Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

NEGARA DAN HUBUNGAN AGAMA DENGAN NEGARA


Dosen pembimbing: Drs. H. Hajani, M.Si.

Disusun oleh:
Firman Maulana : ( 221110020)
Putri Arum Sari : ( 221110036)
Sella Fidiawati : (221110011)

FAKULTAS SYARI`AH
HUKUM KELUARGA ISLAM
UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Puji syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah (MK) Pendidikan Kewarganegara, dengan
judul,”NEGARA DAN HUBUNGAN DENGAN AGAMA.”
Kami selaku penyusun makalah ingin mengucapkan terima kasih kepada, Bpk Drs. H.
Hajani, M.Si. Selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Kewarganegara yang telah
membimbing kami baik secara moral maupun materi. Terima kasih juga kepada teman-teman
seperjuang yang telah mendukung kami sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ini tepat
waktu.
Tak ada yang lebih sempurna selain Tuhan pencipta alam, begitu juga dengan
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Dengan segenap hati, kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk menjadi acuan agar penulis bisa lebih baik lagi dimasa
yang akan datang.
Dan kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kami
penyusun dan para pembaca serta referensi bagi penyusun makalah yang senada di waktu
yang akan mendatang. Aamiin.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................................
B. Rumus Masalah.....................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN

1. Konsep Dasar Negara.................................................................................................


2. Bentuk-bentuk Negara...............................................................................................
3. Teori Terbentuknya Negara.....................................................................................
4. Relasi Negara dan Agama…………………………………………………
5. Hubungan Islam dan Negara di Indonesia…………………………………
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................….....................................
B. Saran………………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Hubungan Agama dan Negara Dalam praktik kehidupan kenegaraan masa kini,
hubungan antara agama dan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yakni
integrated (penyatuan antara agama dan negara), intersectional (persinggungan antara agama
dan negara), dan sekularistik (pemisahan antara agama dan negara.Bentuk hubungan antara
agama dan negara di negara-negara Barat dianggap sudah selesai dengan sekularismenya atau
pemisahan antara agama dan negara. Paham ini menurut The Encyclopedia of Religion
adalah sebuah ideologi, dimana para pendukungnya dengan sadar mengecam segala bentuk
supernaturalisme dan lembaga yang dikhususkan untuk itu, dengan mendukung prinsip-
prinsip non-agama atau anti-agama sebagai dasar bagi moralitas pribadi dan organisasi sosial.
Proses sekularisasi yang berimplikasi pada marjinalisasi agama ini bisa berbeda antara
satu negara dengan negara lainnya, yang terutama dipengaruhi oleh latar belakang budaya
dan sejarah masing-masing masyarakatnya. Modernisasi politik di Indonesia dalam tingkat
tertentu telah menimbulkan sekularisasi politik. Namun di negara yang berideologi Pancasila
ini, proses itu tidak akan mengarah kepada negara sekuler.
Hubungan antara agama dan negara adalah hubungan persinggungan, tidak
sepenuhnya terintegrasi dan tidak pula sepenuhnya terpisah. Di era reformasi ini, modernisasi
politik yang demokratisberimplikasi kepada munculnya partai-partai politik baru, termasuk
partai-partai Islam. Di sisi lain, ekspresi kebebasan dalam kasus-kasus tertentu telah
menimbulkan perselisihan dan konflik yang bisa mengganggu harmoni sosial dan integrasi
bangsa. Dalam konteks inilah agama dapat memberikan kontribusi yang positif sebagai faktor
integratif yang menghargai kemajemukan masyarakat dan bukan sebagai faktor disintegratif
yang mendukung eksklusifisme dalam masyarakat.

B. Rumusan masalah
1. Konsep Dasar Negara
2. Bentuk-bentuk Negara
3. Teori Terbentuknya Negara
4. Relasi Negara dan Agama
5. Hubungan Islam dan Negara di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

1. Konsep Dasar Negara


Konsep dasar negara Indonesia adalah Pancasila, itu artinya Pancasila dijadikan
sebagai dasar dari penyelenggaraan kehidupan bernegara bagi Negara Republik Indonesia.
Termasuk mengatur nilai kehidupan dan jalannya pemerintahan. Penetapan dasar negara
Indonesia adalah Pancasila, pada tanggal 18 Agustus 1945.
Dalam modul belajar mandiri berjudul Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
sejak dasar negara Indonesia adalah Pancasila maka nilai-nilai kehidupan bernegara dan
berpemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan pada Pancasila.
Dasar negara Indonesia adalah Pancasila, ini berarti pula bahwa nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila ini dijadikan dasar dan pedoman dalam mengatur tata kehidupan
bernegara seperti diatur dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan RI lainnya,”
dijelaskan. Apabila disederhanakan, konsep dasar negara Indonesia adalah Pancasila ini
dijadikan sebagai dasar dari penyelenggaraan kehidupan bernegara bagi Negara Republik
Indonesia. Kedudukan dasar negara Indonesia adalah Pancasila tertuang secara jelas dalam
Undang-Undang Dasar Negara atau UUD 1945 pada alinea ke-4, yang isinya:“ maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu susunan negara republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Kedudukan dasar negara Indonesia adalah Pancasila berpegang pada empat hal
mendasar, yakni:
1. Dasar negara Indonesia adalah Pancasila, sebagai sumber dari segala sumber hukum
(sumber tertib hukum) Indonesia.
2. Dasar negara Indonesia adalah Pancasila, sebagai asas kerohanian tertib hukum
Indonesia yang dalam Pembukaan UUD 1945 dijabarkan dalam empat pokok pikiran.
3. Dasar negara Indonesia adalah Pancasila, guna mewujudkan cita-cita hukum bagi
hukum dasar negara baik hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis.
4. Dasar negara Indonesia adalah Pancasila, mengandung norma yang mengharuskan
UUD 1945 mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara
termasuk penyelenggara partai.
2. Bentuk-bentuk Negara
Sebenarnya perbincangan mengenai bentuk Negara (staat vormen) terkait dengan
pilihan-pilihan antara (a) bentuk Negara Kesatuan (unitary state, eenheidsstaat), (b) bentuk
Negara Serikat (Federal, bonds-staat), atau (c) bentuk Konfederasi (confederation, staten-
bond). Sedangkan perbincangan mengenai bentuk pemerintahan (regerings-vormen)
berkaitan dengan pilihan antara (a) bentuk Kerajaan a (Monarki), atau (b) bentuk Republik.
Sementara dalam sistem pemerintahan (regering sytem) terkait pilihan-pilihan antara (a)
sistem pemerintahan presidensiil, (b) sistem pemerintahan parlementer, (c) sistem
pemerintahan campuran, yaitu quasi preidensiil seperti di Indonesia (dibawah UUD 1945
yang asli) atau quasi parlementer seperti prancis yang dikenal dengan istilah hybrid system,
dan (d) sistem pemerintahan collegial seperti swiss.
Bentuk negara Dikutip situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud), bentuk suatu negara dapat dibedakan menjadi, yakni negara kesatuan dan
serikat (federal). Negara kesatuan Dalam negara kesatuan, kedaulatan negara bersifat tunggal
dan di dalamnya tidak terdapat negara bagian. Negara kesatuan menempatkan pemerintah
pusat sebagai otoritas tertinggi. Sementara wilayah-wilayah administratif di bawahnya hanya
menjalankan kekuasaan yang dipilih oleh pemerintah pusat untuk didelegasikan. Negara
serikat (federal) Kedaulatan di negara serikat atau federal berasal dari negara bagian. Di mana
sebagian kedaulatan tersebut diserahkan kepada negara federal. Sehingga pada hakikatnya
kedaulatan berada pada negara bagian. Contoh negara yang berbentuk serikat seperti Amerika
Serikat, India, dan Jerman.
Ciri-ciri negara serikat, yakni:
 Mempunyai lebih dari satu kepala negara
 Memiliki lebih dari satu konstitusi
 Memiliki lebih dari satu kabinet
 Memiliki lebih dari satu lembaga perwakilan
Bentuk Negara sesunguhnya berkaitan dengan kekuasaan tertinggi pada suatu Negara
yaiu kedaulatan. Dalam Negara, kedaulatan merupakan esensi terpenting dalam menjalankan
Negara dan pemerintahan. Teori kedaulatan yang terkenal sampai sekarang , antara lain teori
kedaulatan Tuhan yaitu teori yang menganggap kekuasaan tertinggi berasal dari Tuhan
(dikembangkan oleh Agustinus dan Thomas aquinas), teori kedaulatan rakyat yaitu
kekuasaan berasal dari rakyat (dikembangkan oleh Johannes Althusius, montesque, dan Jhon
Locke), teori kedaulatan Negara yaitu teori kedaulatan tertinggi ada pada pemimpin Negara
yang melekat sejak Negara itu ada (dikembangkan oleh Paul Laband dan George Jelinek),
pemimpin Negara berdasarkan atas hukum dan yang berdaulat adalah hukum (dikembangkan
oleh Hugo De Groot, Krabbe, dan Immanuel Kant).
3. Teori Terbentuknya Negara
Teori Terbentuknya Negara Bentuk-bentuk negara yang telah disebutkan di atas ada
teori tentang pembentukannya. Di antara teori-teori terbentuknya sebuah negara, yaitu:
a. Teori Kontrak Sosial (Social Contract)
Teori kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat beranggapan bahwa negara
dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat dalam tradisi sosial masyarakat. Teori
ini meletakkan negara untuk tidak berpotensi menjadi negara tirani, karena
keberlangsungannya bersandar pada kontrak-kontrak sosial antara warga negara dengan
lembaga negara. Penganut mazhab pemikiran ini antara lain Thomas Hobbes, John Locke,
dan J.J. Roussae. Menurut Hobbes, kehidupan manusia terpisah dalam dua zaman, yakni
keadaan selama belum ada negara, atau keadaan alamiah (status naturalis, state of nature),
dan keadaan setelah ada negara. Bagi Hobbes, keadaan alamiah sama sekali bukan keadaan
yang aman dan sejahtera, tetapi sebaliknya, keadaan alamiah merupakan suatu keadaan sosial
yang kacau, tanpa hukum, tanpa pemerintah, dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar-individu di
dalamnya. Karenanya, menurut Hobbes, dibutuhkan kontrak atau perjanjian bersama
individu-individu yang tadinya hidup dalam keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan
semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada seseorang atau sebuah badan yang disebut
negara.
Berbeda dengan Hobbes yang melihat keadaan alamiah sebagai suatu keadaan yang
kacau, John Locke melihatnya sebagai suatu keadaan yang damai, penuh komitmen baik,
saling menolong antar individu-individu di dalam sebuah kelompok masyarakat. Sekalipun
keadaan alamiah dalam pandangan Locke merupakan suatu yang ideal, ia berpendapat bahwa
keadaan ideal tersebut memiliki potensial terjadinya kekacauan lantaran tidak adanya
organisasi dan pimpinan yang dapat mengatur kehidupan mereka. Di sini, unsur
pimpinan atau negara menjadi sangat penting demi menghindari konflik di antara warga
negara bersandar pada alasan inilah negara mutlak didirikan.
Namun demikian, menurut Locke, penyelenggara negara atau pimpinan negara harus
dibatasi melalui suatu kontrak sosial. Dasar pemikiran kontrak sosial antar negara dan warga
negara dalam pandangan Locke ini merupakan suatu peringatan bahwa kekuasaan pemimpin
(penguasa) tidak pernah mutlak, tetapi selalu terbatas. Hal ini disebabkan karena dalam
melakukan perjanjian individu-individu warga negara tersebut tidak menyerahkan seluruh
hak-hak alamiah mereka. Menurut Locke, terdapat hak-hak alamiah yang merupakan hak-hak
asasi warga negara yang tidak dapat dilepaskan, sekalipun oleh masing-masing individu.
b. Teori Ketuhanan (Teokrasi)
Teori ketuhanan dikenal juga dengan istilah dokrin teokritis. Teori ini ditemukan di
Timur maupun di belahan dunia Barat. Teori ketuhanan ini memperoleh bentuknya yang
sempurna dalam tulisan-tulisan para sarjana Eropa pada Abad Pertengahan yang
menggunakan teori ini untuk membenarkan kekuasaan mutlak para raja. Doktrin ini memiliki
pandangan bahwa hak memerintah yang dimiliki para raja berasal dari Tuhan. Mereka
mendapat mandat Tuhan untuk bertakhta sebagai penguasa. Para raja mengklaim sebagai
wakil Tuhan di dunia yang mempertanggungjawabkan kekuasaannya hanya kepada Tuhan,
bukan kepada manusia. Praktik kekuasaan model ini ditentang oleh kalangan monarchomach
(penentang raja). Menurut mereka, raja tiran dapat diturunkan dari mahkotanya, bahkan dapat
dibunuh. Mereka beranggapan bahwa sumber kekuasaan adalah rakyat.
c. Teori Kekuatan
Secara sederhana teori ini dapat diartikan bahwa negara terbentuk karena adanya
dominasi negara kuat melalui penjajahan. Menurut teori ini, kekuatan menjadi pembenaran
(raison d’etre) dari terbentuknya sebuah negara. Melalui proses penaklukan dan pendudukan
oleh suatu kelompok (etnis) atas kelompok tertentu dimulailah proses pembentukan suatu
negara. Dengan kata lain, terbentuknya suatu negara karena pertarungan kekuatan di mana
sang pemenang memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah negara.

4. Relasi Negara dan Agama


Negara dan Agama sejatinya dua entitas yang berbeda. Negara adalah organisasi
kekuasaan yang memiliki kewibawaan (gezag) yang dapat memaksakan kehendaknya kepada
semua orang yang menjadi warga dari organisasi kekuasaan itu (Abu daud Busroh, 2001: 24-
25). Sedangkan Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya ( Balai Pustaka,1991: 10). Negara dan
Agama mempunyai peran dan domain pengaturan yang berbeda. Negara mengatur hubungan
antara warga negara dengan pemerintah, sedangkan Agama mengatur hubungan antar
manusia dengan Tuhannya.
Terdapat tiga teori dasar sebagai “pisau analisis” dinamika hubungan antara Negara
dan Agama.
 INTEGRALISTIK
 SIMBIOTIK
 SEKULARISTIK

A. Teori Integralistik
Hubungan agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
dua lembaga yang menyatu (integrated). Negara merupakan suatu lembaga politik dan
sekaligus lembaga negara. Pemerintahan negara diselenggara kan atas dasar kedaulatan
Tuhan, kare na memang kedaulatan itu berada di tangan Tuhan (teokratis). Konsekuensinya,
aturan negara harus dijalankan menurut hukum-hukum Tuhan.
Paradigma integralistik di atas kemudian memunculkan kelompok pendukung “negara
agama” atau dalam konteks ini “negara Islam”. Paradigma ini banyak dianut kelompok Syiah
dengan doktrin imamahnya. Selain itu, juga dianut kelompok fundamentalis Islam yang
menekankan totalitas Islam. Tokoh dengan paradigma ini yang cukup dikenal adalah
AlMaududi (1903-1979 M). Bagi Al-Maududi, syari’at tidak mengenal pemisahan antara
agama dan negara. Syari’at adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh
tatanan kemasyarakatan. Sehingga menurutnya, Islam harus dibangun di atas perundang-
undangan syari’ah yang dibawa Nabi dari Tuhan dan harus diterapkan dalam kondisi apapun.
B. Teori Simbiotok
Hubungan agama dan negara itu saling membutuhkan dan bersifat timbal balik.
Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembang kan
agama. Demikian sebaliknya, negara juga memerlukan agama karena dapat membantu negara
dalam pembinaan moral dan etika.
Paradigma simbiotik dianut tokoh Ibnu Taimiyah (1263-1328 M), tokoh Sunni salafi
yang mengatakan: “agama dan negara benar-benar berkelindan; tanpa kekuasan negara yang
bersifat memaksa agama dalam keadaan bahaya. Dan negara tanpa disiplin hukum wahyu
pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik.” Antara agama dan negara merupakan dua
entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan.
Demikian halnya pemikiran al-Mawardi (975-1059 M), yang menegaskan bahwa
kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna
memelihara agama dan pengaturan dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia
merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik.
C. Teori Sekularistik
Teori Sekularistik ini menolak paham teokrasi dan simbiotik. Sebagai gantinya, teori
sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas
agama (Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001: 28). Negara dan Agama merupakan dua bentuk
yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga
keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi.
Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah
hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak
ada kaitannya dengan hukum Agama (Agus Thohir, 2009: 4).
Teori ini melahirkan paham negara sekular. Dalam paham negara sekular, tidak ada
hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham sekular ini, Negara adalah
urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah
hubungan manusia dengan Tuhan (urusan ukhrowi). Dua hal ini, menurut paham sekular
tidak dapat disatukan atau terpisah satu sama lain.
Dalam paham negara sekular, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan
nilai dan norma Agama. Norma hukum positif ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak
berdasarkan Agama atau firman-firman Tuhan, dengan kemungkinkan norma-norma hukum
positif tersebut bertentangan dengan norma-norma Agama. Sekalipun paham sekular
memisahkan antara Agama dan Negara, pada umumnya Negara sekular membebaskan warga
negaranya untuk memeluk Agama apa saja yang mereka yakini dan Negara tidak intervensif
dalam urusan-urusan Agama.

5. Hubungan Islam Dan Negara Di Indonesia


Dalam sejarah bangsa Indonesia, hubungan antara agama (Islam) dan negara
berkembang menjadi empat golongan. Golongan yang mengintegrasikan antara agama dan
negara sebagai dua hal yang tidak terpisahkan. Sejarah integrasi agama dan negara berjalan
dengan intensif pada masa pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kerajaan Islam
Perelak, Kerajaan Islam Samudera dan Pasai di Aceh. Dalam sistem ketatanegaraan tersebut,
hukum negara menjadi hukum agama dan hukum agama juga menjadi hukum negara.
Sepak terjang politik Islam di Indonesa sudah ada sejak awal berdirinya partai
Masyumi sebagai upaya dan usaha untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa atau
Negara Islam, hingga akhirnya Masyumi bubar tanpa ada hasil untuk merubah sistem
pemerintahan walau di Indonesia umat Islam merupakan masyarakat mayoritas.
A. Orde Lama
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia perbedaan pandangan antara hubungan
Islam dan negara sudah ada jauh sebelum lahirnya bangsa Indonesia, perbedaan ini didasari
atas perbedaan ideologi di dalam menafsirkan hubungan Islam dan negara perbedaan ini
diawali atas perbedaan pandangan antara kelompok yang pro pendirian negara secara Islam
formal dan Nasionalis kebangsaan.
Sejak 1950-1959, dekade yang dikenal sebagai periode demokrasi konstitusional,
Indonesia beroperasi di bawah UUD 1950. Terlepas dari kenyataan bahwa negara telah
mengalami beberapa perubahan konstitusi, UUD 1950 itu masih dianggap sementara. Karena
itu, dan dapat disimpulkan bahwa tugas utama Majelis Konstitusi adalah menyusun sebuah
rancangan konstitusi yang permanen. Dalam penyususan tentang dasar negara banyak terjadi
perdebatan-perdebatan panas yang dilakukan oleh kelompok yang mengaharapkan berdirinya
negara Islam dan kelompok nasionalis. Dalam perdebatan tentang ideologis negara terdapat
tiga aliran ideologis yang tampil menonjol adalah : Islam, Pancasila, dan Sosial-Ekonomi.
Tetapi, mengingat perdebatan-perdebatan tentang dasar ideologi negara yang berlangsung
sebelumnya, pertentangan paling sengit berlangsung antara para pendukung aliran ideologi
Islam dan Pancasila.
B. Orde Baru
Gagalnya kudeta yang dilakukan oleh PKI menjadi titik awal berakhirnya kekuasaan
Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, sekaligus sebagai embrio munculnya
kepemimpinan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Karena dalam kondisi sosial
politik yang sangat kacau ketika itu memaksa Presiden Soekarno menerbitkan Surat
perintahan yang kemudian terkenal dengan SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret)
tahun 1966.
Turunnya Soekarno dari tahta kepresidenannya dan naiknya Soeharto sebagai
penggantinya, maka sejak saat itu seperti memberikan angin segar bagi perkembangan politik
Islam di Indonesia, banyak pemimpin politik Islam meletakan harapan besarnya pada masa
Orde baru terutama pada kalangan Masyumi yang selama masa orde lama selalu tersudutkan.
Langkah pertama yang dilakukan oleh para pendukung Masyumi adalah dengan
membebaskan tokoh-tokoh Masyumi yang telah dipenjara oleh Presiden Soekarno
(Muhammad Natsir, Sjafrudin Prawiranegara, Muhammad Roem, Kasman Singodimedjo,
Prawoto Mangkusasmito, dan Hamka) makin memperbesar harapan mereka terhadap
kembangkitan politik Islam pada masa itu.
Namun pada kenyataannya mereka salah, pada masa Orde baru tidak ada niatan untuk
membangun politik Islam kembali namun malah sebaliknya yaitu melemahkan segalam
macam ideologi-ideologi yang berusaha menetang ideologi Pancasila dan UUD 1945, bahkan
kelompok militer dengan tegas dan sangat meyakinkan bahwa mereka akan menindak tegas
siapa saja yang mencoba menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah
dilakukan oleh PKI,Darul Islam dan Masyumi. Karena sadar bahwa tidak mungkin
pemerintahan Orde baru akan merehabilitasi Mayumi maka para mantan pemimpin Masyumi
pun mulai melakukan strategi baru yaitu dengan cara membuat suatu partai baru yang
diharapkan dapat melanjutkan semangat partai Masyumi.
Pada masa Orde Baru banyak upaya-upaya yang dilakukan pemerintahan pada masa
itu untuk melemahkan lawan-lawan politiknya, dengan berbagai macam cara melakukan fusi
partai-partai Islam, yang melahirkan Partai Persatuan Pembangunan tahun 1973. Langkah
berikutnya adalah dikemukakannya gagasan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) pada pemilu 1977, dan kemudia menjadi Tap NO. II MPR 1978.
Dalam rumusan ideologi dan konstitusi tersebut, substansi negara Indonesia adalah
berbentuk negara yang religius (religious nation state). Negara tidak menafikan peran agama,
dan agama juga tidak menolak eksistensi negara. Antara agama dan negara memiliki peran
penting dalam menyukseskan cita-cita kemerdekaan RI, yaitu mewujudkan kesejahteraan
sosial dan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
BAB III

PENUTUP
Simpulan
Dalam sejarah bangsa Indonesia, hubungan antara agama (Islam) dan negara
berkembang menjadi empat golongan. Golongan yang mengintegrasikan antara agama dan
negara sebagai dua hal yang tidak terpisahkan. Sejarah integrasi agama dan negara berjalan
dengan intensif pada masa pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kerajaan Islam
Perelak, Kerajaan Islam Samudera dan Pasai di Aceh. Dalam sistem ketatanegaraan tersebut,
hukum negara menjadi hukum agama dan hukum agama juga menjadi hukum negara.
Sepak terjang politik Islam di Indonesa sudah ada sejak awal berdirinya partai
Masyumi sebagai upaya dan usaha untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa atau
Negara Islam, hingga akhirnya Masyumi bubar tanpa ada hasil untuk merubah sistem
pemerintahan walau di Indonesia umat Islam merupakan masyarakat mayoritas.

SARAN
Kami harap makalah ini dapat bermanfaat bagi pelajar/mahasiswa/ dan juga
masyarakat. Dengan penulisan makalah ini kita dapat lebih memahami tentang hubungan
agama dengan negara, terutama agama diindonesia. Kurang lebihnya makalah ini, penulis
mohon maaf kritik dan saran yang sifatnya membangun penulis persilahkan.
DAFTAR PUSTAKA

Baca Jimly Asshiddiqie,Konstitusi Dan Konstitusionalisme. Jakarta konstitusi


press . 2006 Hal. 259
Agus Thohir. ”Relasi Agama dan Negara”. Makalah Diskusi Kajian Spiritual yang
diselenggarakan oleh HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI, Semarang, tanggal 4
Novem- ber 2009.
Kaelan. ”Relasi Negara dan Agama Dalam Perspektif Filsafat Pancasila”. Makalah.Yogya-
karta,tanggal 1 Juni 2009.
Kaelan. ”Relasi Negara dan Agama Dalam Perspektif Filsafat Pancasila”. Makalah.Yogya-
karta,tanggal 1 Juni 2009.
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a. Memahami Ilmu Negara & Teori Negara.Bandung.
Refika Aditama, Bandung, 2012.
Bahtiar Efendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, Cet.I,(Jakarta: Paramadina, 1998), hlm 106.
Ibid, hlm 107.
Jafar Shodiq, Pertemuan Antara Tarekat & Nu Studi Hubungan Tarekat Dan Nadhatul Ulama
Dalam Konteks Komunikasi Politik 1955-2004, Cet.I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
hlm 102.
Bahtiar Efendy, Islam Dan Negara Transformasi Pemkiran Dan Praktik Politik Islam Di
Indonesi, Cet.I,(Jakarta: Paramadina, 1998), hlm 106.
Sudirman Tebba, Islam Orde Baru Perubahan Politik Dan Keagamaan,(Yogyakarta: PT.Tiara
Wacana Yogya, 1993), hlm 4.
Sudirman Tebba, Islam Orde Baru Perubahan Politik Dan Keagamaan,(Yogyakarta: PT.Tiara
Wacana Yogya, 1993), hlm 4-5.
Ismail dengan mengutip A S Hornby menyebutkan, ideologi adalah “a set of ideas that form
the basis of an economic or political theory or that are held by a particular group or person”.
Ismail, Islam dan Pancasila, h. 21
R. R. Alford, “Agama dan Politik”, dalam Roland Robertson (ed.), Agama, h. 379.

Anda mungkin juga menyukai