Anda di halaman 1dari 19

PANDANGAN ISLAM TENTANG NEGARA DAN

MASYARAKAT MADANI

Disusun Guna Memenuhi Tugas mata kuliah pendidikan agama islam

Dosen Pengampu
Teguh kurniyanto, S.Pd.I,. M. Ed

DISUSUN OLEH :
IRHAM ASSYAHAF (221090500003)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS SUTOMO
SERANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya


sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan pemikirannya.
Penyusun sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi
agar makalah ini bisa pembaca sebarluaskan lagi.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat berguna
bagi semua pihak.

Serang, 18 Maret 2023

i
DAFTAR ISI

BAB I .................................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

1.1 latar belakang ........................................................................................................ 1

1.2 Tujuan ................................................................................................................... 2

1.3 Latar Belakang Masalah........................................................................................ 2

BAB II................................................................................................................................. 3

PEMBAHASAN ............................................................................................................. 3

2.1 ISLAM DAN NEGARA ....................................................................................... 3

2.1.1 Asal Mula Terbentuknya Negara ................................................................... 3

2.1.2 Tujuan Pembentukan Negara ......................................................................... 4

2.1.3 Paradigma Islam Terhadap Negara ................................................................ 5

2.1.4 Sistem Politik Islam ....................................................................................... 7

2.1.5 Konsep demokrasi islam ................................................................................ 8

2.2 MASYARAKAT MADANI ................................................................................. 9

2.2.1 Pengertian Masyarakat Madani ...................................................................... 9

2.2.2 Masyarakat Madani Dalam Sejarah ............................................................... 9

2.2.3 Karakteristik masyarakat madani ................................................................. 11

2.2.4 Peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani .......................... 12

BAB III ............................................................................................................................. 14

PENUTUP .................................................................................................................... 14

KESIMPULAN ......................................................................................................... 14

SARAN ..................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 latar belakang


Negara dalam terminologi secara umum, melahirkan beberapa pengertian (Rahmat
& Halimi, 1996). Namun, negara dalam terminologi Islam yang diistilahkan dengan dawlah
(Al-Ansariy, 1985), pengertiannya selalu merujuk pada Alquran yang menggunakan term
al-balad dan derivasinya (Shihab, 1997). Kata al-balad secara leksikal berarti tinggal di
suatu tempat, kota atau daerah, dan negeri (Al-Munawwir, 1997). Kata al-balad yang
berarti kota ditemukan dalam QS. al-Balad (90): 1-2, yakni: ‫اذا ِها ِس ُم ب ق ُ اَل أ ِد باال اذا ال ِها‬
‫ اوأ باال ال‬،‫ ]ات ِح ل ب ن ا ِد‬Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah), dan kamu
(Muhammad) bertempat di kota Mekah ini] (Depag RI, 2008). Sedangkan derivasi kata al-
balad yang berarti negeri ditemukan dalam QS. al-Fajr (89):11, yakni; ‫د ِ َال ِ ب اغ وا فِي ال ِذي‬
‫( ان طا ال‬yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri ini) (Depag RI, 2008). Pengertian
ُ ِ ‫ياهِسق او ُن اميتًا ادة ً ِ ِه بال‬
yang sama, juga terdapat dalam QS. al-Furqān (25): 49, yakni; ‫اي‬
‫ ب حي‬Kami agar (‫ ِل ُن‬menghidupkan dengan air itu negeri yang mati) (Depag RI, 2008).
Masyarakat madani (Civil Society), merupakan struktur kemasyarakatan
dalam konteks kenegaraan. Masyarakat madani dikembangkan dalam proses
pembelajaran sosial yang tumbuh dan berkembang dalam tatanan komunitas bangsa
yang majemuk. Selain itu keberadaanya tidak bisa dilepaskan oleh suatu proses
akibat dari adanya mobilitas geografis karena adanya persaingan ekonomi pasar
maupun kedudukan birokratis. Tanpa hadirnya negara yang reponsif, maka
persaingan akan kepentingan yang muncul hanya akan melahirkan kelompok
superior (kuat) dan kelompok inferior (lemah). Pada gilirannya kelompok superior
(kuat) inilah yang akan mampu berperan signifikan dalam penyusunan politik
hukum negara. Keberadaan masyarakat madani (civil Society) diharapkan mampu untuk
menjadi penyeimbang dalam melakukan “tekanan” kepada negara. Tentu saja
bahwa tekanan itu didedikasikan untuk kepentingan rakyat yang tidak mampu
bersaing dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Kondisi tersebut
memunculkan situasi relasional antara masyarakat madani dengan rakyat dalam
bentuk advokasi dan dengan negara dalam bentuk kontrol kebijakan. Efektivitas

1
proses advokasi dan kontrol aka sangat ditentukan oleh fungsi relasional yang
dibangun antara masyarakat madani (Civil Society) baik dengan kelompok lemah/
masyarakat kecil (inferior) maupun dengan negara. Bagi penulis hal tersebut
menarik dan untuk itulah penelitian ini dilakukan.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ialah mahasiswa dapat memahami hal-hal sebagai
berikut:
1. Asal Mula Terbentuknya Negara

2. Tujuan Pembentukan Negara

3. Paradigma Islam Terhadap Negara

4. Sistem Politik Islam

5. Konsep Demokrasi Islam

6. Pengertian Masyarakat Madani


7. Masyarakat Madani Dalam Sejarah
8. Karakteristik Masyarakat Madani
9. Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani

1.3 Latar Belakang Masalah


berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil permasalahan unuk makalah ini, yaitu
PANDANGAN ISLAM TENTANG NEGARA DAN MASYARAKAT MADANI.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ISLAM DAN NEGARA


2.1.1 Asal Mula Terbentuknya Negara
Negara adalah sebuah organisasi manusia atau kumpulan individu dalam suatu
wilayah dan berada di bawah pemerintahan yang sama. Sebuah negara lahir dari proses
yang panjang. Masing-masing negara memiliki sejarah tentang kemunculannya. Terdapat
beberapa teori yang mengemukakan asal-usul negara yaitu teori yang bersifat ketuhanan,
teori yang didasari kekuatan atau kekuasaan, teori perjanjian masyarakat, dan teori hukum
alam.

A. Teori Ketuhanan
Teori yang bersifat ketuhanan merupakan teori tertua dalam kerangka asal-usul
negara. Teori ini merujuk pada perjanjian terdahulu bahwa Tuhan adalah sumber kekuatan
negara. Bangsa Yahudi percaya bahwa Tuhan yang menetapkan seorang raja. Kaum
Yahudi yakin bahwa raja merupakan wakil tuhan dan diamanatkan kepadanya tanggung
jawab yang harus dilaksanakan. Dalam teori ketuhanan, ada keyakinan bahwa siapapun
yang menentang raja, maka dia telah melawan peraturan tuhan dan pembangkang akan
menerima kutukan atas perlawanannya.

B. Teori Kekuatan atau Kekuasaan


Teori kekuatan menyatakan bahwa negara terbentuk sebagai salah satu akibat
penaklukan kaum lemah oleh kaum kuat. Teori kekuasaan berbasis pada pikiran dasar
manusia yang bersifat agresif. Sifat yang membawa manusia meronta terus-menerus untuk
meraih kekuasaan dengan menjajah kaum lemah. Sifat agresif inilah yang membawa naluri
manusia bangkit dan membentuk institusi negara. Oleh karena itu, kekuatan adalah dasar
negara. Jean Bodin, Oppenheimer, dan Chris Jenks adalah ahli filsafat yang memegang dan
menyokong teori kekuasaan di masa modern ini.

3
C. Teori Perjanjian Masyarakat
Teori perjanjian masyarakat menyatakan bahwa terbentuknya negara dikarenakan
adanya perjanjian di mana semua masyarakat mengikat diri dalam perjanjian tersebut.
Masyarakat mendirikan suatu organisasi negara dengan tujuan agar negara dapat
melindungi dan menjamin kelangsungan hidup mereka. Beberapa filsuf Inggris dan
Perancis yang menjadi pencetus teori ini adalah Thomas Hobbes, John Locke, JJ Rousseau,
dan Montesquieu. John Locke mengungkapkan bahwa pembentukan negara yang
didasarkan atas perjanjian masyarakat terdiri dari dua tahap, yaitu:
1. Pactum Uniones: Adanya perjanjian masyarakat untuk membentuk negara.
2. Pactum Subjectiones: Adanya perjanjian yang diadakan dengan penguasa.

Sementara JJ Rousseau dalam teori perjanjian masyarakat menghendaki raja semata-mata


hanya sebagai mandataris rakyat sehingga apabila raja tidak mampu menjalankan
kekuasaannya dengan baik, maka raja dapat diganti.

D. Teori Hukum Alam


Teori hukum alam menjelaskan bahwa negara lahir karena adanya kekuasaan alam yang
berlaku di setiap waktu dan tempat, serta bersifat universal dan tidak berubah. Beberapa
filsuf yang menjadi tokoh pemikir teori ini adalah Plato, Aristoteles, Santo Agustinus, dan
Thomas Aquino. Para pemikir teori ini mempunyai pandangan bahwa antara negara dengan
alam mempunyai sebuah keterikatan. Berikut pandangan sejumlah tokoh tersebut terkait
teori hukum alam dalam proses terbentuknya negara:
• Plato mengungkapkan terjadinya negara secara evolusi.
• Aristoteles mengungkapkan manusia adalah zoon politicon yang membentuk
keluarga-masyarakat-negara.
• Santo Agustinus mengungkapkan terjadinya negara karena suatu keharusan
sebagai penebus dosa atas perbuatan manusia.
• Thomas Aquino mengungkapkan bahwa negara merupakan lembaga alamiah yang
diperlukan manusia untuk menyelenggarakan kepentingan umum.

2.1.2 Tujuan Pembentukan Negara


tujuan negara adalah pedoman yang mengarahkan semua kegiatan negara, mulai dari
menyusun dan mengendalikan alat perlengkapan negara, hingga mengatur kehidupan
rakyatnya. Tujuan juga menjadi panduan bagi negara dalam mengatur kehidupan
rakyatnya. Secara umum, tujuan terakhir setiap negara adalah menciptakan kebahagiaan

4
bagi rakyatnya. Tujuan ini dapat disederhanakan menjadi dua hal pokok, yakni keamanan
dan keselamatan, serta kesejahteraan dan kemakmuran. Menurut Roger H. Soltau, tujuan
negara adalah memungkinkan rakyatnya untuk berkembang serta menyelenggarakan daya
ciptanya sebebas mungkin. Sementara itu, tujuan negara menurut Harold J. Laski adalah
menciptakan keadaan di mana rakyat bisa mencapai berbagai keinginan mereka secara
maksimal. Adapun tujuan negara Republik Indonesia tercantum pada Pembukaan UUD
1945. Dalam alinea keempat UUD 1945, tujuan negara Indonesia, yakni:
• untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
• untuk memajukan kesejahteraan umum,
• untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
• ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.

2.1.3 Paradigma Islam Terhadap Negara


Diawali dengan merujuk pada dasar nas, maka munculah berbagai interpretasi terhadap
keberadaan nas tersebut yang dalam istilah Ushul masuk dalam kategori. dzaniyud dilalah
(unclear statement.), ada tiga kelompok tentang Islam dan negara.

1. Kelompok Integralistik
Kelompok ini berpaham bahwa Islam dalam kenyataannya tidak hanya
sekedar doktrin agama yang membimbing manusia dari aspek spiritual saja,
melainkan juga berusaha membangun sistem ketatanegaraan. Menurut paradigma
ini, Islam sebagai sebuah agama dapat diartikan pula sebagai lembaga politik dan
kenegaraan, tidak hanya mengatur hubugan manusia dengan Tuhan tetapi mengatur
hubungan antar sesama manusia, baik dalam aspek sosial maupun politik kenegaraan
dengan doktrin Inna al-Islām Dīn wa Daulah. Dengan doktrin ini Islam dipahami
sebagai teologi politik. Pada akhirnya Islam menjadi keniscayaan terutama dalam
upaya memposisikan Islam sebagai dasar negara sehingga agama dan politik tidak
dapat dipisahkan harus terbentuk secara formalistik-legalistik dalam suatu wadah
yang bernama Negara Islam. Ide pemikiran atau pemahaman ini terekspresi pada
perjalanan sejarah yang termanifestasi dalam organisasi gerakan Islam Ikhwan al-
Muslmin di Mesir dan Jama`at Islammiyah.

5
2. Kelompok Sekularistik
Komunitas-komunitas muslim yang cenderung menekankan pemisahan
antara agama dan negara. Kelompok ini mempunyai cita-cita politik menjadikan
negara sekuler. Mereka berpegang pada paradigma teori yang menyatakan bahwa
agama sama sekali tidak menekankan kewajiban mendirikan negara. Agama,
menurut mereka hanyamemberikan nilai etik-moral dalam membangun tatanan
masyarakat dan negara. Kerangka teologis dari kelompok ini, bahwa pembentukan
pemerintahan dan negara Islam tidak termasuk dalam tugas sebagaimana
diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW. Kelompok sekuler yang
memisahkan Islam dengan urusan pemerintahan, karena mereka berkeyakinan,
bahwa Islam tidak mengatur masalah keduniawian termasuk pemerintahan dan
negara. Tokoh aliran ini yang paling terkenal dan bersuara lantang adalah ‘Ali ‘Abd
ar-Raziq. Abd Ar-Raziq mensyaratkan pemisahan mutlak antara negara dan Islam.
Islam datang tidak untuk membentuk sebuah negara dan begitu juga Nabi
Muhammad SAW. Hanyalah seorang nabi yang bertugas menyampaikan risalahNya,
beliau tidak punya kewajiban membentuk sebuah negara. Islam tidak mengenal
adanya lembaga kekhalifahan sebagaimana secara umum dipahami oleh kaum
Muslim. Lembaga kekhalifahan tidak ada kaitannya dengan tugas-tugas keagamaan.
Islam tidak memerintahkan untuk mendirikan kekhalifahan dan juga tidak melarang.
Agama (Islam) menyerahkannya kepada pilihan kita yang bebas. Bagi Raziq sumber
legitimasi kekuasaan tidak bisadicampur-aduk antara ligitimasi rakyat (ascending of
power) dengan yang datang dari Tuhan (descending of power), dan ini jelas berbeda
dengan Ibnu Khaldun walaupun sama-sama memberi penyediaan pintu masuk untuk
menerima kekuasaan raja atau kekuasaan sekuler dan bukan khilafah tetapi tetap
membangun moralitas ilahiyah.

3. Kelompok Substantif-Simbiotik
Menurut penganut aliran ini, hubungan antara agama dan negara harus
berbeda dalam hubungan yang bersifat simbiotik, yaitu suatu hubungan timbal balik
yang saling memerlukan antara keduanya. Negara menurut kelompok ini
memerlukan panduan etika dan moral sebagaimana diajarkan agama. Sementara
agama sendiri memerlukan kawalan negara untuk kelestarian dan eksistensinya atau
agama (Islam) memerlukan ‘pedang penolong’ yaitu negara. Tanpa ‘pedang

6
penolong’ yang mendukungnya, maka Islam dengan semua ajarannya yang
sempurna dan konprehensif tidak akan mungkin ditancapkan dalam realitas sosial.
Dengan hubungan seperti inilah keduanya berada dalam dimensi simbiosis-
mutualistis dan tidak mereduksi agama atau tidak menyamakan antara alat dengan
risalah.

2.1.4 Sistem Politik Islam


Islam menyebut politik dengan istilah Siyasah. Jika yang dimaksud politik adalah
siyasah mengatur segenap urusan umat, maka Islam sangat menekankan pentingnya
siyasah. Bahkan Islam sangat mencela orang-orang yang tidak mau tahu terhadap urusan
umat. Tetapi jika siyasah diartikan sebagai orientasi kekuasaan, maka sesungguhnya Islam
memandang kekuasaan hanya sebagai sarana menyempurnakan pengabdian kepada Allah.
Tapi Islam hanya menjadi sarana dalam masalah kekuasaan. Sebagian orang seringkali
menilai istilah politik Islam diartikan sebagai politik menurut perspektif Islam, hal itu
sebagai bentuk kewajaran karena dalam dunia nyata kita selalu disuguhkan praktik politik
yang kurang atau sama sekali menyimpang dari ajaran Islam Sampai batasan tertentu, Islam
memang memiliki konsep yang khas tentang politik. Akan tetapi, tentu saja Islam tetap
terbuka terhadap berbagai konsep politik yang senantiasa muncul untuk kemudian bisa
melengkapi konsep yang sudah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan konsep Islam
yang sudah ada. Sifat terbuka Islam dalam masalah politik ini tidak terlepas dari kenyataan
bahwa Islam tidaklah menetapkan konsep politiknya secara amat rinci. Dalam hal ini, Islam
memang harus memiliki corak politik. Akan tetapi, politik bukanlah satu-satunya corak
yang dimiliki oleh Islam. Sebab jika Islam hanya bercorak politik tanpa ada corak Iain yang
seharusnya ada, maka Islam yang demikian ialah Islam yang parsial.

Varian interpretasi Agama


Munculnya varian-varian Islam dengan corak politik yang amat kuat pada dasamya
didorong oleh kelemahan atau bahkan keterpurukan politik umat Islam saat ini. Karena
kondisi sedemikian ini, politik kemudian menjadi salah satu tugas panting umat Islam,
untuk bisa bangkit dari kemunduran agar terhindar dari komoditas politik pragmatis.
Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan
dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan
agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-

7
persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan
dan suksesan kepemimpinan. Termasuk juga persoalan keseharian manusia, dalam hal ini
masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama cenderung digunakan
untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam
sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.

Orientasi Politik dalam Islam


Orientasi utama politik Islam terkait dengan masalah kekuasaan yaitu tegaknya
hukum-hukum Allah dimuka bumi, hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan tertinggi ialah
kekuasaan Allah. Sementara, manusia pada dasarnya sama sekali tidak memlliki
kekuasaan. Bahkan Islam menentang adanya penguasaan Absolut seorang manusia atas
manusia yang lain.

2.1.5 Konsep demokrasi islam


Demokrasi Islam adalah ideologi politik yang berusaha menerapkan prinsip-
prinsip Islam ke dalam kebijakan publik dalam kerangka demokrasi. Teori politik Islam
menyebutkan tiga ciri dasar demokrasi Islam: pemimpin harus dipilih oleh rakyat, tunduk
pada syariah, dan berkomitmen untuk mempraktekkan "syura", sebuah bentuk konsultasi
khusus yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang dapat ditemukan dalam berbagai
hadits dengan komunitas mereka. Negara-negara yang memenuhi tiga ciri dasar tersebut
antara lain Iran dan Malaysia. Afghanistan, Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab adalah
contoh negara yang tidak menganut prinsip demokrasi Islam meski negara-negara Islam,
karena negara-negara ini tidak mengadakan pemilihan. Pelaksanaan demokrasi Islam
berbeda di negara-negara mayoritas muslim, karena interpretasi syariah berbeda-beda dari
satu negara ke negara lain, dan penggunaan syariah lebih komprehensif di negara-negara
di mana syariah menjadi dasar bagi undang-undang negara. Konsep liberalisme dan
partisipasi demokratis sudah ada di dunia Islam abad pertengahan. Kekhalifahan Rasyidin
dianggap oleh para pendukungnya sebagai contoh awal sebuah negara demokratis dan
diklaim bahwa perkembangan demokrasi di dunia Islam akhirnya terhenti setelah
perpecahan Sunni–Syiah.

8
2.2 MASYARAKAT MADANI
2.2.1 Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral
yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu untuk stabilitas masyarakat.
Inisiatif individu dan masyarakat akan berpikir, seni, pelaksanaan pemerintah oleh hukum
dan tidak nafsu atau keinginan individu. Pengertian lain dari masyarakat madani adalah
masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam
penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Allah SWT memberikan gambaran dari
masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka
yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
“Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha
Pengampun”.

2.2.2 Masyarakat Madani Dalam Sejarah


Istilah masyarakat madani dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah civil society
pertama kali dikemukan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies
civilis yang identik dengan negara. Rahadrjo (1997) menyatakan bahawa istilah civil
society sudah ada sejak zaman sebelum masehi. Orang yang pertama kali mencetuskan
istilah civil society adalah Cicero (104-43 SM), sebagai oratur yunani.
Civil society menurut Cicero ialah suatu komunitas politik yang beradab seperti yang
dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki kode hukum sendiri. Dengan konsep
civility (kewargaan) dan urbanity (budaya kota), maka dipahami bukan hanya sekadar
konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan. Filsuf
yunani Aristoteles (384-322 M) yang memandang masyarakat sipil sebagai suatu sistem
kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri, pandangan ini merupakan

• Fase pertama sejarah wacana civil society, yang berkembang dewasa ini, yakni
masyarakat sivil diluar dan penyeimbang lembaga negara, pada masa ini civil
society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia
politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung
dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.

9
• Fase kedua, pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana civil
society, dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia. Berbeda dengan
pendahulunya, ia lebih menekankan visi etis pada civil society, dalam kehidupan
sosial, pemahaman ini lahir tidak lepas dari pengaruh revolusi industri dan
kapitalisme yang melahirkan ketimpangan sosial yang mencolok.
• Fase ketiga, berbeda dengan pendahulunya, pada tahun 1792 Thomas Paine
memaknai wacana civil society sebagai suatu yang berlawanan dengan lembaga
negara, bahkan ia dianggap sebagain anitesis negara, bersandar pada paradigma
ini, peran negara sudah saatnya dibatasi, menurut pandangan ini, negara tidak lain
hanyalah keniscayaan buruk belaka, konsep negera yang absah, menurut pemikiran
ini adalah perwujudkan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat
demi terciptanya kesejahteraan bersama.
• Fase keempat, wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh G.W.F Hegel
(1770-1831 M), Karl Max (1818-1883 M), dan Antonio Gramsci (1891-1837 M).
dalam pandangan ketiganya, civil society merupakan elemen ideologis kelas
dominan, pemahaman ini adalah reaksi atau pandangan Paine, Hegel memandang
civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara, pandangan ini,
menurut pakar politik Indonesia Ryass Rasyid, erat kaitannya dengan
perkembangan sosial masyarakat borjuasi Eropa yang pertumbuhannya ditandai
oleh pejuang melepaskan diri dari cengkeraman dominasi negara.
• Fase kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang
dikembangkan oleh Alexis dengan Tocqueville (1805-1859), bersumber dari
pengalamannya mengamati budaya demokrasi Amerika, ia memandang civil
society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara, menurutnya kekuatan
politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan
demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat.

Di Indonesia, pengertian masyarakat madani pertama kali diperkenalkan oleh Anwar


Ibrahim (mantan Deputi PM Malaysia) dalam festival Istiqlal 1995. Oleh Anwar Ibrahim
dinyatakan bahwa masyarakat madani adalah: Sistem sosial yang subur yang diasaskan
kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dan
kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari
segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan, mengikuti undang-undang dan bukan
nafsu atau keinginan individu, menjadikan keterdugaan serta ketulusan.
Perjuangan masyarakat madani di Indonesia pada awal pergerakan kebangsaan dipelopori
oleh Syarikat Islam (1912) dan dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal kemerdekaan
(Norlholt, 1999). Jiwa demokrasi Soeltan Syahrir ternyata harus menghadapi kekuatan
represif baik dari rezim Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno maupun rezim Orde Baru
di bawah pimpinan Soeharto, tuntutan perjuangan transformasi menuju masyarakat madani

10
pada era reformasi ini tampaknya sudah tak terbendungkan lagi dengan tokoh utamanya
adalah Amien Rais dari Yogyakarta.

2.2.3 Karakteristik masyarakat madani


Berikut ini terdapat beberapa karakteristik masyarakat madani, terdiri atas:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam
masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi
dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara
dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena
keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-
masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuh kembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim
totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu
mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan
berbagai ragam perspektif.
8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama,
yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan
yang mengatur kehidupan sosial.
9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun
secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat
mengurangi kebebasannya.
11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan
oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas
pihak lain yang berbeda tersebut.
12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.

11
13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan
terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk
umat manusia.
14. Berakhlak mulia.

Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah
sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan
kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-
kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi
kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di
wilayahnya.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai
dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam
setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani
adalah Alquran. Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat
yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar
dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual,
sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah
mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah. Prinsip
terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta
para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai
sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam
mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).

2.2.4 Peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani


Masyarakat Madani adalah kumpulan individu yang dikendalikan atau terikat dan
kehidupan mereka dikoordinasikan oleh pelajaran atau aturan Islam. Dalam lingkup
masyarakat umum, jika tidak ada pelaksanaan hukum Islam, akan sulit bagi masyarakat
umum untuk memahami standarnya. Tipe masyarakat umum adalah tipe berkumpulnya
individu-individu yang sebelumnya dianggap berperan penting. Pada saat pertemuan-
pertemuan lokal berkumpul dan mengatur hidup berdampingan dengan musyawarah dan
mencapai kesepakatan. Perbaikan area lokal membutuhkan pengisian ulang yang

12
dikembangkan melalui kemajuan masyarakat umum dengan status setara untuk semua
pertemuan lokal saat ini dan kehidupan bersama yang diarahkan melalui organisasi terkait.
Dalam sejarah sosial masyarakat Indonesia, perkembangan sosial masyarakat Indonesia
secara khusus menunjukkan pergaulan yang bersahabat dimana salah satu tolak ukurnya
adalah pergaulan sosial yang ketat. Asosiasi ini dalam rangkaian pengalamannya telah
mengambil bagian penting, sejak masa pra-kebebasan hingga permintaan perubahan saat
ini. Yang dimaksud dengan asosiasi ini tidak terbatas pada pekerjaan konvensional yang
terdiri dari penguatan yang ketat melalui penanaman kehidupan yang ketat untuk
membentengi tanggung jawab yang ketat dari kelompok orang Islam. Bagaimanapun, ia
juga telah mengambil bagian penting dalam kehidupan persahabatan dan politik.
Arti mendasar dari masyarakat umum adalah masyarakat umum yang menjadikan kualitas
kemajuan sebagai prinsip. Dengan cara ini, di seluruh keberadaan teori, dari cara berpikir
Yunani ke jam cara berpikir Islam, istilah Madinah atau polis juga diwujudkan yang
menyiratkan kota, yang merupakan masyarakat tingkat tinggi dan mapan. Masyarakat
umum merupakan gambaran visi yang diharapkan oleh masyarakat. Dalam Al-Qur'an,
Allah memberikan gambaran masyarakat yang ideal sebagai gambaran masyarakat umum
dengan firman-Nya dalam Al-Qur'an yang menyiratkan: "... (bangsamu) adalah umat yang
baik dan (tuanmu) adalah Tuhan yang baik." (Surat: Saba '15).
Sesuai dengan tatanan masyarakat umum di Indonesia, penduduk Indonesia harus
diciptakan menjadi penduduk yang cerdas, berbasis popularitas, dan tegas yang
digambarkan dengan imtaq, dasar faksi, dan inventif, berpikir dan merasa sesuai pedoman,
mengakui jiwa Bhineka Tunggal Ika, Bersatu dengan sengaja dan cakap, memilih pionir
terencana dengan tulus dan sopan, bereaksi terhadap komunikasi luas secara mendasar dan
tidak memihak, berangkat untuk tampil ahli dan sosial, berani dan siap menjadi pengamat,
memiliki pengetahuan yang luas, memiliki rasa ketahanan dan memahami standar umum
negara Indonesia yang mayoritas, dilindungi, adil dan makmur bagi setiap individu
Indonesia.
Gagasan masyarakat umum menurut Islam adalah struktur politik yang: kekuasaan
mayoritas, partisipatif, menghormati dan menghargai publik, misalnya, kesempatan
kebebasan dasar, kepentingan, kesetaraan sosial, menjaga moral dan kualitas yang
mendalam. Atribut utama masyarakat umum Indonesia adalah pemerintahan mayoritas
yang menjaga kualitas manusia, individu yang memiliki keyakinan yang beragam, penuh
dengan perlawanan, menerapkan undang-undang dan pedoman yang berlaku andal dan
disempurnakan.

13
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Negara adalah sebuah organisasi manusia atau kumpulan individu dalam suatu
wilayah dan berada di bawah pemerintahan yang sama. Diawali dengan merujuk pada dasar
nas, maka munculah berbagai interpretasi terhadap keberadaan nas tersebut yang dalam
istilah Ushul masuk dalam kategori. dzaniyud dilalah (unclear statement.), ada tiga
kelompok tentang Islam dan negara yaitu Kelompok Integralistik, Kelompok Sekularistik,
Kelompok Substantif-Simbiotik, Sebagian orang seringkali menilai istilah politik Islam
diartikan sebagai politik menurut perspektif Islam, hal itu sebagai bentuk kewajaran karena
dalam dunia nyata kita selalu disuguhkan praktik politik yang kurang atau sama sekali
menyimpang dari ajaran Islam Sampai batasan tertentu, Islam memang memiliki konsep
yang khas tentang politik. Tapi jika Islam hanya bercorak politik tanpa ada corak Iain yang
seharusnya ada, maka Islam yang demikian ialah Islam yang parsial. Pelaksanaan
demokrasi Islam berbeda di negara-negara mayoritas muslim, karena interpretasi syariah
berbeda-beda dari satu negara ke negara lain, dan penggunaan syariah lebih komprehensif
di negara-negara di mana syariah menjadi dasar bagi undang-undang negara. Istilah
masyarakat madani dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah civil society pertama kali
dikemukan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis yang
identik dengan negara. Oleh Anwar Ibrahim dinyatakan bahwa masyarakat madani adalah:
Sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan perorangan dan kestabilan masyarakat.

SARAN
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini di antaranya:
Bagi pembaca, hasil susunan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan
pengetahuan terkait dengan Pengertian negara dan masyarakat madani, Asal mula
terbentuknya suatu negara, Tujuan Pembentukan Negara, Paradigma Islam Terhadap
Negara, Sistem politik Islam, Pemikiran Politik Islam, Demokrasi menurut Islam,

14
Pengertian masyarakat dan ummat dalam Islam, Masyarakat Madani Dalam Sejarah,
Karakteristik Masyarakat Madani, Membangun masyarakat madani sebagai keniscayaan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Djuyandi, Yusa. 2017. Pengantar Ilmu Politik. Depok: Rajawali Pers

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Abd. Salam Arif, Politik Islam.,

Anjar Nugroho, ‘Politik Islam Perspektif Sekularisme; Studi Kritis

Ali Abd Al-Raziq’ dalam Jurnal Asy-Syir`ah, Fakultas Syari`ah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, vol 39, No. II (Tahun 2005),

A. Syafi`i Ma`arif, Islam dan Poltik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-
1065), (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988),

Zainullah, Politik dalam islam, 30 Sep 2018

Ghadbian, Najib (July 6, 2003). "Democracy or Self-Interest?". Harvard International


Review.

Sullivan, Antony T. (January–February 1997). "Istanbul Conference Traces Islamic Roots


of Western Law, Society". Washington Report on Middle East Affairs: 36

al-Hibri, Azizah Y. (1998–1999). "Islamic and American Constitutional Law: Borrowing


Possibilities or a History of Borrowing". University of Pennsylvania Journal of
Constitutional Law. 1 (3): 492–527

Suito, Deny. 2006. Membangun Masyarakat Madani. Centre For Moderate Muslim
Indonesia: Jakarta.

Sosrosoediro, Endang Rudiatin. 2007. Dari Civil Society Ke Civil Religion. MUI: Jakarta.

Sutianto, Anen. 2004. Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan. Pikiran


Rakyat: Bandung.

http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jmb/article/download/6262/4535/

https://kewarganegaraanblog.wordpress.com/2018/01/10/peran-umat-islam-dalam-
mewujudkan-masyarakat-madani/amp

16

Anda mungkin juga menyukai