i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...........................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ...................................................................................10
B. Saran .............................................................................................10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara sebagai organisasi sosial tertinggi dalam sebuah komunitas manusia,
maka persoalan-persoalan kebangsaan pun datang silih berganti. Sehingga
Negara pun mau tidak mau, suka atau tidak suka harus segera memberikan
fungsinya untuk senantiasa bisa meredam gejolak-gejolak persoalan yang timbul
dalam tatanan masyarakat. Negara bukan sekedar kumpulan keluarga belaka
atau suatu persatuan organisasi profesi, atau penengah di antara kepentingan-
kepentingan yang saling bertentangan antara perkumpulan suka rela yang
diizinkan keberadaannya oleh Negara. Dalam suatu komunitas politik yang
diorganisir secara tepat, keberadaan Negara adalah untuk masyarakat dan bukan
masyarakat yang ada untuk Negara. Akan tetapi, betapapun majunya rakyat
secara sosial, masyarakat yang menyusunnya terdiri dari keluarga, klub,
perkumpulan agama, serikat dagang dan lain-lain tidak menjamin dapat
menyelenggarakan urusannya sendiri tanpa adanya kekuasaan arbitrase tertinggi
yakni Negara.
1
yang mampu merubah semua tatanan hidup sosial, bangsa dan negara, maka dari
itu sangat dibutuhkan Pancasila sebagai sumber ideology kebenaran dalam
menjalani kehidupan. Negara Indonesia memiliki Pancasila sebagai ideology
kehidupan NKRI dan tujuan nasional bangsa dan negara Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis sebutkan, masalah yang
timbul pada penulisan penelitian ini adalah:
C. Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan kita
tentang mata kuliah Pendidikan Pancasila terkait dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang meliputi Hakikat Negara, Negara Kebangsaan
Pancasila, Hakikat Negara Integralistik dan NKRI adalah negara Pancasila yang
berdasakan kesimpulan dari pembukaan UUD 1945 alenia ke-4.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-
undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolistik dari kekuasaan yang sah.
B. Negara Integralistik
Teori ini diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, dan Hegel. Menurut teori
ini, negara terbentuk karena susunan masyarakat yang begitu berhubungan erat
satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis, di mana
negara tidak memihak kepada sesuatu golongan yang paling kuat, atau yang
paling besar, tidak menganggap kepentingan seorang sebagai pusat, akan tetapi
negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang
tak dapat dipisah-pisahkan. Demikian, teori negara integralistik dianggap
merupakan teori negara yang bertentangan dengan teori Individualisme dan
4
Marxisme. Teori negara Integralistik yang berakar dari filsafat
Monismepanteisme Barat, dikenal dengan istilah membuminya yakni teori
organis, teori Integralistik menjadi sandaran bagi awal mula terbentuknya negara
Indonesia setelah berhasil merebut kembali kedaulatannya sebagai bangsa yang
merdeka dari belenggu kolonialisme.
Bangsa Indonesia yang membentuk suatu persekutuan hidup dengan
mempersatukan keanekaragaman yang dimilikinya dalam suatu kesatuan
integral yang disebut negara Indonesia. Soepomo pada sidang pertama BPUPKI
tanggal 31 Mei 1945, mengusulkan tentang paham Integralistik yang dalam
kenyataan objektifnya berakar pada budaya bangsa. Pemikiran Soepomo tentang
Negara Integralistik tersebut adalah “Maka semangat kebatinan, struktur
kerohanian dari bangsa Indonesia bersifat dan cita-cita persatuan hidup, yaitu
persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara macrokosmos dan
mikrocosmos, antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya. Segala manusia
sebagai golongan manusia itu tiap-tiap masyarakat dalam pergaulan hidup di
dunia dianggap mempunyai tempat dan kewajiban hidup (dharma) sendiri-
sendiri menurut kodratnya dan segala-segalanya tidak terpisah dari seseorang
yang lain atau dunia luar dari golongan manusia, maka segala sesuatu
berpengaruh dan kehidupan mereka bersangkut-paut” (Sekretariat Negara,
1995).
5
Rotterdam Belanda pada tahun 1930 an. Bahkan sampai dengan awal tahun 1945
Bung Hatta masih berpendirian, bahwa bentuk negara federal yang tepat untuk
Negara Republik Indonesia. Pendirian Bung Hatta kemudian berubah, setelah
beliau banyak berdiskusi tentang pilihan sistem kenegaraan dengan para tokoh
pergerakan. Rupanya argumen-argumen yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh
pergerakan dapat meyakinkan Bung Hatta, bahwa untuk Republik Indonesia
yang akan merdeka di kemudian hari bentuk negaranya yang paling tepat adalah
negara kesatuan.
Bentuk Negara Kesatuan adalah bentuk negara yang terdiri dari satu negara
saja betapapun besar maupun kecil, dan ke dalam maupun ke luar merupakan
kesatuan. Bila suatu negara tidak terjadi karena adanya beberapa negara yang
bergabung dan oleh karenanya kedaulatan negara secara utuh dan bulat ada pada
tangan pusat, maka bentuk negara ini disebut negara kesatuan. Sedangkan Moh.
Kusnardi dan Bintan R. Saragih menyatakan “Disebut negara kesatuan apabila
kekuasaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak sama dan tidak
sederajat. Kekuasaan Pemerintah Pusat merupakan kekuasaan yang menonjol
dalam negara, dan tidak ada saingan dari badan legislatif pusat dalam
membentuk undang-undang, kekuasaan pemerintah yang ada di daerah bersifat
Derivative (tidak langsung) dan sering dalam bentuk otonomi yang luas, dengan
demikian tidak dikenal adanya badan legislatif pusat dan daerah yang sederajat,
melainkan sebaliknya.
Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
adalah gagalnya Konstituante melaksanakan tugas membentuk UUD sebagai
pengganti UUDS 1950. Kegagalan konstituante dikarenakan dua kubu yang
berhadapan tetap pada pendiriannya masing-masing, yang satu bersikap
memakai rumusan dasar negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD
1945 yaitu Pancasila, sedang kubu lainnya bertahan dengan sikap memilih Islam
sebagai dasar negara. Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan kembali ke UUD
1945, maka bentuk Negara Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan yang
kemudian lebih populer dengan sebutan NKRI.
6
Pada awal reformasi yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto
dari jabatannya, kebijaksanaan otonomi daerah mulai menjadi bagian dari
wacana publik pada masa transisi pemerintahan di Indonesia antara 1998 – 1999.
Pada saat itu muncul berbagai macam pendapat tentang kehendak untuk
menghidupkan kembali pemerintahan yang berdasarkan federalisme di satu
pihak, dan di pihak lain menghendaki sistem desentralisasi dalam negara
kesatuan tetap dipertahankan dengan modifikasi tertentu sesuai dengan
semangat dan irama reformasi nasional.
Berbagai macam argumen dikemukakan guna mendukung posisi masing-
masing. Namun demikian, kekuatan-kekuatan politik yang ada di Indonesia
dalam masa transisi ini tidak memberikan dukungan yang positif terhadap
kemungkinan untuk menciptakan pemerintahan yang federalistik. Pada saat
proses pembahasan perubahan UUD 1945, Panitia Ad Hoc I menyusun
kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945. Kesepakatan dasar
tersebut terdiri dari lima butir yaitu:
1) tidak mengubah Pembukaan UUD 1945,
2) tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
3) mempertegas sistem pemerintahan Presidensial,
4) penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan
dimasukkan ke dalam pasal-pasal,
5) perubahan dilakukan dengan cara “adendum” (Sekretariat Jendral MPR
RI 2003:25).
Dengan demikian jelas bahwa negara kesatuan tetap dipertahankan dengan
memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Yang lebih penting
dalam pemilihan semua bentuk negara akan sangat erat kaitannya dengan
struktur sosial dan etnisitas masyarakat yang ada dalam negara tersebut. Sebuah
negara yang sangat tinggi tingkat homogenitasnya tidak sulit mempraktekkan
federalisme, terutama yang menyangkut derajat pembilahan sosialnya.
Sebaliknya dalam masyarakat yang sangat tinggi tingkat fragmentasi sosialnya,
diperlukan sebuah pemerintahan nasional yang kuat.
7
D. Pancasila Sebagai Wawasan Kebangsaan
Pancasila merupakan cerminan dari karakter bangsa dan negara Indonesia
yang beragam. Semua itu dapat terlihat dari fungsi dan kedudukan Pancasila
yakni sebagai jiwa bangsa Indonesia, kepribadian bangsa, pandangan hidup
bangsa, sarana tujuan hidup bangsa Indonesia dan pedoman hidup bangsa
Indonesia. Pancasila dijadikan sebagai dasar prinsip pedoman warga negara
untuk menjalani sesuai kaidah nilai-nilai Pancasila. Pancasila berfungsi sebagai
arah tujuan cita-cita kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pancasila dijadikan
pedoman hidup sekaligus pendidikan moralitas baik sebagai warga negara
supaya memiliki benteng diri sangat kuat menghadapi tantangan zaman yang
terus berubah. Pancasila menjadi sumber dari segala sumber ideologi di
kehidupan sosial, bangsa dan negara. Karena Pancasila dijadikan sebagai dasar
pemikiran sangat fundamen supaya menjalani hidup ini sebaik-baiknya menjadi
warga negara Indonesia yang baik.
Secara harfiah Pancasila terdiri dari dua kata yaitu Panca yang berarti lima
dan Sila yang berarti aturan yang memiliki konteks perilaku seseorang atau
bangsa, kelakuan atau perbuatan sesuai dengan adab yang dijadikan sebagai
dasar. Pancasila berarti rangkaian lima aturan tentang dasar-dasar atau prinsip-
prinsip petunjuk perilaku dan perbuatan masyarakat bangsa indonesia. Secara
keseluruhan Kelima sila Pancasila memiliki peran sangat penting untuk
dijadikan dasar prinsip pandangan hidup, kepercayaan secara totalitas, dan cita-
cita tujuan hidup bangsa Indonesia serta memiliki fungsi sebagai dasar untuk
menjadi pedoman menentukan suatu keputusan/ketetapan dalam menghadapi
dan memberikan solusi yang benar dari permasalahan yang terjadi pada bangsa
Indonesia.
Pancasila pada dasarnya suatu ide gagasan hasil buah pemikiran sangat
mendasar yang dijadikan sebagai pijakan untuk membentuk moral warga negara
baik di Indonesia, dan tentu harus berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.
Pancasila memiliki nilai-nilai luhur positif yang mengajarkan warga negara
mampu berfikir sangat mendasar berfungsi sebagai filter kemudian
8
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari haruslah tetap menggunakan
Pancasila supaya dapat menjadi warga negara yang baik. Pancasila dijadikan
sebagai rujukan dasar untuk berperilaku menjadi warga negara baik di Indonesia.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara yang
berbentuk kepulauan atau nusantara yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang
sekaligus juga memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda pula. Oleh karena
itu negara persatuan adalah merupakan satu negara, satu rakyat, satu wilayah dan
tidak terbagi-bagi misalnya seperti negara serikat, satu pemerintahan, satu tertib
hukum yaitu tertib hukum nasional, satu bahasa serta satu bangsa yaitu
Indonesia. Bangsa Indonesia mempunyai pancasila sebagai dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia, nilai dan norma yang terkandung di
dalamnya merupakan keinginan dari bangsa Indonesia yang harus diamalkan.
Dan ini harus dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan di negara Indonesia
agar Pancasila benar-benar berperan sebagaimana Fungsi dan kedudukannya
supaya tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia mudah tercapai.
B. Saran
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi
bahasan dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan karena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang kami
peroleh hubungannya dengan makalah ini. Penulis banyak berharap kepada para
pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi
sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan para pembaca.
10
DAFTAR PUSTAKA
Junaedi, Dimiyati Agus, 2020, Hakikat Dan Fungsi Negara: (Telaah Atas
Persoalan Kebangsaan di Indonesia), [pdf]. Jurnal dipublikasikan.
Kuningan : Universitas Kuningan
Prof. Dr. Kaelan, M.S. Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Pendidikan
Pancasila Edisi Reformasi 2010. Buku diterbitkan. Yogyakarta: Paradigma
11