Anda di halaman 1dari 34

DR. H. HUSEN SARUJIN, SH., MM., M.

Si, MH
Dosen Pengampu Mata Kuliah :

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


“NEGARA DAN AGAMA”

MAKALAH
Disusun Untuk Menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan Serta Sebagai Tugas Final Semester II

Oleh :
MAGFIRA DWI RAMADHANI (20400121078)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021/2022
1
DR. H. HUSEN SARUJIN, SH, MM, M.Si, MH.
DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH :
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat, inayah,
taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul " Negara dan Agama " dengan tepat waktu.

Terima kasih kepada Bapak Dr. H. Husen Sarujin SH. MM. M.Si. MH. selaku dosen
pengampu mata kuliah Pendidikan pancasila dan Kewarganegaraan yang membimbing dan
membina kami dalam penyelesaian penulisan makalah ini, sehingga kami dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini dengan baik dan sesuai waktu yang di berikan.

Makalah ini disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah Pendidikan
Pancasila Dan Kewarganegaraan. Selain itu makalah ini bertujuan menambah wawasan bagi
pembaca dan juga penulis. Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Kami juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan masalah ini. Kami menyadari makalah
ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Samata, 3 Juli 2022

Penyusun

3
DAFTAR ISI

JUDUL…………………………………………………………………………………………………………………………………..1

KATA PENGANTAR……..………………………………………………………………………………………………………..3

DAFTAR ISI………………..………………………………………………………………………………………………………….4

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………..………………………………………6

A. Latar Belakang……………………………………………………………………………………………………….6

B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………………………………6

C. Tujuan Penulisan……………………………………………………………………………………………………6

BAB II PEMBAHASAN……………..…………………………………………………………………………………………….8

A. Negara……………………………………………………………………………………………………………..…..8

B. Unsur-Unsur Pembentukan Negara……………………………………………………………………….9

1. Unsur-unsur Negara…………………………………………………………………………………10

2. Macam-macam Bentuk Negara………………………………………………………………..11

C. Agama…………………………………………………………………………………………………………………14

D. Latar Belakang Perlunya Manusia Akan Agama……………………………………………………17

1. Latar Belakang Fitrah Manusia………………………………………………………………….17

2. Kelemahan dan Kekurangan Manusia……………………………………………………….19

3. Tantangan Manusia………………………………………………………………………………….20

E. Hubungan Islam dan Negara………………………………………………………………………………..21

F. Konsep Islam Tentang Negara………………………………………………………………………………23

1. Islam dan Demokrasi Pemerintahan…………………………………………………………25

2. Pemerintahan………………………………………………………………………………………….26

3. Paradigma Pemikiran Politik Konsep Negara…………………………………………….29

4
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………………………………………………31

Kesimpulan……………………………………………………………………………………………………………..31

Saran………………………………………………………………………………………………………………………32

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………………………………………33

5
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap individu dalam satu masyarakat selalu berinteraksi antara yang satu dengan
yang lain membentuk satu kesatuan dengan berpedoman kepada tata aturan yang kuat.
Dalam hal ini agama berperan mengatur kehidupan masyarakat sehingga mereka bisa hidup
berdampingan dan saling membutuhkan.Begitu pula dengan negara yang merupakan suatu
organisasi dalam suatu wilayah memberikan tata aturan kepada masyarakat dengan
membentuk satu tujuan bersama.

Agama dan negara memang tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat karena untuk
mewujudkan cita-cita bersama masyarakat perlu memahami nilai-nilai yang terkandung
dalam agama dan negara sehingga menuntut masyarakat menndalami apa itu agama dan apa
itu negara dalam segala peran dan fungsinya lebih-lebih di zaman yang serba modern ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana unsur-unsur pembentukan negara?

2. Apa pengertian Negara, dan pengertian Islam?

3. Apa latar belakang perlunya manusia akan agama?

4. Bagaimana hubungan Islam dan negara?

5. Apa konsep Islam tentang negara?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui unsur-unsur pembentukan negara.

6
2. Untuk mengetahui pengertian negara dan Islam/agama.

3. Untuk mengetahui latar belakang perlunya manusia akan agama.

4. Untuk Mengetahui hubungan Islam dan negara.

5. Untuk mengetahui konsep Islam tentang negara.

7
BAB II

PEMBAHASAN

A. NEGARA

Negara merupakan konsep yang paling penting dalam ilmu politik. Negara selalu
menjadi wilayah kajian karena di sana terdapat pergulatan politik dan kekuasaan yang paling
mudah untuk dilihat dan dikenali. Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik.

Negara adalah suatu badan atau organisasi tertinggi yang mempunyai wewenang
untuk mengatur hal-hal yang berkaitan untuk kepentingan orang banyak serta mempunyai
kewajiban-kewajiban untuk melindungi, menyejahterakan masyarakat yang dinaunginya.
Sedangkan menurut istilah negara atau "state" berasal dari bahasa Latin status (stato dalam
bahasa Itali, estat dalam bahasa Perancis dan state dalam bahasa Inggris).

Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas kekuasaan dapat digunakan dalam


kehidupan bersama baik yang dilakukan oleh individu maupun golongan atau asosiasi,
maupun oleh negara itu sendiri. Negara dapat menyatukan dan membimbing kegiatan-
kegiatan social dari penduduknya kearah tujuan bersama. Dalam hal ini, dapat dikatakan
bahwa sebuah negara mempunyai dua tugas :

1. mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang a-sosial, yakni yang


bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan, dan

2. mengorganisasi dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan kearah


tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana
kegiatan asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada
tujuan nasional.

Miriam Budiardjo mendefinisikan negara sebagai suatu organisasi yang dalam suatu
wilayah yang dapat memaksakan kekuasaanya secara sah terhadap semua golongan dan yang
dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu.

Menurut Harold J. Laski, tujuan negara adalah menciptakan keadaan yang rakyatnya
dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal. Negara harus memiliki
fungsi sebagai berikut :

1. melaksanakan penertiban (law and order). Untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah
terjadinya bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, negara harus melaksanakan penertiban
atau negara bertindak sebagai stabilisator.

8
2. mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.

3. pertahanan, untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar

4. menegakkan keadilan. Hal ini dilaksanakan melalui badan-badan pengadilan.

Keseluruhan fungsi negara di atas diselenggarakan oleh pemerintah untuk mencapai


tujuan yang telah ditetapkan bersama. Akan tetapi ada yang berpandangan lain mengenai
tujuan negara tersebut. Teori marxis menganggap bahwa suatu negara bukanlah alat untuk
mencapai tujuan bersama, akan tetapi tujuan kelas yang berkuasa. Kelas berkuasa di zaman
perbudakan adalah tuan (pemilik budak), di zaman feodal yang sistemnya monarki atau
kerajaan kelas yang berkuasa adalah kelas tuan tanah atau penguasa tanah, sedangkan dalam
masyarakat kapitalis yang berkuasa adalah kapitalis atau pemilik modal. Negara dalam era
saat ini merupaka alat kapitalisme untuk memperjuangkan kepentingan mereka yang menjadi
pemilik modal, mereka mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dan menindas kaum
buruh dan kelas pekerja.

Kaum Marxis berpendapat bahwa tujuan negara adalah melanggengkan ketimpangan


kelas, dan itu terjadi karena negara (kelas berkuasa) memiliki alatalat pemaksa dan
menguasai aparatur-aparatur hukum, sosial dan politik. Negara hadir dalam arena
pertentangan kelas ini. Bagi kaum Marxis, perjuangan politik pada ranah kenegaraan adalah
mengalahkan kelas penguasa atau kapitalis dengan jalan revolusi kelas kerja.

Revolusi yang menang akan mengganti negara berkelas dengan kekuasaan kelas
pekerja dan menghilangkan kelas-kelas dalam masyarakat (terjadinya masyarakat komunis).
Di awal terbentuknya revolusi, para dictator pemimpin buruh atau kekuasaan yang
mendominasi (dictator proletariat) diharapkan bisa merubah tatanan menjadi demokrasi
penuh ketika kelas-kelas menghilang. Kediktatoran akan diganti dengan demokrasi dan
kontradiksi ekonomi yang dihancurkan akan membuat kontradiksi politik diasumsikan hilang
dan negara dianggap akan lenyap.

B. UNSUR-UNSUR PEMBENTUKAN NEGARA

Unsur terbentuknya suatu negara merupakan pandangan tentang bagaimana negara


bisa muncul dalam sejarah masyarakat dan apa yang menyebabkan adanya suatu negara.
Dalam kehidupan masyarakat ada berbagai kelompok atau lembaga, akan tetapi hal tersebut
tidak bisa dikatakan sebuah negara. Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan
penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah berdasarkan sistem hukum yang
diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang diberi kekuasaan yang bersifat memaksa.

9
1. Unsur-unsur negara

Dalam rumusan Konvensi Montevideo tahun 1933 disebutkan bahwa suatu negara
harus memiliki 3 (tiga) unsure penting, yaitu rakyat, wilayah dan pemerintah. Sejalan dengan
itu, Mac Iver merumuskan bahwa suatu negara harus memenuhi 3 (tiga) unsure pokok, yaitu
pemerintahan, komunitas atau rakyat dan wilayah tertentu, ketiga unsure ini menurut
Mahmud MD disebut sebagai unsure konstitutif, menurut beliau ketiga unsure ini perlu
ditunjang dengan unsure lainya seperti adanya konstitusi dan pengakuan dunia internasional
yang disebut dengan unsure deklaratif.

Dari beberapa pendapat tentang unsure negara, maka secara global suatu negara
membutuhkan 3 (tiga) unsur pokok, yakni rakyat (masyarakat/ warga negara), wilayah dan
pemerintah.

a. Rakyat (Masyarakat/ Warga Negara)

Setiap negara tidak lepas dengan adanya warga atau masyrakatnya. Unsur Rakyat ini
sangat berperan penting dalam sebuah negara, karena secara kongret rakyatlah yang
memiliki kepentingan agar negara itu dapat berjalan dengan baik.

Rakyat dalam konteks ini diartikan sebagai sekumpulan manusia yang dipersatukan
oleh suatu rasa persamaan dan yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu.

b. Wilayah

Wilayah dalam suatu negara merupakan unsure yang harus ada, karena tidak mungkin
ada berdirinya suatu negara tanpa adanya batasanbatasan territorial yang jelas.

Secara mendasar, wilayah dalam sebuah negara biasanya mencakup daratan (wilayah
darat), perairan (wilayah laut) dan udara (wilayah udara).

1) Dataran (wilayah darat)

Wilayah darat suatu negara dibatasi dengan wilayah darat dan laut/perairan
dengan negara lain. Perbatasan suatu negara biasanya ditentukan adanya perjanjian
dengan negara lain, perjanjian tersebut dapat disebut dengan perjanjian bilateral
sedangkan perjanjian yang dilakukan oleh banyak negara disebut perjanjian
multilateral. Perbatasan dengan negara lain meliputi:

a) Perbatasan alam seperti sungai, danau pegunungan atau lembah.

b) Perbatasan buatan seperti pagar tembok, pagar kawat dan taiang tembo.

c) Perbatasan menurut ilmu pasti, yaitu dengan menggunakan ukuran garis lintang
atau bujur timur pada peta bumi.

10
2) Perairan (wilayah laut)

Perairan atau laut yang menjadi bagian atau termasuk wilayah suatu negara
disebut perairan atau laut territorial dari negara yang bersangkutan. Pada umumnya
batas teritorial perairan 3 mil laut (5,555 km) yang dihitung dari pantai ketika laut
surut. Laut yang berada di luat batas territorial suatu negara disubut laut bebas.
Disebut dengan laut bebas karena wilayah perairan tersebut tidak termasuk dalam
wilayah kekuasaan suatu negara sehingga siapapn bebas memanfaatkanya.

3) Udara

Udara yang berada di atas wilayah darat (daratan) dan wilayah laut (perairan)
territorial suatu negara merupakan bagian dari wilayah udara sebuah negara.
Mengenai batas ketinggian sebuah wilayah negara tidak memiliki batas yang pasti,
asalkan negara yang bersangkutan dapat dipertahankan.

c. Pemerintah

Pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi


negara untuk mencapai tujuan negara. Oleh karenanya, pemerintah seringkali menjadi
personifikasi sebuah negara.

Pemerintah mengenakan hukum dan memberantas kekacauan, mengadakan


perdamaian dan menyelaraskan kepentingan-kepentingan yang bertentangan. Pemerintah
yang menetapkan, menyatakan dan menjalankan kemauan individu-individu yang tergabung
dalam organisasi politik yang disebut negara.

Pemerintah adalah badan yang mengatur urusan sehari-hari, yang menjalankan


kepentingan-kepentingan bersama. Pemerintah melaksanakan tujuan-tujuan negara,
menjalankan fungsi-fungsi kesejahteraan bersama.

2. Macam-Macam Bentuk Negara

a. Negara Monarki (Kerajaan)

Istilah monarki berasal dari bahasa Yunani, monos yang berarti satu, dan archein yang
berarti pemerintahan. Monarki merupakan jenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang
pengusaha atau raja. Sistem monarki adalah sistem pemerintahan yang paling tua di dunia.
Pada awal abad ke 19, terdapat lebih 900 tahta kerajaan dunia, tetapi hanya selang beberapa
waktu turun menjadi 240 di abad ke 20, kemudian di decade ke delapan pada abad 20 yang
tersisa adalah 40 tahta kerajaan. Dari jumlah tersebut hanya enam negara saja yang
menerapkan monarki mutlak dan selebihnnya terbatas pada sistem konstitusi.

11
Suatu negara disebut dengan negara monarki/ kerajaan, jika dalam sebuah negara
tersebut kepala negaranya dipimpin oleh seorang raja/sultan/kaisar yang berasal sari garis
keturunan keluarga penguasa. Raja tersebut akan berkuasa seumur hidup kecuali atas
keinginan sendiri mengundurkan dirinya sendiri. Raja diangkat dan diturunkan atas kehendak
diri dan keluarganya saja. Rakyat sama sekali tidak dilibatkan dalam penentuan pemimpinya.

Sistem monarki dapat dibagi menjadi dua. Monarki mutlak/ absolute dan monarki
konstitusional. Monarki mutlak adalah suatu negara yang mempunyai raja dan raja tersebut
memegang kekuasaan penuh dalam memerintah negaranya.13 Dalam sistem monarki
mutlak, kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif ada di tangan raja/ratu yang memimpin
negara.

Sedangkan monarki konstitusional adalah suatu negara yang menganggap raja/ ratu
merupakan hal yang simbolis dalam memimpin suatu negara, kedudukanya hanya sebagai
kepala negara, namun kepala pemerintahanya tetaplah orang lain yang dipilih melalui
mekanisme demokrasi atau pemilu. Ramdlon Naning mengemukakan bahwa bentuk negara
yang monarki itu dibatasi oleh suatu konstitusi atau undang-undang dasar, raja tidak dapat
berbuat sewenang-wenangnya, ia tidak dapa bertindak selain atas dasar konstitusi tersebut.

Aristoteles mengungkapkan bahwa bentuk negara yang ideal adalah monarki.


Menurutnya negara monarki merupakan negara yang dipimpin oleh penguasa yang
berorientasi pada kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum. Dalam bukunya La
Politica mengemukakan sebagai berikut “bentuk pemerintahan (bentuk negara) yang
diperintah oleh satu orang yang memerhatikan kepentingan bersama kita sebut dengan
kerajaan (monarki), sedangkan yang diperintah pleh lebih dari satu kita sebut dengan
aristokrasi.

Pada hakekatnya seorang raja masih memiliki peran tradisionalnya dalam sebuah
negara, namun peran politiknya dipimpin oleh perdana menteri. Bentuk ini cukup ideal untuk
mengompromikan keinginan negara demokrasi dan keinginan menghormati raja.

Monarki sebagai bentuk negara ideal dapat mengalami kemerosotan menjadi bentuk
negara yang buruk. Hal itu terjadi jika seseorang memerintah hanya untuk kepentingan
sendiri, jika monarki mengalami kemerosotan maka lahirlah bentuk negara tirani. Soehino
mengemukakan tentang monarki sebagai berikut negara yang pemerintahanya dipegang oleh
satu orang saja tetapi pemerintahanya itu hanya ditujukan untuk kepentingan si penguasa itu
sendiri, jadi ini bersifat jelek. Negara tersebut pantas dengan sebutan negara tirani.

b. Negara Otoriter

Negara otoriter adalah negara yang kekuasaan politiknya terkonsentrasi oleh satu
orang/ golongan ideologi tertentu secara terus menerus. Otoritarianisme biasa disebut
sebagai bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya kepada negara

12
atau pribadi tertentu, tanoa mengahrgai derajat dan hak orang banyak. Sistem ini biasanya
menetang bentuk-bentuk demokrasi, karena secara umum, kekuasaan politiknya diperoleh
juga bukan melalui mekanisme demokrasi dan pemilihan umum, namun umumnya melalui
kudeta.

Pemimpin negara otoriter hanya menerapkan satu arah dalam hal komunikasi yaitu
dari atas (penguasa) kebawah (rakyat). Dalam memimpin negara otoriter mereka
menghindari komunikasi dua arah saling berdiskusi dan menanggapi dalam model demokrasi
akan dihindarkan. Dalam menjalankan kekuasaanya penguasa yang bersifat otoriter hanya
mengenal satu bentuk komunikasi yaitu instruksi, dalam bertindak penguasa yang otoriter
suka main paksa dan main kuasa, begi penguasa yang otoriter kekuasaan adalah bukan
sebagai sarana akan tetapi menjadi tujuan itu sendiri.

c. Negara Demokrasi

Secara etimologi kata demokrasi berasal dari bahaya yunani (demokratia), demos
artinya rakyat dan cratos yang berarti kekuasaan. Jadi demokrasi berarti kekuasaan yang
berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Artinya kedaulatan tertinggi dalam suatu negara
demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat memiliki hak, suara dan kesempatan yang sama
dalam mengatur kebijakan pemerintah.

Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warganya (tanpa membeda-


bedakan agama, jenis kelamin, tingkat pendidikan) memiliki hak setara dalam pengambilan
keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara
berpartisipasi baik langsung maupun melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan
dan pembuatan hukum.

Banyak tokoh mendefinisikan demokrasi, di antaranya Abraham Lincoln demokrasi


adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, Jhon L. Esposito
menerangkan demokrasi pada dasarnya adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat. Oleh
karenanya, semuanya berhak untuk berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun mengontrol
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, tentu saja lembaga resmi pemerintah
terdapat pemisahan yang jelas antara unsure eksekutif, legislative maupun yudikatif.

Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi secara umum terdapat dua bentuk dasar.
pertama, demokrasi langsung yaitu semua warga negara berpartisipasi langsung dan aktif
dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Kedua, demokrasi perwakilan, yaitu rakyat
yang memiliki hak politiknya namun dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan yang
ditunjuk.

13
C. AGAMA

Secara sederhana, pengertian Agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologi)
dan sudut istilah (terminologi). Pengertian Agama dari sudut kebahasaan akan sangat mudah
diartikan daripada pengertian dari sudut istilah, karena pengertian dari sudut istilah ini sudah
mengandung muatan subyektivitas dari orang yang mengartikannya. Atas dasar ini, maka
tidak mengherankan jika muncul beberapa ahli yang tidak tertarik mendefenisikan Agama.

James H. Leuba misalnya, berusaha mengumpulkan beberapa defenisi yang pernah


dibuat orang tentang Agama, tidak kurang dari 48 teori. Namun akhirnya ia berkesimpulan,
bahwa usaha untuk mendefenisikan Agama itu tidak ada gunanya, karena hanya merupakan
kepandaian dersilat lidah. Mukti Ali berpandapat, tidak ada penertian yang lebih mudah dari
pengertian Agama, pernyataan ini didasarkan atas tiga alasan. Pertama, bahwa Agama adalah
masalah batin, subyektif dan sangat individual sifatnya. Kedua, belum ada orang yang sangat
terlalu bersemangat dan emosional daripada orang yang membicarakan Agama. Setiap
pengertian atas Agama selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata Agama itu sangat
susah untuk didefenisikan. Ketiga, konsep tentang Agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang
yang memberi defenisi tersebut.

M. Sastraprateja mengatakan, salah satu kesulitan untuk berbicara mengenai Agama


secara umum ialah adanya perbedaan-perbedaan dalam memahami pengertian Agama,
disamping ada perbedaan-perbedaan dalam memehami arti Agama, disamping terdapat
perbedaan juga dalam memahami serta menerima setiap Agama terhadap suatu usaha
memahami Agama.
Hingga sampai sekarang, perdebatan tentang pengertian Agama belum selesai,
seorang ahli ilmu jiwa Agama W.H. Clark mengatakan bahwa, tidak ada yang lebih sukar dari
pada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk membuat defenisi Agama karena
pemahaman Agama sangat subyektif, intern dan individual, dimana setiap orang akam
merasakan pengalaman agam yang berbeda dari orang lain. Disamping itu dapat dilihat
bahwa, pada umumnya orang akan lebih condong kepada mengaku Agama daripada ia tidak
menjalankannya.
Pengertian Agama dari segi bahasa dapat kita ikuti antara lain uraian yang diberikan
Harun Nasution. Dalam masyarakat Indonesia selain dari kata Agama, dikenal juga dengan
kata dien dari bahasa Arab dan kata religi dari bahasa Eropa. Agama berasal dari bahasa
Sanskrit. Kata itu berasal dari dua kata yaitu kata a (tidak) dan gam (pergi), jadi Agama berarti
tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi secara turun temurun. Hal demikian menunjukan pada
satu sifat Agama, yaitu diturunkan dan diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke
generasi lainnya. Selanjutnya ada yang berpendapat berbeda yang mengatakan bahwa
Agama berasal dari teks dan kitab suci. Dan Agama-Agama memang mempunyai kitab-kitab
suci. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa Agama berarti tuntunan. Pengertian ini
menggambarkan salah satu fungsi Agama sebagai tuntunan bagi kehidupan manusia.

14
Selanjutnya dien dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam
bahasa Arab kati ini mengandung arti menguasai, mendudukan, patuh utang, balasan, dan
kebiasaan. Pengertian ini juga sejalan dengan kandungan Agama yang didalamnya terdapat
aturan-aturan yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi penganut Agama yang
bersangkutan.
Selanjutnya Agama juga menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh
kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran Agama. Agama lebih lanjut membawa
utang yang harus dibayar oleh para penganutnya. Paham kewajiban dan kepaTuhan ini
selanjutnya membawa kepada timbulnya paham balasan. Orang yang menjalankan kewajiban
dan patuh pada perintah Agama akan mendapat balasan dari Tuhannya. Sedangkan orang
yang tidak menjalankan kewajiban dan ingkat terhadap perintah Tuhanya akan mendapatkan
balasan yang menyedihkan.
Adapun kata religi (relegere) berasal dari bahasa latin yang mengandung arti
membaca atau mengumpulkan. Pengertian demikian juga sejalan dengan penertian Agama
yang mengandung pengertian kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang tersusun
dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain, bahwa kata Agama berasal
dari kata relegere yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran Agama memang mempunyai sifat
mengikat bagi manusia. Dalam Agama selanjutnya terdapat pula ikatan manusia dengan
Tuhannya. Dan lebih lanjut lagi memang mengikat manusia dengan Tuhannya.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa intisari yang
terkandung dari istilah-istilah diatas adalah ikatan. Agama memang mengandung arti ikatan
yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mengandung pengaruh besar sekali
terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan ini berasal dari sesuatu kekuatan yang lebih
tinggi dari manusia. Suatu kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra.
Adapun pengertian Agama dari segi istilah dapat dikemikakan senbagai berikut.
Elizabet K. Notthigham dalam bukunya Agama dan Masyarakat berpendapat bahwa Agama
adalah gejala yang begitu sering terdapat dimana-mana sehingga sedikit membantu usaha-
usaha kita untuk membuat abstraksi ilmia. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Agama terkait
dengan usaha-usaha manusia untuk mengatur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri
dan kederadaan alam semesta. Agama telah menimbulkan khayalnya yang paling luas dan
juga digunakan untuk membenarkan kekejaman orang yang luar biasa terhadap orang lain.
Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang sempurna, dan juga perasaan takut
dan ngeri. Agama juga merupakan pantulan dari solidaritas sosial.
Pengertian Agama yang di bangun kaum sosiolog bertolak dari das sain, yakni Agama
yang dipraktekan dalam kenyataan empirak yang terlihat, dan bukan berangkat dari aspek das
sollom, yakni Agama yang sebenarnya dipraktekan dan secara normatif teologis sudah pasti
baik adanya. Agama dalam pengertian empirik ini, bisa jadi berbeda dengan Agama yang
terdapat pada aspek batin yang bersifat subtansi. Pengertian Agama yang diangkat dari apa
yang dipraktekan oleh kaumnya perlu disikapi dengan sikap kritis dan hati-hati.
Berkenaan dengan ini Taufiq Abdullah telah mengkritik pendapat Emil
Durkheim tentang Agama sebagai mana disebutkan diatas. Ia mengatakan, tidak perlu

15
bertolak dari sini, pertama, Durkheim sampai pada kesimpulan tersebut karena ia hanya
meneliti Agama melalui tulisan para pengembara misionaris, dan kehidupan Agama pada
suku-suku Aborijin di Australia yang dianggap begitu murni. Sedangkan Agama haruslah
didefenisikan secara universal. Kedua, Durhkeim terlalu sekuler, dan mengatakan semakin
moderen suatu masyarakat maka semakin berfungsi solidaritas yang organik. Dalam suasana
ini Agama sudah kehilangan relevansinya, karena telah digantikan oleh moral ilmiah.
Nottingham menampakan pendapatnya pada realitas obyektif. Yaitu Agama
bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia dengan cara memberikan suasana batin
yang nyaman dan menyejukan. Tapi juga Agama terkadang disalah gunakan oleh
penganutnya untuk tujuan-tujuan merugikan orang lain. Misalnya dengan cara nemutar
balikkan interprestasi Agama secara keliru dan berjuang pada tercapainya tujuan yang
bersangkutan.
Karena terlalu banyaknya pengertian tentang Agama yang dikemukakan oleh para
ahli, maka Agama dapat diberi defenisi debagai berikut:
a). Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus
dipatuhi,
b). Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang mengiasai manusia,
c). Mengikat diri kepada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu
sumber yang berada diluar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia,
d). Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu,
e). Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib,
f). Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini sumber pada suatu
kekuatan gaib,
g). Pemujaan terhadap kekuatan yang gaib yang timbul dari perasaan yang lemah dan
perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dari dalam alam sekitar manusia,
h). Agama yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rosul.
Selanjutnya Taib Thahir Abdul Muin mengemukakan defenisi Agama sebagai
peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk menjalankan
kehendak dan pilihannya sendiri mengikuti peraturanya tersebut, guna mencapai
kebahagiaan hidupnya didunia dan akhirat. Dan dari beberapa defenisi tersebut diatas, maka
dapat diambil karakteristik Agama sebagai berikut:

1). Unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib. Kekuatan gaib tersebut dapat mengambil
bentuk yang bertacam-macam. Dalam Agama primitif kekuatan gaib tersebut dapat
mengambil bentuk benda-benda yang memiliki kekuatan misterius, ruh atau jiwa yang
terdapat dalam benda-benda yang memiliki kekuatan misterius (dewa). Kepercayaan akan
adanya Tuhan adalah dasar yang utama sekali dalam paham Agama. Tiap-tiap Agama kecuali
Budaisme yang asli dan beberapa Agama yang lain berdasar atas kepercayaan pada suatu
kekuatan gaib, dan cara tiap-tiap hidup manusia yang percaya pada Agama di dunia ini amat
rapat hubunganya dengan kepercayaan tersebut,

16
2). Unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia ini dan di akhirat
nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud.
Dengan hilangnya hubungan yang baik itu kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan
hilang pula. Hubungn baik ini selanjutnya diwujudkan dalam bentuk peribadatan, selalu
mengingatnya, melaksanakan segala perintahnya dan menjaihi larangannya.

3). Unsur respon yang bersifat emosional dari manusia. Respon tersebut dapat mengambil
rasa takut, seperti yang terdapat pada Agama primitif, atau perasaan cinta seperti yang
terdapat pada Agama-Agama monoteisme. Selanjutnya respon tersebut dapat pula
mengambil bentuk dan cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.

4). Unsur paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam
bentuk kitab suci yang mengajarkan ajaran Agama yang dersangkutan, tempat-tempat
tertuntu, peralatan untuk menyelenggarakan ibadah dan sebagainya.

D. Latar Belakang Perlunya Manusia Akan Agama

Manusia terdiri atas dua unsur, yaitu jasmani dan rohani dan secara otomatis kedua
unsur tersebut memiliki kebutuhan sendiri. Kebutuhan jasmani dipenihi oleh sains
dan teknologi, sedangkan kebutuhan rohani dipenuhi oleh kebutuhan akan Agama dan
moralitas. Apabila kedua kebutuhan tersebut telah terpenuhi, menurut Agama, ia akan
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Bahkan Agama menekankan bahwa
kebahgiaan rohani lebih penting dari kebahagiaan materi. Kebahagiaan materi menurut
Agama, bersifat sementara dan akan mudah hancur, sedangkan kebahagiaan rohani bersifat
abadi.[4] Maka terdapat tiga alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia akan Agama,
diantaranya adalah:

1. Latar belakang fitrah manusia

Fitrah manusia, dalam bentuknya yang murni, selaras dengan hukum alam. Ia
mempersembahkan diri, parsah, dan tunduk kepada Tuhannya, sepasrah dan setunduk segala
sesuatu dan setiap yang bernyawa. Maka setiap orang yang menyimpangb dari hukum illahi,
bukan saja ia bertabrakan dengan alam, melainkan juga dengan fitrah yang ada dalam dirinya.
Akibatnya ia akan sengsara, gelisah, galau dan bingung.
Manusia kini dihadapkan dengan kekosongan jiwa. Jiwanya kosong akan hakikat iman
serta aturan illahi. Dan fitrahnya yang murni tidak dapat bertahan lama dengan sesuatu yang
hampa. Aturan illahi inilah yang sanggup mengharmonisasikan gerakanya dengan gerak alam
tempat ia hidup.[5]
Disaat berbicara dengan para Nabi, imam Ali Alaihissalam menyebutkan bahwa mereka
diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat kepada fitrah

17
mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu tidak tercatat
diatas kertas, tidak pula diucapkan dengan lidah, melainkan terukir dengan penciptaan Allah
yang terukit dalam kalbu dan lubuk fitrah manusia, dan di setiap permukaan hati murni serta
di dalam perasaan batiniah. Adanya setiap manusia dilahirkan atas dasar berAgama Islam,
karena Allah telah mengadakan dialog dengan semua roh manusia sejak manusia pertama
sampai manusia yang bakal lahir diakhir zaman kelak. Sebelum diciptakanya jasad, Allah telah
meminta kesaksian roh di dalam alam arwah. Dan semua roh manusia itu sudah sama-sama
memberikan kesaksianya. Kesaksian dan pengakuan roh-roh semacam itu dapat di baca
dalam Al-Quran surat Al-A’raf ayat 172:
“dan ingatah tatkala Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh-roh mereka seraya Allah berkata:
Bukankah aku Tuhanmu ? mereka menjawab : Ya, (Engkau Tuhan kami) kami bersaksi (kami
lakukan yang demikian itu) agar nanti dihari kiamat kami tidak mengatakan: sesungguhnya
kami lupa tentang hal ini (tidak diberi peringatan)”
Mengapa Allah meminta kesaksian lebih dahulu terhadap roh-roh atas dirinya sebelum
diciptakan? Terdapat dua alasan untuk menjawab pertanyaaan tersebut, yaitu:
1. Agar manusia tidak beralasan dan lupa, karena Roh suci itu, tidak bisa lupa
2.Agar manusia tidak melemparkan kesalahan kepada nenek moyangnya yang telah
mempersekutukan Allah dengan Tuhan lainya. Karena Roh nenek moyangnya, cucu, dan
anaknya itu sudah sama-sama memberi kesaksian di hadapan Allah. Roh itulah yang di tiupkan
oleh Allah kedalam jasad manusia setelah sempurna kejadianya setelah berumur 4 bulan
dalam kandungan ibunya.
Terdapat 3 bukti bahwa Roh manusia itu sudah pernah mengadakan perjanjian dengan allah,
yaitu:
1. Adanya rasa takut dan harap
2. Adanya rasa estetika
3. Adanya rasa berTuhan

Menurut ilmu sosiologi, fitrah tersebut dinamakan hasrat bergaul. Diantara hasrat-hasrat :
1. Hasrat ingin bergaul
2. Hasrat ingin mengetahui
3. Hasrat ingin memberi tahu
4. Hasrat ingin patuh
5. Hasrat ingin dihormati

Adanya hasrat itulah setiap manusia, bagaimana jeleknya, akan merasa malu bila
dikatakan jelek. Manusia bagaimana kecil dan hinanya dalam pandangan masyarakat pasti
tidak mau dihina dan direndahkan.
Bukti bahwa manusia merupakan mahluk yang memiliki potensi berAgama ini dapat
dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Melalui bukti historis dan antropologis kita
mangetahui pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenai

18
Tuhanya, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguhpun Tuhan yang mereka
sembah itu terbatas pada data hayalan. Mereka misalnya memperTuhankan pada benda-
benda alam yang menimbulkan kesan misterius atau mengagumkan. Pohon kayu yang
usianya sudah ratusan tahun tidak tumbang di anggap memiliki kekuatan misterius dan
selanjutnya mereka perTuhankan. Kepercayaan demikian itu kemudian dinamakan Agama
dinamisme.
Selanjutnya kekuatan misterius tersebut diganti istilah ruh atau jiwa yang memiliki
karakter dan kecenderungan baik dan buruk yang selanjutnya mereka dinamkan Agama
animisme. Ruh yang memiliki karakter tersebut mereka personofikasikan dalam bentuk dewa
yang jumlahnya banyak dan selanjutnnya dianamakan Agama politeisme. Kenyataan ini
menunjukan bahwa manusia memiliki potensi berTuhan. Namun karena potensi tersebut
tidak diarahkan, maka mengambil bentuk bermacam-macam yang keadaanya serba relatif.
Dalam keadaan itulan diutus para Nabi kepada mereka untuk menginformasikan bahwa
Tuhan yang mereka cari itu adalah Allahyang memiliki sifat-sifat sebagaimana juga dinyatakan
dalam Agama yang di sampaikan Nabi. Untuk itu, jika manusia ingin mendapatkan keagamaan
yang benar haruslah melalui bantuan para Nabi.
Kepada mereka itu, para Nabi menginformasikan bahwa Tuhan yang menciptakan mereka
dan wajib di sembah adalah Allah. Dengan demikian sebutan Allah adalah Tuhan, bukanlah
hasil karya ciptaan manusia, dan bukan pula hasil seminar, penelitian dan lain sebagainya.
Sebutan nama Allah bagi Tuhan adalah disampaikan oleh Tuhan sendiri.
Melalui beberapa penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa latar belakang perlunya
manusia akan Agama adalah karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk
berAgama. Potensi berAgama ini memerlukan bimbingan, pengarahan dan pengembangan
dan seterusnya mengenalkan Agama kepadanya.

2. Kelemahan dan kekurangan manusia

Manusia adalah mahluk berfikir. Berfikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari
jawaban, mencari jawaban adalah mencari kebenaran. Jadi manusia adalah mahluk mencari
kebenaran. Manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan rohani. Kedua unsur tersebut berasal
dari bahasa Arab yaitu roh dan jasad. Roh bisa diartikan nyawa atau jiwa, jasad berarti tubuh
atau raga, sehingga bisa disebut jiwa raga. Masalah jasad tubuh atau raga, sudah diketahui
oleh manusia. Sedangkan masalah roh, nyawa atau jiwa, ilmu pengetahuan belum berhasil
mengetahui hakikatnya. Allah sendiri telah menyatakan ketidak mamppuan manusia untuk
mengetahui masalah roh tersebut. Surat Al-Isra’ ayat 85 yang artinya: mereka menanyakan
engkau tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhanku dan kamu tidak diberi ilmu
kecuali sedikit sekali. Berdasarkan ayat tersebut terkandung pengertian:

1. Hakikat roh, hanya diketahui oleh Allah


2. Manusia sejak dulu, belum mengetahui hakikat roh tersebut
3. Ilmu pengetahuan tersebut belum/tidak akan mampu menyingkap rahasia roh itu[7].

19
Berarti, manusia belum mampu menyingkap hakikat dirinya. Atau dengan kata lain,
manusia belum mengetahui hakikat manusia itu sendiri. Namun yang harus kita ketahui
hakikat manusia adalah masalah rohnya. Maka roh akan dihadapkan dengan pengetahuan
Agama apa yang seharusnya dianut oleh manusia ini. Apabila kita tidak memiliki pegangan
maka kita akan hanyut dibawa gelombang propaganda. Dalam Islam terdapat ajaran bahwa
manusia dilahirkan atas dasar fitrah. Fitrah dalam artian mamiliki sifat-sifat yang baik, sifat-
sifat keTuhanan atau berAgama. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi yang
diraiwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rosulullah pernah bersabda: tidak ada
seorang anakpun yang dilahirkan, kecualai dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua
orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi atau Nasrani dan Majusi. Setelah Abu Huraira
menbacakan hadits tersebut beliau mengatakan bacalah firman Allah yang artinya: Fitrah
Allah, yang diatas fitrah itulah Allah menciptakan manusia tidak ada perubahan bagi ciptaan
Allah tersebut (Ar-Rum: 30).
Ditambahkan oleh Quraish Shihab, bahwa kita diilhami oleh potensi agar manusia
melalui jiwa menangkap makna kebaikan dan keburukan. Namun diperoleh pula isyarat
bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia labih kuat daripada isyarat negatifnya. Sifat-
sifat yang cenderung kepada keburukan yang ada pada diri manusia itu antara lain berlaku
dzalim (aniaya), dalam keadaan susah payah (kabad), suka melampaui batas (anid), sombong
(kubbar), ingkar dan lain sebagainya. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian
jiwanya, dan tidak mengotorinya. Untuk dapat menjaga kesucian jiwanya, manusia harus
mendekatkan dirinya kepada Tuhannya dengan bimbingan Agama, dan disinilah letak
kebutuhan manusia akan Agama.

3. Tantangan manusia

Latar belakang perlunya manusia akan Agama adalah karena manusia dalam
kehidupanya selalu diahadapkan dengan tentangan, baik tantangan yang berasal dari dalam
maupun dari luar. Tantangan yang berasal dari dalam adalah hawa nafsu yang mempengaruhi
jasad dan dapat berpengaruh pada tugas jiwa dalam menguasai emosi, perasaan, dan sikap
sentimentilnya.
Semua perbuatan yang dilakukan bersifat kehendak, pasti akan dilakukan dengan
proses berfikir. Proses tersebut biasanya disertai beberapa langkah strategi dan terkadang
strategi itu harus dilaksanakan secara keseluruhan. Akan tetapi dalam sebuah keadaan,
strategi itu dilaksanakan hanya sebagian saja. Terdapat beberapa langkah dalam berfikir,
langkah pertama dalam berfikir adalah merasakan bahwa setiap masalah pasti ada solusinya.
Langkah kedua adalah menentukan masalah yang sedang di hadapi. Langkah ketiga,
memikirkan langkah-langkah yang akan ditempuh sebagai langkah unttuk diselesaikan.
Langkah keempat adalah menimbang solusi yang tepat. Langkah kelima adalah mengambil
satu dari sekian banyak solusi yang ada untuk dijadikan solusi akhir.

20
Langkah-langkah tersebut akan berjalan didalam jiwa manusia seakan akan ia sedang
berbicara dengan dirinya sendiri. Allah berrfifman dalam Al-Quran, dan sesungguhnya kami
telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan dalam hatinya, dan kami lebih
dekat kepadanya lebih dari urat lehernya.
Banyak unsur yang masduk ketika terjadi dialog dalam diri manusia, kemudian jiwa
akan mementukan kehendaknya dalam nenentukan pilihan tertentu sehingga dalam diri
manusia akann terdapat keinginan yang sangat kuat untuk mendapatkan kehendaknya
tersebut. Semua ini akan berlalu dengan sangat cepat malalui rangkayan fisiologi. Yaitu
melalui rangkayan otak dan jasad manusia, lalu lahirlah sebuah perbuatan. Perbuatan yang
tidak didasari pemahaman akan Agama akan membawa sikap manusia melebihi sikap hewani,
karena didasari oleh hawa nafsu dan bisikan syaitan.
Sedangkan tantang dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya manusia untuk
menjauhkan dirinya dengan Tuhanya. Mereka dengan rela mengeluarkan harta bendanya,
tenaga dan fikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai kebudayaan yang didalamnya
terdapat misi untuk menjauhkan manusia dengan Tuhanya.

E. HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

Hubungan Islam dengan Negara telah terjadi sejak lama. Dalam Islam sudah sejak
abad 7 muncul melalui gagasan Rosulullah SAW yang melahirkan Piagam Madinah sehingga
banyak tokoh atau ilmuwan barat yang mengapresasi kepemimpinan dan keteladanan Rasul
dalam mengurus kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ia sebagai negarawan tidak
pernah memunculkan kata Islam.

Satu bukti nyata dari sikap kenegaraan sejati kenegarawannya Rasulullah dalam
Piagam Madinah yang 46 pasal itu kita tidak akan menemenukan kata-kata Islam, bahkan
jika kita melihat dari segi hukum Piagam Madinah ini masuk ke dalam syariah, bukan fiqh.

Konsitusi Madinah merupakan contoh teladan dalam sejarah kemanusiaan untuk


membangun masyarakat yang bercorak majemuk. Ini tidak hanya sekedar dialektika yang
terobsesi dalam pikirna nabi, tatapi juga tampak dalam prakteknya ketika memimpin
masyarakat Madinah.

Di Indonesia, hukum Islam tidak bisa dimatikan dalam sistem hukum kenegaraan
kita.”kita akan kaji bahwa Islam tidak pernah meninggalkan negara. Dalam konteksnya,
terdapat 3 pandangan posisi agama dan negara yaitu;

Pertama, agama tidak mendapat tempat sama sekali dalam kehidupan bernegara.
Agama dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya bagaikan candu bagi masyarakat. Agama
dipandang sebagai ilusi belaka yang diciptakan kaum agamawan yang berkolaborasi dengan

21
penguasa borjuis, dengan tujuan untuk meninabobokkan rakyat sehingga rakyat lebih
mudah ditindas dieksploitir dan. Agama dianggap khayalan, karena berhubungan dengan
hal-hal ghaib yang non-empirik. Segala sesuatu yang ada, dalam pandangan ini, adalah
benda (materi) belaka. Inilah pandangan ideologi Komunisme-Sosialisme, yang menganut
ideologi serupa- sudah bermetamorfosis menjadi kapitalisme.

Kedua, Agama Terpisah dari Negara. Pandangan ini tidak menafikan agama, tetapi
hanya menolak peran agama dalam kehidupan publik. Agama hanya menjadi urusan pribadi
antara manusia dengan Tuhan, atau sekedar sebagai ajaran moral atau etika bagi individu,
tetapi tidak menjadi peraturan untuk kehidupan bernegara dan bermasyarakat, seperti
peraturan untuk sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial, dan sebagainya.

Pandangan ini dikenal dengan Sekularisme, yang menjadi asas ideologi Kapitalisme
yang dianut negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Eropa serta negara-negara lain
pengikut mereka.

Ketiga, Agama Tidak Terpisah dari Negara, sebab agama mengatur segala aspek
kehidupan, termasuk di dalamnya aspek politik dan kenegaraan. Agama bukan sekedar
urusan pribadi atau ajaran moral yang bersifat individual belaka, melainkan pengatur bagi
seluruh interaksi yang dilakukan oleh manusia dalam hidupnya, baik interaksi manusia
dengan Tuhan, manusia dengan dirinya sendiri, maupun manusia yang satu dengan manusia
yang lain. Keberadaan negara bahkan dipandanng sebagai syarat mutlak agar seluruh
peraturan agama dapat diterapkan. Inilah pandangan ideologi Islam, yang pernah
diterapkan sejak Rasulullah Saw. berhijrah dan menjadi kepala negara Islam di Madinah

Adapun Relevansi/implementasi hakikat konstitusi madinah dengan konstitusi


pemerintahan Indonesia adalah sebagai berikut:

Pertama, Pada saat pembentukan kedua konstitusi ada suasana kebatinan yang sama
yaitu dibangun oleh berbagai kelompok agama dan suku yang berbeda.

Kedua, Ada kemiripan yang bersifat prinsip pada UUD 1945 dan konstitusi madinah,
Pada pembukaan UUD 1945 kata “Allah” disebut 2 kali kata dan pada Konstitusi Madinah
kata “Allah” disebut 14 kali, kata “Muhammad” 5 kali, kata “Nabi” 1 kali.

Ketiga, Adanya kalimat tauhid pada kedua konstitusi itu. Pada Muqoddimah UUD
1945 kalimat “atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa” pada konstitusi madinah kalimat
dengan nama Allah yang maha rahman dan rahim

Keempat, terdapatnya prinsip monoteisme. Kelima, terdapatnya prinsip Persatuan


dan Kesatuan. Keenam, terdapatnya prinsip Persamaan dan Keadilan. Ketujuh, terdapatnya

22
Prinsip Kebebasan Beragama. Kedelapan, terdapatnya prinsip Bela Negara. Kesembilan,
terdapatnya prinsip Pelestarian Adat yang Baik. Dan kesepuluh terdapat Prinsip Supremasi
Syari’at.

Adapun Perbedaan pada konsep Rule of Law dan rechsstaat dengan konstitusi
madinah, manusia kedudukannya dalam kedua konsep ini diletakkan dalam titik sentral
pada konstitusi madinah manusia diletakkan dalam sebuah tujuan membangun sebuah
masyarakat berdasarkan ridho Allah.

Dalam Islam, posisi Agama dan Negara dijelaskan prinsip-prinsipnya dalam piagam
Madinah sebagai negara hukum yaitu; Prinsip Umat, Prinsip Persatuan dan Persaudaraan,
Prinsip Persamaan, Prinsip Kebebasan, Prinsip Hubungan Antar Pemeluk Agama, Prinsip
Pertahanan, Prinsip Hidup Bertetangga, Prinsip Tolong-menolong, Membela yang Lemah dan
Teraniaya, Prinsip Perdamaian, Prinsip Musyawarah, Prinsip Keadilan, Prinsip Pelaksanaan
Hukum, Prinsip Kepemimpinan, Prinsip Ketakwaan, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

F. KONSEP ISLAM TENTANG NEGARA

Dalam sejarah perkembangan ilmu politik, konsep negara merupakan konsep yang
dominan, sehingga bila membicarakan ilmu politik berarti membicarakan negara dan segala
sesuatu yang berhubungan denganya. Pada awalnya ilmu politik mempelajari masalah
negara. Dengan itu, pendekatan yang muncul dalam ilmu politik adalah pendekatan legal-
formal, yaitu suatu pendekatan yang memahami ilmu politik dari sudut formal legalistic
dengan melihat lembaga-lembaga politik sebagai obyek studinya, termasuk didalamnya
masalah negara.
Konsep negara selalu mendapatkan tempat yang istimewa, hal itu terjadi sejak zaman
yunani bahkan sampai sekarang. Banyak gagasan yang telah dikemukakan dalam kurun waktu
tersebut tentang konsep negara. Seperti yang kita ketahui para pemikir yunani kuno, seperti
Socrates, Plato, dan Aristoteles dalam karya-karyanya membicarakan tentang konsep
negara.21 Dalam ranah pemikiran politik Islam mengenai dasar negara maupun politik sudah
muncul sejak abad klasik, abad pertengahan dan sampai modern. Seperti Al-Farabi, Al
Mawardi, Al Ghazali yang mampu menjadi pemikir politik di abad klasik dan pertengahan,
sedangkan di abad modern yang terkenal seperti, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid
Ridha, Muhammad Iqbal dan tokoh-tokoh yang lain.
Rasyid Ridha, seorang ulama terkemuka Islam, yang dianggap paling bertanggung
jawab dalam merumuskan konsep negara Islam modern, menyatakan bahwa premis pokok
dari konsep negara Islam adalah syari’ah, menurut beliau syari‟ah merupakan sumber hukum
paling tinggi. Dalam pandangan Rasyid Ridho, syari‟ah harus membutuhkan bantuan
kekuasaan untuk tujuan mengimplementasinya, dan mustahil untuk menerapkan hukum
Islam tanpa adanya Negara Islam. Karena itu, dapat dikatakan bahwa penerapan hukum Islam

23
merupakan satu-satunya kriteria utama yang sangat menentukan untuk membedakan antara
suatu negara Islam dengan negara non-Islam.
Sedangkan Fazlur Rahman, tidak menyatakan secara jelas pendapatnya mengenai
konsep Islam mengenai negara, memberikan definisi negara Islam secara fleksibel, tak begitu
ketat dengan syarat-syarat tertentu. Fazlur Rahman menilai negara Islam adalah suatu negara
yang didirikan atau dihuni oleh umat Islam dalam rangka memenuhi keinginan mereka untuk
melaksanakan perintah Allah melalui wahyu-Nya. Tentang bagaimana implementasi
penyelenggaraan negara itu, Fazlur Rahman tidak memformat secara kaku, tetapi elemen
yang paling penting yang harus dimiliki adalah syura‟ sebagai dasarnya. Dengan adanya
lembaga syura‟ itu sudah tentu dibutuhkan ijtihad dari semua pihak yang berkompeten.
Dengan demikian, kata Fazlur Rahman, akan sangat mungkin antara satu negara Islam dengan
negara Islam yang lain, implementasi syari’ah Islam akan berbeda, oleh karena tergantung
hasil ijtihad para mujtahid di negara yang bersangkutan.
Dari pemahaman bahwa mustahil menerapkan hukum Islam tanpa adanya negara
Islam ini secara otomatis timbul juga perdebatan mengenai hubungan antara agama (dalam
hal ini Islam) dan negara oleh para sarjana Muslim. Perbedaan pemahaman tentang
hubungan ini sesuai dengan setting sosiologis, historis, antropologis, dan intelektual para
sarjana tersebut. Hal itu juga dicampur dengan berbagai corak penafsiran terhadap teks Al-
Qur‟an dan al-Hadits yang dijadikan rujukan utama.
Aristoteles, berusaha membandingkan bentuk-bentuk negara pada waktu itu, dengan
ukuran baik dan buruk. Begitu pula pada abad pertengahan, pemikir seperti Aquinas dan
Agustinus juga membicarakan tentang konsep negara. Pada masa pencerahan, muncul
pemikir-pemikir Barat, seperti Thomas Hobbes, Jhon Locke dan J.J. Rousseau, untuk
menyebut beberapa nama sebagai pelopor teori tentang berdirinya suatu negara.
Menurut Azhary, mempunyai gagasan tentang konsep negara di Barat dalam proses
perjalananya mengalami perubahan-perubahan dari masa ke masa, sehingga tidak ada
konsistensi di dalam penerapanya. Semula konsep negara di Barat ditandai dengan
kekosongan doktrin antara negara dalam agama Kristen. Dalam proses perkembanganya
pada abad pertengahan agama Kristen menduduki posisi sentral dan yang paling dominan
dalam menguasai kedudukan negara. Ketika pada masa itu muncul teori negara teokrasi
mutlak dari pemikiran Agustinus.
Dalam pemikiranya Agustinus menolak negara diterapkan di muka bumi karena ia
anggap sebagai negara iblis yang hanya memberikan kesengsaraan kepada manusia. Dengan
begitu ia lebih sepakat dan mendambakan Negara Tuhan yang penuh dengan kedamaian dan
ketentraman, karena menurut ia faktor ketuhananlah yang sangat dominan untuk
membangun sebuah negara.
Dalam Islam, persoalan legislatif merupakan persoalan masyarakat sebagai suatu
kesatuan, karena itu peranan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan legislatif adalah
membuat undang-undang. Anggapan dari ulama yang menyatakan bahwa persoalan legislatif
dalam Islam merupakan tugas yang dibebankan kepada para ulama, bukan saja salah tetapi

24
juga sekaligus mengingkari kebenaran adanya proses pembentukan hukum Islam yang dikenal
dalam sejarah.
Kepemimpinan di bidang keagamaan ini akan membantu menciptakan dan menyusun
gagasan-gagasan (ijtihad), gagasan-gagasan tersebut akan dibahas luas dalam masyarakat
melalui berbagai macam media komunikasi masa dan jika telah timbul kesepakatan pendapat
atau ijma’, maka pendapat ini akan dituangkan dalam bentuk undang-undang oleh wakil
rakyat, undang-undang hasil kesepakatan itulah yang secara sempurna dalam peraturan
hukum Islam.
Dalam konsep Islam dalam negara ada 3 perspektif yaitu Islam dan demokrasi,
Pemerintah (Islam), dan Paradigma Pemikiran Politik Konsep Negara.

1. Islam dan Demokrasi

Sebelum masa Islam, orang-orang Arab memiliki suatu lembaga yang disebut “dewan”
(nadi), di mana orang-orang tua dari suatu suku atau suatu kota memilih kepala pemerintah
di tingkat suku maupun tingkat kota, hal tersebut dengan tujuan untuk memusyawarahkan
urusan-urusan mereka. Lembaga inilah yang kemudian didemokratisasikan oleh Al-Qur‟an,
dengan menggunakan istilah nadi atau syura’.
Perubahan yang dilakukan oleh revolusi Islam adalah dalam rangka menghargai suku-
suku tersebut, suatu pemerintah pusat dibentuk dengan diberi kekuasaan penuh oleh para
orang tua suku-suku itu, yang benar-benar mencerminkan adanya kesepakatan di antara
seluruh anggota masyarakat.
Model-model gerakan Islam modern dapat dilihat dari sikapnya yang demokratis
terhadap suatu negara. Sampai saat ini ada tiga model gerakan Islam yang berkembang.
Pertama, menolak demokrasi sebagai bagian dari Islam, model ini beranggapan bahwa
demokrasi merupakan sistem yang kufur yang harus ditolak dan dijauhkan dari kehidupan
masyarakat Islam. Karena demokrasi itu produk Barat, sehingga harus dibuang jauh-jauh
dalam kehidupan masyarakat Islam. Kelompok ini menolak proses demokrasi seperti pemilu
dan sebagainya, sekaligus menolak hasil-hasil proses demokrasi, serta tidak menghormati
segala produk dan penguasaa hasil pemilu. Kedua, menerima demokrasi dan menerima
semua hasil demokrasi. Ketiga, menolak semua proses demokrasi namun menerima hasil
demokrasi. Adanya ketiga model pemikiran Islam terkait demokrasi menunjukan bahwa umat
Islam masih belum sepakat dengan demokrasi yang dipakai sebagai alat untuk memperoleh
kepemimpinan dalam masyarakat modern.
Namun ketiga model pemikiran tadi masih sepakat bahwa sistem Khalafaur Rasyidin
yang pernah ada dan berjalan selama kurang lebih tiga puluh tahun semenjak Rasulullah SAW
wafat sebagai sistem yang paling baik, ideal dan patut diteladani.

25
2. Pemerintahan

Pemerintahan negara harus dipimpin oleh seorang yang mampu mengelola secara
efektif mengenai persoalan-persoalan negara yang dipimpinnya. Menurut Islam, kepala
negara merupakan pusat dari segala kekuasaan eksekutif, kekuasaan sipil dan militer, serta
kekuasaan yang secara teknis dikenal dengan istilah kekuasaan “keagamaan”. Kepala negara
memegang kekuasaan tertinggi, baik dalam urusan sipil maupun keagamaan dan sebagai
panglima tertinggi dari angkatan bersenjata.
Salah satu pemikir berpengaruh di dunia Islam, Ibnu Khaldun, membagi proses
pembentukan kekuasaan politik (siyâsah) atau pemerintahan menjadi tiga jenis. Pertama,
politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan atas naluri politik
manusia untuk bermasyarakat dan membentuk kekuasaan. Kedua, politik atau pemerintahan
yang proses pembentukannya didasarkan atas pertimbangan akal semata dengan tanpa
berusaha mencari petunjuk dari cahaya ilahi. Ia hanya ada dalam spekulasi pemikiran para
filosof. Ketiga, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya dilakukan dengan
memperhatikan kaidah-kaidah agama yang telah digariskan oleh syari‟ah. Politik ini
didasarkan atas keyakinan bahwa Tuhan sebagai pembuat syari‟ah adalah yang paling tahu
maslahat yang diperlukan manusia agar mereka bisa bahagia di dunia dan akhirat. Ibnu
Khaldun menyebut jenis yang pertama dengan sebutan al-Mulk al-Thabi’iy32 yang kedua
dengan sebutan al-siyâsah al-madaniyah dan yang ketiga dengan sebutan al-siyasah al-
diniyah atau syar’iyah.
Pada perkembangan berikutnya, kajian-kajian tentang negara dan kaitannya dengan
agama, selalu mendapat porsi lebih khusus. Inilah yang menyebabkan munculnya
kesepakatan para ulama yang mewajibkan adanya pemerintahan, mekipun kajian klasik dan
kontemporer punya pendapat yang beragam mengenai bentuk pemerintahan itu. Kewajiban
ini didasarkan pada :

a) ijma shahabat,
b) menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan yang kacau balau akibat tidak adanya
pemerintahan,
c) melaksanakan tugas-tugas keagamaan,
d) mewujudkan keadilan yang sempurna.
Kajian-kajian mengenai pemerintahan, dan negara lebih unggul ketika zaman
kekhalifahan Usmani runtuh, konsep negara bangsa (nation state) muncul pada awal abad XX.
Dinamika itu menyebabkan para pemikir muslim mencari sintesa terbaik untuk merumuskan
kembali konsep kenegaraan Islam, relasi antara agama dan negara, serta posisi agama dalam
negara.
Mengenai relasi agama dan negara, Islam sejak awal tidak memberikan ketentuan
yang pasti tentang bagaimana konsep dan bentuk negara yang dikehendaki.34 Dalam konsep
Islam, dengan mengacu pada al-Quran dan al-Hadits, tidak ditemukan rumusan tentang

26
negara secara eksplisit, hanya di dalam kedua sumber hukum Islam itu terdapat prinsip-
prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, di antaranya adalah:

1. Keadilan (QS. 5:8)

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Maidah :8).

2. Musyawarah (QS. 42:38)

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (Q.S. As-Syura‟: 38).

3. Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS. 3:110)

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab

27
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali- Imron : 110).

4. Perdamaian dan persaudaraan (QS. 49:10)

“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah


hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat.” (Q.S. Al-Hujarat: 10).

5. Keamanan (QS. 2:126)

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman
sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara
mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun
aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah
seburuk-buruk tempat kembali". (Q.S. Al- Baqarah: 126)

6. Persamaan (QS. 16: 97 dan 40:40)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan
beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik35 dan
Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.”(Q.S. An- Nahl: 97).

28
“Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka Dia tidak akan dibalasi melainkan
sebanding dengan kejahatan itu. dan Barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki
maupun perempuan sedang ia dalam Keadaan beriman, Maka mereka akan masuk surga,
mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (Q.S. Al- Mu‟min: 40).

3. Paradigma Pemikiran Politik Konsep Negara

Dalam pemikiran politik Islam konsep negara islam di klasifikasikan menjadi 3 (tiga)
kelompok paradigma.

Pertama, paradigma integral yakni agama dan negara merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Paradigma ini didasarkan atas pandangan bahwa Islam merupakan
agama yang serba lengkap bagi seluruh aspek tatanan kehidupan, sehingga legitimasi politik
negara harus didasarkan atas syari’ah. Tuhan melalui nabi Muhammad telah menurunkan
peraturan untuk mengatur kehidupan manusia. Tuhan Maha benar dan Maha adil, maka
aturan-aturanNya pasti benar dan adil. Karena manusia merupakan khalifah Tuhan di muka
bumi, maka manusia berkewajiban untuk mengelola kehidupan ini sesuai dengan aturan-
aturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

Kelompok ini masih mengharapkan adanya negara universal yang menyatukan seluruh
politik dunia Islam melalui sistem khalifah. Karena menganggap Islam itu segalanya, kelompok
ini sangat anti Barat. Mereka memandang Barat sebagai musuh Islam, sehingga semua yang
berasal dari Barat harus ditolak. Di antara pemikir yang termasuk kelompok ini adalah Hasan
al-banna, Abu al-A’la Maududi dan Sayyid Qutb.

Kedua, paradigma sekularistik, yaitu agama dan negara merupakan sesuatu yang
harus dipisahakan. Paradigma ini didasarkan atas pandangan bahwa Islam itu murni sebagai
agama yang hanya mengatur masalah ibadah ritual saja. Tokoh utama kelompok ini adalah
‘Ali Abd al Raziq dan Musthafa Kemal Attaruk.

Dalam kalangan Islam, pemikiran pemisahan mengenai agama dan negara yang
dipelopori oleh Ali Abd al Raziq ini bukan saja ditolak, tetapi juga bersifat controversial karena
pandangan-pandangan dan hujah-hujahnya yang dilontarkan tidak mempunyai sumber fakta
yang mendukung.

29
Ketiga, paradigma simbiotik, yakni agama dan negara merupakan sesuatu yang saling
terkait dan berhubungan, bahwa agama membutuhkan negara agar agama dapat
berkembang dan negara membutuhkan agama agar meraih kemajuan dalam masalah etika
dan moral.

Menurut paradigma ini, Islam hanya meletakan prinsip-prinsip bagi peradaban


manusia, termasuk masalah kenegaraan. Karenanya, Islam tidak memeliki sistem pemerintah
yang baku. Umat Islam bebas menganut atau membuat sistem baru sesuai dengan prinsip-
prinsip universal yang digariskan Islam. Yang termasuk kelompok ini adalah Muahammad
iqbal, Ibn Taimiyah, Muhammad Husain haikal, Al- Mawardi dan Fazlur Rahman.

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa agama dan negara benar-benar berhubungan satu
sama lain. Tanpa adanya kekuasaan yang bersifat memaksa, agama akan berada dalam status
bahaya. Begitu juga apabila suatu negara tidak mempunyai disiplin hukum wahyu, pasti
negara tersebut menjadi suatu organisasi yang tiranik. Menurut Al-Mawardi agama (Syari’ah)
memiliki posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Disinilah Al-
Mawardi mengompromikan realitas politik dengan idealitas politik seperti disyaratkan oleh
agama, dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi kepatutan dalam sebuah politik.
Sedangkan menurut Al-Ghazali agama dan negara merupakan hubungan yang paralel, bahwa
agama dan negara merupakan dua anak kembar. Agama sebagai dasar, dan penguasa negara
adalah penjaga

30
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa sebuah negara mempunyai dua tugas : 1.
mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang a-sosial, yakni yang bertentangan satu
sama lain, supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan, dan 2. mengorganisasi dan
mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan kearah tercapainya tujuan-tujuan dari
masyarakat seluruhnya. Miriam Budiardjo mendefinisikan negara sebagai suatu organisasi yang dalam
suatu wilayah yang dapat memaksakan kekuasaanya secara sah terhadap semua golongan dan yang
dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu.

Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam
suatu wilayah berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang diberi
kekuasaan yang bersifat memaksa. Monarki mutlak adalah suatu negara yang mempunyai raja dan
raja tersebut memegang kekuasaan penuh dalam memerintah negaranya.13 Dalam sistem monarki
mutlak, kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif ada di tangan raja/ratu yang memimpin negara.
Sedangkan monarki konstitusional adalah suatu negara yang menganggap raja/ ratu merupakan hal
yang simbolis dalam memimpin suatu negara, kedudukanya hanya sebagai kepala negara, namun
kepala pemerintahanya tetaplah orang lain yang dipilih melalui mekanisme demokrasi atau pemilu.

Dalam menjalankan kekuasaanya penguasa yang bersifat otoriter hanya mengenal satu
bentuk komunikasi yaitu instruksi, dalam bertindak penguasa yang otoriter suka main paksa dan main
kuasa, begi penguasa yang otoriter kekuasaan adalah bukan sebagai sarana akan tetapi menjadi tujuan
itu sendiri. Pengertian ini juga sejalan dengan kandungan Agama yang didalamnya terdapat aturan-
aturan yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi penganut Agama yang bersangkutan.

Pengertian Agama yang di bangun kaum sosiolog bertolak dari das sain, yakni Agama yang
dipraktekan dalam kenyataan empirak yang terlihat, dan bukan berangkat dari aspek das sollom, yakni
Agama yang sebenarnya dipraktekan dan secara normatif teologis sudah pasti baik adanya. Pemujaan
terhadap kekuatan yang gaib yang timbul dari perasaan yang lemah dan perasaan takut terhadap
kekuatan misterius yang terdapat dari dalam alam sekitar manusia, h). Tiap-tiap Agama kecuali
Budaisme yang asli dan beberapa Agama yang lain berdasar atas kepercayaan pada suatu kekuatan
gaib, dan cara tiap-tiap hidup manusia yang percaya pada Agama di dunia ini amat rapat hubunganya
dengan kepercayaan tersebut,

Unsur paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam
bentuk kitab suci yang mengajarkan ajaran Agama yang dersangkutan, tempat-tempat tertuntu,
peralatan untuk menyelenggarakan ibadah dan sebagainya. Agama bukan sekedar urusan pribadi atau
ajaran moral yang bersifat individual belaka, melainkan pengatur bagi seluruh interaksi yang dilakukan
oleh manusia dalam hidupnya, baik interaksi manusia dengan Tuhan, manusia dengan dirinya sendiri,
maupun manusia yang satu dengan manusia yang lain. Dalam Islam, posisi Agama dan Negara
dijelaskan prinsip-prinsipnya dalam piagam Madinah sebagai negara hukum yaitu; Prinsip Umat,
Prinsip Persatuan dan Persaudaraan, Prinsip Persamaan, Prinsip Kebebasan, Prinsip Hubungan Antar

31
Pemeluk Agama, Prinsip Pertahanan, Prinsip Hidup Bertetangga, Prinsip Tolong-menolong, Membela
yang Lemah dan Teraniaya, Prinsip Perdamaian, Prinsip Musyawarah, Prinsip Keadilan, Prinsip
Pelaksanaan Hukum, Prinsip Kepemimpinan, Prinsip Ketakwaan, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

Dalam kalangan Islam, pemikiran pemisahan mengenai agama dan negara yang dipelopori oleh Ali
Abd al Raziq ini bukan saja ditolak, tetapi juga bersifat controversial karena pandangan-pandangan
dan hujah-hujahnya yang dilontarkan tidak mempunyai sumber fakta yang mendukung

Saran
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan mengenai makalah ‘’ Negara dan Agama ‘’ penulis
menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, hal ini dikarenakan masih minimnya
pengetahuan yang penulis miliki . oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan ke depannya.

32
DAFTAR PUSTAKA
DR. H. Abuddin Nata, metodologi studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998),

Harun Nasution, Islam dilihat dari beberapa aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1979), hal,
9-10.al, 11.

Ibid, hal. 11.

Drs. Amsal Bahtiar, MA, Filsafat Agama (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), hal. 254.

Ahmad Faiz, Cita Keluarga Islami (Jakarta: serambi Ilmu Semesta, 2003), hal. 20.

Departemen Agama, Al-qurannul Karim Dan terjemahnya (bandung: Diponegoro,


1995), Al A’raf, ayat 172.

Drs. Abubakar Muhammad, membangun manusia seutuhnya menurut al-Quran


(Surabaya: Al-ikhlas), hal, 23.

Muhammad Izzuddin Taufiq, Dalil Afaq Al-Quran dan Alam Semesta Dalam
Memahami Ayat-Ayat Syubhat (Solo: Tiga Serangkai), hal. 195.

Departemen Agama, Al-Qurannul Karim Dan terjemahnya (bandung: Diponegoro,


1995), Al-Qof, Ayat, 16.

Ibid, Surat Al-Isro: 53

DR. H. Abuddin Nata, metodologi studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998),
hal. 25.

Abu Bakar Abyhara, Pengantar Ilmu Politik, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010, hlm.
229

Ahmad Syafi'i Maarif, Islam dan Cita-cita dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES,
1985, Cet. ke-1, hlm. 12

Abu Bakar Abyhara, Pengantar Ilmu Politik, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010, hlm.
230.

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1984, hlm. 38.

Ibid, hlm. 235.

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1984, hlm. 40

Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004, hlm. 46.

Abu Bakar Abyhara, Pengantar Ilmu Politik, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010, hlm.
236

33
Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004, hlm. 47

Tohir Bawazir, Jalan Tengah Demokrasi antara Fundamentalisme dan Sekularisme,


Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015, hlm. 73.

Hotma P. Sibuea, Ilmu Negara, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2014, hlm. 182

Ramdlon Naning, Gatra Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1983, hlm. 50.

Aristoteles Penerjemah Nino Cicero, La Politica, Jakarta: Visimedia, 2007, hlm. 125-
126

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: liberty, 1980, hlm. 26.

34

Anda mungkin juga menyukai