisprudensi; dan karena kitab fiqih itu kebanyakan
berbahasa Arab, maka untuk memahaminya diperlukan ilmu alat berupa nahwu
sharaf, jadi pesantren mesti memiliki perangkat keilmuan nahwu-sharaf.
Pada perkembangan selanjutnya, kira-kira setelah kemerdekaan, terjadi
pengembangan model pendidikan di pesantren. Hal ini berawal dari realitas bahwa
tidak semua santri yang keluar dari pesantren itu mampu menjadi kiai, sementara
mereka tetap membutuhkan ranah pendidikan, akhirnya mereka mendirikan
sekolah-sekolah di kampung yang bernama madrasah. Jadi madrasah itu
sebenarnya keberlanjutan dari pesantren. Di madrasah, materi keilmuan yang
diajarkan pada awalnya adalah sama dengan yang ada di pesantren, bedanya kiai
tidak berada dalam lingkup madarasah, tidak seperti pesantren yang memiliki ciri-
ciri; ada santri, kitab kuning, kiai, pondokan, dan masjid. Dalam konteks
pendidikan NU, sistem pendidikan pesantren yang telah lama melembaga bagi
masyarakat Islam nusantara tidak bisa dilupakan. Keberadaan NU hingga saat ini
selalu ditopang oleh pesantren. Dari pesantren basis kekuatan NU dibangun
dengan banyak melahirkan para ulama dan kiai, yang kemudian membentuk
jamâiyah NU dan berjuang di dalamnya. Jadi keberadaan pendidikan di
lingkungan NU sebelum madrasah- adalah pesantren. Saat ini pendidikan
pesantren berada dalam naungan NU, yang penanganannya dipasrahkan pada
Lajnah RMI (Lembaga Rabithah MaâTahid Islamiyah), sedangkan pendidikan
madrasah berada dalam naungan NU, yang penanganannya diserahkan kepada
Lembaga Pendidikan Maarif (LPM).
8
BAB III
KESIMPULAN
9
10
DAFTAR PUSTAKA
10