Disusun oleh:
Firman Maulana : ( 221110020)
Putri Arum Sari : ( 221110036)
Sella Fidiawati : (221110011)
FAKULTAS SYARI`AH
HUKUM KELUARGA ISLAM
UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR............................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................................
B. Rumus Masalah.....................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
A.Latar Belakang
Hubungan Agama dan Negara Dalam praktik kehidupan kenegaraan masa kini,
hubungan antara agama dan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yakni
integrated (penyatuan antara agama dan negara), intersectional (persinggungan antara agama
dan negara), dan sekularistik (pemisahan antara agama dan negara.Bentuk hubungan antara
agama dan negara di negara-negara Barat dianggap sudah selesai dengan sekularismenya atau
pemisahan antara agama dan negara. Paham ini menurut The Encyclopedia of Religion
adalah sebuah ideologi, dimana para pendukungnya dengan sadar mengecam segala bentuk
supernaturalisme dan lembaga yang dikhususkan untuk itu, dengan mendukung prinsip-
prinsip non-agama atau anti-agama sebagai dasar bagi moralitas pribadi dan organisasi sosial.
Proses sekularisasi yang berimplikasi pada marjinalisasi agama ini bisa berbeda antara
satu negara dengan negara lainnya, yang terutama dipengaruhi oleh latar belakang budaya
dan sejarah masing-masing masyarakatnya. Modernisasi politik di Indonesia dalam tingkat
tertentu telah menimbulkan sekularisasi politik. Namun di negara yang berideologi Pancasila
ini, proses itu tidak akan mengarah kepada negara sekuler.
Hubungan antara agama dan negara adalah hubungan persinggungan, tidak
sepenuhnya terintegrasi dan tidak pula sepenuhnya terpisah. Di era reformasi ini, modernisasi
politik yang demokratisberimplikasi kepada munculnya partai-partai politik baru, termasuk
partai-partai Islam. Di sisi lain, ekspresi kebebasan dalam kasus-kasus tertentu telah
menimbulkan perselisihan dan konflik yang bisa mengganggu harmoni sosial dan integrasi
bangsa. Dalam konteks inilah agama dapat memberikan kontribusi yang positif sebagai faktor
integratif yang menghargai kemajemukan masyarakat dan bukan sebagai faktor disintegratif
yang mendukung eksklusifisme dalam masyarakat.
B. Rumusan masalah
1. Konsep Dasar Negara
2. Bentuk-bentuk Negara
3. Teori Terbentuknya Negara
4. Relasi Negara dan Agama
5. Hubungan Islam dan Negara di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Integralistik
Hubungan agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
dua lembaga yang menyatu (integrated). Negara merupakan suatu lembaga politik dan
sekaligus lembaga negara. Pemerintahan negara diselenggara kan atas dasar kedaulatan
Tuhan, kare na memang kedaulatan itu berada di tangan Tuhan (teokratis). Konsekuensinya,
aturan negara harus dijalankan menurut hukum-hukum Tuhan.
Paradigma integralistik di atas kemudian memunculkan kelompok pendukung “negara
agama” atau dalam konteks ini “negara Islam”. Paradigma ini banyak dianut kelompok Syiah
dengan doktrin imamahnya. Selain itu, juga dianut kelompok fundamentalis Islam yang
menekankan totalitas Islam. Tokoh dengan paradigma ini yang cukup dikenal adalah
AlMaududi (1903-1979 M). Bagi Al-Maududi, syari’at tidak mengenal pemisahan antara
agama dan negara. Syari’at adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh
tatanan kemasyarakatan. Sehingga menurutnya, Islam harus dibangun di atas perundang-
undangan syari’ah yang dibawa Nabi dari Tuhan dan harus diterapkan dalam kondisi apapun.
B. Teori Simbiotok
Hubungan agama dan negara itu saling membutuhkan dan bersifat timbal balik.
Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembang kan
agama. Demikian sebaliknya, negara juga memerlukan agama karena dapat membantu negara
dalam pembinaan moral dan etika.
Paradigma simbiotik dianut tokoh Ibnu Taimiyah (1263-1328 M), tokoh Sunni salafi
yang mengatakan: “agama dan negara benar-benar berkelindan; tanpa kekuasan negara yang
bersifat memaksa agama dalam keadaan bahaya. Dan negara tanpa disiplin hukum wahyu
pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik.” Antara agama dan negara merupakan dua
entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan.
Demikian halnya pemikiran al-Mawardi (975-1059 M), yang menegaskan bahwa
kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna
memelihara agama dan pengaturan dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia
merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik.
C. Teori Sekularistik
Teori Sekularistik ini menolak paham teokrasi dan simbiotik. Sebagai gantinya, teori
sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas
agama (Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001: 28). Negara dan Agama merupakan dua bentuk
yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga
keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi.
Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah
hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak
ada kaitannya dengan hukum Agama (Agus Thohir, 2009: 4).
Teori ini melahirkan paham negara sekular. Dalam paham negara sekular, tidak ada
hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham sekular ini, Negara adalah
urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah
hubungan manusia dengan Tuhan (urusan ukhrowi). Dua hal ini, menurut paham sekular
tidak dapat disatukan atau terpisah satu sama lain.
Dalam paham negara sekular, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan
nilai dan norma Agama. Norma hukum positif ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak
berdasarkan Agama atau firman-firman Tuhan, dengan kemungkinkan norma-norma hukum
positif tersebut bertentangan dengan norma-norma Agama. Sekalipun paham sekular
memisahkan antara Agama dan Negara, pada umumnya Negara sekular membebaskan warga
negaranya untuk memeluk Agama apa saja yang mereka yakini dan Negara tidak intervensif
dalam urusan-urusan Agama.
PENUTUP
Simpulan
Dalam sejarah bangsa Indonesia, hubungan antara agama (Islam) dan negara
berkembang menjadi empat golongan. Golongan yang mengintegrasikan antara agama dan
negara sebagai dua hal yang tidak terpisahkan. Sejarah integrasi agama dan negara berjalan
dengan intensif pada masa pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kerajaan Islam
Perelak, Kerajaan Islam Samudera dan Pasai di Aceh. Dalam sistem ketatanegaraan tersebut,
hukum negara menjadi hukum agama dan hukum agama juga menjadi hukum negara.
Sepak terjang politik Islam di Indonesa sudah ada sejak awal berdirinya partai
Masyumi sebagai upaya dan usaha untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa atau
Negara Islam, hingga akhirnya Masyumi bubar tanpa ada hasil untuk merubah sistem
pemerintahan walau di Indonesia umat Islam merupakan masyarakat mayoritas.
SARAN
Kami harap makalah ini dapat bermanfaat bagi pelajar/mahasiswa/ dan juga
masyarakat. Dengan penulisan makalah ini kita dapat lebih memahami tentang hubungan
agama dengan negara, terutama agama diindonesia. Kurang lebihnya makalah ini, penulis
mohon maaf kritik dan saran yang sifatnya membangun penulis persilahkan.
DAFTAR PUSTAKA